REPRESENTASI PEREMPUAN DALAM INDUSTRI MEDIA FILM
INDONESIA (Analisis Semiotika Barthes Terhadap Film Feminis
“Sang Penari” dan “Perempuan Punya Cerita”)
Oleh:
Ahmad Toni, M. I. Kom
I. LATAR
BELAKANG
Festival film Indonesia (FFI)
dalam perkembangannya dewasa ini menampilkan sejumlah persoalan dalam berbagai
lini perfilman negara ini. Sebagai bentuk apresiasi dan representasi kualitas
dan kuantitats produksi fil nasional, FFI diharapkan dapat menjadi tolak ukur
dan titik tolak identitas pergaulan dalam berbangsa dan bernegara. Di sisi lain
FFI menjadi sebuah jembatan prestasi sineas Indonesia dalam berkarya,
berproduksi dan berkreativitas dalam seni film, baik dalam segi tea film,
konsep penyutradaraan, konsep teknis dan filosofinya.
Persoalan FFI memberikan nuansa
kecurigaan dan gugatan dari sejumlah insan perfilman, sambutan menteri
kebudayaan dan pariwisata Republik Indonesia dalam catalog film, “film
Indonesia dikategorikan sebagai karya seni budaya yang perlu dikembangkan, maka
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata sangat menaruh harapan agar perfilman
Indonesia dapat tumbuh menjadi industri budaya yang tangguh” (2006: 1).
Perfilman Indonesia ditekankan kearah industri pertahanan budaya, sebuah
perwujudan bahwa seni budaya dan elemen yang melatarbelakanginya digiring
kedalam ranah pemodalan dan kapitalisme.
Tema dan industri menjadi
pertautan kepentingan yang berbeda didalamnya, tema film Indonesia menjadi
semacam selera pasar yang dimotori oleh film-film impor, secara tidak langsung
selera film Indonesia menngikuti perkembangan film-film Hollywood. Industri
film Indonesia tidak mepunyai tema dasar dalam perkembangannya. Sebagai contoh,
Cina mengembangkan tema film yang didukung dengan budaya bela diri, India
dengan ciri khas identitasnya memajukan industri musik dan lagu dalam film yang
mereka garap. Sementara Indonesia hanya mengikuti selera pasar Hollywood yang
terkadang tidak didukung kebijakan yang menyertainya.
Persoalan tema, terutama tema
perempuan dewasa ini lebih banyak diproduksi sebagai tema yang menghadirkan
keberagaman persoalan perempuan Indonesia dalam industri perfilmannya yang kian
tidak bergerak dan terkesan berjalan ditempat. Banyak sineas Indonesia kemudian
berkarya atas kepentingan modal asing dalam rangka menyuarakan kritik sosialnya
melalui film yang diproduksi. Ada ketimpangan kebjikan yang dikeluarkan oleh
pemerintah dan kondisi riil sineas perfilman. Dalam hal ini apakah tema
perempuan menjadi representasi dalam industri film Indonesia.
II. KAJIAN
TEORITIS/KONSEP
A. Film Sebagai Media Massa
Proses
komunikasi massa pada intinya ialah proses penyampaian pesan dari komuikator
kepada komunikan. Teori komunikasi massa “merupakan salah satu proses
komunikasi yang berlangsung pada peringkat masyarakat luas, yang
identifikasinya ditentukan oleh ciri khas institusional. Pesan merupakan suatu
produk dan komoditi yang mempunyai nilai tukar, hubungan pengirim dan penerima
lebih banyak satu arah”. (Denis McQuail: 33). Film merupakan salah satu dari
media massa, film berperan sebagai sarana komunikasi yang digunakan untuk
penyebaran hiburan, menyajikan cerita, peristiwa, musik, drama dan sajian
teknis lainnya kepada masyarakat.
Karakteristik
film sebagai usaha bisnis pertunjukan dalam pasar sebenarnya belum mampu
mencakup segenap permasalahannya. Dalam sejarahnya film mempunyai tiga elemen
besar diantaranya:
1.
Pemanfaatan film sebagai alat propaganda. Film
ialah sebagai upaya pencapaian tujuan nasional dan masyarakat. Hal ini
berkaitan dengan pandangan yang menilai bahwa film memiliki jangkauan, realism,
pengaruh emosional, dan popularitas. Bauran pengembangan unsur pesan dengan
hiburan sebenarnya sudah lama diterapkan dalam kesusastraan dan drama (teater)
namun unsur film jauh lebih sempurna dibandingkan dengan teater dari segi
jangkauan penonton tanpa harus kehilangan kredibilitasnya.
2.
Munculnya beberapa aliran film diantaranya
drama, dokumenter, dokudrama dan lain-lain.
3.
Memunculkan aliran dokumentasi sosial. Di
samping itu, terdapat unsur-unsur ideologi dan propaganda yang terselubung
dalam suatu film yang berasal dari fenomena yang tampaknya tidak tergantung
pada ada atau tidaknya kebebasan masyarakat. Fenomena ini berakar dari
keinginan untuk merefleksikan kondisi masyarakat.
Dalam melihat
dan mengkaji isi media, banyak penelitian telah dilakukan dengan menggunakan
berbagai perspektif teoritis. Gans (1979) dan Gitlin (1980) mengelompokan pendekatan ini ke dalam beberapa
kategori, yaitu:
1.
Isi media merefleksikan realitas sosial dengan
sedikit atau tanpa distorsi. Pendekatan “mirror”
ini beranggapan bahwa apa yang disiarkan media merupakan refleksi akurat
tentang kenyataan sosial kepada audiens. Pendekatan “null effects”, juga beranggapan bahwa isi media menggambarkan
kenyataan, namun kenyataan di sini merupakan hasil kompromi antara yang menjual
informasi ke media dan yang membeli. Realitas kompromi ini kemudian menjadi
bagian refleksi atas realitas di luar dan menjadi bagian dari realitas media
itu sendiri.
2.
Isi media dipengaruhi oleh sosialisasi dan sikap
para pekerja media. Pendekatan “communicator
centered” ia mengatakan bahwa faktor psikologis pekerja media (seperti
profesionalisme, sikap politik, dan lainnya) membuat mereka memproduksi
realitas sosial dimana terdapat norma ikatan sosial, ide, atau perilaku yang
“berbeda” diasingkan. Sosialisasi ini berhubungan erat dengan latarbelakang
yang dimiliki oleh pelaku media.
3.
Isi media dipengaruhi oleh rutinitas isi media.
Pendekatan ini menyatakan bahwa isi media dipengaruhi oleh bagaimana para
pekerja media dan perusahaan mengorganisasikan diri mereka.
4.
Isi media dipengaruhi oleh institusi sosial dan
tekanan lainnya. Menurut pendekatan ini, faktor-faktor eksternal seperti
ekonomi, tekanan budaya dan audiens ikut menentukan isi.
5.
Isi merupakan fungsi dari posisi ideologi dan
fungsi mempertahankan status quo.
Pendekatan teori hegemoni mengatakan bahwa isi media dipengaruhi oleh ideologi
para pemilik kekuasaan di masyarakat.
Menurut Lang
(Severin dan Tankard: 2008: 264) “media massa memaksakan pada isu-isu tertentu.
Media massa membangun citra publik tentang figur-figur politik. Media massa
secara konstan menghadirkan objek-objek yang menunjukan apa yang hendaknya
dipertimbangkan, diketahui, dan dirasakan individu-individu dalam masyarakat”.
Pernyataan ini menunjukan adanya beberapa pengaruh sebagai terpaan pesan yang
dikemas media massa untuk mempengaruhi khalayak sebagai perubahan pemikiran
baik secara kognitif maupun behavior.
Aspek pengaruh
diakibatkan oleh pengirim pesan dan penerima pesan, dimana satu sama lainnya
terjadi proses pelimpahan dan pembagian makna dalam proses pesan komunikasi.
“Aspek pengalaman individual dengan pengalaman kolektif dalam segi pemakaian,
sejauh mana hubungan dengan sumber (pesan), posisi pengirim ditinjau dari sudut
penerima, dimensi interaktivitas pengirim dan penerima sebagai timbal balik
antara pengirim dan penerima” (Denis McQuail: 2000: 23).
Dalam
penghayatan pangaruh film terjadi proyeksi dan identifikasi. Menurut Parensi
(2005: 6) “proses identifikasi dinyatakan dalam proyeksi dan identifikasi optik,
penonton mengidentifikasi dirinya sebagai kameramen. Proyeksi dan identifikasi
emosional, dimana perpindahan ruang berlangsung secara logis dan bermotivasi.
Proyeksi dan identifikasi imajiner, penonton berada pada immajinatif
tokoh-tokoh yang terlibat dalam kejadian”.
B.
Proses Komunikasi dan Produksi Makna
Komunikasi dalam sistem masyarakat ialah bagian dari kehidupan yang tidak dapat dipisahkan dari
peradaban manusia. Kebiasaan manusia sebagai makhluk
sosial dalam berkomunikasi sendiri dipengaruhi oleh pengalaman
dan referensi yang dimilikinya. Setiap
individu dalam melakukan komunikasi mengacu pada dua hal. Pertama,
manusia memandang komunikasi sebagai proses transmisi
pesan-pesan (transmission of messages). Kedua, manusia memandang komunikasi sebagai suatu kegiatan produksi dan
pertukaran makna (production and exchange of meanings).
