Jumat, 29 Agustus 2014

REPRESENTASI PEREMPUAN DALAM INDUSTRI MEDIA FILM INDONESIA (Ahmad Toni)

REPRESENTASI PEREMPUAN DALAM INDUSTRI MEDIA FILM
INDONESIA (Analisis Semiotika Barthes Terhadap Film Feminis
“Sang Penari” dan “Perempuan Punya Cerita”)

Materi ini dipresentasikan di seminar Nasional - UPH

Oleh: Ahmad Toni, M. I. Kom


      I.     LATAR BELAKANG
Festival film Indonesia (FFI) dalam perkembangannya dewasa ini menampilkan sejumlah persoalan dalam berbagai lini perfilman negara ini. Sebagai bentuk apresiasi dan representasi kualitas dan kuantitats produksi fil nasional, FFI diharapkan dapat menjadi tolak ukur dan titik tolak identitas pergaulan dalam berbangsa dan bernegara. Di sisi lain FFI menjadi sebuah jembatan prestasi sineas Indonesia dalam berkarya, berproduksi dan berkreativitas dalam seni film, baik dalam segi tea film, konsep penyutradaraan, konsep teknis dan filosofinya.
Persoalan FFI memberikan nuansa kecurigaan dan gugatan dari sejumlah insan perfilman, sambutan menteri kebudayaan dan pariwisata Republik Indonesia dalam catalog film, “film Indonesia dikategorikan sebagai karya seni budaya yang perlu dikembangkan, maka Departemen Kebudayaan dan Pariwisata sangat menaruh harapan agar perfilman Indonesia dapat tumbuh menjadi industri budaya yang tangguh” (2006: 1). Perfilman Indonesia ditekankan kearah industri pertahanan budaya, sebuah perwujudan bahwa seni budaya dan elemen yang melatarbelakanginya digiring kedalam ranah pemodalan dan kapitalisme.
Tema dan industri menjadi pertautan kepentingan yang berbeda didalamnya, tema film Indonesia menjadi semacam selera pasar yang dimotori oleh film-film impor, secara tidak langsung selera film Indonesia menngikuti perkembangan film-film Hollywood. Industri film Indonesia tidak mepunyai tema dasar dalam perkembangannya. Sebagai contoh, Cina mengembangkan tema film yang didukung dengan budaya bela diri, India dengan ciri khas identitasnya memajukan industri musik dan lagu dalam film yang mereka garap. Sementara Indonesia hanya mengikuti selera pasar Hollywood yang terkadang tidak didukung kebijakan yang menyertainya.
Persoalan tema, terutama tema perempuan dewasa ini lebih banyak diproduksi sebagai tema yang menghadirkan keberagaman persoalan perempuan Indonesia dalam industri perfilmannya yang kian tidak bergerak dan terkesan berjalan ditempat. Banyak sineas Indonesia kemudian berkarya atas kepentingan modal asing dalam rangka menyuarakan kritik sosialnya melalui film yang diproduksi. Ada ketimpangan kebjikan yang dikeluarkan oleh pemerintah dan kondisi riil sineas perfilman. Dalam hal ini apakah tema perempuan menjadi representasi dalam industri film Indonesia.

    II.     KAJIAN TEORITIS/KONSEP
A.    Film Sebagai Media Massa
Proses komunikasi massa pada intinya ialah proses penyampaian pesan dari komuikator kepada komunikan. Teori komunikasi massa “merupakan salah satu proses komunikasi yang berlangsung pada peringkat masyarakat luas, yang identifikasinya ditentukan oleh ciri khas institusional. Pesan merupakan suatu produk dan komoditi yang mempunyai nilai tukar, hubungan pengirim dan penerima lebih banyak satu arah”. (Denis McQuail: 33). Film merupakan salah satu dari media massa, film berperan sebagai sarana komunikasi yang digunakan untuk penyebaran hiburan, menyajikan cerita, peristiwa, musik, drama dan sajian teknis lainnya kepada masyarakat.
Karakteristik film sebagai usaha bisnis pertunjukan dalam pasar sebenarnya belum mampu mencakup segenap permasalahannya. Dalam sejarahnya film mempunyai tiga elemen besar diantaranya:
1.     Pemanfaatan film sebagai alat propaganda. Film ialah sebagai upaya pencapaian tujuan nasional dan masyarakat. Hal ini berkaitan dengan pandangan yang menilai bahwa film memiliki jangkauan, realism, pengaruh emosional, dan popularitas. Bauran pengembangan unsur pesan dengan hiburan sebenarnya sudah lama diterapkan dalam kesusastraan dan drama (teater) namun unsur film jauh lebih sempurna dibandingkan dengan teater dari segi jangkauan penonton tanpa harus kehilangan kredibilitasnya.
2.     Munculnya beberapa aliran film diantaranya drama, dokumenter, dokudrama dan lain-lain.
3.     Memunculkan aliran dokumentasi sosial. Di samping itu, terdapat unsur-unsur ideologi dan propaganda yang terselubung dalam suatu film yang berasal dari fenomena yang tampaknya tidak tergantung pada ada atau tidaknya kebebasan masyarakat. Fenomena ini berakar dari keinginan untuk merefleksikan kondisi masyarakat.
Dalam melihat dan mengkaji isi media, banyak penelitian telah dilakukan dengan menggunakan berbagai perspektif teoritis. Gans (1979) dan Gitlin (1980) mengelompokan  pendekatan ini ke dalam beberapa kategori, yaitu:
1.     Isi media merefleksikan realitas sosial dengan sedikit atau tanpa distorsi. Pendekatan “mirror” ini beranggapan bahwa apa yang disiarkan media merupakan refleksi akurat tentang kenyataan sosial kepada audiens. Pendekatan “null effects”, juga beranggapan bahwa isi media menggambarkan kenyataan, namun kenyataan di sini merupakan hasil kompromi antara yang menjual informasi ke media dan yang membeli. Realitas kompromi ini kemudian menjadi bagian refleksi atas realitas di luar dan menjadi bagian dari realitas media itu sendiri.
2.     Isi media dipengaruhi oleh sosialisasi dan sikap para pekerja media. Pendekatan “communicator centered” ia mengatakan bahwa faktor psikologis pekerja media (seperti profesionalisme, sikap politik, dan lainnya) membuat mereka memproduksi realitas sosial dimana terdapat norma ikatan sosial, ide, atau perilaku yang “berbeda” diasingkan. Sosialisasi ini berhubungan erat dengan latarbelakang yang dimiliki oleh pelaku media.
3.     Isi media dipengaruhi oleh rutinitas isi media. Pendekatan ini menyatakan bahwa isi media dipengaruhi oleh bagaimana para pekerja media dan perusahaan mengorganisasikan diri mereka.
4.     Isi media dipengaruhi oleh institusi sosial dan tekanan lainnya. Menurut pendekatan ini, faktor-faktor eksternal seperti ekonomi, tekanan budaya dan audiens ikut menentukan isi.
5.     Isi merupakan fungsi dari posisi ideologi dan fungsi mempertahankan status quo. Pendekatan teori hegemoni mengatakan bahwa isi media dipengaruhi oleh ideologi para pemilik kekuasaan di masyarakat.
Menurut Lang (Severin dan Tankard: 2008: 264) “media massa memaksakan pada isu-isu tertentu. Media massa membangun citra publik tentang figur-figur politik. Media massa secara konstan menghadirkan objek-objek yang menunjukan apa yang hendaknya dipertimbangkan, diketahui, dan dirasakan individu-individu dalam masyarakat”. Pernyataan ini menunjukan adanya beberapa pengaruh sebagai terpaan pesan yang dikemas media massa untuk mempengaruhi khalayak sebagai perubahan pemikiran baik secara kognitif maupun behavior.
Aspek pengaruh diakibatkan oleh pengirim pesan dan penerima pesan, dimana satu sama lainnya terjadi proses pelimpahan dan pembagian makna dalam proses pesan komunikasi. “Aspek pengalaman individual dengan pengalaman kolektif dalam segi pemakaian, sejauh mana hubungan dengan sumber (pesan), posisi pengirim ditinjau dari sudut penerima, dimensi interaktivitas pengirim dan penerima sebagai timbal balik antara pengirim dan penerima” (Denis McQuail: 2000: 23).
Dalam penghayatan pangaruh film terjadi proyeksi dan identifikasi. Menurut Parensi (2005: 6) “proses identifikasi dinyatakan dalam proyeksi dan identifikasi optik, penonton mengidentifikasi dirinya sebagai kameramen. Proyeksi dan identifikasi emosional, dimana perpindahan ruang berlangsung secara logis dan bermotivasi. Proyeksi dan identifikasi imajiner, penonton berada pada immajinatif tokoh-tokoh yang terlibat dalam kejadian”.

