Jumat, 29 Agustus 2014

MODEL-MODEL KOMUNIKASI ANTARBUDAYA (Oleh: Ahmad Toni)

MODEL-MODEL KOMUNIKASI ANTARBUDAYA
Oleh:
Ahmad Toni
           
A.    Pendahuluan
Komunikasi antarbudaya adalah komunikasi yang terjadi di antara orang-orang yang memiliki kebudayaan yang berbeda (bisa beda ras, etnik, atau sosioekonomi, atau gabungan dari semua perbedaan ini.  Menurut Stewart L. Tubbs, komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda budaya (baik dalam arti ras, etnik, atau perbedaan-perbedaan sosio ekonomi).Kebudayaan adalah cara hidup yang berkembang dan dianut oleh sekelompok orang serta berlangsung dari generasi ke generasi. Hamid Mowlana menyebutkan komunikasi antarbudaya sebagai human flow across national boundaries. Misalnya; dalam keterlibatan suatu konfrensi internasional dimana bangsa-bangsa dari berbagai negara berkumpul dan berkomunikasi satu sama lain. Sedangkan Fred E. Jandt mengartikan komunikasi antarbudaya sebagai interaksi tatap muka diantara orang-orang yang berbeda budayanya. Intercultural communication generally refers to face-to-face interaction among people of diverse culture. Guo-Ming Chen dan William J. Sartosa mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya adalah proses negosiasi atau pertukaran sistem simbolik yang membimbing perilaku manusia dan membatasi mereka dalam menjalankan fungsinya sebagai kelompok. Selanjutnya komunikasi antarbudaya itu dilakukan:
1.      Dengan negosiasi untuk melibatkan manusia di dalam pertemuan antarbudaya yang membahas satu tema (penyampaian tema melalui simbol) yang sedang dipertentangkan. Simbol tidak sendirinya mempunyai makna tetapi dia dapat berarti ke dalam satu konteks dan makna-makna itu dinegosiasikan atau diperjuangkan;
2.     Melalui pertukaran sistem simbol yang tergantung daripersetujuan antarsubjek yang terlibat dalam komunikasi, sebuah keputusan dibuat untuk berpartisipasi dalam proses pemberian makna yang sama.
3.     Sebagai pembimbing perilaku budaya yang tidak terprogram namun bermanfaat karena mempunyai pengaruh terhadap perilaku kita.
4.     Menunjukkan fungsi sebuah kelompok sehingga kita dapat membedakan diri dari kelompok lain dan mengidentifikasinya dengan pelbagai cara.
Kata ‘budaya’ berasal dari bahasa sansekerta buddhayah yang merupakan bentuk jamak antara buddhi, yang berarti ‘budi’ atau ‘akal’. Kebudayaan itu sendiri diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi atau akal. Istilah ‘culture’ berasal dari kata colere yang artinya adalah mengolah atau mengerjakan, yang dimaksudkan kepada keahlian mengolah atau mengerjakan tanah atau bertani. Kata ‘colere’, kemudian berubah menjadi culture, diartikan sebagai segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah alam (Soekamto, 1996: 188). Komunikasi antarbudaya memiliki perbedaan dari teori komunikasi lainnya yaitu adanya perbedaan latar belakang pengalaman yang relatif besar antara para komunikatornya, yang disebabkan perbedaan kebudayaan. Jadi, dapat disimpulkan bahwa komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antara dua komunikan yang berbeda latar belakang kebudayaan.
Berikut ini adalah beberapa pengertian menurut tokoh ahli.
1.     Andrea L. Rich dan Dennis M. Ogawa dalam buku Larry A. Samovar dan Richard E. Porter Intercultural Communication, A Reader – komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda kebudayaan,
misalnya antara suku bangsa, antar etnik dan ras, antar kelas sosial (Samovar dan Porter, 1976: 25).
2.      Samovar dan Porter juga mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya terjadi di antara produser pesan dan penerima pesan yang latar belakang kebudayaannya berbeda (Samover dan Porter, 1976: 4).
3.     Charley H. Dood mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya meliputi komunikasi yang melibatkan peserta komunikasi yang mewakili pribadi, antarpribadi, dan kelompok, dengan tekanan pada perbedaan latar belakang kebudayaan yang mempengaruhi perilaku komunikasi para peserta (Dood, 1991: 5).
4.     Intercultural Comunication yang disingkat “ICC”, mengartikan komunikasi antarbudaya merupakan interaksi antarpribadi antara seorang anggota dengan kelompok yang berbeda kebudayaan.
