MODEL-MODEL KOMUNIKASI ANTARBUDAYA
Oleh:
Ahmad Toni
A.
Pendahuluan
Komunikasi antarbudaya adalah komunikasi yang terjadi di
antara orang-orang yang memiliki kebudayaan yang berbeda (bisa beda ras, etnik,
atau sosioekonomi, atau gabungan dari semua perbedaan ini. Menurut Stewart L. Tubbs, komunikasi
antarbudaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda budaya (baik
dalam arti ras, etnik, atau perbedaan-perbedaan sosio ekonomi).Kebudayaan
adalah cara hidup yang berkembang dan dianut oleh sekelompok orang serta
berlangsung dari generasi ke generasi. Hamid Mowlana menyebutkan komunikasi
antarbudaya sebagai human flow across national boundaries. Misalnya; dalam
keterlibatan suatu konfrensi internasional dimana bangsa-bangsa dari berbagai
negara berkumpul dan berkomunikasi satu sama lain. Sedangkan Fred E. Jandt
mengartikan komunikasi antarbudaya sebagai interaksi tatap muka diantara
orang-orang yang berbeda budayanya.
Intercultural communication generally
refers to face-to-face interaction among people of diverse culture. Guo-Ming Chen
dan William J. Sartosa mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya adalah proses
negosiasi atau pertukaran sistem simbolik yang membimbing perilaku manusia dan
membatasi mereka dalam menjalankan fungsinya sebagai kelompok. Selanjutnya
komunikasi antarbudaya itu dilakukan:
1. Dengan negosiasi untuk melibatkan
manusia di dalam pertemuan antarbudaya yang membahas satu tema (penyampaian
tema melalui simbol) yang sedang dipertentangkan. Simbol tidak sendirinya
mempunyai makna tetapi dia dapat berarti ke dalam satu konteks dan makna-makna
itu dinegosiasikan atau diperjuangkan;
2. Melalui
pertukaran sistem simbol yang tergantung daripersetujuan antarsubjek yang
terlibat dalam komunikasi, sebuah keputusan dibuat untuk berpartisipasi dalam
proses pemberian makna yang sama.
3. Sebagai
pembimbing perilaku budaya yang tidak terprogram namun bermanfaat karena
mempunyai pengaruh terhadap perilaku kita.
4. Menunjukkan
fungsi sebuah kelompok sehingga kita dapat membedakan diri dari kelompok lain
dan mengidentifikasinya dengan pelbagai cara.
Kata
‘budaya’ berasal dari bahasa sansekerta buddhayah yang merupakan bentuk
jamak antara buddhi, yang berarti ‘budi’ atau ‘akal’. Kebudayaan itu
sendiri diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi atau akal. Istilah
‘culture’ berasal dari kata colere yang artinya adalah mengolah atau
mengerjakan, yang dimaksudkan kepada keahlian mengolah atau mengerjakan tanah
atau bertani. Kata ‘colere’, kemudian berubah menjadi culture, diartikan
sebagai segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah alam
(Soekamto, 1996: 188). Komunikasi antarbudaya memiliki perbedaan dari teori
komunikasi lainnya yaitu adanya perbedaan latar belakang pengalaman yang
relatif besar antara para komunikatornya, yang disebabkan perbedaan kebudayaan.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antara
dua komunikan yang berbeda latar belakang kebudayaan.
Berikut ini adalah beberapa
pengertian menurut tokoh ahli.
1. Andrea L. Rich dan Dennis M. Ogawa
dalam buku Larry A. Samovar dan Richard E. Porter Intercultural
Communication, A Reader – komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antara
orang-orang yang berbeda kebudayaan,
misalnya antara suku bangsa, antar etnik dan ras, antar kelas sosial (Samovar dan Porter, 1976: 25).
misalnya antara suku bangsa, antar etnik dan ras, antar kelas sosial (Samovar dan Porter, 1976: 25).
2. Samovar
dan Porter juga mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya terjadi di antara
produser pesan dan penerima pesan yang latar belakang kebudayaannya berbeda
(Samover dan Porter, 1976: 4).