B.    Proses Komunikasi dan Produksi Makna
Komunikasi dalam sistem masyarakat ialah bagian dari kehidupan yang tidak dapat dipisahkan dari peradaban manusia. Kebiasaan manusia sebagai makhluk sosial dalam berkomunikasi sendiri dipengaruhi oleh pengalaman dan referensi yang dimilikinya. Setiap individu dalam melakukan komunikasi mengacu pada dua hal. Pertama, manusia memandang komunikasi sebagai proses transmisi pesan-pesan (transmission of messages). Kedua, manusia memandang komunikasi sebagai suatu kegiatan produksi dan pertukaran makna (production and exchange of meanings).
Model yang diusulkan oleh Laswell guna menjelaskan cara yang baik untuk menjelaskan komunikasi adalah dengan pertanyaan berikut : Who Says What In Which Chanel To Whom With What Effect. Paradigma Laswell menunjukkan bahwa komunikasi meliputi lima unsur sebagai jawaban dari pertanyaan yang diajukan, yaitu: komunikator (communicator, source, sender), pesan (message), media (channel, media), komunikasi (communicant, communicatee, reciver, recepient), dan efek (effect, impact, influence)” (Severin dan Tankard, 2005: 55). Pada dasarnya berdasarkan paradigma Laswell tersebut, komunikasi adalah suatu proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media yang menimbulkan efek. Model ini banyak diterapkan dalam komunikasi massa.
Dengan demikian, manusia ketika berkomunikasi ialah, ia melakukan interaksi dengan sesama dan lingkungannya, dalam arti luas. Berbagai macam pengalaman yang dimiliki manusia, merupakan sikap berbagi rasa, ide dan gagasan. Proses tersebut yang kemudian dinamakan sebagai pesan (massage). sebagaimana dikatakan oleh Onong Uchjana (2000: 312), bahwa pesan adalah terdiri dari dua aspek, yakni isi atau isi pesan (the content of massage) dan lambang (symbol) untuk mengekpresikannya”. Selanjutnya pesan ditafsirkan oleh penerima dengan bedasarkan kerangka pengalaman yang telah dimilikinya. Terdapatnya perbedaan budaya sangat dimungkinkan ditemukannya perbedaan makna pesan. Pada hakikatnya komunikasi adalah merupakan proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media yang mempunyai efek tertentu. “Dalam bagian komunikasi perspektif psikologis ketika seorang komunikator berniat menyampaikan suatu pesan kepada komunikan, maka dalam dirinya terjadi suatu proses (encoding-decoding), dalam primary proses, komunikasi merupakan proses penyampaian pikiran oleh komunikator kepada komunikan dengan menggunakan suatu lambang (symbol) sebagai medianya” (Onong, 2000: 33).
Dalam pandangan Fiske  (2004: 2), “pendapat ini digolongkannya pada aliran komunikasi sebagai proses transmisi pesan. Dimana studi komunikasi bukan semata proses penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan semata tetapi juga komunikasi sebagai proses dan pertukaran makna yang disebutnya sebagai aliran semiotik”. Sesungguhnya studi komunikasi sudah tidaklah murni lagi sebagai subjek karena di dalamnya terdapat berbagai macam studi. Sementara itu, hal senada dikatakan David Sless bahwa teori komunikasinya juga berangkat dari pendekatan semiotik. Pesan dalam proses komunikasi bukanlah semata apa yang dikirimkan oleh sender kepada receiver. Pesan dipandang sebagai teks dan memiliki cakupan yang sangat luas. Pesan tidak saja terjadi ketika seseorang berdialog dengan orang lain, tetapi secara tersembunyi seseorang telah dapat menyampaikan pesan melalui penampilan, menulis, melukis, membuat film, novel, puisi atau hiburan merupakan bagian dari pembuatan teks atau pesan (Fiske, 2004: 3).
David Sless dalam bukunya mempergunakan istilah author agar bersinonim dengan pengirim (sender), dan reader yang bersinonim dengan penerima (receiver) serta teks yang bersinonim dengan pesan (massage). Sless mengasumsikan komunikasi sebagai pemilahan antara pengirim teks dan penerima teks. Sless memberi terminologi terhadap hal ini dengan istilah comunication as position. Maksudnya bahwa dalam proses komunikasi, pengirim dan penerima pesan menempati posisinya masing-masing. Posisi pengirim akan berbeda dengan posisi penerima. Tatkala pengirim dan penerima pesan dihadapkan pada objek yang sama, maka belum tentu menghasilkan pemahaman yang sama. Sless menganalogikan hal ini dengan perbedaan antara author dengan reader terhadap gunung yang sama. Gunung akan terlihat berbeda bila dipandang oleh author di selatan dan reader di utara (Fiske, 2004: 35). Hal ini memberi implikasi adanya keterlibatan budaya dalam memaknai sebuah objek atau teks.
Salah satu bentuk tanda adalah bahasa. Secara sederhana Jalaluddin Rakhmat membedakan bahasa menjadi dua, yaitu: bahasa sebagai pesan linguistik (yaitu pesan dalam bentuk kata dan kalimat) dan bahasa sebagai pesan non-verbal yang meliputi pesan paralinguistik (manusia mengucapkan kata-kata dan kalimat dengan cara tertentu dan setiap cara berkata memberikan maksud tertentu dan pesan ekstralinguistik (bahasa dalam bentuk simbol atau isyarat). Secara fungsional, bahasa dipahami sebagai alat yang dimiliki untuk mengungkapkan ide dan makna. Artinya, bahasa hanya dapat dipahami apabila ada konvensi di antara anggota kelompok sosial yang menggunakannya. Kata-kata dimaknai secara arbitrer oleh kelompok sosial, kemudian dikonvensikan dalam penggunaannya (Pradopo, 1995: 268-269).
Bahasa mempunyai dua jenis pengertian yang perlu dipahami oleh para komunikator. Pertama adalah pengertian denotatif, yang kedua pengertian konotatif. Perkataan yang denotatif adalah yang mengandung makna sebagaimana tercantum dalam kamus (dictionary meaning) dan diterima secara umum oleh kebanyakan orang yang sama kebudayaannya dan bahasanya. Perkataan yang denotatif tidak menimbulkan interpretasi yang berbeda pada komunikan ketika diterpa pesan-pesan komunikasi. Sebaliknya apabila komunikator menggunakan kata-kata konotatif. Kata-kata konotatif mengandung pengertian emosional atau evaluatif. Oleh karena itu dapat menimbulkan interpretasi yang berbeda pada komunikan (Sobur, 2003: 45). Berdasarkan penjelasan di atas, pikiran dan atau perasaan seseorang baru akan diketahui dampaknya oleh orang lain apabila ditransmisikan dengan menggunakan media primer tersebut, yakni lambang-lambang. Dengan perkataan lain, pesan (massage) yang disampaikan oleh komunikator kepada komunikan terdiri atas isi (content) dan lambang (symbol). Pesan yang dimaksudkan dalam penelitian ini meliputi hal diatas dan bahasa dalam bentuk audio-visual dalam film. Mengingat film merupakan teks “wicara” untuk menyampaikan pesan dengan menggunakan paduan diantara keduanya.
Penelitian ini menggunakan metode analisis semiotika, yaitu proses penggalian makna yang berusaha menyingkap atau menjelaskan berbagai aspek intrinsik dari lambang tertentu, arti dan bentuknya. Pendekatan semiotika lebih mengarah pada pandangan tentang komunikasi sebagai production and exchange meanings. Hal ini mengingat bahwa teks atau naskah itu merupakan struktur (sistem) tanda-tanda yang bermakna. Tanda-tanda tersebut mempunyai makna sesuai dengan konvensi ketandaan. Sejalan dengan pemikiran tersebut McFee mengungkapkan, pengalaman budaya berperan sangat penting dalam proses kognitif selalu bersumber darinya. Lebih lanjut Sutopo menambahkan, “dengan demikian pengalaman seseorang yang merupakan akumulasi dari hasil interaksi dengan lingkungan hidupnya setiap hari dalam masyarakat, lokasi geografisnya, latar belakang ekonomi dan politiknya, keterlibatan religiusnya, sangat menentukan persepsinya terhadap suatu kegiatan” (Sutopo, 2000: 181).
Pengalaman budaya yang dimaksudkan ialah latar dan setting tempat kejadian dalam alur film. Dimana peristiwa yang terdapat dalam film meliputi tempat (latar-tempat kejadian) dan juga waktu (kapan-peristiwa terjadi). Dalam beberapa teori sastra pengalaman budaya ditambahkan dengan setting budaya, artinya dimana kejadian atau peristiwa tersebut dipengaruh dengan proses budaya yang sedang berlangsung.
C.    Feminisme, Ideologi dan Hegemoni
Sebuah paham dan gerakan, feminisme banyak membuktikan inspirasi pemikiran dan tafsiran terhadap posisi perempuan dalam bingkai sosial, agama, pembangunan negara dan lain-lain. Banyak pandangan konstruksi kritis feminisme yang dikaitkan dengan perspektif agama, kaum agamawan banyak dituntut perannya guna menuntaskan permasalahan perempuan dan kedudukannya di masyarakat. Kultur partiarki lebih dominan menopang tradisi peran dalam lingkungan, pengambilan keputusan, hak ekonomi dan pelbagai posisi dan kondisinya. Feminisme menurut Fakih (2008: 144) “digolongkan menjadi golongan liberalis, radikalis, marxis dan sosialis”. Golongan liberalis berasumsi bahwa “kebebasan dan keadilan berakar pada rasionalitas dan perempuan adalah makhluk yang rasional, golongan ini menganggap perempuan irrasional disebabkan oleh keterbelakangan dan ketidakmampuan kaum perempuan bersaing dengan laki-laki yakni dengan kebodohan daan sikap perempuan yang memegang teguh nilai-nilai tradisional.
Feminisme radikalis justeru melihat sikap dominasi kaum laki-laki yang memaksa perempuan sebagai kaum teroprasikan. Bagi golongan ini, akar penindasan kaum perempuan ialah dominasi kaum laki-laki, sikap patriarki menjadi hegemoni dan sekaligus ideologi yang menganggap power laki-laki sebagai kaum superior, laki-laki mencoba mereduksi hubungan gender pada berbagai jenis perbedaan kodrati (berhubungan dengan pemahaman agama) dan biologis. Paham Marxian beranggapan bahwa strukturalis, pembagian kerja dan penempatan kaum perempuan sebagai pendidik anak dan hal ini menjadi urusan publik. Pembagian kerja kaum perempuan dan laki-laki sebagai sebuah lingkup pembagian kerja secara internasional dan bila kaum perempuan terlibat dalam produktivitas kerja, perempuan diharuskan tidak menangani urusan rumah tangga.