5.     Guo-Ming Chen dan William J. Starosta mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya adalah proses negosiasi atau pertukaran sistem simbolik yang membimbing perilaku manusia dan membatasi mereka dalam menjalankan fungsinya sebagai kelompok. Komunikasi antarbudaya itu dilakukan:
a.     Dengan negosiasi untuk melibatkan manusia di dalam pertemuan antarbudaya yang membahas satu tema (penyampaian tema melalui simbol) yang sedang dipertentangkan. Simbol tidak sendirinya mempunyai makna tetapi dia dapat berarti kedalam satu konteks, dan makna-makna itu dinegosiasikan atau diperjuangkan.
b.     Melalui pertukaran sistem simbol yang tergantung dari persetujuan antarsubjek yang terlibat dalam komunikasi, sebuah keputusan dibuat untuk berpartisipasi dalam proses pemberian makna yang sama.
c.     Sebagai pembimbing perilaku budaya yang tidak terprogram namun bermanfaat karena mempunyai pengaruh terhadap perilaku kita.
d.     Menunjukkan fungsi sebuah kelompok sehingga kita dapat membedakan diri dari kelompok lain dan mengindentifikasinya dengan pelbagai cara.


B.    Model Dalam Komunikasi Antarbudaya E. Porter & Larry A. Samovar
Menurut Sereno dan Mortensen (Mulyana, 2007) “suatu model komunikasi ialah merupakan deskripsi ideal mengenai apa yang dibutuhkan untuk terjadinya proses komunikasi”. Artinya proses komunikasi dilakukan dan dipahami sebagai proses penyampaian pesan yang melibatkan umpan balik dari komunikan sebagai pihak yang menerima pesan kepada pesan-pesan atau informasi yang diberikan oleh komunikator, proses tersebut dalam pesan yang terdapat oleh media. Unsur komunikasi yang berkaitan menjadi integral dalam proses penyampaiannya sebagai hubungan yang saling kontinu, bahwa komunikasi dilakukan seiring dengan keterkaitan unsur komunikasi.
Terdapat model transformasi pesan atau proses komunikasi yang dikemukakan oleh Laswell, Aristoteles dan Shannon dan Weaver yang cukup terkenal dalam perspektif ilmu komunikasi. Model komunikasi tersebut menjadi landasan riil dalam proses terjadinya kontak antar budaya “terjadi bila produsen pesan adalah anggota suatu budaya dan penerima pesannya adalah anggota suatu budaya yang lain” (Mulyana, 2005: 20).  Budaya bertanggungjawab penuh kepada seluruh perilaku komunikasi dari individu-individu yang mempunyai makna yang dimiliki oleh setiap individu. Proses mempengaruhi antar individu yang berbeda budaya menjadikan pengaruh-pengaruh dan sifat-sifat yang berbeda pula. Semisal individu dengan budaya A dan individu dengan budaya B, konsekuensi perubahan makna dan perilaku dalam budaya akan terbuka. Berikut ini bagan komunikasi antarbudaya:










Budaya A Budaya B













Budaya A
Model Komunikasi Antarbudaya (Mulyana, 2005: 21)
“Derajat pengaruh budaya dalam situasi-situasi komunikasi antarbudaya merupakan fungsi perbedaan antar budaya-budaya yang bersangkutan. Hal ini menunjukan model drajat perubahan pola yang terlihat pada gambar diatas, dimana pengaruh perubahan ini menunjukan terjadinya kemiripan yang lebih besar antara budaya A dan budaya B, yang menghasilkan makna yang mendekati makna yang termaksud dalam pesan. 
Budaya dan komunikasi melahirkan kategori-kategori, konsep-konsep dan label yang dihasilkan budaya yang saling bersingungan. Kemiripan budaya dalam persepsi memungkinkan pemberian makna yang mirip pula terhadap suatu objek sosial atau peristiwa. Cara-cara kita berkomunikasi, keadaan komunikasi, bahasa, dialek dan gaya bahasa, perilaku nonverbal dan respons dalam interaksi manusia. Sebagaimana dinyatakan oleh Mulyana (2005: 25) “budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. Budaya bersifat kompleks, abstraks, dan luas”.  Unsur-unsur sosial budaya merupakan bagian dari komunikasi antarbudaya, berikut adalah komponen komunikasi antarbudaya:
a.     Persepsi, adalah proses internal yang kita lakukan untuk memilih, mengevaluasi an mengorganisasikan rangsangan dari lingkungan eksternal. Persepsi adalah cara kita mengubah energy-energi fisik lingkungan kita menjadi pengalaman yang bermakna (Mulyana, 2005: 25). Adapun unsur-unsur persepsi antara lain:
1)    Sistem Kepercayaan. Kepercayaan secara umumdapat dipandang sebagai kemungkinan subjektif yang diyakini oleh individu bahwa suatu objek atau peristiwa memiliki karakteristik individu.