3. Charley H. Dood mengatakan bahwa
komunikasi antarbudaya meliputi komunikasi yang melibatkan peserta komunikasi
yang mewakili pribadi, antarpribadi, dan kelompok, dengan tekanan pada
perbedaan latar belakang kebudayaan yang mempengaruhi perilaku komunikasi para
peserta (Dood, 1991: 5).
4. Intercultural Comunication yang
disingkat “ICC”, mengartikan komunikasi antarbudaya merupakan interaksi antarpribadi
antara seorang anggota dengan kelompok yang berbeda kebudayaan.
5. Guo-Ming Chen dan William J.
Starosta mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya adalah proses negosiasi atau
pertukaran sistem simbolik yang membimbing perilaku manusia dan membatasi mereka
dalam menjalankan fungsinya sebagai kelompok. Komunikasi antarbudaya itu
dilakukan:
a. Dengan negosiasi untuk melibatkan
manusia di dalam pertemuan antarbudaya yang membahas satu tema (penyampaian
tema melalui simbol) yang sedang dipertentangkan. Simbol tidak sendirinya
mempunyai makna tetapi dia dapat berarti kedalam satu konteks, dan makna-makna
itu dinegosiasikan atau diperjuangkan.
b. Melalui pertukaran sistem simbol
yang tergantung dari persetujuan antarsubjek yang terlibat dalam komunikasi,
sebuah keputusan dibuat untuk berpartisipasi dalam proses pemberian makna yang
sama.
c. Sebagai pembimbing perilaku budaya
yang tidak terprogram namun bermanfaat karena mempunyai pengaruh terhadap
perilaku kita.
d. Menunjukkan fungsi sebuah kelompok
sehingga kita dapat membedakan diri dari kelompok lain dan mengindentifikasinya
dengan pelbagai cara.
B.
Model Dalam Komunikasi Antarbudaya E. Porter & Larry A.
Samovar
Menurut Sereno dan Mortensen
(Mulyana, 2007) “suatu model komunikasi ialah merupakan deskripsi ideal
mengenai apa yang dibutuhkan untuk terjadinya proses komunikasi”. Artinya
proses komunikasi dilakukan dan dipahami sebagai proses penyampaian pesan yang
melibatkan umpan balik dari komunikan sebagai pihak yang menerima pesan kepada
pesan-pesan atau informasi yang diberikan oleh komunikator, proses tersebut
dalam pesan yang terdapat oleh media. Unsur komunikasi yang berkaitan menjadi
integral dalam proses penyampaiannya sebagai hubungan yang saling kontinu,
bahwa komunikasi dilakukan seiring dengan keterkaitan unsur komunikasi.
Terdapat model transformasi pesan
atau proses komunikasi yang dikemukakan oleh Laswell, Aristoteles dan Shannon
dan Weaver yang cukup terkenal dalam perspektif ilmu komunikasi. Model
komunikasi tersebut menjadi landasan riil dalam proses terjadinya kontak antar
budaya “terjadi bila produsen pesan adalah anggota suatu budaya dan penerima
pesannya adalah anggota suatu budaya yang lain” (Mulyana, 2005: 20). Budaya bertanggungjawab penuh kepada
seluruh perilaku komunikasi dari individu-individu yang mempunyai makna yang
dimiliki oleh setiap individu. Proses mempengaruhi antar individu yang berbeda
budaya menjadikan pengaruh-pengaruh dan sifat-sifat yang berbeda pula. Semisal
individu dengan budaya A dan individu dengan budaya B, konsekuensi perubahan
makna dan perilaku dalam budaya akan terbuka. Berikut ini bagan komunikasi
antarbudaya:
Budaya A Budaya B
Budaya A
Model Komunikasi Antarbudaya
(Mulyana, 2005: 21)
“Derajat pengaruh budaya dalam
situasi-situasi komunikasi antarbudaya merupakan fungsi perbedaan antar
budaya-budaya yang bersangkutan. Hal ini menunjukan model drajat perubahan pola
yang terlihat pada gambar diatas, dimana pengaruh perubahan ini menunjukan
terjadinya kemiripan yang lebih besar antara budaya A dan budaya B, yang
menghasilkan makna yang mendekati makna yang termaksud dalam pesan.