Pendapat kaum sosialis mencoba menggabungkan marxisme dan radikalis. Menurut Eisenstein dalam Fakih (2008: 146) yang menyatakan bahwa “persamaan dialektika struktur kelas dengan struktur hirarki seksual, yang selanjutnya dinamakan dengan teori patriarki kapitalis, teori ini merupakan sintesis Marxisme dan radikalis. Teori sosialis melihat, perempuan sebagai suatu kelas, dikarenakan penindasan terhadap perempuan terjadi dimanapun”. Selanjutnya Eisenstien menyatakan bahwa “ketidakadilan semata-mata akibat perbedaan dari biologis, tetapi lebih disebabkan oleh penilaian dan anggapan “social construction” terhadap perbedaan tersebut”.
Melalui penjelasan diatas maka, peneliti memberikan ruang yang luas dalam memaknai proses tanda dan makna yang terdapat dalam film “Jamila dan Sang Presiden” dengan pendekatan teori feminisme sosialis, menginggat teori ini mencoba mengkritisi berbagai persoalan yang menyangkut perempuan dalam bingkai yang lebih luas, yakni mereduksi hubungan gender pada berbagai jenis perbedaan kodrati (berhubungan dengan pemahaman agama), biologis dan strukturalis, pembagian kerja dan penempatan kaum perempuan sebagai pendidik anak serta rumah tangga. Evans (1997) menyoroti repesentasi gender dan perempuan, menurutnya, awalnya adalah “keinginan untuk menunjukan bahwa perempuan juga punya peran dalam budaya, khususnya seni dan sastra, sebagai reaksi atas penghilangan perempuan dari jajaran penulis atau komunikatornya. “Tesis bahwa politik gender memainkan peran sentral dalam proyek representasi” (Barker, 2007: 327). Hal ini berkaitan dengan perhatian pada bermacam representasi tentang perempuan yang telah dikonstruksi.
Perempuan di media ditunjukan dengan adanya penggambaran yang konsisten dan unity tentang perempuan yang dikomodifikasikan dan distereotipkan ke dalam politik hegemoni citra biner, baik dan buruk. Krishnan dan Dighe menyatakan bahwa “dalam film fiksi, laki-laki menjadi karakter utama jauh lebih sering dibandingkan perempuan”. (Barker, 2007: 329). Perempuan distereotipkan menjadi yang diidamkan dan menyimpang. Perempuan ideal adalah penyayang dan keibuan, mendukung ambisi laki-laki tapi tidak punya ambisi untuk dirinya sendiri, berkorban, empatik dan terpaku pada rumah. Perempuan sebagai anak atau isteri yang pasif, menerima kontrol dari laki-laki dan mengabdi pada laki-laki. Sementara perempuan menyimpang adalah perempuan yang mendominasi laki-laki dan tidaak berada di rumah untuk mengurus keluarga. Karena ambisinya perempuan memutus hubungan dengan keluarga, merusak keterikatan dan hubungannya dengan laki-laki dan tidak cukup pengertian atau menerima.
Pada prinsipnya posisi subjek perempuan adalah perspektif, atau kumpulan makna diskursif atau wacana yang teregulasi dan meregulasi, yang digunakan untuk bisa memahami teks atau wacana. Dengan kata lain, posisi subjek menunjuk pada subjek yang harus kita identifikasi atau menempati supaya wacana perempuan menjadi bermakna. Bordo (1993) dalam Tong (2008: 16) menyatakan bahwa “tubuh perempuan yang tergenderkan karena perempuan bertubuh langsing. Kelangsingan perempuan adalah kondisi ideal daya tarik perempuan kontemporer karena itu, perempuan lebih rentan terkena gangguan makan demi wacana kelangsingan sebagai bentuk representasi tubuh ideal”.
Kate Millet berpendapat bahwa “seks adalah politis” (Rosmerie, 2008: 73). Sejauh pandangan mengenai seks ditujukan pada paradigma kekuasaan. Kasta sosial mendahului bentuk inegaliterianisme diantaranya ras, politik, ekonomi dan jika penerimaan terhadap laki-laki sebagai hak sejak lahir. Karena kendali laki-laki di dunia publik dan private terutama status, peran dan temperamen seksual.
Ideologi laki-laki yang menekkankan peran maskulin yang dominan sedangkan perempuan mempunyai peran subordinat (menerima). Hal ini dikonstruksi dari institusi akademi, agama dan peran keluarga. Seksualitas bagi ideologi laki-laki ialah lokus kekuasaan laki-laki yang merupakan tempat gender dan hubungan gender dikonstruksikan. Ideologi laki-laki yang kemudian menciptakan pandangan terhadap perempuan tertuang dalam aktivitas seksual, mendorong laki-laki untuk memperlakukan perempuan sebagai warga negara kelas dua, bukan saja di dalam dunia pribadi di dalam kamar tidur, melainkan juga di dalam dunia publik di tempat kerja dan lingkungan, bersosial dan bernegara.
Prinsip operasi dan teoritis yang menjadi ciri khas feminisme ialah hasil persimpangan feminisme dengan wacana metanarasi-modernitas, contohnya Marxisme, ataupun wacana posmodernis dan postrukturalis tentang posmodernitas. Metanarasi adalah “sebuah cerita raksasa yang membantu  kita untuk menyusun orientasi kita di dalam dunia yang memberikan kepada kita arah dan menjelaskah tentang narasi (gambaran masa depan) tentang kita”. (Eaglestone, 2003: 61). Metanarasi juga menekankan kepada “whig” atau kemajuan (modernitas) pada gagasan bahwa ras manusia menjadi semakin baik dengan melewati momen dan pada akhirnya ras manusia akan menjadi sempurna.
Istilah ideologi merujuk pada ide-ide tentang hakikat dan operasi hubungan kekuasaan dalam budaya dan masyarakat. Lebih jauh lagi istilah ideologi merujuk pada berbagai kepercayaan dan nilai dominan yang diterima begitu saja (taken for granted) (Burton, 2007: 17). Penjelasannya ialah tentang cara-cara berbagai aspek media yang secara nyata memberikan kontribusi terhadap keberlangsungan berbagai kepercayaan dan nilai tersebut tanpa dipertanyakan. Sebagai contoh, banyak materi media menyiratkan pentingnya suatu peristiwa yang disuguhkan kepada penonton, dan materi itu sekaligus mitos yang diberikan kepada penonton.
Lebih jauh lagi Burton (2007: 72) menyatakan “istilah ideologi mendeskripsikan suatu perangkat koheren ide dan nilai yang mengungkapkan pandangan tentang dunia sosial, ekonomi, dan politik, yang mempertanyakan bagaimana keadaan dunia sekarang dan bagaimana dunia itu seharusnya. Istilah ini juga merepresentasikan ide tentang hubungan kekuasaan dalam masyarakat, siapa yang memiliki kekuasaan, macam apa kekuasaan itu, siapa seharusnya yang memiliki kekuasaan tersebut”.
Sebagai konsep ideologi telah digarap ulang dan diinterpretasikan oleh orang-orang yang berasal dari berbagai disiplin ilmu.  Hal yang lazim untuk membicarakan ideologi dominan, atau pandangan yang dominan tentang nilai-nilai kunci dalam struktur sosial, nilai-nilai yang menguntungkan orang-orang yang menjalankan sistem masyarakat. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Marx bahwa “ide-ide tentang kelas yang berkuasa dalam setiap masa merupakan ide-ide yang berkuasa….” (Eriyanto, 2006: 17). Ideologi hadir dalam setiap pembicaraan kita, semua komunikasi kita, semua media. Makna-makna yang mungkin kita dapatkan dari analisis tentang teks-teks media cenderung ideologis.
Sementara hegemoni adalah “tentang cara menerapkan kekuasaan ideologi yang tidak terlihat. Hegemoni adalah tentang proses-proses yang melaluinya seperangkat ide milik satu kelompok sosial menjadi dominan dalam suatu masyarakat”. (Burton, 2007: 73). Hegemoni merupakan suatu usaha tentang proses di mana terdapat perjuangan atau bentuk aksi untuk mencapai dominasi atau superioritas di antara kelompok-kelompok lainnya. Istilah hegemoni diperkenalkan oleh Gramci untuk mendeskripsikan persoalan perjuangan kelas dan berkaitan dengan sistem budaya. Hegemoni adalah tentang perjuangan untuk mendapatkan dominasi di antara wacana-wacana ini, untuk mendapatkan asumsi tentang kekuasaan.
Hegemoni menurut Gramci (1986) dalam Barker (2007: 82-83) ialah proses penciptaan, perawatan, dan reproduksi perangkat makna dan praktik yang otoritatif. Hegemoni diperoleh lewat perebutan, bukan pemberian, hegemoni juga terus menerus diperjuangkan dan dinegoisasikan berulang-ulang. Hegemoni di media bukan dianggap sebagai hasil dari intervensi langsung pemilik, ideologi sebagai hasil dari sikap-sikap dan praktik kerja serta budaya. Maksudnya, ideologi adalah peta-peta makna yang meski seolah-olah tampak seperti kebenaran universal, ia merupakan pemahaman-pemahaman yang secara hitoris bersifat spesipik, yang menyelubungi dan melanggengkan kekuasaan. Lebih jelasnya gagasan yang berkuasa adalah gagasan milik kelas penguasa.
Pandangan Althusser, ideologi ada dalam struktur masyarakat itu sendiri  muncul dari praktik aktual yang dilakukan oleh institusi dalam masyarakat. Kesimpulan logis dari teorinya adalah bahwa tidak ada cara untuk lari dari ideologi. Pengalaman selalu bermuatan ideologi (ideologically loaded), maka satu-satunya pemahaman yang bisa kita lakukan adalah memahami diri sendiri, relasi sosial dan pengalaman sosial kita yang di dalamnya dipraktekkan ideologi dominan (Fiske, 2004: 245). Penjelasanya ialah apa yang kemudian tampak terjadi di luar ideologi, kenyataannya terjadi di dalam ideologi. Jadi, apa yang benar-benar terjadi dalam ideologi, nampak terjadi di luar ideologi. Sebab itu, mereka yang berada dalam ideologi percaya bahwa diri mereka, menurut definisi, berada di luar ideologi. Salah satu efek ideologi adalah delegasi karakter ideologis atas ideologi melalui ideologi: ideologi tak pernah berujar ‘Saya ideologis’. Dalam posisi ini, sama dikatakan bahwa tidak ada sesuatu pun yang berada di luar ideologi (bagi diri sendiri), atau pada saat yang sama, tidak ada sesuatu pun yang tidak berada di luar ideologi (bagi ilmu dan realitas).