Model yang
diusulkan oleh Laswell guna
menjelaskan cara yang baik untuk menjelaskan
komunikasi adalah dengan pertanyaan berikut : “Who Says What In Which Chanel To Whom With What Effect. Paradigma Laswell menunjukkan bahwa komunikasi meliputi
lima unsur sebagai jawaban dari pertanyaan yang diajukan, yaitu: komunikator (communicator, source, sender),
pesan (message), media (channel, media), komunikasi (communicant,
communicatee, reciver, recepient), dan efek (effect, impact, influence)” (Severin dan
Tankard, 2005: 55). Pada dasarnya berdasarkan paradigma Laswell tersebut, komunikasi
adalah suatu proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui
media yang menimbulkan efek. Model ini
banyak diterapkan dalam komunikasi massa.
Dengan demikian, manusia ketika berkomunikasi
ialah, ia melakukan interaksi dengan sesama dan
lingkungannya,
dalam arti luas. Berbagai macam pengalaman yang dimiliki manusia, merupakan sikap berbagi rasa, ide dan gagasan. Proses tersebut
yang kemudian dinamakan sebagai pesan (massage). sebagaimana dikatakan oleh Onong Uchjana (2000: 312), bahwa “pesan adalah terdiri dari
dua aspek, yakni isi atau isi pesan (the
content of massage) dan lambang (symbol)
untuk mengekpresikannya”. Selanjutnya pesan
ditafsirkan oleh penerima dengan bedasarkan kerangka pengalaman yang telah
dimilikinya. Terdapatnya perbedaan budaya sangat dimungkinkan ditemukannya
perbedaan makna pesan. Pada hakikatnya komunikasi adalah merupakan
proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media yang
mempunyai efek tertentu. “Dalam bagian komunikasi perspektif psikologis ketika
seorang komunikator berniat menyampaikan suatu pesan kepada komunikan, maka
dalam dirinya terjadi suatu proses (encoding-decoding),
dalam primary proses, komunikasi merupakan proses penyampaian pikiran oleh
komunikator kepada komunikan dengan menggunakan suatu lambang (symbol) sebagai medianya” (Onong, 2000:
33).
Dalam
pandangan Fiske (2004: 2),
“pendapat ini digolongkannya pada aliran komunikasi sebagai proses transmisi
pesan. Dimana studi komunikasi bukan semata proses penyampaian pesan dari
komunikator kepada komunikan semata tetapi juga komunikasi sebagai proses dan
pertukaran makna yang disebutnya sebagai aliran semiotik”. Sesungguhnya studi
komunikasi sudah tidaklah murni lagi sebagai subjek karena di dalamnya terdapat
berbagai macam studi. Sementara itu, hal senada dikatakan David Sless bahwa
teori komunikasinya juga berangkat dari pendekatan semiotik. Pesan dalam proses
komunikasi bukanlah semata apa yang dikirimkan oleh sender kepada receiver.
Pesan dipandang sebagai teks dan memiliki cakupan yang sangat luas. Pesan tidak
saja terjadi ketika seseorang berdialog dengan orang lain, tetapi secara
tersembunyi seseorang telah dapat menyampaikan pesan melalui penampilan,
menulis, melukis, membuat film, novel, puisi atau hiburan merupakan bagian dari
pembuatan teks atau pesan (Fiske, 2004: 3).
David
Sless dalam bukunya mempergunakan istilah author agar bersinonim dengan
pengirim (sender), dan reader yang bersinonim dengan penerima (receiver)
serta teks yang bersinonim dengan pesan (massage). Sless mengasumsikan
komunikasi sebagai pemilahan antara pengirim teks dan penerima teks. Sless memberi
terminologi terhadap hal ini dengan istilah comunication as position.
Maksudnya bahwa dalam proses komunikasi, pengirim dan penerima pesan menempati
posisinya masing-masing. Posisi pengirim akan berbeda dengan posisi penerima.
Tatkala pengirim dan penerima pesan dihadapkan pada objek yang sama, maka belum
tentu menghasilkan pemahaman yang sama. Sless menganalogikan hal ini dengan
perbedaan antara author dengan reader terhadap gunung yang sama.
Gunung akan terlihat berbeda bila dipandang oleh author di selatan dan reader
di utara (Fiske, 2004: 35). Hal ini memberi implikasi adanya
keterlibatan budaya dalam memaknai sebuah objek atau teks.
Salah
satu bentuk tanda adalah bahasa. Secara sederhana Jalaluddin Rakhmat membedakan
bahasa menjadi dua, yaitu: bahasa sebagai pesan linguistik (yaitu pesan dalam
bentuk kata dan kalimat) dan bahasa sebagai pesan non-verbal yang meliputi
pesan paralinguistik (manusia mengucapkan kata-kata dan kalimat dengan cara
tertentu dan setiap cara berkata memberikan maksud tertentu dan pesan
ekstralinguistik (bahasa dalam bentuk simbol atau isyarat). Secara fungsional,
bahasa dipahami sebagai alat yang dimiliki untuk mengungkapkan ide dan makna.
Artinya, bahasa hanya dapat dipahami apabila ada konvensi di antara anggota
kelompok sosial yang menggunakannya. Kata-kata dimaknai secara arbitrer oleh
kelompok sosial, kemudian dikonvensikan dalam penggunaannya (Pradopo, 1995:
268-269).
Bahasa
mempunyai dua jenis pengertian yang perlu dipahami oleh para komunikator.
Pertama adalah pengertian denotatif, yang kedua pengertian konotatif. Perkataan
yang denotatif adalah yang mengandung makna sebagaimana tercantum dalam kamus (dictionary
meaning) dan diterima secara umum oleh kebanyakan orang yang sama
kebudayaannya dan bahasanya. Perkataan yang denotatif tidak menimbulkan
interpretasi yang berbeda pada komunikan ketika diterpa pesan-pesan komunikasi.
Sebaliknya apabila komunikator menggunakan kata-kata konotatif. Kata-kata
konotatif mengandung pengertian emosional atau evaluatif. Oleh karena itu dapat
menimbulkan interpretasi yang berbeda pada komunikan (Sobur, 2003: 45).
Berdasarkan penjelasan di atas, pikiran dan atau perasaan seseorang baru akan
diketahui dampaknya oleh orang lain apabila ditransmisikan dengan menggunakan
media primer tersebut, yakni lambang-lambang. Dengan perkataan lain, pesan (massage)
yang disampaikan oleh komunikator kepada komunikan terdiri atas isi (content)
dan lambang (symbol). Pesan yang dimaksudkan dalam penelitian ini
meliputi hal diatas dan bahasa dalam bentuk audio-visual dalam film. Mengingat
film merupakan teks “wicara” untuk menyampaikan pesan dengan menggunakan paduan
diantara keduanya.
Penelitian
ini menggunakan metode analisis semiotika, yaitu proses penggalian makna yang
berusaha menyingkap atau menjelaskan berbagai aspek intrinsik dari lambang
tertentu, arti dan bentuknya. Pendekatan semiotika lebih mengarah pada
pandangan tentang komunikasi sebagai production and exchange meanings.
Hal ini mengingat bahwa teks atau naskah itu merupakan struktur (sistem) tanda-tanda
yang bermakna. Tanda-tanda tersebut mempunyai makna sesuai dengan konvensi
ketandaan. Sejalan dengan pemikiran tersebut McFee mengungkapkan, pengalaman
budaya berperan sangat penting dalam proses kognitif selalu bersumber darinya.
Lebih lanjut Sutopo menambahkan, “dengan demikian pengalaman seseorang yang
merupakan akumulasi dari hasil interaksi dengan lingkungan hidupnya setiap hari
dalam masyarakat, lokasi geografisnya, latar belakang ekonomi dan politiknya,
keterlibatan religiusnya, sangat menentukan persepsinya terhadap suatu
kegiatan” (Sutopo, 2000: 181).
Pengalaman
budaya yang dimaksudkan ialah latar dan setting tempat kejadian dalam alur
film. Dimana peristiwa yang terdapat dalam film meliputi tempat (latar-tempat
kejadian) dan juga waktu (kapan-peristiwa terjadi). Dalam beberapa teori sastra
pengalaman budaya ditambahkan dengan setting budaya, artinya dimana kejadian
atau peristiwa tersebut dipengaruh dengan proses budaya yang sedang
berlangsung.
C.
Feminisme,
Ideologi dan Hegemoni
Sebuah paham
dan gerakan, feminisme banyak membuktikan inspirasi pemikiran dan tafsiran
terhadap posisi perempuan dalam bingkai sosial, agama, pembangunan negara dan
lain-lain. Banyak pandangan konstruksi kritis feminisme yang dikaitkan dengan
perspektif agama, kaum agamawan banyak dituntut perannya guna menuntaskan
permasalahan perempuan dan kedudukannya di masyarakat. Kultur partiarki lebih
dominan menopang tradisi peran dalam lingkungan, pengambilan keputusan, hak
ekonomi dan pelbagai posisi dan kondisinya. Feminisme menurut Fakih (2008: 144)
“digolongkan menjadi golongan liberalis, radikalis, marxis dan sosialis”.
