Peran Film Sebagai Media
Sosialisasi Lingkungan: (Studi Etnograpic
Content Analysis Terhadap Film Pendek Asian
Development Bank “Save Water”)
makalah ini dipresentasikan di seminar nasional UNISBA
Oleh: Ahmad Toni, M.I.Kom
Abstract
Movies in international relations can not be separated from the imaging of a country to realize the access to information can influence people, groups and other countries in instilling the ideology and interests. As the theme of the film in general is holding on to the genre standard, the Asian Development Bank as a lending institution to fund the development of lagging countries and developing countries start and courage in carrying the theme of environment and sustainability, especially the availability of clean water.
Keywords: movie,
theme, Environment, Water.
A. Latar Belakang
Kerusakan lingkungan di negara-negera Asia
diakibatkan oleh kondisi perekonomian yang lebih dijadikan skala ukuran
pembangunan untuk mengejar ketertinggalan dengan kondisi yang dicapai oleh
negara-negara maju. Pada realitasnya, pembangunan ekonomi mematahkan segala
pembangunan dalam sektor yang lebih besar, dimulai dari pembangunan karakter
bangsa (Asia), pembangunan sektor penegakan hukum, pembangunan dalam sektor hak
azazi manusia, hingga pembangunan yang berwawasan lingkungan, terutama pembangunan
di negara berkembang.
Benua Asia yang terbentang luas dengan kondisi
geografis yang khas didukung dengan sumber daya alam yang melimpah menjadi
target bagi negara-negara lain, terutama Amerika Serikat dan sejumlah negara
Eropa lainnya untuk melakukan ekploitasi. Selanjutnya negara adi daya yang
menjadi sumber kekuatan ekonomi dunia mulai melirik menanamkan investasi
dananya di negara-negara Asia, terutama negara-negara Asia tenggara. Indonesia
misalnya, dengan segala kekayaan alam yang melimpah menjadi salah satu negara
tujuan para kapitalis dunia untuk bisa mengeruk keuntungan sebesar-besarnya.
Mengingat persoalan kerusakan lingkungan yang
melanda beberapa negara akibat eksploitasi sumberdaya alam dan mineral yang
pada ujungnya melahirkan sejumlah kerusakan lingkungan, beberapa propinsi yang
mengalami kerusakan lingkungan ialah Bangka Belitung dengan ekploitasi timah,
Papua dengan eksplotasi Freefort, Minahasa dan Nusa Tenggara dengan kehadiran
Newmont dan yang menjadi sorotan masyarakat dewasa ini yakni kasus amblasnya
pemukiman warga di Sidoharjo Jawa Timur akibat kecerobohan Lapindo dalam
eksploitasi minyak dan gas. Pada kasus Lapindo, pemerintah dan pihak-pihak
terkait saling lempar tanggung jawab untuk menyelesaikan beberapa persoalan
ekonomi, sosial dan kemanusiaan dari kasus tersebut.
B. Pembahasan
Gambaran Umum Asian
Development Bank
ADB (Asian Development Bank)
mempunyai visi adalah "wilayah Asia dan Pasifik yang
bebas dari kemiskinan." Misi ADB adalah membantu negara-negara berkembang dan anggotanya
mengurangi kemiskinan dan memperbaiki kondisi hidup dan kualitas hidup. ADB
adalah bank, pengembangan atas modal
multilateral, yang didedikasikan untuk mengurangi kemiskinan di Asia dan
Pasifik melalui pertumbuhan ekonomi yang inklusif, pertumbuhan yang berkelanjutan
lingkungan, dan integrasi regional. ADB didirikan pada tahun 1966 di bawah
Perjanjian Pembentukan Bank Pembangunan Asia (Piagam), yang mengikat
negara-negara anggota yang pemegang sahamnya. Pada tanggal 31 Desember 2010,
ADB telah 67 anggota, yang 48 diambil dari Asia dan Pasifik. ADB berkantor
pusat di Manila, Filipina dan memiliki kantor di seluruh dunia termasuk kantor
perwakilan di Amerika Utara (Washington, DC), Eropa (Frankfurt), dan Jepang
(Tokyo).
Guna memenuhi misinya, ADB
mendorong pertumbuhan ekonomi dan pembangunan sosial negara-negara berkembang
anggotanya dengan cara dari berbagai kegiatan dan inisiatif. Proyek
ADB ialah pinjaman keuangan dan program di wilayah-wilayah negara-negara berkembang dan anggotanya.
Hal ini juga menyediakan bantuan teknis, hibah, jaminan, dan investasi ekuitas.