  III.     METODOLOGI
Dalam semiotik, segala sesuatu yang dapat diamati atau dibuat dapat teramati, mengacu pada hal yang dirujuknya, dan dapat diinterpretasikan adalah tanda. Benda, peristiwa atau kebiasaan yang dapat memberikan hubungan segitiga dengan sebuah ground, sebuah denotatum, dan dengan sebuah interpretannya adalah tanda. Sebuah bendera kecil, isyarat mode, memerahnya wajah, suatu preferensi, letak tertentu bintang, sebuah sikap, perangko terbalik, setangkai bunga, rambut uban, diam membisu, gagap, meludah, intensitas, kecepatan, kesabaran, kegilaan, kekhawatiran, kelengahan, dapat dikatakan tanda asal memenuhi ciri-ciri untuk disebut tanda (Zoest, 1996: 18).
Fungsi tanda (sign) adalah membangkitkan makna, karena tanda selalu dapat dipersepsi oleh perasaan (sense) dan pikiran (reason). Dengan menggunakan akal sehatnya, seseorang biasanya menghubungkan sebuah tanda pada rujukannya (reference) untuk menemukan makna tanda itu (Noth, 1990: 79-92). Tokoh yang dianggap melahirkan pendekatan ini adalah seorang ahli linguistik dari Swiss, Ferdinand de Saussure, serta seorang Filsuf Amerika, Charles Sanders Pierce. Kedua tokoh tersebut memiliki istilah dan konsep yang berbeda dalam beberapa hal, namun sama-sama menaruh perhatian pada tanda-tanda. Saussure menggunakan istilah semiologi untuk ilmu tentang tanda-tanda, yang ditulis dalam bukunya Lourse de linguistique generale yang diterbitkan oleh para muridnya setelah ia meninggal pada tahun 1913.
Sementara Pierce menggunakan istilah semiotik untuk ilmu tentang tanda tersebut. Menurut Saussure, semiologi merupakan ilmu yang mempelajari kehidupan tanda-tanda dalam masyarakat. Semiologi memberikan wawasan mengenai bagaimana tanda dibuat dan peraturan-peraturan yang mengatur tanda-tanda tersebut. Dalam menguraikan sistem tanda ini, Saussure menggunakan bahasa sebagai obyek penelitiannya (Piliang, 2008: 158).
Saussure sebagai seorang ahli bahasa lebih tertarik untuk mempelajari bahasa sehingga titik perhatiannya lebih kepada bagaimana cara tanda (dalam kasus ini adalah kata) berhubungan dengan tanda lainnya. Dengan demikian Saussure menitikberatkan perhatiannya pada tanda itu sendiri (Fiske, 2007: 47). Tanda menurut Saussure adalah satu obyek fisik yang sarat dengan berbagai makna. Realitas dari makna itu sendiri tidak menjadi titik perhatian pada model ini.
Menurut Pierce tanda yang pertama kali diserap oleh manusia adalah representamen. Representamen adalah sesuatu yang mewakili sesuatu. Dalam proses semiosis, representamen menunjuk pada hal yang diwakilinya yang disebut obyek. Jika obyek suatu representamen sudah diketahui oleh penerima tanda, maka ia memberikan tafsirannya. Proses penafsiran ini disebut interpretant atau sama dengan istilah Pierce untuk makna (meaning) dari sebuah tanda setelah ditafsirkan. Pierce mendefinisikan interpretant sebagai signifince, signification, atau interpretation (Piliang, 2008: 266-267).
Sekurang-kurangnya ada sembilan macam semiotik, salah satunya adalah semiotik yang dinyatakan oleh Roland Barthes. Menurut Roland Barthes dalam kajian semiotik dikenal istilah mitos. “Mitos secara etimologi adalah sebuah tipe pembicaraan atau wicara (a type of speech). Selanjutnya, mitos adalah suatu memahami mitos sebagai suatu objek, konsep atau gagasan; mitos merupakan mode pertandaan (a mode of significantion), suatu bentuk (a form)”. (Barthes, 2007: 295). Pemahaman lain tentang sudut pandang berkaitan dengan pandangan intelektual dan kritis yang diambil berkaitan dengan materi media ialah reprtesentasi.
Hall (1997) dalam Burton (2007: 133) mendeskripsikan tiga pendekatan terhadap representasi yang teringkas sebagai berikut:
a.     Reflektif, berkaitan dengan pandangan atau makna tentang representasi yang entah di mana “di luar sana” dalam masyarakat sosial kita.
b.     Intensional, perhatian utamanya menaruh terhadap pandangan kreator (sutradara) atau produser reresentasi tersebut.
c.     Konstruksionis, perhatian pandangan ini ialah terhadap bagaimana representasi dibuat melalui bahasa, termasuk kode-kode visual.
Dalam penelitian ini penulis mengunakan model semiotik yang dikemukakan oleh Roland Barthes (Sobur, 203: 63) yang membagi lima kode-kode narasi yang berlaku dalam suatu naskah realis. Lima kode yang ditinjau  Barthes, yaitu sebagai berikut:
a.     Kode hermeneutik atau kode teka-teki berkisar pada harapan pembaca untuk mendapatkan “kebenaran” bagi pertanyaan yang muncul dalam teks. Kode teka-teki merupakan unsur struktur yang utama dalam narasi tradisional. Di dalam narasi ada suatu kesinambungan antara pemunculan suatu peristiwa teka-teki dan penyelesaiannya di dalam cerita.
b.     Kode semantik atau kode konotatif menawarkan banyak sisi. Dalam proses pembacaan, pembaca menyusun tema suatu teks. Ia melihat bahwa konotasi kata atau frase tertentu dalam teks dapat dikelompokkan dengan konotasi kata atau frase yang mirip. Jika kita melihat suatu kumpulan satuan konotasi, kita menemukan suatu tema di dalam cerita. Jika sejumlah konotasi melekat pada suatu nama tertentu, kita dapat mengenali suatu tokoh dengan atribut tertentu. Perlu dicatat bahwa Barthes menganggap denotasi sebagai konotasi yang paling kuat dan paling “akhir”.
c.     Kode simbolik merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas bersifat struktural, atau tepatnya menurut konsep Barthes, pascastruktural. Hal ini didasarkan pada gagasan bahwa makna berasal dari beberapa oposisi biner atau pembedaan baik dalam taraf bunyi menjadi fonem dalam proses produksi wicara, maupun pada taraf oposisi psikoseksual yang melalui proses. Dalam suatu teks verbal, perlawanan yang bersifat simbolik seperti ini dapat dikodekan melalui istilah-istilah retoris seperti antitesis, yang merupakan hal yang istimewa dalam sistem Barthes.
d.     Kode proaretik atau kode tindakan/lakuan dianggapnya sebagai perlengkapan utama teks yang dibaca orang; artinya, antara lain, semua teks yang bersifat naratif. Jika Aristoteres dan Todorov hanya mencari adegan-adegan utama atau alur utama, secara teoretis Barthes melihat semua lakuan dapat dikodifikasi, dari terbukanya pintu sampai petualangan yang romantis. Pada praktiknya, ia menerapkan beberapa prinsip seleksi. Kita mengenal kode lakuan atau peristiwa karena kita dapat memahaminya. Pada kebanyakan fiksi, atau selalu mengharap lakuan di“isi” sampai lakuan utama menjadi perlengkapan utama suatu teks (seperti pemilihan ala Todorov).
e.     Kode gnomik atau kode kultural banyak jumlahnya. Kode ini merupakan acuan teks ke benda-benda yang sudah diketahui dan dikodifikasi oleh budaya menurut Barthes, realisme tradisional didefinisi oleh ke apa yang telah diketahui. Rumusan suatu budaya atau sub budaya adalah hal-hal kecil yang telah dikodifikasi yang di atasnya para penulis bertumpu.
Tujuan analisis Barthes ini, menurut Lecthe dalam Sobur (2003: 66) bukan hanya untuk membangun suatu sistem klasifikasi unsur-unsur narasi yang sangat formal, namun lebih banyak untuk menunjukkan bahwa tindakan yang paling masuk akal, rincian yang paling menyakinkan, atau teka-teki yang paling menarik, merupakan produk buatan dan bukan tiruan dari yang nyata. Barthes, seperti dipaparkan Cobley & Jansz dalam Alex Sobur (2003: 68), seringkali membahas fenomena keseharian yang luput dari perhatian. Barthes menghabiskan waktu untuk menguraikan dan menunjukkan bahwa konotasi yang terkandung dalam mitologi-mitologi tersebut biasanya merupakan hasil konstruksi yang cermat.
Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca (the reader). Baginya, konotasi walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Secara panjang lebar, Barthes mengulas apa yang sering disebut sebagai sistem pemaknaan tataran kedua, yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya. Sastra misalnya, merupakan contoh paling jelas sistem pemaknaan tataran kedua yang dibangun di atas bahasa sebagai sistem yang pertama. Sistem kedua ini oleh Barthes disebut dengan connotatif, yang di dalam Mythologies-nya secara tegas ia bedakan dari denotatif atau sistem pemaknaan tataran pertama. Melanjutkan studi Hjelmslev, Barthes menciptakan peta tentang bagaimana tanda bekerja Cobley & jansz (Sobur, 2003: 69).
gambar 1 sobur barthes
Peta Barthes di atas terlihat menunjukkan bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas: penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsur material: hanya jika kita mengenal tanda “singa”, barulah konotasi seperti harga diri, kegarangan, dan keberanian menjadi mungkin (Cobley & Jansz, dalam Sobur 2003: 69). Dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Sesungguhnya, inilah sumbangan Barthes yang sangat berarti bagi penyempurnaan semiologi Saussure, yang berhenti pada penandaan dalam tataran denotatif. Roland Barthes (Sobur, 2003: 68) membuat sebuah model sistematis dalam menganalisis makna dari tanda-tanda. Fokus Barthes lebih tertuju kepada gagasan tentang signifikasi dua tahap (two order of signification) seperti di bawah ini:
gambar 3 barthes sobur
Signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier (penanda) dan signified (petanda) di dalam sebuah tanda terhadap kualitas eksternal. Barthes menyebutnya dengan dengan denotasi, yaitu makna yang nyata dari tanda. Konotasi adalah istilah yang dipergunakan Barthes untuk menunjukkan signifikasi tahap kedua. Hal ini menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi reader serta nilai-nilai sosialnya. Konotasi mempunyai makna yang subjektif atau intersubjektif. Denotasi adalah apa yang digambarkan tanda terhadap sebuah objek, sedangkan konotasi adalah bagaimana menggambarkannya.
Pada signifikasi tahap kedua yang berhubungan dengan isi, tanda     bekerja melalui mitos (myth). Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam. Kita melihat keseluruhan tanda dalam sistem denotasi berfungsi menjadi penanda pada sistem konotasi atau sistem mitos (Berger, 2000: 15). Barthes dalam Piliang (2008: 226) menyatakan bahwa “dalam proses pengodean makna ke dalam bahan estetika posmodernisme, idiom-idiom estetik itu juga (dalam berbagai kedalaman) mengandung kode-kode (parody, pastiche, kitsch, camp, skizofrenik)”. Lima kode yang berhubungan dengan makna dan eskpresi atau idiom-idiom digambarkan sebagai berikut:
Matriks 1.
Lima Kode Barthes