Golongan liberalis berasumsi bahwa “kebebasan dan keadilan berakar pada
rasionalitas dan perempuan adalah makhluk yang rasional, golongan ini
menganggap perempuan irrasional disebabkan oleh keterbelakangan dan
ketidakmampuan kaum perempuan bersaing dengan laki-laki yakni dengan kebodohan
daan sikap perempuan yang memegang teguh nilai-nilai tradisional.
Feminisme
radikalis justeru melihat sikap dominasi kaum laki-laki yang memaksa perempuan
sebagai kaum teroprasikan. Bagi golongan ini, akar penindasan kaum perempuan
ialah dominasi kaum laki-laki, sikap patriarki menjadi hegemoni dan sekaligus
ideologi yang menganggap power
laki-laki sebagai kaum superior, laki-laki mencoba mereduksi hubungan gender
pada berbagai jenis perbedaan kodrati (berhubungan dengan pemahaman agama) dan
biologis. Paham Marxian beranggapan bahwa strukturalis, pembagian kerja dan
penempatan kaum perempuan sebagai pendidik anak dan hal ini menjadi urusan
publik. Pembagian kerja kaum perempuan dan laki-laki sebagai sebuah lingkup
pembagian kerja secara internasional dan bila kaum perempuan terlibat dalam
produktivitas kerja, perempuan diharuskan tidak menangani urusan rumah tangga.
Pendapat kaum
sosialis mencoba menggabungkan marxisme dan radikalis. Menurut Eisenstein dalam
Fakih (2008: 146) yang menyatakan bahwa “persamaan dialektika struktur kelas
dengan struktur hirarki seksual, yang selanjutnya dinamakan dengan teori
patriarki kapitalis, teori ini merupakan sintesis Marxisme dan radikalis. Teori
sosialis melihat, perempuan sebagai suatu kelas, dikarenakan penindasan
terhadap perempuan terjadi dimanapun”. Selanjutnya Eisenstien menyatakan bahwa
“ketidakadilan semata-mata akibat perbedaan dari biologis, tetapi lebih
disebabkan oleh penilaian dan anggapan “social
construction” terhadap perbedaan tersebut”.
Melalui
penjelasan diatas maka, peneliti memberikan ruang yang luas dalam memaknai
proses tanda dan makna yang terdapat dalam film “Jamila dan Sang Presiden”
dengan pendekatan teori feminisme sosialis, menginggat teori ini mencoba
mengkritisi berbagai persoalan yang menyangkut perempuan dalam bingkai yang
lebih luas, yakni mereduksi hubungan gender pada berbagai jenis perbedaan
kodrati (berhubungan dengan pemahaman agama), biologis dan strukturalis,
pembagian kerja dan penempatan kaum perempuan sebagai pendidik anak serta rumah
tangga. Evans (1997) menyoroti repesentasi gender dan perempuan, menurutnya,
awalnya adalah “keinginan untuk menunjukan bahwa perempuan juga punya peran
dalam budaya, khususnya seni dan sastra, sebagai reaksi atas penghilangan
perempuan dari jajaran penulis atau komunikatornya. “Tesis bahwa politik gender
memainkan peran sentral dalam proyek representasi” (Barker, 2007: 327). Hal ini
berkaitan dengan perhatian pada bermacam representasi tentang perempuan yang
telah dikonstruksi.
Perempuan di
media ditunjukan dengan adanya penggambaran yang konsisten dan unity tentang
perempuan yang dikomodifikasikan dan distereotipkan ke dalam politik hegemoni
citra biner, baik dan buruk. Krishnan dan Dighe menyatakan bahwa “dalam film
fiksi, laki-laki menjadi karakter utama jauh lebih sering dibandingkan
perempuan”. (Barker, 2007: 329). Perempuan distereotipkan menjadi yang
diidamkan dan menyimpang. Perempuan ideal adalah penyayang dan keibuan,
mendukung ambisi laki-laki tapi tidak punya ambisi untuk dirinya sendiri,
berkorban, empatik dan terpaku pada rumah. Perempuan sebagai anak atau isteri
yang pasif, menerima kontrol dari laki-laki dan mengabdi pada laki-laki.
Sementara perempuan menyimpang adalah perempuan yang mendominasi laki-laki dan
tidaak berada di rumah untuk mengurus keluarga. Karena ambisinya perempuan
memutus hubungan dengan keluarga, merusak keterikatan dan hubungannya dengan
laki-laki dan tidak cukup pengertian atau menerima.
Pada prinsipnya
posisi subjek perempuan adalah perspektif, atau kumpulan makna diskursif atau
wacana yang teregulasi dan meregulasi, yang digunakan untuk bisa memahami teks
atau wacana. Dengan kata lain, posisi subjek menunjuk pada subjek yang harus
kita identifikasi atau menempati supaya wacana perempuan menjadi bermakna.
Bordo (1993) dalam Tong (2008: 16) menyatakan bahwa “tubuh perempuan yang
tergenderkan karena perempuan bertubuh langsing. Kelangsingan perempuan adalah
kondisi ideal daya tarik perempuan kontemporer karena itu, perempuan lebih
rentan terkena gangguan makan demi wacana kelangsingan sebagai bentuk
representasi tubuh ideal”.
Kate Millet berpendapat
bahwa “seks adalah politis” (Rosmerie, 2008: 73). Sejauh pandangan mengenai
seks ditujukan pada paradigma kekuasaan. Kasta sosial mendahului bentuk
inegaliterianisme diantaranya ras, politik, ekonomi dan jika penerimaan
terhadap laki-laki sebagai hak sejak lahir. Karena kendali laki-laki di dunia
publik dan private terutama status, peran dan temperamen seksual.
Ideologi laki-laki yang
menekkankan peran maskulin yang dominan sedangkan perempuan mempunyai peran
subordinat (menerima). Hal ini dikonstruksi dari institusi akademi, agama dan
peran keluarga. Seksualitas bagi ideologi laki-laki ialah lokus kekuasaan
laki-laki yang merupakan tempat gender dan hubungan gender dikonstruksikan.
Ideologi laki-laki yang kemudian menciptakan pandangan terhadap perempuan
tertuang dalam aktivitas seksual, mendorong laki-laki untuk memperlakukan
perempuan sebagai warga negara kelas dua, bukan saja di dalam dunia pribadi di
dalam kamar tidur, melainkan juga di dalam dunia publik di tempat kerja dan
lingkungan, bersosial dan bernegara.
Prinsip operasi dan
teoritis yang menjadi ciri khas feminisme ialah hasil persimpangan feminisme
dengan wacana metanarasi-modernitas, contohnya Marxisme, ataupun wacana
posmodernis dan postrukturalis tentang posmodernitas. Metanarasi adalah “sebuah
cerita raksasa yang membantu kita
untuk menyusun orientasi kita di dalam dunia yang memberikan kepada kita arah
dan menjelaskah tentang narasi (gambaran masa depan) tentang kita”.
(Eaglestone, 2003: 61). Metanarasi juga menekankan kepada “whig” atau kemajuan (modernitas) pada gagasan bahwa ras manusia
menjadi semakin baik dengan melewati momen dan pada akhirnya ras manusia akan
menjadi sempurna.
Istilah
ideologi merujuk pada ide-ide tentang hakikat dan operasi hubungan kekuasaan
dalam budaya dan masyarakat. Lebih jauh lagi istilah ideologi merujuk pada
berbagai kepercayaan dan nilai dominan yang diterima begitu saja (taken for granted) (Burton, 2007: 17).
Penjelasannya ialah tentang cara-cara berbagai aspek media yang secara nyata
memberikan kontribusi terhadap keberlangsungan berbagai kepercayaan dan nilai
tersebut tanpa dipertanyakan. Sebagai contoh, banyak materi media menyiratkan
pentingnya suatu peristiwa yang disuguhkan kepada penonton, dan materi itu
sekaligus mitos yang diberikan kepada penonton.
Lebih jauh lagi
Burton (2007: 72) menyatakan “istilah ideologi mendeskripsikan suatu perangkat
koheren ide dan nilai yang mengungkapkan pandangan tentang dunia sosial,
ekonomi, dan politik, yang mempertanyakan bagaimana keadaan dunia sekarang dan
bagaimana dunia itu seharusnya. Istilah ini juga merepresentasikan ide tentang
hubungan kekuasaan dalam masyarakat, siapa yang memiliki kekuasaan, macam apa
kekuasaan itu, siapa seharusnya yang memiliki kekuasaan tersebut”.
Sebagai konsep
ideologi telah digarap ulang dan diinterpretasikan oleh orang-orang yang
berasal dari berbagai disiplin ilmu.
Hal yang lazim untuk membicarakan ideologi dominan, atau pandangan yang
dominan tentang nilai-nilai kunci dalam struktur sosial, nilai-nilai yang
menguntungkan orang-orang yang menjalankan sistem masyarakat. Sebagaimana yang
dinyatakan oleh Marx bahwa “ide-ide tentang kelas yang berkuasa dalam setiap
masa merupakan ide-ide yang berkuasa….” (Eriyanto, 2006: 17). Ideologi hadir
dalam setiap pembicaraan kita, semua komunikasi kita, semua media. Makna-makna
yang mungkin kita dapatkan dari analisis tentang teks-teks media cenderung
ideologis.