ADB juga memfasilitasi dialog kebijakan, menyediakan jasa konsultasi, dan
memobilisasi sumber daya keuangan melalui pendanaan bersama,
operasi resmi, komersial, dan sumber-sumber kredit ekspor. Hal ini
memaksimalkan dampak pembangunan dari bantuan tersebut.
Peran Film Sebagai Media
Sosialisasi Lingkungan
Proses komunikasi massa
pada intinya ialah proses penyampaian pesan dari komuikator kepada komunikan.
Teori komunikasi massa “merupakan salah satu proses komunikasi yang berlangsung
pada peringkat masyarakat luas, yang identifikasinya ditentukan oleh ciri khas
institusional. Pesan merupakan suatu produk dan komoditi yang mempunyai nilai
tukar, hubungan pengirim dan penerima lebih banyak satu arah”. (Denis McQuail:
33). Film merupakan salah satu dari media massa, film berperan sebagai sarana
komunikasi yang digunakan untuk penyebaran hiburan, menyajikan cerita,
peristiwa, musik, drama dan sajian teknis lainnya kepada masyarakat.
Karakteristik film sebagai
usaha bisnis pertunjukan dalam pasar sebenarnya belum mampu mencakup segenap
permasalahannya. Dalam sejarahnya film mempunyai tiga elemen besar diantaranya:
1. Pemanfaatan
film sebagai alat propaganda. Film ialah sebagai upaya pencapaian tujuan
nasional dan masyarakat. Hal ini berkaitan dengan pandangan yang menilai bahwa
film memiliki jangkauan, realism, pengaruh emosional, dan popularitas. Bauran
pengembangan unsur pesan dengan hiburan sebenarnya sudah lama diterapkan dalam
kesusastraan dan drama (teater) namun unsur film jauh lebih sempurna
dibandingkan dengan teater dari segi jangkauan penonton tanpa harus kehilangan
kredibilitasnya.
2. Munculnya
beberapa aliran film diantaranya drama, dokumenter, dokudrama dan lain-lain.
3. Memunculkan
aliran dokumentasi sosial. Di samping itu, terdapat unsur-unsur ideologi dan
propaganda yang terselubung dalam suatu film yang berasal dari fenomena yang
tampaknya tidak tergantung pada ada atau tidaknya kebebasan masyarakat.
Fenomena ini berakar dari keinginan untuk merefleksikan kondisi masyarakat.
Dalam melihat dan mengkaji
isi media, banyak penelitian telah dilakukan dengan menggunakan berbagai
perspektif teoritis. Gans (1979) dan Gitlin (1980) mengelompokan pendekatan ini ke dalam beberapa
kategori, yaitu:
1. Isi media
merefleksikan realitas sosial dengan sedikit atau tanpa distorsi. Pendekatan “mirror” ini beranggapan bahwa apa yang
disiarkan media merupakan refleksi akurat tentang kenyataan sosial kepada
audiens. Pendekatan “null effects”, juga
beranggapan bahwa isi media menggambarkan kenyataan, namun kenyataan di sini
merupakan hasil kompromi antara yang menjual informasi ke media dan yang
membeli. Realitas kompromi ini kemudian menjadi bagian refleksi atas realitas
di luar dan menjadi bagian dari realitas media itu sendiri.
2. Isi media
dipengaruhi oleh sosialisasi dan sikap para pekerja media. Pendekatan “communicator centered” ia mengatakan
bahwa faktor psikologis pekerja media (seperti profesionalisme, sikap politik,
dan lainnya) membuat mereka memproduksi realitas sosial dimana terdapat norma
ikatan sosial, ide, atau perilaku yang “berbeda” diasingkan. Sosialisasi ini
berhubungan erat dengan latarbelakang yang dimiliki oleh pelaku media. Dalam
hal ini pelaku yang dimaksudkan ialah para pembuat film baik produser, kameramen,
penata cahaya, penata artistik, penulis naskah, editing, terutama sutradara
yang mempunyai kewenangan penuh atas suatu karya film.
3. Isi media
dipengaruhi oleh rutinitas isi media. Pendekatan ini menyatakan bahwa isi media
dipengaruhi oleh bagaimana para pekerja media dan perusahaan mengorganisasikan
diri mereka. Misalnya, ketika seorang sutradara film yang melalui karyanya
rutin dan kontinu mepresentasikan tema perempuan, politik, persahabatan,
budaya, anak-anak dan sebagainya.