KODE
MAKNA
EKSPRESI
Hermeneutika
- Efek provokatif
- Enigma
Parodi
Semantik
- Konotatif
- Feminim/maskulin
- Perversitas
- Norma/abnormal
- Pastiche
- Kitsch
- Camp
Simbolik
- Fragmen-fragmen makna
- Ketidakmungkinan makna
- Makna kontradiktif
Skizofrenik
Proairetik
- Naratif atau antinaratif
- Linear/sirkular
- Pastiche
- Kitsch
- Camp
Kultural
- Mitologis
- Ideologis
- Spiritual
- Moral
Pastiche

Sebagaimana yang dapat dilihat dari diagram di atas, kode yang lima (parody, pastiche, kitsch, camp, skizofrenik) dapat diekspresikan melalui berbagai konsep dan idiom estetik posmodernisme. Meskipun demikian, hal ini tidak berarti, bahwa idiom tertentu, akan mengacu secara stabil pada satu kode tertentu, akan tetapi ia (kode) bisa mengandung beberapa kode sekaligus secara dinamis. Misalnya pastiche dapat mengandung kode semantik, proairetik dan kultural sekaligus, dan juga sebaliknya. Kelenturan relasi pertandaan dan kode semacam ini sekaligus menggambarkan seni sebagai suatu karya terbuka (open work) yang membuka pintu lebar bagi kombinasi dialog dan permainan tanda, kode dan idiom yang tidak terbatas.
Pengertian pastiche didefinisikan sebagai “…. karya sastra yang disusun dari elemen-elemen yang dipinjam dari berbagai penulis lain atau dari penulis tertentu di masa lalu”. Parody di definiskan Hutcheon sebagai “…satu bentuk imitasi, akan tetapi imitasi yang dicirikan oleh kecenderungan ironik (parodi adalah) pengulangan yang dilengkapi dengan ruang kritik, yang mengungkapkan perbedaan daripada kesamaan”. Kitsch diistilahkan Jean baudrillard sebagai “…simulasi, kopi (an) atau stereotip sebagai pemiskinan kualitas pertandaan (signification) yang sesungguhnya, sebagai proses melimpah ruahnya tanda-tanda (sign), referensi alegorik, atau konotasi-konotasi perbedaan. Istilah camp adalah “satu idiom estetik, yang meskipun sering diperbincangkan, namum masih menimbulkan pengertian yang kontradiktif, di satu pihak diasosiasikan dengan pembentukan makna, di pihak lain, ia justeru diasosiasikan dengan kemiskinan makna”. Skizofrenia adalah istilah “sebuah psikoanalisis untuk semua kata atau penenda dapat digunakan menyatakan satu konsep atau petanda. Dengan perkataan lain, konsep atau petanda tidak dikaitkan dengan satu penanda dengan cara yang stabil, dengan demikian, persimpangsiuran kata atau penanda untuk menyatakan satu konsep dimungkinkan”. (Piliang, 2008: 187-204).
Miller (2005: 54) mendefinisikan penelitian kualitatif “sebagai tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan pada manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahannya. Pada komponen tutur menguatkan pernyataan tersebut”.
Penelitian ini menggunakan metode analisis semiotik terhadap objek penelitiannya yaitu teks (wicara), baik dialog maupun audio-visual film. Tidak seperti analisis isi konvensional yang secara tipikal difokuskan pada muatan isi teks film yang manifest, analisis semiotik menekankan perhatian mengenai lambang-lambang atau tanda yang digunakan dari semua isi pesan (teks), termasuk cara pengambilan gambar (frame), pencahayaan, tata artistik, tata suara, skenario  maupun istilah-istilah yang digunakannya dalam produksi film, serta ketelibatan ideologi sang komunikator dimana dalam berkesenian film, sutradara ialah orang yang bertanggungjawab terhadap kualitas film.
Sesuai pernyataan  Sudibyo, Hamad, Qodari (2001) dalam Sobur (2006: 117) bahwa ”pada dasarnya, analisis semiotik memang merupakan sebuah ikhtiar untuk merasakan sesuatu yang “aneh” – sesuatu yang dipertanyakan lebih lanjut – ketika kita membaca atau mendengar suatu naskah atau narasi”. Analisisnya bersifat paradigmatik, dalam arti berupaya menemukan makna termasuk dari hal-hal yang tersembunyi di balik sebuah teks.
Sesuai pemikiran van Zoest (1991) dalam Sobur (2006: 121),  analisis semiotik lebih menekankan perhatian mengenai apa yang disebut lambang-lambang yang mengalami “retak teks”. Maksud “retak teks “ disini adalah bagian (kata, istilah, kalimat, paragraph) dari teks yang ingin dipertanyakan lebih lanjut dicari tahu artinya atau maknanya. Fiske dalam Sobur (2006: 122) menyatakan bahwa semiotik tidak dipusatkan pada transmisi pesan, melainkan pada penurunan dan pertukaran makna. Penekanan disini bukan pada tahapan proses, melainkan teks dan interaksinya dalam memproduksi dan menerima suatu kultur atau budaya; difokuskan pada peran komunikasi dalam memantapkan dan memelihara nilai-nilai dan bagaimana nilai-nilai tersebut memungkinkan komunikasi memiliki makna.
Pendapat Fiske dalam Sobur (2006: 122) tentang “penggunaan metode semiotik pada penelitian yang berkaitan dengan pesan media massa sebenarnya tidaklah berlebihan. Pada masyarakat modern yang salah satunya diindikasikan pada masyarakat industri, fenomena media massa sebagai sarana komunikasi sekaligus ciri masyarakat tersebut menjadi hal yang tidak terelakkan. Setiap hari masyarakat selalu dijejali pesan-pesan media”.