Sementara
hegemoni adalah “tentang cara menerapkan kekuasaan ideologi yang tidak
terlihat. Hegemoni adalah tentang proses-proses yang melaluinya seperangkat ide
milik satu kelompok sosial menjadi dominan dalam suatu masyarakat”. (Burton,
2007: 73). Hegemoni merupakan suatu usaha tentang proses di mana terdapat
perjuangan atau bentuk aksi untuk mencapai dominasi atau superioritas di antara
kelompok-kelompok lainnya. Istilah hegemoni diperkenalkan oleh Gramci untuk
mendeskripsikan persoalan perjuangan kelas dan berkaitan dengan sistem budaya.
Hegemoni adalah tentang perjuangan untuk mendapatkan dominasi di antara
wacana-wacana ini, untuk mendapatkan asumsi tentang kekuasaan.
Hegemoni
menurut Gramci (1986) dalam Barker (2007: 82-83) ialah proses penciptaan,
perawatan, dan reproduksi perangkat makna dan praktik yang otoritatif. Hegemoni
diperoleh lewat perebutan, bukan pemberian, hegemoni juga terus menerus
diperjuangkan dan dinegoisasikan berulang-ulang. Hegemoni di media bukan
dianggap sebagai hasil dari intervensi langsung pemilik, ideologi sebagai hasil
dari sikap-sikap dan praktik kerja serta budaya. Maksudnya, ideologi adalah
peta-peta makna yang meski seolah-olah tampak seperti kebenaran universal, ia
merupakan pemahaman-pemahaman yang secara hitoris bersifat spesipik, yang
menyelubungi dan melanggengkan kekuasaan. Lebih jelasnya gagasan yang berkuasa
adalah gagasan milik kelas penguasa.
Pandangan
Althusser, ideologi ada dalam struktur masyarakat itu sendiri muncul dari praktik aktual yang
dilakukan oleh institusi dalam masyarakat. Kesimpulan logis dari teorinya
adalah bahwa tidak ada cara untuk lari dari ideologi. Pengalaman selalu bermuatan
ideologi (ideologically loaded), maka
satu-satunya pemahaman yang bisa kita lakukan adalah memahami diri sendiri,
relasi sosial dan pengalaman sosial kita yang di dalamnya dipraktekkan ideologi
dominan (Fiske, 2004: 245). Penjelasanya ialah apa yang kemudian tampak terjadi
di luar ideologi, kenyataannya terjadi di dalam ideologi. Jadi, apa yang
benar-benar terjadi dalam ideologi, nampak terjadi di luar ideologi. Sebab itu,
mereka yang berada dalam ideologi percaya bahwa diri mereka, menurut definisi,
berada di luar ideologi. Salah satu efek ideologi adalah delegasi karakter
ideologis atas ideologi melalui ideologi: ideologi tak pernah berujar ‘Saya
ideologis’. Dalam posisi ini, sama dikatakan bahwa tidak ada sesuatu pun yang
berada di luar ideologi (bagi diri sendiri), atau pada saat yang sama, tidak
ada sesuatu pun yang tidak berada di luar ideologi (bagi ilmu dan realitas).
III.
METODOLOGI
Dalam semiotik,
segala sesuatu yang dapat diamati atau dibuat dapat teramati, mengacu pada hal
yang dirujuknya, dan dapat diinterpretasikan adalah tanda. Benda, peristiwa
atau kebiasaan yang dapat memberikan hubungan segitiga dengan sebuah ground, sebuah denotatum, dan dengan
sebuah interpretannya adalah tanda. Sebuah bendera kecil, isyarat mode,
memerahnya wajah, suatu preferensi, letak tertentu bintang, sebuah sikap,
perangko terbalik, setangkai bunga, rambut uban, diam membisu, gagap, meludah,
intensitas, kecepatan, kesabaran, kegilaan, kekhawatiran, kelengahan, dapat
dikatakan tanda asal memenuhi ciri-ciri untuk disebut tanda (Zoest, 1996: 18).
Fungsi tanda (sign) adalah membangkitkan makna, karena
tanda selalu dapat dipersepsi oleh perasaan (sense) dan pikiran (reason).
Dengan menggunakan akal sehatnya, seseorang biasanya menghubungkan sebuah tanda
pada rujukannya (reference) untuk
menemukan makna tanda itu (Noth, 1990: 79-92). Tokoh yang dianggap melahirkan
pendekatan ini adalah seorang ahli linguistik dari Swiss, Ferdinand de
Saussure, serta seorang Filsuf Amerika, Charles Sanders Pierce. Kedua tokoh
tersebut memiliki istilah dan konsep yang berbeda dalam beberapa hal, namun
sama-sama menaruh perhatian pada tanda-tanda. Saussure menggunakan istilah
semiologi untuk ilmu tentang tanda-tanda, yang ditulis dalam bukunya Lourse de linguistique generale yang
diterbitkan oleh para muridnya setelah ia meninggal pada tahun 1913.
Sementara
Pierce menggunakan istilah semiotik untuk ilmu tentang tanda tersebut. Menurut
Saussure, semiologi merupakan ilmu yang mempelajari kehidupan tanda-tanda dalam
masyarakat. Semiologi memberikan wawasan mengenai bagaimana tanda dibuat dan
peraturan-peraturan yang mengatur tanda-tanda tersebut. Dalam menguraikan
sistem tanda ini, Saussure menggunakan bahasa sebagai obyek penelitiannya
(Piliang, 2008: 158).
Saussure
sebagai seorang ahli bahasa lebih tertarik untuk mempelajari bahasa sehingga
titik perhatiannya lebih kepada bagaimana cara tanda (dalam kasus ini adalah
kata) berhubungan dengan tanda lainnya. Dengan demikian Saussure
menitikberatkan perhatiannya pada tanda itu sendiri (Fiske, 2007: 47). Tanda
menurut Saussure adalah satu obyek fisik yang sarat dengan berbagai makna.
Realitas dari makna itu sendiri tidak menjadi titik perhatian pada model ini.
Menurut Pierce
tanda yang pertama kali diserap oleh manusia adalah representamen. Representamen adalah sesuatu yang mewakili sesuatu.
Dalam proses semiosis, representamen menunjuk pada hal yang diwakilinya yang
disebut obyek. Jika obyek suatu representamen sudah diketahui oleh penerima
tanda, maka ia memberikan tafsirannya. Proses penafsiran ini disebut interpretant atau sama dengan istilah
Pierce untuk makna (meaning) dari
sebuah tanda setelah ditafsirkan. Pierce mendefinisikan interpretant sebagai signifince,
signification, atau interpretation
(Piliang, 2008: 266-267).
Sekurang-kurangnya
ada sembilan macam semiotik, salah satunya adalah semiotik yang dinyatakan oleh
Roland Barthes. Menurut Roland Barthes dalam kajian semiotik dikenal istilah
mitos. “Mitos secara etimologi adalah sebuah tipe pembicaraan atau wicara (a type of speech). Selanjutnya, mitos
adalah suatu memahami mitos sebagai suatu objek, konsep atau gagasan; mitos
merupakan mode pertandaan (a mode of
significantion), suatu bentuk (a form)”.
(Barthes, 2007: 295). Pemahaman lain tentang sudut pandang berkaitan dengan
pandangan intelektual dan kritis yang diambil berkaitan dengan materi media
ialah reprtesentasi.
Hall (1997)
dalam Burton (2007: 133) mendeskripsikan tiga pendekatan terhadap representasi
yang teringkas sebagai berikut:
a.
Reflektif, berkaitan dengan pandangan atau makna
tentang representasi yang entah di mana “di luar sana” dalam masyarakat sosial
kita.
b.
Intensional, perhatian utamanya menaruh terhadap
pandangan kreator (sutradara) atau produser reresentasi tersebut.
c.
Konstruksionis, perhatian pandangan ini ialah
terhadap bagaimana representasi dibuat melalui bahasa, termasuk kode-kode
visual.
Dalam penelitian ini penulis
mengunakan model semiotik yang dikemukakan oleh Roland Barthes (Sobur, 203: 63) yang membagi
lima kode-kode narasi yang berlaku dalam suatu naskah realis. Lima kode yang
ditinjau Barthes, yaitu sebagai
berikut:
a.
Kode hermeneutik atau kode teka-teki berkisar pada harapan pembaca untuk mendapatkan
“kebenaran” bagi pertanyaan yang muncul dalam teks. Kode teka-teki merupakan
unsur struktur yang utama dalam narasi tradisional. Di dalam narasi ada suatu
kesinambungan antara pemunculan suatu peristiwa teka-teki dan penyelesaiannya
di dalam cerita.
b. Kode semantik atau kode konotatif menawarkan banyak sisi.