2)    Nilai, adalah aspek evaluative dari sistem kepercayaan, nilai dan sikap
3)    Pandangan dunia (world view), pandangan dunia berkaitan dengan orientasi suatu budaya terhadap hal-hal seperti Tuhan, kemanusiaan, alam dan masalah filosofis lainnya.
4)    Organisasi sosial, keluarga, sekolah dan lain-lain.
5)    Bahasa verbal, bahasa verbal dapat diartikan sebagai suatu sistem lambing terorganisasikan, disepakati secara umum dan merupakan hasil belajar, yang digunakan untuk menyajikan pengalaman-pengalaman dalam suatu komunitas geografis atau budaya.
6)    Pola pikir, proses mental, bentuk-bentuk penalaran, dan pendekatan-pendekatan terhadap pemecahan masalah yang terdapat dalam suatu komunitas, merupakan suatu komponen penting budaya.
b.     Proses Nonverbal
1)    Perilaku nonverbal, sebagai komponen budaya, ekspresi nonverbal mempunyai banyak persamaan dengan bahasa. Keduanya merupakan sistem penyandian yang dipeljari dan diwariskan sebagai bagian pengalaman budaya.
2)    Konsep waktu, konsep waktu suatu budaya merupakan filsafat tentang masa lalu, masa sekarang dan masa akan datang atau masa depan.
3)    Penggunan ruang, sebagai bagian dalam komunikasi antarpersonal disebut dengan proksemika (proxemics).

C.   Model dalam Komunikasi Antarbudaya Gudykunts
Model komunikasi menurut William  B.Gudykunst dan Young Yun Kim[1] merupakan model komunikasi antarbudaya, yakni komunikasi antara orang-orang yang berasal dari budaya berlainan, atau komunikasi dengan orang asing (stranger). Sebenarnya, istilah "intercultural communication" pertama kali diperkenalkan oleh Edward T. Hall pada tahun 1959. Pada tahun 1983, melalui bukunya  yang berjudul "Communicating with Stranger: An Approach to Intercultural Communications", Gudykunst dan Kim memperkenalkan tema pertama tentang  "teori komunikasi antar budaya" Intercultural Communication.
Berikut ini adalah tujuan dari komunikasi antar budaya, yaitu:
1.     Memahami perbedaan budaya yang mempengaruhi praktik komunikasi.
2.     Mengkomunikasi antar orang yang berbeda budaya.
3.     Mengidentifikasikan kesulitan – kesulitan yang muncul dalam komunikasi.
4.     Membantu mengatasi masalah komunikasi yang disebabkan oleh perbedaan budaya.
Menurut Gudykunst dan Kim, ada 4 filter konseptual yang mempengaruhi kita dalam berkomunikasi (melakukan penyandian pesan dan penyandian balik pesan), yaitu:
1.     Faktor budaya: meliputi faktor-faktor yang menjelaskan kemiripan dan perbedaan budaya. (Agama, budaya, sikap, bahasa). Contoh: Ketika kita harus memilih mau peduli dengan individu atau dengan kelompok.
2.     Faktor sosiobudaya: Pengaruh yang menyangkut proses penataan sosial. (keanggotaan, kelompok, konsep diri, ekspektasi diri). Contoh: Jika kita menjadi ketua dalam suatu organisasi, tentunya konsep diri dan ekspektasi diri kita sangat tinggi.
3.      Faktor psikobudaya: Mempengaruhi proses penataan pribadi (stereotip dan sikap). Contoh: Etnosentrisme (menafsirkan perilaku orang lain dengan pemikiran diri sendiri dan ingin orang lain berlaku sama seperti kita).
4.      Faktor lingkungan: mempengaruhi persepsi kita akan lingkungan.  (lokasi geografis, iklim, situasi arsitektural, persepsi atas lingkungan). Contoh: Seorang Amerika Utara dan seorang warga Kolombia yang memiliki cara pandang berbeda tentang ruang keluarga.. (Bagi orang Amerika ruang keluarga adalah tempat berkumpul dan bercanda (informal), bagi orang  Kolombia, ruang keluarga adalah tempat formal).