  IV.     HASIL ANALISIS
a.     Film Sang Penari
1.     Perempuan sebagai Penjaga Budaya
Ronggeng dalam masyarakat Dawuan merupakan bentuk titisan dan sumber kehidupan. Kehidupan dalam total kosmologi alam, dimana sumber pertanian, kesehatan, sosial, dan bentuk-bentuk kegiatan masyarakat lainnya, perempuan dalam hal ini menjadi sumber dan denyut nadi kosmologi alam. Ronggeng bukan sekedar penari titisan dari kakek moyang masyarakat Dawuan tetapi sebagai perempuan yang disucikan dan sekaligus hina dina, perempuan peronggeng ialah dua sisi kemapanan dalam menjaga budaya.
2.     Perempuan Sebagai Simbol Perlawanan
Kedudukan Ronggeng sebagai representasi kekuasaan sosial dan budaya menempatkan ronggeng sebagai sosok terpuji dalam komunitasnya. Terdapat semacam kebanggaan dan prestasi yang tidak bisa diukur dengan materi. Ronggeng sebagai sosok perempuan sekaligus representasi atas perlawanan terhadap hegemoni laki-laki dalam dominasi seks dimana dimata laki-laki penduduk Paruk Dawuan, ronggeng tak ubahnya sebagai pelacur yang berkedok dengan tarian eksotis yang dapat memberikan kesejahteraan hidup dan keluarganya.
3.     Perempuan Sebagai Subjek dan Objek Seks
Perempuan dalam perspektif kekuasaan negara yang terwakili atas TNI sebagai alat negara dalam menanamkan kekuasaannya ditahun 60-an menjadikan perempuan sebagai sebuah objek seksual dalam mencengkrakan hegemoninya di masyarakat. Subjek seksual tergambarkan sebagai kekuatan negara terhadap keberadaan dan posisi perempuan dalam bingkai penanaman ideologi pancasila dalam memberangus ideologi komunisme melalui serangkaian aktivitas seksual, dimana posisi perempuan ialah sebagai subjek seksualitas yang diarahkan oleh alat negara yang kemudian melahirkan stigma objek seksualitas sekaligus.
4.     Perempuan Dalam Kekuasaan Negara
Kekuasaan negera menempatkan kredibiltas perempuan dalam dinamika pembangunan pada level terendah, dimana perempuan hanya dijadikan problematika dalam menyusun kekuasaan Orde Baru, penekanan dan pengopresian terhadap perempuan dilekatkannya agen komunisme sebagai penghambat dalam pembangunan. Komunisme merupakan senjata paling ampuh untuk menyingkirkan orang-orang dan kelompok masyarakat yang tidak disukai dan sebagai penghambat, halangan dan rintangan ideologi yang berkuasa.
b.     Film Perempuan Punya Cerita
1.     Cerita Perempuan Pulau Seribu
Bidan merupakan representasi atas alat negara dalam menanamkan ideologi kekuasaan negara dalam bidang kesehatan. Bidan merupakan akar rumput kekuasaan negara yang riil terhadap masyarakat. Namun Bidan ,,,,merupakan satu dari kesekian ribu, bahkan jutaan penduduk negara Indonesia ini yang kemudian menggugat kekuasaan negara yang telah memperlakukan perempuan sebagai komoditas seksualitas yang bisa ditukar dengan materi. Dimana korban-korban seksualitas kaum perempuan yang telah dicengkram kaum laki-laki harus berhadapan dengan kematian.
2.     Cerita Virginitas Kota Pelajar
Keperawanan merupakan representasi budaya jawa yang sangat sacral, dimana nilai keperawanan merupakan citra dan sekaligus sumber tatanan nilai dalam masyarakat Jogjakarta yang masih berpegang teguh pada nilai-nilai luhur budaya. Hegemoni negara dalam pencapaian  target pembangunan menjadikan sekelompok remaja tergerus dari akar budaya yang membesarkannya. Sebuah representasi perlawanan pelajar atas kekerasan negara dalam bidang pendidikan. Jogjakarta merupakan representasi dari Indonesia atau disebut dengan Indonesia mini menggugat ketidak adilan negara dalam proses pembangunan.
3.     Cerita Ibu Penjaga Toilet Diskotik
Sosok perempuan lugu dalam cerita ini merupakan simbol perlawanan perempuan terhadap kekuasaan negara dalam kebijakan pekerja perempuan. Sosok perempuan sederhana yang berjuang mempertahankan anak kandungnya agar tidak menjadi perempuan penghibur yang diculik sekelompok sindikat pencari TKI illegal yang bebas berkeliaran sebagai akibat kebijakan pemerintah yang terlalu longgar. Kebijakan pengiriman TKW yang dilakukan oleh negara hanya sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaannya dalam percaturan pergaulan bangsa-bangsa di dunia, yang mengorbankan perempuan sebagai pihak yang selalu dirugikan.
4.     Cerita Perempuan HIV AIDS
Representasi perempuan bernama ,,,,, ialah bentuk nyata perlawanan seorang perempuan penderita HIV AIDS terhadap sosial masyarakat. Sebuah kenyataan hidup yang ditolak sebagai bagian dari keluarga, lingkungan dan masyarakatnya, bahkan negara sekalipun tidak mampu untuk mengakuinya sebagai warga negara. Sebuah kekerasan dalam rana pengakuan dan eksistensi diri yang sulit diraih oleh seorang penderita penyakit menular.