Dalam proses pembacaan, pembaca menyusun tema suatu teks. Ia melihat bahwa
konotasi kata atau frase tertentu dalam teks dapat dikelompokkan dengan
konotasi kata atau frase yang mirip. Jika kita melihat suatu kumpulan satuan
konotasi, kita menemukan suatu tema di dalam cerita. Jika sejumlah konotasi
melekat pada suatu nama tertentu, kita dapat mengenali suatu tokoh dengan
atribut tertentu. Perlu dicatat bahwa Barthes menganggap denotasi sebagai
konotasi yang paling kuat dan paling “akhir”.
c. Kode simbolik merupakan aspek pengkodean fiksi
yang paling khas bersifat struktural, atau tepatnya menurut konsep Barthes,
pascastruktural. Hal ini didasarkan pada gagasan bahwa makna berasal dari
beberapa oposisi biner atau pembedaan baik dalam taraf bunyi menjadi fonem
dalam proses produksi wicara, maupun pada taraf oposisi psikoseksual yang
melalui proses. Dalam suatu teks verbal, perlawanan yang bersifat simbolik
seperti ini dapat dikodekan melalui istilah-istilah retoris seperti antitesis,
yang merupakan hal yang istimewa dalam sistem Barthes.
d. Kode proaretik atau kode tindakan/lakuan
dianggapnya sebagai perlengkapan utama teks yang dibaca orang; artinya, antara
lain, semua teks yang bersifat naratif. Jika Aristoteres dan Todorov hanya
mencari adegan-adegan utama atau alur utama, secara teoretis Barthes melihat
semua lakuan dapat dikodifikasi, dari terbukanya pintu sampai petualangan yang
romantis. Pada praktiknya, ia menerapkan beberapa prinsip seleksi. Kita
mengenal kode lakuan atau peristiwa karena kita dapat memahaminya. Pada
kebanyakan fiksi, atau selalu mengharap lakuan di“isi” sampai lakuan utama
menjadi perlengkapan utama suatu teks (seperti pemilihan ala Todorov).
e. Kode gnomik atau kode kultural banyak
jumlahnya. Kode ini merupakan acuan teks ke benda-benda yang sudah diketahui
dan dikodifikasi oleh budaya menurut Barthes, realisme tradisional didefinisi
oleh ke apa yang telah diketahui. Rumusan suatu budaya atau sub budaya adalah
hal-hal kecil yang telah dikodifikasi yang di atasnya para penulis bertumpu.
Tujuan analisis Barthes ini, menurut
Lecthe dalam Sobur (2003: 66) “bukan
hanya untuk membangun suatu sistem klasifikasi unsur-unsur narasi yang sangat
formal, namun lebih banyak untuk menunjukkan bahwa tindakan yang paling masuk
akal, rincian yang paling menyakinkan, atau teka-teki yang paling menarik,
merupakan produk buatan dan bukan tiruan dari yang nyata. Barthes”, seperti dipaparkan
Cobley & Jansz dalam Alex Sobur
(2003:
68), “seringkali membahas fenomena keseharian yang luput dari perhatian.
Barthes menghabiskan waktu untuk menguraikan dan menunjukkan bahwa konotasi
yang terkandung dalam mitologi-mitologi tersebut biasanya merupakan hasil
konstruksi yang cermat”.
Barthes dalam studinya
tentang tanda adalah peran pembaca (the reader). Baginya, konotasi
walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat
berfungsi. Secara panjang lebar, Barthes mengulas apa yang sering disebut
sebagai sistem pemaknaan tataran kedua, yang dibangun di atas sistem lain yang
telah ada sebelumnya. Sastra misalnya, merupakan contoh paling jelas sistem
pemaknaan tataran kedua yang dibangun di atas bahasa sebagai sistem yang
pertama. Sistem kedua ini oleh Barthes disebut dengan connotatif, yang
di dalam Mythologies-nya secara tegas ia bedakan dari denotatif
atau sistem pemaknaan tataran pertama. Melanjutkan studi Hjelmslev, Barthes menciptakan peta
tentang bagaimana tanda bekerja Cobley & jansz (Sobur, 2003: 69).
Peta Barthes di atas terlihat menunjukkan bahwa
tanda denotatif (3) terdiri atas: penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi,
pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Dengan
kata lain, hal tersebut merupakan unsur material: hanya jika kita mengenal
tanda “singa”, barulah konotasi seperti harga diri, kegarangan, dan keberanian
menjadi mungkin (Cobley & Jansz, dalam Sobur 2003: 69). Dalam konsep
Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan namun juga
mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya.
Sesungguhnya, inilah sumbangan Barthes yang sangat berarti bagi penyempurnaan
semiologi Saussure, yang berhenti pada penandaan dalam tataran denotatif.
Roland Barthes (Sobur, 2003: 68) membuat sebuah model sistematis dalam
menganalisis makna dari tanda-tanda. Fokus Barthes lebih tertuju kepada gagasan
tentang signifikasi dua tahap (two order of signification) seperti di
bawah ini:
Signifikasi
tahap pertama merupakan hubungan antara signifier (penanda) dan signified
(petanda) di dalam sebuah tanda terhadap kualitas eksternal. Barthes
menyebutnya dengan dengan denotasi, yaitu makna yang nyata dari tanda. Konotasi
adalah istilah yang dipergunakan Barthes untuk menunjukkan signifikasi tahap
kedua. Hal ini menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan
perasaan atau emosi reader serta nilai-nilai sosialnya. Konotasi
mempunyai makna yang subjektif atau intersubjektif. Denotasi adalah apa yang
digambarkan tanda terhadap sebuah objek, sedangkan konotasi adalah bagaimana
menggambarkannya.
Pada
signifikasi tahap kedua yang berhubungan dengan isi, tanda bekerja melalui mitos
(myth). Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa
aspek tentang realitas atau gejala alam. Kita melihat keseluruhan tanda dalam
sistem denotasi berfungsi menjadi penanda pada sistem konotasi atau sistem
mitos (Berger, 2000: 15). Barthes dalam Piliang (2008: 226) menyatakan bahwa
“dalam proses pengodean makna ke dalam bahan estetika posmodernisme,
idiom-idiom estetik itu juga (dalam berbagai kedalaman) mengandung kode-kode (parody, pastiche, kitsch, camp, skizofrenik)”.
Lima kode yang berhubungan dengan makna dan eskpresi atau idiom-idiom
digambarkan sebagai berikut:
Matriks 1.
Lima Kode Barthes
KODE
|
MAKNA
|
EKSPRESI
|
Hermeneutika
|
- Efek provokatif
- Enigma
|
Parodi
|
Semantik
|
- Konotatif
- Feminim/maskulin
- Perversitas
- Norma/abnormal
|
- Pastiche
- Kitsch
- Camp
|
Simbolik
|
- Fragmen-fragmen
makna
- Ketidakmungkinan
makna
- Makna kontradiktif
|
Skizofrenik
|
Proairetik
|
- Naratif atau
antinaratif
- Linear/sirkular
|
- Pastiche
- Kitsch
- Camp
|
Kultural
|
- Mitologis
- Ideologis
- Spiritual
- Moral
|
Pastiche
|
Sebagaimana
yang dapat dilihat dari diagram di atas, kode yang lima (parody, pastiche, kitsch, camp, skizofrenik) dapat diekspresikan
melalui berbagai konsep dan idiom estetik posmodernisme. Meskipun demikian, hal
ini tidak berarti, bahwa idiom tertentu, akan mengacu secara stabil pada satu
kode tertentu, akan tetapi ia (kode) bisa mengandung beberapa kode sekaligus
secara dinamis. Misalnya pastiche
dapat mengandung kode semantik, proairetik dan kultural sekaligus, dan juga
sebaliknya. Kelenturan relasi pertandaan dan kode semacam ini sekaligus
menggambarkan seni sebagai suatu karya terbuka (open work) yang membuka pintu lebar bagi kombinasi dialog dan
permainan tanda, kode dan idiom yang tidak terbatas.
Pengertian
pastiche didefinisikan sebagai “….
karya sastra yang disusun dari elemen-elemen yang dipinjam dari berbagai
penulis lain atau dari penulis tertentu di masa lalu”. Parody di definiskan Hutcheon sebagai “…satu bentuk imitasi, akan
tetapi imitasi yang dicirikan oleh kecenderungan ironik (parodi adalah)
pengulangan yang dilengkapi dengan ruang kritik, yang mengungkapkan perbedaan
daripada kesamaan”. Kitsch
diistilahkan Jean baudrillard sebagai “…simulasi, kopi (an) atau stereotip
sebagai pemiskinan kualitas pertandaan (signification)
yang sesungguhnya, sebagai proses melimpah ruahnya tanda-tanda (sign), referensi alegorik, atau
konotasi-konotasi perbedaan. Istilah camp
adalah “satu idiom estetik, yang meskipun sering diperbincangkan, namum masih
menimbulkan pengertian yang kontradiktif, di satu pihak diasosiasikan dengan
pembentukan makna, di pihak lain, ia justeru diasosiasikan dengan kemiskinan
makna”. Skizofrenia adalah istilah
“sebuah psikoanalisis untuk semua kata atau penenda dapat digunakan menyatakan
satu konsep atau petanda. Dengan perkataan lain, konsep atau petanda tidak
dikaitkan dengan satu penanda dengan cara yang stabil, dengan demikian,
persimpangsiuran kata atau penanda untuk menyatakan satu konsep dimungkinkan”.