Terjadinya Proses Komunikasi 
Menurut gambaran model komunikasi Gudykunst dan Kim[4], kedudukan sender/decoder dengan receiver/decoder sama. Pribadi A dan probadi B dapat berperan sebagai pengirim sekaligus penerima. Masing-masing pribadi dapat melakukan penyandian pesan sekaligus penyandian balik pesan.  Pesan suatu dari pribadi A dapat juga menjadi umpan balik bagi pribadi B. Begitu pula sebaliknya. Dalam penyampaian pesan, ada faktor-faktor yang mempengaruhi sang receiver untuk menanggapi pesan itu. Faktor-faktor tersebut berupa filter-filter konseptual yang terdiri dari faktor budaya, sosiobudaya, psikobudaya, dan lingkungan. Menurut Godykunst dan Kim, penyandian pesan dan penyandian-balik pesan merupakan proses interaktif yang dipengaruhi oleh filter-filter konspetual yang dikategorikan menjadi faktor-faktor buday, sosiobudaya, psikobudaya dan faktor lingkungan.
Lingkaran paling dalam, yang mengandung interaksi antara penyandian pesan paling dalam, yang mengandung interaksi antara penyandian pesan dan penyandian pesan balik pesan, dikelilingi tiga lingkaran lainnya yang merepresentasikan pengaruh budaya, sosiobudaya, dan psikobudaya. Ketiga lingkaran dengan garis putus-putus mencerminkan hubungan faktor-faktor yang tidak dapat dipisahkan dan saling mempengaruhi. Lingkungan merupakan salah satu unsur yang melengkapi model Gudykunst dan Kim. Garis putus-putus yang melambangkan Lingkungan merupakan pembuktian bahwa lingkungan tersebut bukanlah daerah tertutup atau terisolasi. Lingkungan mempengaruhi kita dalam menyandi dan menyandi balik pesan. Lokasi geografis, iklim, situasi arsitektual (lingkungan fisik). Dan persepsi kita atas lingkunga tersebut mempengaruhi cara kita menafsirkan rangsangan yang datang dan prediksi yang kita buat mengenai perilaku orang lain.
D.   Model Dimensi Waktu Dalam Komunikasi Antarbudaya Tom Bruneau.
1.     Waktu Dan Perbedaan Budaya
Sekali waktu  Oswald Spengler berkata, “Makna yang secara Intuitif diterapkan pada waktulah  yang menyebabkan satu budaya di bedakan dari budaya yang lain” (1926:130).Menerima pernyataan Spengler ini sama sekali tdak berarti bahwa kita menerima pandangan bahwa orientasi tertentu ada kaitannya dengan “budaya lebih tinggi”(1926:117-160). Pandangan bahwa temporalitas (ihwal waktu) satu budaya lebih baik dari temporalitas budaya yang lain tampak sebagai  dasar utama persepsi antar terhadap inferioritas dan superioritas. Literatur  Barat tentang budaya dan persepsi antarbudaya tampaknya dipenuhi dengan Contoh perbedaan konsepsi waktu,peerspektif waktu (dahulu,masa kini,dan masa depan), dan hal mengalami waktu (menjaga waktu, perwaktuan, pengaturan kecepatan atau pacing, dan perilaku waktu atau temporal behavior. asumsi-asumsi yang tak disadari: hal mengalami waktu (time experiencing) di Barat paling maju,paling berguna,dan paling baik untuk pengembangan pada masa depan.
Bagi kelompok budaya yang telah menerima bentuk-bentuk temporalitas Newtonian dan Objektif untuk mendefenisikan  waktu, asumsi-asumsi ini sulit untuk di permasalahkan. Jika suatu kelompok budaya menganggap bahwa “waktu mereka” lebih tinggi dari pada waktu, perwaktuan, dan tempo kelompok budaya lai; maka mereka telah meletakkan dasar untuk lebih menyukai aspek-aspek budaya berkenaan dengan ruang, penetapan ruang, dan gerak lewat ruang. Kedalamnya termasuk ruang batin atau hal mengalami waktu yang subjektif dan personal. Bahkan bahasa dapat dikaitkan dengan pandangan superioritas dan inferioritas waktu. Dalam hubungan ini,falsafah Cassirer yang secara meluas diterima dan dihormati mempunyai praduga kasar bahwa bahasa-bahasa yang “maju adalah bahasa yang lebih terperinci”dalam Zeitworternya (kata waktu) dari bahasa-bahasa yang kurang maju (Cassirer 1953:215-226). Tampaknya pada setiap tingkat analisis waktu, perwaktuan, dan tempo ada peerbedaan di antara berbagai budaya. Cara suatu Bangssa membayangkan historisitas atau cara kelompok budaya menggunakan memori mereka tampaknya di dasarkan pada orientasi waktu di tentukan oleh budaya. Berbagai cara mengingat,juga cara mengguanakan nostalgia,secara kebetulan bersifat khas kultural.