Budaya dan komunikasi melahirkan
kategori-kategori, konsep-konsep dan label yang dihasilkan budaya yang saling
bersingungan. Kemiripan budaya dalam persepsi memungkinkan pemberian makna yang
mirip pula terhadap suatu objek sosial atau peristiwa. Cara-cara kita
berkomunikasi, keadaan komunikasi, bahasa, dialek dan gaya bahasa, perilaku
nonverbal dan respons dalam interaksi manusia. Sebagaimana dinyatakan oleh Mulyana
(2005: 25) “budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. Budaya bersifat
kompleks, abstraks, dan luas”.
Unsur-unsur sosial budaya merupakan bagian dari komunikasi antarbudaya,
berikut adalah komponen komunikasi antarbudaya:
a. Persepsi, adalah proses internal
yang kita lakukan untuk memilih, mengevaluasi an mengorganisasikan rangsangan
dari lingkungan eksternal. Persepsi adalah cara kita mengubah energy-energi
fisik lingkungan kita menjadi pengalaman yang bermakna (Mulyana, 2005: 25).
Adapun unsur-unsur persepsi antara lain:
1) Sistem Kepercayaan. Kepercayaan
secara umumdapat dipandang sebagai kemungkinan subjektif yang diyakini oleh
individu bahwa suatu objek atau peristiwa memiliki karakteristik individu.
2) Nilai, adalah aspek evaluative dari
sistem kepercayaan, nilai dan sikap
3) Pandangan dunia (world view),
pandangan dunia berkaitan dengan orientasi suatu budaya terhadap hal-hal
seperti Tuhan, kemanusiaan, alam dan masalah filosofis lainnya.
4) Organisasi sosial, keluarga, sekolah
dan lain-lain.
5) Bahasa verbal, bahasa verbal dapat
diartikan sebagai suatu sistem lambing terorganisasikan, disepakati secara umum
dan merupakan hasil belajar, yang digunakan untuk menyajikan
pengalaman-pengalaman dalam suatu komunitas geografis atau budaya.
6) Pola pikir, proses mental, bentuk-bentuk
penalaran, dan pendekatan-pendekatan terhadap pemecahan masalah yang terdapat
dalam suatu komunitas, merupakan suatu komponen penting budaya.
b. Proses Nonverbal
1) Perilaku nonverbal, sebagai komponen
budaya, ekspresi nonverbal mempunyai banyak persamaan dengan bahasa. Keduanya
merupakan sistem penyandian yang dipeljari dan diwariskan sebagai bagian
pengalaman budaya.
2) Konsep waktu, konsep waktu suatu
budaya merupakan filsafat tentang masa lalu, masa sekarang dan masa akan datang
atau masa depan.
3) Penggunan ruang, sebagai bagian
dalam komunikasi antarpersonal disebut dengan proksemika (proxemics).
C.
Model dalam Komunikasi Antarbudaya Gudykunts
Model
komunikasi menurut William
B.Gudykunst dan Young Yun Kim[1]
merupakan model komunikasi antarbudaya, yakni komunikasi antara orang-orang
yang berasal dari budaya berlainan, atau komunikasi dengan orang asing (stranger). Sebenarnya, istilah "intercultural
communication" pertama kali diperkenalkan oleh Edward T. Hall pada
tahun 1959. Pada tahun 1983, melalui bukunya yang berjudul "Communicating
with Stranger: An Approach to Intercultural Communications", Gudykunst
dan Kim memperkenalkan tema pertama tentang "teori komunikasi
antar budaya" Intercultural Communication.
Berikut
ini adalah tujuan dari komunikasi antar budaya, yaitu:
1. Memahami
perbedaan budaya yang mempengaruhi praktik komunikasi.
2. Mengkomunikasi
antar orang yang berbeda budaya.
3. Mengidentifikasikan
kesulitan – kesulitan yang muncul dalam komunikasi.
4. Membantu
mengatasi masalah komunikasi yang disebabkan oleh perbedaan budaya.
Menurut Gudykunst dan Kim, ada 4 filter konseptual yang mempengaruhi kita
dalam berkomunikasi (melakukan penyandian pesan dan penyandian balik pesan),
yaitu:
1.
Faktor budaya: meliputi
faktor-faktor yang menjelaskan kemiripan dan perbedaan budaya. (Agama, budaya,
sikap, bahasa). Contoh: Ketika kita harus memilih mau peduli dengan
individu atau dengan kelompok.