(Piliang, 2008: 187-204).
Miller
(2005: 54) mendefinisikan penelitian kualitatif “sebagai tradisi tertentu dalam
ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan pada
manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut
dalam bahasanya dan dalam peristilahannya. Pada komponen tutur menguatkan
pernyataan tersebut”.
Penelitian
ini menggunakan metode analisis semiotik terhadap objek penelitiannya yaitu
teks (wicara), baik dialog maupun audio-visual film. Tidak seperti analisis isi
konvensional yang secara tipikal difokuskan pada muatan isi teks film yang
manifest, analisis semiotik menekankan perhatian mengenai lambang-lambang atau
tanda yang digunakan dari semua isi pesan (teks), termasuk cara pengambilan
gambar (frame), pencahayaan, tata
artistik, tata suara, skenario
maupun istilah-istilah yang digunakannya dalam produksi film, serta ketelibatan
ideologi sang komunikator dimana dalam berkesenian film, sutradara ialah orang
yang bertanggungjawab terhadap kualitas film.
Sesuai
pernyataan Sudibyo, Hamad, Qodari
(2001) dalam Sobur (2006: 117) bahwa ”pada dasarnya, analisis semiotik memang merupakan
sebuah ikhtiar untuk merasakan sesuatu yang “aneh” – sesuatu yang dipertanyakan
lebih lanjut – ketika kita membaca atau mendengar suatu naskah atau narasi”.
Analisisnya bersifat paradigmatik, dalam arti berupaya menemukan makna termasuk
dari hal-hal yang tersembunyi di balik sebuah teks.
Sesuai
pemikiran van Zoest (1991) dalam Sobur (2006: 121), analisis semiotik lebih menekankan perhatian mengenai apa
yang disebut lambang-lambang yang mengalami “retak teks”. Maksud “retak teks “
disini adalah bagian (kata, istilah, kalimat, paragraph) dari teks yang ingin
dipertanyakan lebih lanjut dicari tahu artinya atau maknanya. Fiske dalam Sobur
(2006: 122) menyatakan bahwa semiotik tidak dipusatkan pada transmisi pesan,
melainkan pada penurunan dan pertukaran makna. Penekanan disini bukan pada
tahapan proses, melainkan teks dan interaksinya dalam memproduksi dan menerima
suatu kultur atau budaya; difokuskan pada peran komunikasi dalam memantapkan
dan memelihara nilai-nilai dan bagaimana nilai-nilai tersebut memungkinkan
komunikasi memiliki makna.
Pendapat
Fiske dalam Sobur (2006: 122) tentang “penggunaan metode semiotik pada
penelitian yang berkaitan dengan pesan media massa sebenarnya tidaklah
berlebihan. Pada masyarakat modern yang salah satunya diindikasikan pada
masyarakat industri, fenomena media massa sebagai sarana komunikasi sekaligus
ciri masyarakat tersebut menjadi hal yang tidak terelakkan. Setiap hari
masyarakat selalu dijejali pesan-pesan media”.
IV.
HASIL ANALISIS
a. Film
Sang Penari
1. Perempuan
sebagai Penjaga Budaya
Ronggeng dalam masyarakat Dawuan merupakan
bentuk titisan dan sumber kehidupan. Kehidupan dalam total kosmologi alam,
dimana sumber pertanian, kesehatan, sosial, dan bentuk-bentuk kegiatan
masyarakat lainnya, perempuan dalam hal ini menjadi sumber dan denyut nadi
kosmologi alam. Ronggeng bukan sekedar penari titisan dari kakek moyang
masyarakat Dawuan tetapi sebagai perempuan yang disucikan dan sekaligus hina
dina, perempuan peronggeng ialah dua sisi kemapanan dalam menjaga budaya.
2. Perempuan
Sebagai Simbol Perlawanan
Kedudukan Ronggeng sebagai representasi
kekuasaan sosial dan budaya menempatkan ronggeng sebagai sosok terpuji dalam
komunitasnya. Terdapat semacam kebanggaan dan prestasi yang tidak bisa diukur
dengan materi. Ronggeng sebagai sosok perempuan sekaligus representasi atas
perlawanan terhadap hegemoni laki-laki dalam dominasi seks dimana dimata
laki-laki penduduk Paruk Dawuan, ronggeng tak ubahnya sebagai pelacur yang
berkedok dengan tarian eksotis yang dapat memberikan kesejahteraan hidup dan
keluarganya.
3. Perempuan
Sebagai Subjek dan Objek Seks
Perempuan dalam perspektif kekuasaan negara yang
terwakili atas TNI sebagai alat negara dalam menanamkan kekuasaannya ditahun
60-an menjadikan perempuan sebagai sebuah objek seksual dalam mencengkrakan
hegemoninya di masyarakat. Subjek seksual tergambarkan sebagai kekuatan negara
terhadap keberadaan dan posisi perempuan dalam bingkai penanaman ideologi
pancasila dalam memberangus ideologi komunisme melalui serangkaian aktivitas
seksual, dimana posisi perempuan ialah sebagai subjek seksualitas yang
diarahkan oleh alat negara yang kemudian melahirkan stigma objek seksualitas
sekaligus.
4. Perempuan
Dalam Kekuasaan Negara
Kekuasaan negera menempatkan kredibiltas
perempuan dalam dinamika pembangunan pada level terendah, dimana perempuan
hanya dijadikan problematika dalam menyusun kekuasaan Orde Baru, penekanan dan
pengopresian terhadap perempuan dilekatkannya agen komunisme sebagai penghambat
dalam pembangunan. Komunisme merupakan senjata paling ampuh untuk menyingkirkan
orang-orang dan kelompok masyarakat yang tidak disukai dan sebagai penghambat,
halangan dan rintangan ideologi yang berkuasa.
b. Film
Perempuan Punya Cerita
1. Cerita
Perempuan Pulau Seribu
Bidan merupakan representasi atas alat negara dalam
menanamkan ideologi kekuasaan negara dalam bidang kesehatan. Bidan merupakan
akar rumput kekuasaan negara yang riil terhadap masyarakat. Namun Bidan
,,,,merupakan satu dari kesekian ribu, bahkan jutaan penduduk negara Indonesia
ini yang kemudian menggugat kekuasaan negara yang telah memperlakukan perempuan
sebagai komoditas seksualitas yang bisa ditukar dengan materi. Dimana
korban-korban seksualitas kaum perempuan yang telah dicengkram kaum laki-laki
harus berhadapan dengan kematian.
2. Cerita
Virginitas Kota Pelajar
Keperawanan merupakan representasi budaya jawa
yang sangat sacral, dimana nilai keperawanan merupakan citra dan sekaligus
sumber tatanan nilai dalam masyarakat Jogjakarta yang masih berpegang teguh
pada nilai-nilai luhur budaya. Hegemoni negara dalam pencapaian target pembangunan menjadikan
sekelompok remaja tergerus dari akar budaya yang membesarkannya. Sebuah
representasi perlawanan pelajar atas kekerasan negara dalam bidang pendidikan.
Jogjakarta merupakan representasi dari Indonesia atau disebut dengan Indonesia
mini menggugat ketidak adilan negara dalam proses pembangunan.
3. Cerita
Ibu Penjaga Toilet Diskotik
Sosok perempuan lugu dalam cerita ini merupakan
simbol perlawanan perempuan terhadap kekuasaan negara dalam kebijakan pekerja
perempuan. Sosok perempuan sederhana yang berjuang mempertahankan anak
kandungnya agar tidak menjadi perempuan penghibur yang diculik sekelompok
sindikat pencari TKI illegal yang bebas berkeliaran sebagai akibat kebijakan
pemerintah yang terlalu longgar. Kebijakan pengiriman TKW yang dilakukan oleh
negara hanya sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaannya dalam percaturan
pergaulan bangsa-bangsa di dunia, yang mengorbankan perempuan sebagai pihak
yang selalu dirugikan.
4. Cerita
Perempuan HIV AIDS
Representasi
perempuan bernama ,,,,, ialah bentuk nyata perlawanan seorang perempuan
penderita HIV AIDS terhadap sosial masyarakat. Sebuah kenyataan hidup yang
ditolak sebagai bagian dari keluarga, lingkungan dan masyarakatnya, bahkan
negara sekalipun tidak mampu untuk mengakuinya sebagai warga negara. Sebuah
kekerasan dalam rana pengakuan dan eksistensi diri yang sulit diraih oleh
seorang penderita penyakit menular.
V. PEMBAHASAN
DAN DISKUSI
a. Film
Sang Penari
Dalam konteks semiotika
Barthes, film Sang Penari merupakan cerita yang diangkat dari novel Ronggeng
Dukuh Paruk merupakan sosok perempuan sebagai representasi perlawanan dalam
semua aspek kehidupan. Pemaknaan perempuan dalam film ini secara kontinu terus
berproses dalam mencari jati dirinya. Sebagai sebuah tingkatan dalam proses
produksi makna, Srintil merupakan pemaknaan terhadap konsekuensi hidup dalam
budaya ronggeng sebagai seorang penerus tarian dan kesenian yang
diagung-agungkan dalam sistem masyarakat Paruk.