4. Isi media
dipengaruhi oleh institusi sosial dan tekanan lainnya. Menurut pendekatan ini,
faktor-faktor eksternal seperti ekonomi, tekanan budaya dan audiens ikut
menentukan isi. Dalam hal pemodalan media film lebih ditentukan oleh produser
sebagai penyandang dana dalam berproduksi sehingga istitusi Production House atau rumah produksi
lebih banyak memberikan arahan tentang isi atau content cerita.
5. Isi
merupakan fungsi dari posisi ideologi dan fungsi mempertahankan status quo. Pendekatan teori hegemoni
mengatakan bahwa isi media dipengaruhi oleh ideologi para pemilik kekuasaan di
masyarakat. Media massa membawa ideologi yang konsisten dengan kepentingan para
penguasa ekonomi. Para pemilik kekuasaan dalam masyarakat produksi film ialah
sutaradara yang mempunyai tanggungjawab moral, material dan lain-lain berkaitan
dengan karya film yang dihasilkannya. Latarbelakang pendidikan, organisasi,
institusi yang menaunginya membawa ideologi dalam setiap karyanya.
Menurut Lang (Severin dan
Tankard: 2008: 264) “media massa memaksakan pada isu-isu tertentu. Media massa
membangun citra publik tentang figur-figur politik. Media massa secara konstan
menghadirkan objek-objek yang menunjukan apa yang hendaknya dipertimbangkan,
diketahui, dan dirasakan individu-individu dalam masyarakat”. Pernyataan ini
menunjukan adanya beberapa pengaruh sebagai terpaan pesan yang dikemas media
massa untuk mempengaruhi khalayak sebagai perubahan pemikiran baik secara
kognitif maupun behavior.
Media massa, terutama film
mengemas pesan untuk menyoroti beberapa kejadian atau aktivitas masyarakat yang
dianggap menonjol. Jenis isu film begantung dari pada visi dan misi production house (PH) selaku lembaga
yang menentukan isu yang diangkat dalam sebuah tema film. Dalam kontek
pembicaraan antar individu tokoh cerita media film dapat mempengaruhi persepsi
akan pentingnya sebuah isu. Disamping dilakukan lewat beberapa simbol yang
sifatnya sekunder sebagai bentuk pengemasan pesan. Imbasnya individu-individu
yang terlibat dalam komunikasi massa akan dapat berbicara tentang kejadian dan aktivitas
aspek cerita film.
Aspek pengaruh diakibatkan
oleh pengirim pesan dan penerima pesan, dimana satu sama lainnya terjadi proses
pelimpahan dan pembagian makna dalam proses pesan komunikasi. “Aspek pengalaman
individual dengan pengalaman kolektif dalam segi pemakaian, sejauh mana
hubungan dengan sumber (pesan), posisi pengirim ditinjau dari sudut penerima,
dimensi interaktivitas pengirim dan penerima sebagai timbal balik antara
pengirim dan penerima” (Denis McQuail: 2000: 23).
Dalam penghayatan pangaruh
film terjadi proyeksi dan identifikasi. Menurut Parensi (2005: 6) “proses
identifikasi dinyatakan dalam proyeksi dan identifikasi optik, penonton
mengidentifikasi dirinya sebagai kameramen. Proyeksi dan identifikasi
emosional, dimana perpindahan ruang berlangsung secara logis dan bermotivasi.
Proyeksi dan identifikasi imajiner, penonton berada pada immajinatif
tokoh-tokoh yang terlibat dalam kejadian”.
Festival Film dan Isu
Lingkungan
Film yang dimaksudkan ialah
film fiksi, film fiksi ialah film yang diproduksi berdasarkan atas ide dan
gagasan seorang penulis naskah, bentuknya ialah imajinasi murni, hasil rekaan
ide, dan tidak berdasarkan atas kronologis realitas murni. Sebagaimana
dinyatakan oleh Pratista (2008: 6-7) “film fiksi terikat oleh plot. Dari sisi
cerita, film fiksi menggunakan cerita rekaan diluar kejadian nyata serta
memiliki konsep pengadegan (fragmen) yang telah dirancang sejak awal. Film
fiksi antara nyata dan abstrak, baik secara naratif maupun secara sinematik
sering menggunakan pendekatan dokumenter”.