2.     Futurisme Dan Komunikasi Interkultural
Sebagaimana  konsep perspektif masa lalu tampak berbeda dari budaya yang satu ke budaya yang lain, begitu pula citra masa depan. Masa depan brsifat konseptual dan prosesual-juga masa kini dan masa lalu. Studi mendalam untuk mengetahui bagaiamana budaya-budaya berbeda dalam orientasi futuristik dan tempoalnya baru dimulai. Futurisme adalah sebuah gerakan yang bersifat multidisipliner dan dengan cepat berkembang menjadi upaya intensif dan terus-menerus seerta sangat penting dalam disiplin ilmu.Jalan-jalan baru menuju cara-cara berpikir ke depan yang belum di teliti akan berkembang. Tetapi cara-cara baru “berpikir ke depan “akan menghasilkan jarak yang lebih besar antara budaya yang secara cepat mengembangkan visi masa depannya (progresivisme) dengan budaya di mana citra masa depan baru berubah dari visi tradisional.
Ada beberapa budaya yang tampaknya memilki ke ajegan citra yang kaku dalam masa depannya. Tingkat keajegan citra masa depan berbeda-beda di antara kelompok-kelompok budaya. Contohnya,bagi budaya tertentu, pandangan masa depan itu di takuti dan disembunyikan dari alam pikiran. Bagi budaya lain lagi,berpikir tentang masa depan di anggap sebagai: kegiatan mubazir, aktivitas romantik yang tolol, atau sejenis kegiatan yang dilakukan oleh orang aneh atau orang jahat.
Tidak ada alasan mengapa kita tidak boleh menganggap bahwa setiap kelompok budaya mempunyai citra masa depan yang tertentu, yang boleh jadi sama atau berbeda dengan citra masa depan yang dimiliki oleh anggota kelompok budaya yang lain. Pendeknya, konsepsi waktu dan perspektif budaya yang berbeda adalah perbedaan utama di antara kelompok-kelompok budaya dan perlu di perhatikan oleh orang-orang yang meneliti komunikasi antar budaya. Kemampuan mengantisipasi akibat dan menangguhkan pemuasan kebutuhan meerupakan kegiatan yang diperkokoh secara kultural dan melibatkan perspektif futuristik.
Penangguhan pemuatan dan antisipasi akibat sangat berkaitan dengan kekayaan, kondisi ekonomi, dan kehidupan suatu kelompok budaya. Ini terjadi pada kebanyakan kelompok budaya. Tetapi kelompok-kelompok budaya mempunyai cara-caranya sendiri yang tradisional dalam mengantisipasi akibat maupun menangguhkan gratifikasi.Cara yang khas ini dapat berinteraksi  dengan perubahan kondisi ekonomis dan sosial dan perubahan pacu kehidupan  dengan bermacam-macam cara. Dalam sebagian kelompok budaya,arah yang jelas dan tindakan masa depan di lakukan dengan menetapkan dan mengguanakan berbgai macam jadwal kegiatan, dengan mengikuti langkah-langkah yang di tetapkan adat dan kebiasaan, atau dengan cara-cara menciptakan suasana peluang. Kadang-kadang, benturan perspektif budaya dapat di kontraskan secara tajam. Simaklah contoh terinci di bawah ini. Kemacetan lalu lintas antar budaya.
Misalkan, ada orang dari satu latar belakang budaya (orang A) membeli mobilnya yang pertama, belajar mengemudikannya, dan mengembangkan pola antisipasi kondisi lalu lintas, tanda, dan lampu lalu lintas. Pola atisipasi akan tanda-tanda brlalu lintas dari orang A ini tumbuh dari sejenis konsepsi “berpikir” yang dinilaipositif dalam kebudayaan A. Marilah kita bayangkan orang A termasuk pada kelompok budaya yang menilai positif sikap mengenai “ganjaran berpikir kemuka”. Orang B ketika membeli mobil yangg pertama, berasal dari kelompok budaya yang sedikit mengenal antisipasi akibat perbuatannya, yang diperlukan dalam tempo kehidupan kota yang cepat. Orang  B berasal dari dan dipengaruhi  oleh kelompok budaya dimana orang bertindak segera dari dalam hubungannya dengan kondisi yang dipersepsi segera juga.
Dalam budaya B, perlunya berpikir kemuka dengan cepat secara tradisional tidak diperlukan keculi untuk adat dan kegiatan budaya tertentu. Ini tidak berarti budaya B tak dapat berpikir futuristik. Kebanyakan orang dalam budaya B memang jarang di desak untuk berpikir seperti itu. Futurisme mereka jelas berkaitan dengan adat dan mereka telah mengembangkan pola perilaku untuk menghadapi problem dan kondisi baru seccara spontan.Dengan perkataan lain;orang B tidak mempunyai nilai berpikir kemuka,tidak mengalami peneguhan dari kelompok budayanya untuk berpikir kemuka. Karena itu, responnya terhadap kondisi lalu  lintas berorientasi masa kini,saat ini juga, bersifat segera.