Bahasa “Ronggeng” pada dasarnya
meminjamkan dirinya, struktur, distorsi makna dan lain-lain, kepada sebuah
kesepakatan masyarakat yang memaknai ronggeng secara menyeluruh dari berbagai
perspektifnya masing-masing. Konsep ronggeng bersifat abstrak, tidak nyata,
konsep tersebut meminjamkan dirinya kepada berbagai kkemungkinan sosial budaya
masyarakat, kemungkinan ronggeng sengaja menjual diri, kemungkinan ronggeng
menjual erotisme tarian, kemungkinan ronggeng sengaja menjual kesakralan
upacara, kemungkinan ronggeng menjual seksualitas, kemungkinan ronggeng menjual
kelas sosial dan kemunginan lainnya. Artinya, bahasa “Ronggeng” yang melekat
pada dirinya selalu disertai akan kepemilikan, kepemilikan totalitas ronggeng
itu sendiri, sebagai kepemilikan diri, masyarakat dan negara, yang kemudian
distrukturkan dalam pengorganisasian masyarakat yang bersifat kepantasan.
Makna “Ronggeng” diatas
bereferensi atas sebuah tafsir “kepantasan” sosial, secara otomastis bersifat
“idiologis”. Dalam kepantasan secara terbuka makna yang ditafsirkan berdasarkan
kepantasan melahirkan penawaran makna yang bersifat terbuka karena berbagai
kemungkinan. Proses ini mengupayakan sebuah bentuk pengejahwantahan ronggeng
pada wilayah idiologis, sebuah konstruk atas pemaknaan yang disepakati oleh
sistem sosial yang lainnya, baik dalam konteks pendidikan, ekonomi, strata
sosial dan lain-lain.
Bagi tokoh Srintil, ronggeng
adalah bentuk pengejahwantahan dan sekaligus perwujudan serangkaian penanda,
petanda dan melahirkan tanda. Ronggeng merupakan penada jati diri sosial, ia
kemudian melahirkan petanda kelas sosial yang lebih tinggi dari sebelumnya.
Petanda ronggeng ialah identitas diri sekaligus eksistensi diri Srintil sebagai
seorang anak gadis yang dilahirkan oleh sepasang suami isteri yang telah
dituduh sebagai pembunuh “Ronggeng Kebanggaan” masyarakat. Sehingga seluruh
bencana yang menimpa, terutama kekeringan, yang berakibat fatal pada sector
pertanian, bencana angin kecang dan sebagainya ditimpakan akibat atas kesalahan
orang tua Srintil yang telah membunuh sang penari ronggeng. Srintil muncul
sebagai seorang penari ronggeng atas keinginan diri untuk menebus kesalahan
orang tuanya. Sebuah dendam dan sekaligus “petanda” atas perlawanan terhadap
sanksi sosial yang dideritanya selala bertahun-tahun. Ia berusaha meraih
tingkat sosialnya sebagai sebuah penebusan dosa.
Srintil dalam proses
pembentukan makna ialah tanda atas perlawanan terhadap semua perbuatan orang
tuanya. Dimana sistem sosial masyarakat yang begitu kokoh memberikan stigma
sebagai sosok pembawa malapetaka dijadikan sebagai senjata untuk melawan semua
sistem tersebut. Perjuangan Srintil ialah melalui aib yang telah dideritanya
bertahun-tahun dalam hidup yang dikucilkan dari masyarakatnya. Ronggeng dalam
hal ini dijadikan sebagai Penada-Petanda dan Tanda sekaligus namun dalam
konteks yang berbeda sebagaimana penjelasan diatas dan sekaligus sebagai
jembatan denotasi tanda dan konotasi tanda.
Dalam penjabaran konotasi
perlawanan “Ronggeng” dipicu dengan perlawanan atas beberapa referen tanda yang
ditujukan kepada konteks kekuasaan dan politik yang terjadi pada masanya.
Srintil sebagai perempuan penari dan sekaligus sebagai agen yang melahirkan
perubahan sosial. Ia dijadikan alat oleh kaum komunis melalui kesenian tari
untuk menyusun kekuatan dalam rangka membentuk masyarakat yang melek politik oleh
kaum komunis. Posisi srintil dan kelompok keseniannya membawa nama dusun Paruk
yang tidak terkenal mendadak menjadi perbincangan umum. Posisi inilah yang
kemudian membawa seluruh dusun dalam penguasaan politik Orde Baru yang
menggunakan aparaturnya untuk pelangengan kekuasaan. TNI hadir dalam rangka
membasmi bibit-bibit komunis yang ditandakan sebagai kaum “merah”, mengacu
kepada bendera partai komunis yang berwarna merah.
Kaum merah ialah perwujudan
tanda yang dilahirkan sebagai petanda dan penanda untuk simpatisan dari partai
komunis. Negara melalui politik Orde Baru berbuat represif terhadap keberadaan
mereka. seni dan kesenian terlepas dari idiologi komunis, karena budaya dan
seni dilahirkan jauh sebelum peradaban komunis lahir di Indonesia. Pembantaian
dan penangkapan seniman ronggeng dalam film ini ialah bentuk penghancuran
peradaban itu sendiri yang secara struktur dihadirkan dan dihadapankan oleh
pemerintah sebagai sebuah momok yang akan menghambat keberlangsungan ideologi
Orde Baru. Proses penghancuran kesenian dengan berkedok komunis inilah yang
sebenarnya melahirkan titik runtuhnya masyarakat terjerabut dari budaya mereka
sendiri, yang kemudian dimunculkannya kesenian-kesenian modern yang dibawa oleh
aparat negara dalam memberangus identitas bangsa.
b. Film
Perempuan Punya Cerita
1. Pemaknaan
Bidan
Bidan adalah bentuk Penanda
yang diberikan kepada oknum kesehatan pemerintah yang berjuang sebagai pelayan
masyarakat di tingkat bawah. Keberadaan bidan ialah bentuk Petanda atas
terjaminnya kesehatan masyarakat disekitarnya. Justeru sosok Lastri seorang
bidan yang menjadi Tanda atas perlawanan dirinya sebagai aparatur negara
terhadap pusat kekuasaan negara dan mitra kerja apartur negara lainnya. Lastri
sebagai seorang perempuan gelisah dan berusaha untuk memupuk jiwa perempuan
dalam melawan dominasi kekuasaan negara, dimana bentuk-bentuk pelanggaran norma
yang terberat dialami perepuan hanya diselesaikan dengan materi. Lastri melihat
begitu kokohnya kekuasaan dan laki-laki yang berada di dalamnya menlingkari perempuan.
Ia sudah muak melayani pengguguran kandungan (aborsi) di rumah tempatnya
bekerja sebagai bidan pulau.
Perlawanannya memuncak ketika
orang yang telah dianggap sebagai adiknya sendiri, yang mengalami cacat mental
justeru hamil diperkosa beramai-ramai oleh pemuda desa. Aparat hukum sebagai
representasi pemerintah pun bahkan hanya menyelesaikan persoalan ini hanya
dengan imbalan materi. Ia putus asa ketika perjuangannya melawan ketidakadilan
aparat negara berimbas pada surat mutasi yang diterimanya. Lastri menjadi
simbol perlawanan terhadap negara dan sekaligus korban dan bagian dari hegemoni
negara dalam memandang perempuan.
2. Pemaknaan
Keperawanan
Perjuangan seorang pelajar
remaja puteri bernama Safina dalam mempertahankan citra diri sebagai seorang muslim
yang hidup dalam budaya Jawa yang kental untuk mempertahankan keperawanan.
Safina merupakan Penanda atas budaya Jawa (Jogjakarta) dinama kota pelajar
ialah sebagai Petanda atas prestasi siswa dalam pendidikan. Namun tanda atas
proses pemaknaan budaya itu lahir atas “keperawanan’ menjadi referen-referen
yang menyertai moral di dalam pendidikan.
Proses produksi makna
keperawanan ini muncul diakibatkan oleh penanda dan petanda yang menyertainya.
Konsep keperawanan merupakan tanda denotasi dan sekaligus konotasi terhadap
persoalan keberhasilan pendidikan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi
serta moral di dalamnya. Kota Pelajar yang disematkan kepada Jogjakarta
merupakan representasi Indonesia (Indonesia Mini). Hal ini menunjukan atas
keterwakilan moral remaja dan pelajara di Indonesia. Ada semacam kritik yang
mendalam dalam bingkai pendidikan kita yakni dala rangkan menyusun tujuan
belajar itu sendiri. Di sini kita tidak membahas mitos “keperawanan” tetapi
lebih menekankan pada representasi atas moral pelajar Indonesia.
Dimana lembaga pendidikan tidak
mampu lagi mejaga gawang peradaban bangsa ini dalam rangka menegakan tataran
moral, nilai-nilai, religiusitas, dan hukum sosial. Pada ranah moral pelajar,
hampir diseluruh Indonesia tawuran terlihat jelas memalui media televisi,
bahkan di kota kecil sekalipun di negeri ini tawuran pelajar terjadi tanpa ada
yang mau mencegahnya. Masyarakat dan aparat kepolisian terkesan membiarkan
peristiwa tawuran di lingkungan mereka.