Selanjutnya Pratista (2008:
9-10) “adapun metode yang paling mudah kita gunakan untuk mengklasifikasi film
adalah berdasarkan genre (jenis), seperti aksi, drama, horror, musical, western
dan sebagainya”. Film pada dasarnya dilihat dari isi cerita dalam membagi jenis
dan klasifikasinya dalam perkembangannya yang mulai banyak diproduksi. Dari
masa ke masa film semakin berkembang demikian pula genrenya. Genre lahir dari
tren dan dihasilkan pada selera masyarakat yang mewakilinya. Berikut skema
induk genre film:
No
|
Genre Induk Primer
|
Genre Induk Sekunder
|
1
|
Aksi
|
Bencana
|
2
|
Drama
|
Biografi
|
3
|
Epic sejarah
|
Detektif
|
4
|
Fantasi
|
Film noir
|
5
|
Fiksi ilmiah
|
Melodrama
|
6
|
Horror
|
Olahraga
|
7
|
Komedi
|
Travelog/perjalanan
|
8
|
Kriminal dan gangster
|
Roman
|
9
|
Musical
|
Superhero
|
10
|
Petualangan
|
Supernatural
|
11
|
Perang
|
Spionase
|
12
|
Western
|
Thriller
|
(Sumber, Pratista: 2005: 13)
Sementara Heru Nugroho
(2001: 13) menyatakan bahwa “durasi film cerita (fiksi) pendek di bawah 60
menit. Film cerita pendek dijadikan laboratorium eksperimen dan batu loncatan
bagi seorang/sekelompok orang untuk kemudian memproduksi film panjang. Film
dengan durasi lebih dari 60 menit disebut film panjang”. selanjutnya “film
pertama kali lahir di paruh kedua abad ke-19, dibuat dengan bahan dasar
seluloid yang sangat mudah terbakar, bahkan oleh percikan abu rokok sekalipun.
Sesuai perjalanan waktu, para ahli berlomba-lomba untuk menyempurnakan film
agar lebih aman dan mudah diproduksi” (Nugroho: 2001: 21).
Dalam proses produksi kebutuhan
shooting dengan melakukan perencanaan. Sebagaimana dalam Nugroho (2001: 29-39)
antara lain:
1. Script Breakdown, yakni
berisi informasi tentang setiap adegan yang ada dalam film. Isinya meliputi; date, script version date, production
company, breakdown page no, title, page count, location on set, scene no,
int/ext, day/night, description, cast, wadrobe, extras/atmosphere, make up/hair
do, stunt, vehicles/animal, props, set dressing, sound effect, musik, special
equipment, production notes, dll.
2. Jadwal
shooting, yakni kumpulan adegan dan lokasi yang direncaanakan berdasarkan
waktunya.
Adapun tim inti (Nugroho,
2001: 59-65) dalam pembuatan film ialah sebagai berikut:
1. Produser,
kepala depatemen produksi sebagai penggerak produksi film, terdiri atas; executive producer, Associate producer,
producers, line producer.
2. Director
(sutradara), yakni menentukan konsep kreatif tentang arahan gaya pengambilan
gambar.
3. Manajer
produksi, yakni sebagai coordinator harian yang mengatur kerja dan
memaksimalkan potensi yang ada di seluruh departemen.
4. Desainer
produksi (art), yakni mendesain dan
membuat sketsa untuk memvisualisasikan setiap shot.
5. Director of Photography, yakni
meraancang tata cahaya dan kamera berdasarkan atas arahan sutradara dan bagian
lain.
Adapun festival film dengan berbagai tema
yang diselenggarakan di Indonesia ialah:
No
|
Festival
|
Penyelenggara/Tempat
|
1
|
Festival
Film Indonesia
|
Depbudpar/Jakarta
|
2
|
Shitos
|
Komunitas
Lingkungan Hidup/Jakarta
|
3
|
FFD
|
Yogyakarta
|
4
|
Vagina
Festival
|
Jakarta
|
4
|
FFB
|
Bandung
|
5
|
Indoc
Festival
|
Indoc/Jakarta
|
6
|
Kine
Club
|
Ditjen
Budpar/Jakarta
|
7
|
ADB
|
Keberlangsungan
air (lingkungan)
|
8
|
Dll
|
-
|
(Dari berbagai sumber)
Film Save Water Dalam
Kajian ECA (Etnographic Content Analysis)
Macam dan jenis analisis
isi banyak dipakai untuk metode penelitian yang difokuskan pada penelitian
surat kabar untuk melihat berbagai persoalan isi media, baik dalam bentuk
kewacanaan, politik, sosial, religious, konflik, pluralism dan sebagainya.
Sebagaimana dinyatakan oleh Burhan Bungin (2010: 203) “analisis isi media
kualitatif lebih banyak dipakai untuk meneliti dokumen yang dapat berupa teks,
gambar, simbol, dan sebagainya untuk meemahami budaya dari suatu konteks sosial
tertentu”.