Fred Polak (1961)adalah pemikir penting tentang pengembangan citra masa depan.Polak kelihatan ekstrem dalam memandang pentingnya orientasi futuristik dalam membentuk budaya. Tampaknya Polak berpendapat bahwa peerspektif masa depan yang berbeda sangat berpengaruh dalam penciptaan yang sesungguhnya dari jenis buddaya tertentu(1961), yang spesifik, terikat budaya, dan sentral bagi identitas dan berfungsinya budaya. Tesis Polak tentang  budaya dan perspektif masa depan dinyatakan dengan jelas.
Kesadaran akan nilai-nilai ideal adalah langkah pertama dalm penciptaan secara sadar citra masa depan dan karena itu penciptaan secara sadar budaya. Karena nilai, menurut defenisinya, adalah  apa yang membimbing kita menuju masa depan “ternilai” ...Jelaslah ssekarang bahwa ilmu gaib, agama, filsafat, sains, dan etika mungkin bersal dan berkembang secara kreatif dari kebutuhan pokok untuk memporoleh pengetahuan terlebih dahulu tentang masa depan. Dengan kata lain,bidang budaya yang asasi ini mungkin telah di kembangkan mula-mula sebagai cara dan sarana untuk memvisualisasikan dan mempengaruhi masa.
3.     Mengatur Waktu (timing) Dan Menjaga Waktu (Timekeeping) Di Antara Budaya -Budaya
Aspek penting dari dimensi waktu berkenaan dengan cara bagaimana dan sejauh mana menjaga  waktu yang objektif digunakan dan bagaimana hal demikian mempengaruhi kecepatan waktu (temporal pacing) dan pola-pola waktu dalam budaya tertentu. Lebih penting lagi bagi kita ialah bagaimana kendala dan kendali waktu objektif dapat mempengaruhi orang dari berbagai budaya dengan orientasi waktu yang berlainan. Dengan kata lain, cara-cara waktu (time devices), metode menjaga waktu, dan dan formulasi waktu yang objektif merupakan inti pacu kehidupan modern. Pacu kehidupan berinteraksi dengan mesin dan segala mesin. Mesin (jam) kecil yang melingkar di pergelangan tangan merupakan mesin yang paling pokok dan paling perkasa di dunia.Jam tampaknya mengendalikan mesin dan semua alat-alat elektronik. Gagasan waktu objektif sebagai bentuk waktu yang benar dan real adalah perkembangan penting dalam sejarah perilaku manusia.Kata Munford, “Jam adalah mesin kunci dari abad industri. Karaktristik pertama dari peradaban mesin modern adalah keteraturan waktu. Sejak bangun tidur, ritme hari diatur oleh jam. Tanpa memperdulikan lelah dan penat, keengganan atau apati, rumah tangga bergerak sesuai dengan jam yang telah di setel”,(1962:14,269).
Penggunaan jam yang meluas dan alat-alat menjaga waktu mungkin tumbuh ke satu arah yang tidak dapat di ulangi selama paruh terakhir abad ini. Pertumbuhan ekspansi penjagaan waktu ini bukan tanpa bahaya terhadap kesehatan orang.Wright (1968:7) mengatakan bahaya ini secara singkat dalam bukunya tentang tirani jam: “Inilah sejarah kronarki(kekuasaan waktu) yang terus meningkat, tidak terhambat, dan tak dapat di tahan. Kata tersebut tidak  ada dalam The Oxford English Dictionary. Penciptanya berhak mndefenisikannya.Marilah kita defenisikan kronarki bukan hanya “rule by time”, tetapi juga rejimentasi manusia dengan penjagaan waktu. ”Jam menjadi standar untuk membandingkan peristiwa-peristiwa dan bagaimana peristiwa-periwtiwa yang sama dapat di nilai berebeda. Jika waktunya di pandang sebagai penjagaan menjaga waktu yang objektif lebih diberi nilai dari pada metode lainnya. Dengan mengutip gambaran jam yang menarik dari Dora Marsden, “seluruh alam semesta bergrak menuju ritme, di mana-mana seperti dalam tarian kosmik, jasad-jasad alamiah melakukan putaran mereka, alam semesta di penuhi jam”.(1955:12)
Sejauh mana kelompok budaya yang berlainan menilai berbagai jenis penjagaan waktu objektif dapat menentukan  jenis-jenis interaksi komunikatif yang potensial.Perbedaan sejauh mana  penjagaan waktu yang objektif dinilai, akan mempengaruhi cara orang dari berbagai budaya menyesuaikan diri dengan standar waktu objektif dan mengikuti tuntutan orang-orang yang mengontrol, memanipulasi, dan menafsirkan waktu objektif. Perbedaan kurtural dalam menilai waktu objektif, dapat menjadi dasar untuk memahami  sejumlah masalah komunikasi antarbudaya. Lebih-lebih lagi jika kita memahami bahwa penjagaan waktu  dan standar waktu objektif  dapat mengontrol ruang dan gerak  melalui ruang dan memang seringkali begitu. Pemaksaan waktu objektif kelompok budaya tertentu pada kelompok budaya lain dapat di anggap sebgai salah satu bentuk pengaruh atau persuasi budaya.