3. Pemaknaan
TKW
Penjaga toilet sebuah diskotik
menunjukan Cici sebagai Penanda atas ketidakmampuan secara ekonomis, terlebih
lagi perempuan penghibur sering menyarankan agar ia menjadi PSK saja yang
berpenghasilan besar. Petanda diperoleh dari proses penceritaan ini ialah
bentuk musik dangdut yang seronok menampilkan ukuran dada dan pantat perempuan
sebagai ekploitasi diskotik. Cici merupakan tanda denotatif dan sekaligus tanda
konotatif terhadap kebijakan pemerintah yang telah mengantarkan anak gadisnya
terjual oleh sindikat TKW yang bebas berkeliaran di negara ini. Potret
kejahatan negara dalam mengeksploitasi perempuan dalam segala bidang. Ia
berjuang untuk kembali merebut anak gadisnya dari cengkraman kekuatan kapialis
asing. Ia membongkar penyelewengan aparatur negara yang memanipulasi surat-surat,
dari pembuatan KTP, Paspor sampai oknum-oknum terkait dalam pengiriman TKW
keluar negeri.
Dalam hal ini negara sebenarnya
menjadi dasar atas kekerasa yang dialami perempuan. kekerasan bukan hanya
terhadap seksualitas yang dialami Saroh anaknya oleh bapak tirinya, kekerasan
yang dialkukan oleh oknum para pencari TKW dengan segala intimidasi yang
diterimanya, kekerasan terhadap kebijakan dan undang-undang yang tidak berpihak
kepada dirinya menjadikan perempuan dinegeri ini menjadi komoditas yang bisa
dikirim kemanapun, bahkan tidak jarang kasus-kasus ketenagakerjaan tidak pernah
memihak kepada perempuan.
4. Pemaknaan
HIV-AIDS
Keturunan (warga etnis cina)
adalah Penanda atas sosial ibu rumah tangga beranak satu ini yang tertular oleh
virus mematikan. Petanda yang muncul dari referen cerita ialah Narkotika, ada
semacam diskriminasi etnis dalam perwujudan kronologisnya, semacam tuduhan atas
kelas tertentu di negeri ini yang ditopang dengan amburadulnya kebijakan
pemerintah dalam bidang kesehatan. Tanda denotasi yang dilahirkan dari hal
tersebut ialah inveski HIV-AIDS. Sebagai perempuan yang terjangkiti oleh virus
mematikan tersebut yang sekaligus penanda konotatif dilahirkan atas
serangkaiannya, membuat perempuan muda ini terusir dari rumah, ia diusir dan dipisahkan
dari anaknya karena penyakit yang dideritanya akan menulari. Ia bahkan tidak
dilayani di rumah sakit pemerintah dan hanya mengandalkan obat-obatan alami
sebagai pemberian orang lain. Kehadiran negara menjadi semacam ancaman bagi
perempuan ini, karena ia tidak berguna bagi negara maka negara tidak mengakui
dirinya sebagai warna negara yang berhak atas kesehatan.
Negara hanya hadir ketika etnis
keturunan berjasa mengharumkan nama Indonesia dikancah internasional melalui
prestasi olahraga, seperti Susi Susanti, Rudi Hartono, dan lain-lain. Tetapi
ketika ada seorang warna negara yang dilahirkan di bumi Indonesia ini, ia bukan
siapa-siapa, ia bukan apa-apa, ia hanya seorang ibu rumah tangga yang menderita
HIV-AIDS akibat penularan dari suaminya yang mengkonsumsi narkoba, negara
membiarkannya dan bahkan negara mengusirnya dari rumah sakit.
c. Industri Film Nasional
Dari kedua analisa film diatas,
perempuan dan isu-isu yang diproduksi dijadikan sebagai komoditas yang
diperjualbelikan sebagai, isu perempuan terutama di Indonesia mempunyai
keunikan tersendiri dalam mengatasi persoalan diri, lingkungan dan
keterkungkungannya yang diakibatkan oleh negara. Film sebagai media propaganda
untuk mengkampanyekan isu-isu besar perempuan tidak lepas dari persoalan kapitalisme
asing, baik dalam segi modal, dan persaingan dalam mengambil hati pemerintah.
Perempuan dan Industri film
dewasa ini makin marak dalam film-film yang menghadirkan komoditas erotisme dan
eksploitasi tubuh perempuan. Sutradara Ifa Ifansyah dan Nia Dinata merujuk
kepada kemandirian dalam memproduksi film dalam prinsip memilah dan memilih
pemodal yang tidak menjadikan produksinya sebagai sebuah komoditas belaka,
tetapi ada spirit dan semangat kampanye dalam rangka menyuarakan hak-hak dan
suara perempuan di negeri ini. Semangat itulah yang menghadirkan motivasi
perempuan sebagai tema utama dalam produksi karya mereka, walaupun dengan
resiko dan kosekuensi film-film tersebut tidak laku dipasaran.
Dikotomi kian nyata ketika
film-film Indonesia dengan tema yang berat ditinggalkan oleh penonton dan
dianggap sebagai film festival yang memunculkan sentimen penonton di pasaran.
Sementara film dengan tema yang mengikuti selera pasar dikatakan sebagai film
komersil yang hanya memunculkan artis-artis seronok yang semata-mata dijadikan
sebagai tontonan saja.
VI.
KESIMPULAN
Industri film Indonesia
terdapat dikotomi tema antara film festival dengan film komersil, namun masih
ada sekelompok orang yang konsen terhadap persoalan perempuan dan film yang
diproduksinya sebagai sebuah kritik terhadap pemerintah dan sekaligus kampanye
dalam rangka mengurangi kekerasan terhadap perempuan yang dijadikan komoditas
dan eksploitasi kekeuasaan kaum yang dominan, yakni kaum laki-laki dan segenap
aparatur negara dalam rangka melanggengkan kekuasaan. Perempuan seharusnya
dijadikan sebagai subjek dalam pembangunan, ia harus diberikan keleluasaan
dalam menggerakan segi-segi dan lini pembangunan.
Perempuan bukan dijadikan
sebagai objek atas kebijakan ketenagakerjaan dan produk-produk aturan dan
undang-undang, serta perempuan sebagai penjaga moralitas masyarakat, sebagai
agen perubahan dalam rangka mendobrak sekat kekuasaan, sebagai pelaku dan
sekaligus sentral atas kondisi sosial masyarakat. Perempuan bukan lagi
diposisikan pada tempat terendah, namun diposisikan sejajar dalam rangka
meningkatkan taraf dan indeks pembangunan secara keseeluruhan.
VII. DAFTAR
PUSTAKA
Brooks, Ann, 2008, Posfeminisme dan Cultural Studies,
Jalasutera: Yogyakarta.
Barker, Chris. 2000. Culture Studies Teori dan Praktik.
Bentang: Yogyakarta.
Barthes, Roland, 2007. Petualangan Semiologi, Pustaka Pelajar:
Yogyakarta.
Barthes, Roland, 2005. Membedah Mitos-Mitos Budaya Massa,
Jalasutera: Yogyakarta.
Barthes,
Roland, Stephen Heath, 2010, Imaji Musik
Teks: Analisis Semiologi Atas Fotografi, Iklan, Film, Musik, Alkitab, Penulisan
dan Pembacaan Serta Kritik Sastra, Jalasutera: Yogyakarta.
Eaglestone,
Robert, 2003. Posmodernisme dan Penolakan
Holocaust, Yogyakarta: Jendela.
Engineer,
Asghar Ali, 2007. Pembebasan Perempuan,
LKis: Yogyakarta.
Eriyanto,
2000. Analisis Framing: Konstruksi
Ideologi dan Politik Media, LKIS, Yogjakarta.
Eriyanto,
2005. Analisis Wacana, Pengantar Analisis
Tek Media, LKis: Yogyakarta
Fakih,
Mansour, 2008. Analisis Gender dan
Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Fiske,
Jhon, 2007. Teori Komunikasi Massa,
Yogyakarta: Jalasutra.
Graeme, Burton, 2008. Media dan Budaya
Populer. Yogyakarta: Jalasutera.
McQuail,
Denis, 2007. Mass Communication Theory,
An Introduction, Third Edition, London: Thousand Oaks-New Delhi: Sage
Publication.
Moleong,
Lexy J, 2006. Metodologi Penelitian
Kualitatif, Rosda: Bandung.
Mulyana,
Dedy, 2004. Metodologi Penelitian
Kulaitatif, Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya, Rosda:
Bandung.
Peransi
D.A, 2005. Film Media Seni, FFTV-IKJ
Press: Jakarta.
Tong, Rosemarie Putnam, 2008. Feminist Thought, Yogyakarta:
Jalasutera.
Verdiansyah,
Dani, 2005. Filsafat Ilmu Komunikasi,
Suatu Pengantar, Index: Jakarta.
Yasraf
Amir Piliang, 2005. Hipersemiotika,
Tafsir Cultural studies Atas Matinya Makna, Yogyakarta: Jalasutera.
Yasraf
Amir Piliang, 2005. Dunia yang Dilipat
Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan, Yogyakarta: Jalasutera.
Yasraf
Amir Piliang, 2000. Hiper-Realitas
Kebudayaan, Yogyakarta: LKiS