Persoalan teks media, baik
berupa teks tertulis, gambar, simbol dan sebagainya termasuk dalam perkembangan
teks audio-visual, televisi maupun film yang terekam dalam bingkai kamera
audio-visual. Selanjutnya Bungin (2010: 203) menjelaskan bahwa “dokumen dalam
analisis isi kualitatif adalah wujud dari representasi simbolik yang dapat
direkam/didokumentasikan, analisis isi untuk memahmai makna, signifikansi dan
revelansinya”.
David L. Altheide (Bungin,
2010: 203) lebih suka menggunakan istilah ethnographic
content analysis “untuk menjelaskan model penelitian analisis isi kualitatif.
Istilah ECA (ethnographic content
analysis) sebenarnya adalah perpaduan (blend)
antara metode analisis isi objektif (traditional
notion of objective content analysis) dengan observasi partisipan”.
Sementara Kriyantono (2008: 249) “dalam ECA periset (peneliti) berinteraksi
dengan material-material dokumentasi atau bahkan melakukan wawancara mendalam
untuk mendapatkan konteksnya”.
Studi analisis isi
bergantung atas beberapa validasi data atau dokumentasi yang dikategorikan.
Sebagaimana dinyatakan oleh Deutschmann) “kategori-kategori; perang, pertahanan
dan diplomasi, politik dan pemerintahan, kegiatan ekonomi, kejahatan, masalah
moral masyarakat, kesehatan dan kesejahteraan, kecelakaan dan bencana, ilmu
serta penemuan, pendidikan dan seni klasik, hiburan rakyat dan human interest” (Flournoy, 1986: 25-26).
Edelman dalam Eriyanto
(2004:156-157) menyatakan bahwa “mensejajarkan framing dengan kategorisasi,
kategorisasi merupakan abstraksi dan fungsi pikiran. Kategori, membantu manusia
memahami realitas yang beragam dan tidak beraturan menjadi realitas yang
memahami makna. Khalayak tidak sadar bahwa alam pikiran mereka dan kesadaran
mereka telah didikte dalam sudut pandang tertentu sehingga tidak berpikir pada
dimensi yang lain”. Sementara Hamad menyatakan bahwa (2010: 41) “dalam
mengkonstruksi realitas, dpengaruhi faktor innocenity, internality,
externality, para pihak mendayagunakan bahasa, mengatur fakta (framing)”.
Dalam ECA (Kriyantono 2010:
250) “peneliti dihadapkan pada beberapa hal yang menyangkut sistematis analisis
isi sebagai guide kategorisasinya
antara lain:
1. Isi (Content)
2. Process (pengemasan bentuk media)
3. Emergency, yakni tahapan pembentukan
secara bertahap dari sebuah pesan melalui interpretasi.
Selanjutnya Bungin (2010: 203) menyatakan dengan jelas bahwa
“apapun jenis teks gambar, termasuk gambar bergerak (moving image), haruslah memperhatikan beberapa hal, antara lain:
1. Context, atau situasi sosial di seputar
dokumen atau text yang diteliti.
2. Procces, produksi media atau isi pesan
dikreasi secara aktual dan diorganisasikan.
3. Emergency, tahapan makna sebuah
pesan melalui pemahaman dan interpretasinya.
Pamela J. Shoemaker dan
Resse (Kriyantono, 2010: 251) memandang bahwa “terjadi pertarungan dalam
memahami realitas dalam isi media yang disebabkan beberapa faktor:
1. Latar
belakang awak (crew) media.
2. Rutinitas
media (proses penentuan tema).
3. Struktur
organisasi (job-descriptions)
4. Kekuatan
ekstramedia, lingkungan sosial, politik, budaya, hukum, agama, khalayak dll)
5. Ideologi
(negara).
Pembacaan Frame Dalam
Bingkai ECA
Dari rangkaian continuity (kesinambungan) frame
diatas, terdapat sejumlah kelompok yang dilakukan dalam produksi, dalam hal ini
frame kamera yang ditujukan dengan shot size (bentuk/ukuran shot) meliputi:
No
|
Shot
Size
|
Urutan
Frame
|
Moving-Remark
|
1
|
Big Close Up (BCU), Extreme Close Up (ECU)
|
1,2,5,6,12,14,16,17,19,20,21,22
|
Still
|
2
|
Close Up (CU)
|
3,10,15,18,23,25,28
|
Still
|
3
|
Medium Shot (MS), Midle Close Up (MCU)
|
4,7,8,9,11,13,24
|
Still
|
4
|
Medium Long Shot (MLS), Long Shot (LS)
|
26,27,29,30,31
|
Still, Zoom In
|
Sebagaimana dinyatakan oleh Naratama (2004: 74-75)
bahwa “framing LS, MLS, MS, digunakan sebagai Landscape format yang
mengantarkan mata penonton kepada keluasan suatu suasana dan objek serta untuk
menggunakan bahasa tubuh untuk menjelaskan (mendukung) maksud”. Selanjutnya
(Naratama, 2004: 76-78) “framing MCU, CU, BCU digunakan untuk profil, bahasa
tubuh, emosi (ekspresi) terlihat lebih jelas (detail), ungkapan emosi dari
objek utama, wujud ekspresi dan dapat digunakan untuk objek berupa benda”.