2. Faktor sosiobudaya:
Pengaruh yang menyangkut proses penataan sosial. (keanggotaan, kelompok, konsep
diri, ekspektasi diri). Contoh: Jika kita menjadi ketua dalam suatu
organisasi, tentunya konsep diri dan ekspektasi diri kita sangat tinggi.
3. Faktor psikobudaya: Mempengaruhi
proses penataan pribadi (stereotip dan sikap). Contoh: Etnosentrisme
(menafsirkan perilaku orang lain dengan pemikiran diri sendiri dan ingin orang
lain berlaku sama seperti kita).
4. Faktor lingkungan: mempengaruhi
persepsi kita akan lingkungan. (lokasi geografis, iklim, situasi
arsitektural, persepsi atas lingkungan). Contoh:
Seorang Amerika Utara dan seorang warga
Kolombia yang memiliki cara pandang berbeda tentang ruang keluarga.. (Bagi
orang Amerika ruang keluarga adalah tempat berkumpul dan bercanda (informal),
bagi orang Kolombia, ruang keluarga adalah tempat formal).
Terjadinya Proses Komunikasi
Menurut
gambaran model komunikasi Gudykunst dan Kim[4],
kedudukan sender/decoder dengan receiver/decoder sama. Pribadi A dan probadi B
dapat berperan sebagai pengirim sekaligus penerima. Masing-masing pribadi dapat
melakukan penyandian pesan sekaligus penyandian balik pesan. Pesan suatu dari pribadi A dapat juga
menjadi umpan balik bagi pribadi B. Begitu pula sebaliknya. Dalam penyampaian
pesan, ada faktor-faktor yang mempengaruhi sang receiver untuk menanggapi pesan
itu. Faktor-faktor tersebut berupa filter-filter konseptual yang terdiri dari
faktor budaya, sosiobudaya, psikobudaya, dan lingkungan. Menurut Godykunst dan
Kim, penyandian pesan dan penyandian-balik pesan merupakan proses interaktif
yang dipengaruhi oleh filter-filter konspetual yang dikategorikan menjadi
faktor-faktor buday, sosiobudaya, psikobudaya dan faktor lingkungan.
Lingkaran
paling dalam, yang mengandung interaksi antara penyandian pesan paling dalam,
yang mengandung interaksi antara penyandian pesan dan penyandian pesan balik
pesan, dikelilingi tiga lingkaran lainnya yang merepresentasikan pengaruh
budaya, sosiobudaya, dan psikobudaya. Ketiga lingkaran dengan garis putus-putus
mencerminkan hubungan faktor-faktor yang tidak dapat dipisahkan dan saling
mempengaruhi. Lingkungan
merupakan salah satu unsur yang melengkapi model Gudykunst dan Kim. Garis
putus-putus yang melambangkan Lingkungan merupakan pembuktian bahwa lingkungan
tersebut bukanlah daerah tertutup atau terisolasi. Lingkungan mempengaruhi kita
dalam menyandi dan menyandi balik pesan. Lokasi geografis, iklim, situasi
arsitektual (lingkungan fisik). Dan persepsi kita atas lingkunga tersebut
mempengaruhi cara kita menafsirkan rangsangan yang datang dan prediksi yang
kita buat mengenai perilaku orang lain.
D.
Model Dimensi
Waktu Dalam Komunikasi Antarbudaya Tom Bruneau.
1. Waktu
Dan Perbedaan Budaya
Sekali waktu Oswald Spengler berkata, “Makna yang
secara Intuitif diterapkan pada waktulah yang menyebabkan satu budaya di
bedakan dari budaya yang lain” (1926:130).Menerima pernyataan Spengler ini sama
sekali tdak berarti bahwa kita menerima pandangan bahwa orientasi tertentu ada
kaitannya dengan “budaya lebih tinggi”(1926:117-160). Pandangan bahwa
temporalitas (ihwal waktu) satu budaya lebih baik dari temporalitas budaya yang
lain tampak sebagai dasar utama persepsi antar terhadap inferioritas dan
superioritas. Literatur Barat tentang budaya dan persepsi antarbudaya
tampaknya dipenuhi dengan Contoh perbedaan konsepsi waktu,peerspektif waktu (dahulu,masa
kini,dan masa depan), dan hal mengalami waktu (menjaga waktu, perwaktuan, pengaturan
kecepatan atau pacing, dan perilaku waktu atau temporal behavior. asumsi-asumsi
yang tak disadari: hal mengalami waktu (time
experiencing) di Barat paling maju,paling berguna,dan paling baik untuk
pengembangan pada masa depan.