    V.     PEMBAHASAN DAN DISKUSI
a.     Film Sang Penari
Dalam konteks semiotika Barthes, film Sang Penari merupakan cerita yang diangkat dari novel Ronggeng Dukuh Paruk merupakan sosok perempuan sebagai representasi perlawanan dalam semua aspek kehidupan. Pemaknaan perempuan dalam film ini secara kontinu terus berproses dalam mencari jati dirinya. Sebagai sebuah tingkatan dalam proses produksi makna, Srintil merupakan pemaknaan terhadap konsekuensi hidup dalam budaya ronggeng sebagai seorang penerus tarian dan kesenian yang diagung-agungkan dalam sistem masyarakat Paruk.
Bahasa “Ronggeng” pada dasarnya meminjamkan dirinya, struktur, distorsi makna dan lain-lain, kepada sebuah kesepakatan masyarakat yang memaknai ronggeng secara menyeluruh dari berbagai perspektifnya masing-masing. Konsep ronggeng bersifat abstrak, tidak nyata, konsep tersebut meminjamkan dirinya kepada berbagai kkemungkinan sosial budaya masyarakat, kemungkinan ronggeng sengaja menjual diri, kemungkinan ronggeng menjual erotisme tarian, kemungkinan ronggeng sengaja menjual kesakralan upacara, kemungkinan ronggeng menjual seksualitas, kemungkinan ronggeng menjual kelas sosial dan kemunginan lainnya. Artinya, bahasa “Ronggeng” yang melekat pada dirinya selalu disertai akan kepemilikan, kepemilikan totalitas ronggeng itu sendiri, sebagai kepemilikan diri, masyarakat dan negara, yang kemudian distrukturkan dalam pengorganisasian masyarakat yang bersifat kepantasan.
Makna “Ronggeng” diatas bereferensi atas sebuah tafsir “kepantasan” sosial, secara otomastis bersifat “idiologis”. Dalam kepantasan secara terbuka makna yang ditafsirkan berdasarkan kepantasan melahirkan penawaran makna yang bersifat terbuka karena berbagai kemungkinan. Proses ini mengupayakan sebuah bentuk pengejahwantahan ronggeng pada wilayah idiologis, sebuah konstruk atas pemaknaan yang disepakati oleh sistem sosial yang lainnya, baik dalam konteks pendidikan, ekonomi, strata sosial dan lain-lain.
Bagi tokoh Srintil, ronggeng adalah bentuk pengejahwantahan dan sekaligus perwujudan serangkaian penanda, petanda dan melahirkan tanda. Ronggeng merupakan penada jati diri sosial, ia kemudian melahirkan petanda kelas sosial yang lebih tinggi dari sebelumnya. Petanda ronggeng ialah identitas diri sekaligus eksistensi diri Srintil sebagai seorang anak gadis yang dilahirkan oleh sepasang suami isteri yang telah dituduh sebagai pembunuh “Ronggeng Kebanggaan” masyarakat. Sehingga seluruh bencana yang menimpa, terutama kekeringan, yang berakibat fatal pada sector pertanian, bencana angin kecang dan sebagainya ditimpakan akibat atas kesalahan orang tua Srintil yang telah membunuh sang penari ronggeng. Srintil muncul sebagai seorang penari ronggeng atas keinginan diri untuk menebus kesalahan orang tuanya. Sebuah dendam dan sekaligus “petanda” atas perlawanan terhadap sanksi sosial yang dideritanya selala bertahun-tahun. Ia berusaha meraih tingkat sosialnya sebagai sebuah penebusan dosa.
Srintil dalam proses pembentukan makna ialah tanda atas perlawanan terhadap semua perbuatan orang tuanya. Dimana sistem sosial masyarakat yang begitu kokoh memberikan stigma sebagai sosok pembawa malapetaka dijadikan sebagai senjata untuk melawan semua sistem tersebut. Perjuangan Srintil ialah melalui aib yang telah dideritanya bertahun-tahun dalam hidup yang dikucilkan dari masyarakatnya. Ronggeng dalam hal ini dijadikan sebagai Penada-Petanda dan Tanda sekaligus namun dalam konteks yang berbeda sebagaimana penjelasan diatas dan sekaligus sebagai jembatan denotasi tanda dan konotasi tanda.
Dalam penjabaran konotasi perlawanan “Ronggeng” dipicu dengan perlawanan atas beberapa referen tanda yang ditujukan kepada konteks kekuasaan dan politik yang terjadi pada masanya. Srintil sebagai perempuan penari dan sekaligus sebagai agen yang melahirkan perubahan sosial. Ia dijadikan alat oleh kaum komunis melalui kesenian tari untuk menyusun kekuatan dalam rangka membentuk masyarakat yang melek politik oleh kaum komunis. Posisi srintil dan kelompok keseniannya membawa nama dusun Paruk yang tidak terkenal mendadak menjadi perbincangan umum. Posisi inilah yang kemudian membawa seluruh dusun dalam penguasaan politik Orde Baru yang menggunakan aparaturnya untuk pelangengan kekuasaan. TNI hadir dalam rangka membasmi bibit-bibit komunis yang ditandakan sebagai kaum “merah”, mengacu kepada bendera partai komunis yang berwarna merah.
Kaum merah ialah perwujudan tanda yang dilahirkan sebagai petanda dan penanda untuk simpatisan dari partai komunis. Negara melalui politik Orde Baru berbuat represif terhadap keberadaan mereka. seni dan kesenian terlepas dari idiologi komunis, karena budaya dan seni dilahirkan jauh sebelum peradaban komunis lahir di Indonesia. Pembantaian dan penangkapan seniman ronggeng dalam film ini ialah bentuk penghancuran peradaban itu sendiri yang secara struktur dihadirkan dan dihadapankan oleh pemerintah sebagai sebuah momok yang akan menghambat keberlangsungan ideologi Orde Baru. Proses penghancuran kesenian dengan berkedok komunis inilah yang sebenarnya melahirkan titik runtuhnya masyarakat terjerabut dari budaya mereka sendiri, yang kemudian dimunculkannya kesenian-kesenian modern yang dibawa oleh aparat negara dalam memberangus identitas bangsa.
b.     Film Perempuan Punya Cerita
1.     Pemaknaan Bidan
Bidan adalah bentuk Penanda yang diberikan kepada oknum kesehatan pemerintah yang berjuang sebagai pelayan masyarakat di tingkat bawah. Keberadaan bidan ialah bentuk Petanda atas terjaminnya kesehatan masyarakat disekitarnya. Justeru sosok Lastri seorang bidan yang menjadi Tanda atas perlawanan dirinya sebagai aparatur negara terhadap pusat kekuasaan negara dan mitra kerja apartur negara lainnya. Lastri sebagai seorang perempuan gelisah dan berusaha untuk memupuk jiwa perempuan dalam melawan dominasi kekuasaan negara, dimana bentuk-bentuk pelanggaran norma yang terberat dialami perepuan hanya diselesaikan dengan materi. Lastri melihat begitu kokohnya kekuasaan dan laki-laki yang berada di dalamnya menlingkari perempuan. Ia sudah muak melayani pengguguran kandungan (aborsi) di rumah tempatnya bekerja sebagai bidan pulau.
Perlawanannya memuncak ketika orang yang telah dianggap sebagai adiknya sendiri, yang mengalami cacat mental justeru hamil diperkosa beramai-ramai oleh pemuda desa. Aparat hukum sebagai representasi pemerintah pun bahkan hanya menyelesaikan persoalan ini hanya dengan imbalan materi. Ia putus asa ketika perjuangannya melawan ketidakadilan aparat negara berimbas pada surat mutasi yang diterimanya. Lastri menjadi simbol perlawanan terhadap negara dan sekaligus korban dan bagian dari hegemoni negara dalam memandang perempuan.
2.     Pemaknaan Keperawanan
Perjuangan seorang pelajar remaja puteri bernama Safina dalam mempertahankan citra diri sebagai seorang muslim yang hidup dalam budaya Jawa yang kental untuk mempertahankan keperawanan. Safina merupakan Penanda atas budaya Jawa (Jogjakarta) dinama kota pelajar ialah sebagai Petanda atas prestasi siswa dalam pendidikan. Namun tanda atas proses pemaknaan budaya itu lahir atas “keperawanan’ menjadi referen-referen yang menyertai moral di dalam pendidikan.
Proses produksi makna keperawanan ini muncul diakibatkan oleh penanda dan petanda yang menyertainya. Konsep keperawanan merupakan tanda denotasi dan sekaligus konotasi terhadap persoalan keberhasilan pendidikan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta moral di dalamnya. Kota Pelajar yang disematkan kepada Jogjakarta merupakan representasi Indonesia (Indonesia Mini). Hal ini menunjukan atas keterwakilan moral remaja dan pelajara di Indonesia. Ada semacam kritik yang mendalam dalam bingkai pendidikan kita yakni dala rangkan menyusun tujuan belajar itu sendiri. Di sini kita tidak membahas mitos “keperawanan” tetapi lebih menekankan pada representasi atas moral pelajar Indonesia.
Dimana lembaga pendidikan tidak mampu lagi mejaga gawang peradaban bangsa ini dalam rangka menegakan tataran moral, nilai-nilai, religiusitas, dan hukum sosial. Pada ranah moral pelajar, hampir diseluruh Indonesia tawuran terlihat jelas memalui media televisi, bahkan di kota kecil sekalipun di negeri ini tawuran pelajar terjadi tanpa ada yang mau mencegahnya. Masyarakat dan aparat kepolisian terkesan membiarkan peristiwa tawuran di lingkungan mereka.
3.     Pemaknaan TKW
Penjaga toilet sebuah diskotik menunjukan Cici sebagai Penanda atas ketidakmampuan secara ekonomis, terlebih lagi perempuan penghibur sering menyarankan agar ia menjadi PSK saja yang berpenghasilan besar. Petanda diperoleh dari proses penceritaan ini ialah bentuk musik dangdut yang seronok menampilkan ukuran dada dan pantat perempuan sebagai ekploitasi diskotik. Cici merupakan tanda denotatif dan sekaligus tanda konotatif terhadap kebijakan pemerintah yang telah mengantarkan anak gadisnya terjual oleh sindikat TKW yang bebas berkeliaran di negara ini. Potret kejahatan negara dalam mengeksploitasi perempuan dalam segala bidang. Ia berjuang untuk kembali merebut anak gadisnya dari cengkraman kekuatan kapialis asing. Ia membongkar penyelewengan aparatur negara yang memanipulasi surat-surat, dari pembuatan KTP, Paspor sampai oknum-oknum terkait dalam pengiriman TKW keluar negeri.
Dalam hal ini negara sebenarnya menjadi dasar atas kekerasa yang dialami perempuan. kekerasan bukan hanya terhadap seksualitas yang dialami Saroh anaknya oleh bapak tirinya, kekerasan yang dialkukan oleh oknum para pencari TKW dengan segala intimidasi yang diterimanya, kekerasan terhadap kebijakan dan undang-undang yang tidak berpihak kepada dirinya menjadikan perempuan dinegeri ini menjadi komoditas yang bisa dikirim kemanapun, bahkan tidak jarang kasus-kasus ketenagakerjaan tidak pernah memihak kepada perempuan.
4.     Pemaknaan HIV-AIDS
Keturunan (warga etnis cina) adalah Penanda atas sosial ibu rumah tangga beranak satu ini yang tertular oleh virus mematikan. Petanda yang muncul dari referen cerita ialah Narkotika, ada semacam diskriminasi etnis dalam perwujudan kronologisnya, semacam tuduhan atas kelas tertentu di negeri ini yang ditopang dengan amburadulnya kebijakan pemerintah dalam bidang kesehatan. Tanda denotasi yang dilahirkan dari hal tersebut ialah inveski HIV-AIDS. Sebagai perempuan yang terjangkiti oleh virus mematikan tersebut yang sekaligus penanda konotatif dilahirkan atas serangkaiannya, membuat perempuan muda ini terusir dari rumah, ia diusir dan dipisahkan dari anaknya karena penyakit yang dideritanya akan menulari. Ia bahkan tidak dilayani di rumah sakit pemerintah dan hanya mengandalkan obat-obatan alami sebagai pemberian orang lain. Kehadiran negara menjadi semacam ancaman bagi perempuan ini, karena ia tidak berguna bagi negara maka negara tidak mengakui dirinya sebagai warna negara yang berhak atas kesehatan.
Negara hanya hadir ketika etnis keturunan berjasa mengharumkan nama Indonesia dikancah internasional melalui prestasi olahraga, seperti Susi Susanti, Rudi Hartono, dan lain-lain. Tetapi ketika ada seorang warna negara yang dilahirkan di bumi Indonesia ini, ia bukan siapa-siapa, ia bukan apa-apa, ia hanya seorang ibu rumah tangga yang menderita HIV-AIDS akibat penularan dari suaminya yang mengkonsumsi narkoba, negara membiarkannya dan bahkan negara mengusirnya dari rumah sakit.
c.        Industri Film Nasional
Dari kedua analisa film diatas, perempuan dan isu-isu yang diproduksi dijadikan sebagai komoditas yang diperjualbelikan sebagai, isu perempuan terutama di Indonesia mempunyai keunikan tersendiri dalam mengatasi persoalan diri, lingkungan dan keterkungkungannya yang diakibatkan oleh negara. Film sebagai media propaganda untuk mengkampanyekan isu-isu besar perempuan tidak lepas dari persoalan kapitalisme asing, baik dalam segi modal, dan persaingan dalam mengambil hati pemerintah.
Perempuan dan Industri film dewasa ini makin marak dalam film-film yang menghadirkan komoditas erotisme dan eksploitasi tubuh perempuan. Sutradara Ifa Ifansyah dan Nia Dinata merujuk kepada kemandirian dalam memproduksi film dalam prinsip memilah dan memilih pemodal yang tidak menjadikan produksinya sebagai sebuah komoditas belaka, tetapi ada spirit dan semangat kampanye dalam rangka menyuarakan hak-hak dan suara perempuan di negeri ini. Semangat itulah yang menghadirkan motivasi perempuan sebagai tema utama dalam produksi karya mereka, walaupun dengan resiko dan kosekuensi film-film tersebut tidak laku dipasaran.
Dikotomi kian nyata ketika film-film Indonesia dengan tema yang berat ditinggalkan oleh penonton dan dianggap sebagai film festival yang memunculkan sentimen penonton di pasaran. Sementara film dengan tema yang mengikuti selera pasar dikatakan sebagai film komersil yang hanya memunculkan artis-artis seronok yang semata-mata dijadikan sebagai tontonan saja.