Tata gambar yang diambil berdasarkan lensa (lens)
kamera ialah penatapan objek yang diharapkan mampu mewakili tatapan penonton
terhadap objek yang dilihatnya. Dalam film Save
Water, dominasi tatap (shot size)
ECU, BCU dan CU, shot-shot yang
demikian memperlihatkan dua penjabaran, diantaranya:
1.
Detail ekspresi yang dapat mewujudkan, emosi, ekspresi menikmati setiap
tetes, setiap aliran air yang meresap kedalam kulit pemeran utama dalam film.
Hal ini menggambarkan bagaimana berartinya air bagi tubuh manusia sebagai satu-satunya
benda untuk dapat membersihkan tubuh dan mampu menentramkan dan melembabkan
kulit secara alamiah.
2.
Bentuk pelecehan penonton kepada objek (pemeran utama) yang diwakilkan
oleh sentuhan sutradara dan kameramen, dan atau sebaliknya bentuk pelecehan
objek utama kepada penonton. Bentuk pelecehan itu ialah ketika dua orang saling
berhadapan (dua orang, penonton dan objek/orang yang ditonton) dengan saling
emosi, ekspresi, antara kedua bola mata saling beradu, maka yang timbul dalam
jiwa (psikologi) masing-masing orang ialah ketersinggungan secara pribadi.
Antara keduanya saling merasa dihinakan, dilecehkan dengan perilaku tersebut.
Tata gambar berikutnya ialah, LS, MLS, MS dalam
film Save Water ialah, suatu situasi guna mengutarakan maksud background, suasana
dan keterpaduan objek dalam menggunakan bahasa tubuh sebagai pendukung atas
maksud pesan yang disampaikan. Berikut ini beberapa penjabaran dari continuity
gambar diatas.
1.
Keterasingan objek dan lingkungan. Ada ketimpangan yang nyata antara
objek dengan lingkungan, dimana disekitar sumur tersebut, terutama pohon yang
digunakan sebagai latar setting tempat untuk melakukan adegan mandi tersebut
terlihat begitu rindang. Sehingga ada logika cerita yang putus terpatahkan
dengan sendirinya, ada kontradiksi antara cerita pesan yang disampaikan dengan
situasi kondisi alam yang terjadi saat itu. Logikanya, ketika musim kesulitan
air bersih seperti demikian dibeberapa daerah di Indonesia terjadi saat musim
kemarau dengan ditandai dengan meragasnya daun-daun pohon sebagai upaya
tumbuhan mempertahankan diri dari kondisi alam yang terjadi pada masanya.
2.
Bahasa warna (tune colour),
warna kuning kecoklatan (jingga) dalam film tersebut guna menunjukan keadaan
lembayung, senja hari. Ada dua hal yang terjadi akibat penggunaan warna jingga
dalam film ini, antara lain:
a.
Harapan, jingga sebagai warna sore hari memberikan suatu kekhawatiran
bagi semua manusia, kekhawatiran akan terjadi gelap malam yang menyelimuti.
Kekhawatiran manusia untuk memnantikan esok hari. Dalam hal ini, manusia pada
hakikatnya sudah khawatir dengaan siklus alam yang tidak menentu, jika kemudian
manusia tidak sesegera memperbaiki kondisi dan kualitas alam dalam beberapa
hal, terutama ketersediaan air bersih, maka manusia hanya bisa menantikan,
berharap keadaan alam normal seperti sedia kala. Jika kerusakan (malam/gelap)
selamanya menyelimuti bumi ini maka manusia tidak akan berjumpa lagi dengan
pagi, dan jika manusia tidak segera sadar diri, peduli dengan lingkungan maka
kerusakan lingkungan akan terus terjadi dan terus bertambah luas, maka untuk
hidup dengan alam yang sehat hanya tinggal angan-angan semata.
b.