Bagi kelompok budaya yang telah menerima bentuk-bentuk
temporalitas Newtonian dan Objektif untuk mendefenisikan waktu, asumsi-asumsi
ini sulit untuk di permasalahkan. Jika suatu kelompok budaya menganggap bahwa
“waktu mereka” lebih tinggi dari pada waktu, perwaktuan, dan tempo kelompok
budaya lai; maka mereka telah meletakkan dasar untuk lebih menyukai aspek-aspek
budaya berkenaan dengan ruang, penetapan ruang, dan gerak lewat ruang. Kedalamnya
termasuk ruang batin atau hal mengalami waktu yang subjektif dan personal. Bahkan
bahasa dapat dikaitkan dengan pandangan superioritas dan inferioritas waktu. Dalam
hubungan ini,falsafah Cassirer yang secara meluas diterima dan dihormati
mempunyai praduga kasar bahwa bahasa-bahasa yang “maju adalah bahasa yang lebih
terperinci”dalam Zeitworternya (kata waktu) dari bahasa-bahasa yang kurang maju
(Cassirer 1953:215-226). Tampaknya pada setiap tingkat analisis waktu, perwaktuan,
dan tempo ada peerbedaan di antara berbagai budaya. Cara suatu Bangssa
membayangkan historisitas atau cara kelompok budaya menggunakan memori mereka
tampaknya di dasarkan pada orientasi waktu di tentukan oleh budaya. Berbagai
cara mengingat,juga cara mengguanakan nostalgia,secara kebetulan bersifat khas
kultural.
2. Futurisme
Dan Komunikasi Interkultural
Sebagaimana konsep perspektif masa lalu tampak berbeda
dari budaya yang satu ke budaya yang lain, begitu pula citra masa depan. Masa
depan brsifat konseptual dan prosesual-juga masa kini dan masa lalu. Studi
mendalam untuk mengetahui bagaiamana budaya-budaya berbeda dalam orientasi
futuristik dan tempoalnya baru dimulai. Futurisme adalah sebuah gerakan yang
bersifat multidisipliner dan dengan cepat berkembang menjadi upaya intensif dan
terus-menerus seerta sangat penting dalam disiplin ilmu.Jalan-jalan baru menuju
cara-cara berpikir ke depan yang belum di teliti akan berkembang. Tetapi
cara-cara baru “berpikir ke depan “akan menghasilkan jarak yang lebih besar
antara budaya yang secara cepat mengembangkan visi masa depannya (progresivisme) dengan budaya di mana
citra masa depan baru berubah dari visi tradisional.
Ada
beberapa budaya yang tampaknya memilki ke ajegan citra yang kaku dalam masa
depannya. Tingkat keajegan citra masa depan berbeda-beda di antara
kelompok-kelompok budaya. Contohnya,bagi budaya tertentu, pandangan masa depan
itu di takuti dan disembunyikan dari alam pikiran. Bagi budaya lain
lagi,berpikir tentang masa depan di anggap sebagai: kegiatan mubazir, aktivitas
romantik yang tolol, atau sejenis kegiatan yang dilakukan oleh orang aneh atau
orang jahat.
Tidak ada alasan mengapa kita tidak boleh menganggap bahwa
setiap kelompok budaya mempunyai citra masa depan yang tertentu, yang boleh
jadi sama atau berbeda dengan citra masa depan yang dimiliki oleh anggota
kelompok budaya yang lain. Pendeknya, konsepsi waktu dan perspektif budaya yang
berbeda adalah perbedaan utama di antara kelompok-kelompok budaya dan perlu di
perhatikan oleh orang-orang yang meneliti komunikasi antar budaya. Kemampuan
mengantisipasi akibat dan menangguhkan pemuasan kebutuhan meerupakan kegiatan
yang diperkokoh secara kultural dan melibatkan perspektif futuristik.