  VI.     KESIMPULAN
Industri film Indonesia terdapat dikotomi tema antara film festival dengan film komersil, namun masih ada sekelompok orang yang konsen terhadap persoalan perempuan dan film yang diproduksinya sebagai sebuah kritik terhadap pemerintah dan sekaligus kampanye dalam rangka mengurangi kekerasan terhadap perempuan yang dijadikan komoditas dan eksploitasi kekeuasaan kaum yang dominan, yakni kaum laki-laki dan segenap aparatur negara dalam rangka melanggengkan kekuasaan. Perempuan seharusnya dijadikan sebagai subjek dalam pembangunan, ia harus diberikan keleluasaan dalam menggerakan segi-segi dan lini pembangunan.
Perempuan bukan dijadikan sebagai objek atas kebijakan ketenagakerjaan dan produk-produk aturan dan undang-undang, serta perempuan sebagai penjaga moralitas masyarakat, sebagai agen perubahan dalam rangka mendobrak sekat kekuasaan, sebagai pelaku dan sekaligus sentral atas kondisi sosial masyarakat. Perempuan bukan lagi diposisikan pada tempat terendah, namun diposisikan sejajar dalam rangka meningkatkan taraf dan indeks pembangunan secara keseeluruhan.


VII.     DAFTAR PUSTAKA
Brooks, Ann, 2008, Posfeminisme dan Cultural Studies, Jalasutera: Yogyakarta.
Barker, Chris. 2000. Culture Studies Teori dan Praktik. Bentang: Yogyakarta.
Barthes, Roland, 2007. Petualangan Semiologi, Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Barthes, Roland, 2005. Membedah Mitos-Mitos Budaya Massa, Jalasutera: Yogyakarta.
Barthes, Roland, Stephen Heath, 2010, Imaji Musik Teks: Analisis Semiologi Atas Fotografi, Iklan, Film, Musik, Alkitab, Penulisan dan Pembacaan Serta Kritik Sastra, Jalasutera: Yogyakarta.
Eaglestone, Robert, 2003. Posmodernisme dan Penolakan Holocaust, Yogyakarta: Jendela.
Engineer, Asghar Ali, 2007. Pembebasan Perempuan, LKis: Yogyakarta.
Eriyanto, 2000. Analisis Framing: Konstruksi Ideologi dan Politik Media, LKIS, Yogjakarta.

Eriyanto, 2005. Analisis Wacana, Pengantar Analisis Tek Media, LKis: Yogyakarta

Fakih, Mansour, 2008. Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar: Yogyakarta.

Fiske, Jhon, 2007. Teori Komunikasi Massa, Yogyakarta: Jalasutra.

Graeme, Burton,  2008. Media dan Budaya Populer. Yogyakarta: Jalasutera.
McQuail, Denis, 2007. Mass Communication Theory, An Introduction, Third Edition, London: Thousand Oaks-New Delhi: Sage Publication.

Moleong, Lexy J, 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif, Rosda: Bandung.

Mulyana, Dedy, 2004. Metodologi Penelitian Kulaitatif, Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya, Rosda: Bandung.

Peransi D.A, 2005. Film Media Seni, FFTV-IKJ Press: Jakarta.

Tong, Rosemarie Putnam, 2008. Feminist Thought, Yogyakarta: Jalasutera.
Verdiansyah, Dani, 2005. Filsafat Ilmu Komunikasi, Suatu Pengantar, Index: Jakarta.

Yasraf Amir Piliang, 2005. Hipersemiotika, Tafsir Cultural studies Atas Matinya Makna, Yogyakarta: Jalasutera.
Yasraf Amir Piliang, 2005. Dunia yang Dilipat Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan, Yogyakarta: Jalasutera.
Yasraf Amir Piliang, 2000. Hiper-Realitas Kebudayaan, Yogyakarta: LKiS