Kesia-siaan, sebagai sebuah isu, kerusakan lingkungan terus
dikampanyekan diberbagai belahan dunia, dengan segala media menjadi alatnya,
isu tentang lingkungan menjadi sebuah isu besar yang tidak dibarengi dengan
perbaikan dan terkesan dibiarkan begitu saja.
Pada intinya, pergerakan tata kamera dilihat dari moving-nya (gerak kamera) dalam film ini
bersifat statis, dikarenakan hampir semua shot
size bersifat still (diam/statis) yang mencerminkan pola pikir proses
produksi yang menunjukan keadaan atas konteks isu yang bersifat dinamis namun
statis dalam penanganannya. Konteks isu lingkungan seolah-olah hanya menjadi
trend dan komoditas wacana media, terutama media-media yang dimiliki oleh
pemodal besar.
Analisa Peran Film Save
Water dan Kontektualisasi
1.
Pembahasan tentang pencitraaan Asian Development Bank dengan festival
film pendek.
a.
Kampanye hemat air
Bank
Pembangunan Asia dalam kampanye air untuk masa yang akan
datang ialah prospek pengembangan asian 2011. Pandangan
analisis yang komprehensif dari suatu negara saat ini ialah ketersediaan air, hal ini yang harus dicapai oleh negara-negara di
kawasan asia-pasifik. Isu ini menjadi target untuk menteri keuangan dan perencanaan pembangunan, yang akan
merekomendasikan panduan investasi dengan aturan pemerintah yang lebih baik
untuk meningkatkan ketersediaan air pada masa mendatang. Hal ini dicetuskan bank pembangunan asia dan forum air Asia-Pasifik,
sebelum KTT Asia-pasifik air 2 di januari 2012 di Bangkok, Thailand.
Dari sepuluh negara asia telah bergabung dalam upaya tim
kolaboratif untuk menghasilkan “Pembangunan Air Asia 2011” dan
didukung oleh beberapa kawasan lainnya. Pada tahun 2009, tim ini
merilis visi yang mengarahkan mereka pada isu ketersediaan air bersih, antara lain:
1.
Mendukung ekonomi produktif di bidang pertanian dan industri
2.
Mengembangkan bersemangat, kota layak huni
3.
Kembalikan sungai sehat dan ekosistem, dan
4.
Membangun masyarakat tangguh yang dapat beradaptasi
terhadap perubahan
Kelima
dimensi itu bertujuan untuk menginspirasi para pemimpin keuangan dan
perencanaan pembangunan. Dengan berlandaskan ekonomi dan sosial untuk menjaga ketersediaan air berkaitan
di seluruh aspek, rumah tangga, masyarakat, sektor ekonomi, kota, alur
sungai, dan subregional semakin terintegrasi. Ketersediaan air sangat diperlukan untuk
pangan dan keamanan energi dan industri yang lebih efisien dan pertanian.
Indeks dan
analisis untuk lima dimensi kunci ketersediaan air ialah sebagai berikut:
1.
Ketersediaan air (rumah tangga). Diukur
dengan akses persediaan air dan layanan sanitasi di masyarakat pedesaan dan
perkotaan dan semua kelompok pendapatan.
2.
Ketersediaan air (ekonomi). Diukur
dengan efisiensi dan produktivitas air-menggunakan sektor utama: pertanian,
industri, dan anergi, dengan indikator baru dieksplorasi untuk efisiensi pengunaannya.
3.
Ketersediaan air (perkotaan). Diukur
dengan efisiensi pasokan, pengolahan air yang digunakan, sistem drainase,
dan keterlibatan publik.
4.
Kebersihan sungai. Diukur dari kapasitas
DAS (Daerah Aliran Sungai) untuk mempertahankan fungsi dan layanan di bawah
tekanan dan ancaman bagi polusi dan perubahan penggunaan lahan sungai.
5.
Ketahanan air. Diukur dengan risiko dan ketahanan
dari air terkait bencana, yaitu banjir, kekeringan, badai.
b.
Penjualan isu lingkungan
Isu lingkungan terutama
yang mengcakup hajat hidup orang banyak, yakni ketersediaan air bersih dan
sistem sanitasi yang berakibat pada kesehatam masyarakat menjadi isu sentral
yang dijual oleh ADB kepada negara-negara dunia ketika yang masih terbelit
permasalahan tersebut. Sebagai contoh dalam film save water, dengan latar belakang kemiskinan dan pola hidup
masyrakat pedesaan yang masih minim pengetahuan tentang sanitasi air, didorong
dengan kultur dan pembangunan yang tidak memadai sebagai akibat pembagian
perekonomian yang tidak sama antara daerah dan pusat. Sehingga pola pembangunan
dan perencanaan pembangunan hanya bersifat sentralisasi dan tidak menyentuh
arus bawah.