4.     Pacu Hidup,Tempo Budaya, Dan Komunikasi Interkultural
Banyak jenis waktu yang membentuk sistem seseoang: waktu biologis, waktu fisiologis, waktu perseptual, waktu objektif, waktu psikologis, waktu sosial, dan waktu kultural. Bagaimana tingkata waktu yang saling bergantung ini berinteraksi menjadi “kronemika”perilaku manusia (Bruneeau,1997:3). Kronemika adalah bidang ilmu komunikasi yang relatif baru, yang dapat di defenisikan sebagai makna  pengalaman waktu manusia, yang mempengaruhi dan di pengaruhi oleh komunikasi insani. Pacu hidup kelompok budaya berkenaan dengan bagaimana tingkat-tingkat pengalaman waktu terintegrasikan oleh anggota atau kumpulan individu dalam kelompok  tersebut.Selanjutnya,pacu hidup satu kelompok budaya addalah standar dan kebiasaan perilaku waktu yang mendasari  interaksi di antara anggota-anggota kelompok budaya (perlu disebutkan disini bahwa jenis-jenis dan tingkat –tingkat perilaku waktu akan disajikan  secara singkat pada Taksonomi Lingkungan Waktu). Hal lain yang juga penting dalam pacu hidup kelompok budaya adalah bagaimana bentuk pengalaman waktu subjektif dan objektif berinteraksi. Dengan kata lain, bagaimana interaksi antara bentuk-bentuk pengalaman  waktu yang berbeda dalam budaya tertentu dengan bentuk-bentuk pengalaman waktu yang agak konstan dan konsisten membantu menentukan tempo yang khas dari satu budaya.
Sebagian kelompok budaya menggunakan bentuk-bentuk waktu objektif yang agak konstan (jam, timers, bel, jadwal harian).Kelompok budaya ini mengembangkan  lingkungan waktu yang khas dengan membaurkan waktu objektif dengan kegiatan dan peristiwa personal, sosial, dan kultural. Kelompok budaya yang menekankan pentingnya standar waktu yang objektif, kecermatan waktu, dan pengaturan pacu hidup yang di hubungkan dengan jam dapat menjadi kelompok budaya yang  “terikat jam” (clock-bound). Kelompok budaya yang “clock- bound” tampaknya lebih menekankan waktu objektif ketimbang bentuk-bentuk pengalaman waktu yang personal dan subjektif. Seringkali kessepakatan pada waktu jam menjadi dasar bagi kesepakatan-kesepakatan yang lain (misalnya,kebiasaandan adat proksemik dan kinesik).
Kronofilia dapat menjadi patologi kronik dalam arti yang sebenarnya. Hidup menjadi rangkaian kebosanan yang terus-menerus dan kelabu. Pada rangkaian membosankan seperti itu para pemain makin mempercepat tarian mereka dalam upaya yang sia-sia untuk memperkaya ddan menyemarakkan rangkaian. Tetapi-bila kita menggunakan kalimat Whitehead yang lebih keras-hasil dari kegiatan yang makin intensif itu sangat jelas: “Intensitas adalah upah kesempitan”. Tempo khas dari suatu kelompok budaya dapat dibandingkan dengan tempo khas dari setiap anggota kelompok budaya tersebut. Setiap individu harus menyesuaikan temporalitasnya yang unik dan personal dengan tempo yang unik dari kelompok budayanya. Bila orang-orang dari berbagai tempo budaya berussaha berkomunikasi,lingkungan temporalnya merupakan perpaduan dari tempo kultural dan tempo personal. Dalam situasi komunikasi interkultural, tingkat perilaku dan harapan berkenaan dengan tingkat-tingkat ini berbeda dari orang ke orang. Dalam situasi demikian ,nilai-nilai yang dianut dalam menghadapi berbagai bentuk waktu objektif dapat menimbulkan secara luas salah pengertian dan salah tafsir.  
Bila kita pahami bahwa perilaku proksemik dan kinesika didasarkan pada kepercayaan waktu (temporal beliefs), sikap ,motif ,dan nilai dan perilaku temporal semua peserta dalam situasi interkultural, jelaslah bahwa dimensi waktu adalah faktor paling penting dalam komunikasi interkultural. Dengan mengonseptualisasikan secara kreatif cara orientasi dan perspektif waktu berinteraksi dengan identitas kultural,perilaku budaya,ddan komunikasi interkultural,kita dapat memperoleh bahan untuk kegiatan penelitian selama bertahun-tahun.
5.     Taksonomi Lingkungan Waktu.
Taksonomi yang di ikhtisarkan dibawah ini mula-mula dikembangkan sebagai usaha persial dalam mendefenisikan kronemika perilaku manusia (Bruneau:1978). Taksonomi dapat digunakan untuk menganalisis dan menelaah  perilaku waktu dan lingkungan waktu dari berbagai bentuk interaksi manusia. Dorongan waktu (temporal drives): meliputi kegiatan bioritmis ; keteraturan hormonal dan metabolis; impuls ergis ( cattell 1957,1965); meliputi pengurangan tegangan kebutuhan fisiologis,pola tegangan kebutuhan ;dan sebagainya.Petunjuk waktu (temporal signals);berkenaan dengan penginderaan awal dan mendeteksi dorongan waktu orang lain. Sinyal waktu (temporal signals): meliputi penetuan keberlangsungan perseptual dan interval yang menimbulkan indera tmwaktu individu;kontinuitas dan diskontinuitas yang menimbulkan pengenalan urutan dan keberlangsungan yang menjadi kebiasaan atau berubah-ubah; fenomena keberlangsungan dan proses yang membentuk informasi perseptual berkenaan dengan pengaturan tempo, pengendaliaan, pengaturan, atau fasilitasi perilaku manusia; berkenaan dengan pengenalan karakteristik waktu dari perilaku nonverbal;danseterusnya. Perkiraan waktu(temporal estimates):berkenaan dengan indera waktu dan perwaktuan;penggunaan sinyal waktu untuk membuat , mempertahankan, atau mengubah pengenalan sejauh mana kecepatan atau kelambatan waktu mengalir dalam hubungan dengan dasar waktu yang personal dan habitual atau standar waktu yang objektif ;perkiraan mengenai tingkat tempo yang personal dan atau tingkat peristiwa perilaku; dan seterusnya.
Lambang waktu (temporal symbols):berkenaan dengan gambaran simbolik  urutan  dan keberlangsungan,perubahan dan keperemanenan,atau  perspektif dan orientasi waktu ;konsep tempo subjektif dan objektif ;berkenaan dengan fungsionalisasi dan gambaran linguistik yang berkaitan  dengan tingkat pengalaman  waktu dan seluruh perilaku (termasuk mental)yang tercakup dalam butir-butir taksonomi.
Keperccayaan waktu (temporal beliefs): berkenaan dengan asumsi-asumsi yang ditereima orang sehubungan dengan sifat waktu dan rang;berkenaan dengan tingkat kekakuan dalam mempersepsi dan mengonseptualisasi perilaku ruang-waktu ;mengenai validitas petunjuk dan perkiraan waktu; mengenai validitas informasi waktu yang timbul dari dorongan waktu,sinyal waktu,dan simbolisme waktu;berkenaan dengan validitas dan sifat penilaan waktu dan seterusnya.
Motif waktu (temporal motives):berkenaan dengan maksud psikologis untuk mempengaruhi perilaku waktu;mengenai proses mengubah tempo objektif  dan personal;mengenai upaya mempengaruhi dorongan,keperluan,dan motivasi;maksud yang berkaitan dengan tujuan dan perilaku  tujuan ;dan seteerusnya. Penilaian waktu (temporal judgments): berkenaan dengan validitas kepercayaan waktu, motif waktu dan nilai waktu seperti yang di jalankan individu atau kellompok indivu dalam konteks sosiokultural; dan seterusnya. Nilai waktu (temporal values): mengenai pemberian nilai pada waktu, waktu-waktu (peristiwa), dan perwaktuan ketika dikaitkan dengan perilaku personal, sosial, dan kultural. Sumber .Komunikasi Antar Budaya (Dedy Mulyana).

Sumber Referensi:
Mulyana, Deddy dan Rahmat, Jalaluddin, 2005, Komunikasi Antarbudaya, Bandung: Rosda
Mulaya, Deddy, 2008, Pengantar Ilmu Komunikasi, Bandung: Rosda
Peursen, Van. 2013. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius

Soedjatmoko, 2004, Kebudayaan Sosialis, Jakarta: Melibes.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terima kasih. segera saya akan konfirmasi.