2.
Representasi ideologi (Ideologi Media)
a.
Proses pencitraan
Film save water pada
hakikatnya ialah sebagai upaya pencitraan sebuah lembaga keuangan dunia yang
berguna untuk menanamkan isu peduli terhadap perubahan iklim dan kemiskinan
untuk menarik minat para menteri keuangan (pemerintah) dan badan perencanaan
pembangunan, sebagai upaya untuk menyalurkan dana (utang) dan bantuan yang
menjerat sebuah negara.
b.
Upaya penanaman ideologi
Dikarenakan jika sebuah negara menerima bantuan dan dana kucuran (utang)
dengan membawa isu lingkungan sebagai keturutsertaan ADB untuk menjerat negara
dalam pengelolaan Utang yang didasari kepedulian atas berbagai isu, baik
kemiskinan, gender, pendidikan, lingkungan dan lain-lain.
c.
Upaya mempengaruhi negara
Pengaruh atas ADB pada suatu kawasan dan dibeberapa negara ialah sangat
konkret dengan mengedepankan lingkungan. Ada dua kekkuatan yang diusung oleh
ADB, pertama, ialah kekuatan kapitalisme dalam menjerat negara-negara dengan
dana utang yang dikucurkan, kedua, kekuatan yang mengusung kepedulian terhadap
isu-isu mendasar atas nilai-nilai kemanusiaan.
3.
Kontektualisasi
Ada dua hal
yang mesti kita amati dalam peran ADB ketika suatu lembaga keuangan dunia
mempunyai kepedulian terhadap isu-isu lingkungan dan menggunakan film sebagai
media sosialisasinya. Pertama, kepedulian terhadap lingkungan sebagai bentuk
kesadaran murni yang ditopang dengan semangat penanaman ideologi keuangan
sebagai usaha menanamkan jerat pinjaman (utang) untuk membangun sebuah bangsa
yang membangun dengan mengedepankan keberlangsungan lingkungan (ketersediaan
air bersih dan sanitasi) dan atau isu-isu lainnya, seperti polusi dan
transportasi, perubahan iklim, energy ramah lingkungan, gender, kemiskinan,
urbanisasi dan lain-lain.
Kedua, proses membangun
citra sebuah institusi keuangan dunia untuk bisa dipandang sebagai lembaga yang
menyediakan anggaran pembangunan untuk dipinjamkan kepada negara anggotanya
dengan persyaratan, dana talangan atau pinjaman tersebut digunakan berdasarkan
semangat membangun lingkungan yang bersih, serta membangun isu-isu lainnya.
Dalam hal ini ada semacam
penekanan dari ADB kepada negara peserta utang untuk mengelola dana pinjaman
tersebut berdasarkan semangat keberlangsungan lingkungan hidup.
C. Kesimpulan dan
Rekomendasi
Film save water pada hakikatnya digunakan oleh
Asian Develovment Bank ialah dipergunakan sebagai alat propaganda dalam upaya
menjerat negara-negara anggota ADB untuk meminjam dana pembangunan di dasarkan
pada:
a.
Dilihat dari upaya jerat kapitalis dengan cara yang sosialis
1.
Isu lingkungan hidup
2.
Isu gender
3.
Isu pendidikan
4.
Dan lain-lain.
b.
Dilihat dari isi film, maka bentuk film dalam sosialisasi lingkungan
merupakan bentuk pelecehan sekaligus penekanan ideologi ADB terhadap negara
peminjam dana pembangunan.
c.
Dilihat dari upaya penanaman isu dengan berpendirian pada sisi sosial
sebagai bentuk pemasaran produk pinjaman utang bagi negara-negara yang menjadi
anggota untuk berada pada jerat utang yang dilakukannya.
Adapun dalam rekomendasi yang dihasilkan dari
analisis di atas bagi negara-negara anggota maupun bagi ADB, ialah sebagai
berikut:
1.
Isu lingkungan terutama ketersediaan air bersih dan sistem sanitasi
hendaknya menjadi isu bersama yang harus ditanggulangi sesegera mungkin
mengingat menyangkut kesehatan.
2.
Isu lingkungan yang diangkat oleh ADB bukan sekedar dijadikan sebagai
alat propaganda ideologi dan kepentingan ekonomi semata tetapi sebagai bentuk
kesadaran kemanusiaan.
3.
Kampanye isu lingkungan sebagai bentuk riil pencegahan global warming
untuk keberlangsungan bumi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terima kasih. segera saya akan konfirmasi.