Penangguhan pemuatan dan antisipasi akibat sangat berkaitan
dengan kekayaan, kondisi ekonomi, dan kehidupan suatu kelompok budaya. Ini
terjadi pada kebanyakan kelompok budaya. Tetapi kelompok-kelompok budaya
mempunyai cara-caranya sendiri yang tradisional dalam mengantisipasi akibat
maupun menangguhkan gratifikasi.Cara yang khas ini dapat berinteraksi
dengan perubahan kondisi ekonomis dan sosial dan perubahan pacu kehidupan
dengan bermacam-macam cara. Dalam sebagian kelompok budaya,arah yang jelas dan
tindakan masa depan di lakukan dengan menetapkan dan mengguanakan berbgai macam
jadwal kegiatan, dengan mengikuti langkah-langkah yang di tetapkan adat dan
kebiasaan, atau dengan cara-cara menciptakan suasana peluang. Kadang-kadang, benturan
perspektif budaya dapat di kontraskan secara tajam. Simaklah contoh terinci di
bawah ini. Kemacetan lalu lintas antar budaya.
Misalkan, ada orang dari satu latar belakang budaya (orang A) membeli mobilnya yang pertama, belajar mengemudikannya, dan mengembangkan pola antisipasi kondisi lalu lintas, tanda, dan lampu lalu lintas. Pola atisipasi akan tanda-tanda brlalu lintas dari orang A ini tumbuh dari sejenis konsepsi “berpikir” yang dinilaipositif dalam kebudayaan A. Marilah kita bayangkan orang A termasuk pada kelompok budaya yang menilai positif sikap mengenai “ganjaran berpikir kemuka”. Orang B ketika membeli mobil yangg pertama, berasal dari kelompok budaya yang sedikit mengenal antisipasi akibat perbuatannya, yang diperlukan dalam tempo kehidupan kota yang cepat. Orang B berasal dari dan dipengaruhi oleh kelompok budaya dimana orang bertindak segera dari dalam hubungannya dengan kondisi yang dipersepsi segera juga.
Misalkan, ada orang dari satu latar belakang budaya (orang A) membeli mobilnya yang pertama, belajar mengemudikannya, dan mengembangkan pola antisipasi kondisi lalu lintas, tanda, dan lampu lalu lintas. Pola atisipasi akan tanda-tanda brlalu lintas dari orang A ini tumbuh dari sejenis konsepsi “berpikir” yang dinilaipositif dalam kebudayaan A. Marilah kita bayangkan orang A termasuk pada kelompok budaya yang menilai positif sikap mengenai “ganjaran berpikir kemuka”. Orang B ketika membeli mobil yangg pertama, berasal dari kelompok budaya yang sedikit mengenal antisipasi akibat perbuatannya, yang diperlukan dalam tempo kehidupan kota yang cepat. Orang B berasal dari dan dipengaruhi oleh kelompok budaya dimana orang bertindak segera dari dalam hubungannya dengan kondisi yang dipersepsi segera juga.
Dalam budaya B, perlunya berpikir kemuka dengan cepat secara
tradisional tidak diperlukan keculi untuk adat dan kegiatan budaya tertentu. Ini
tidak berarti budaya B tak dapat berpikir futuristik. Kebanyakan orang dalam
budaya B memang jarang di desak untuk berpikir seperti itu. Futurisme mereka
jelas berkaitan dengan adat dan mereka telah mengembangkan pola perilaku untuk
menghadapi problem dan kondisi baru seccara spontan.Dengan perkataan lain;orang
B tidak mempunyai nilai berpikir kemuka,tidak mengalami peneguhan dari kelompok
budayanya untuk berpikir kemuka. Karena itu, responnya terhadap kondisi
lalu lintas berorientasi masa kini,saat ini juga, bersifat segera.
Fred Polak (1961)adalah pemikir penting tentang pengembangan
citra masa depan.Polak kelihatan ekstrem dalam memandang pentingnya orientasi
futuristik dalam membentuk budaya. Tampaknya Polak berpendapat bahwa
peerspektif masa depan yang berbeda sangat berpengaruh dalam penciptaan yang
sesungguhnya dari jenis buddaya tertentu(1961), yang spesifik, terikat budaya, dan
sentral bagi identitas dan berfungsinya budaya. Tesis Polak tentang
budaya dan perspektif masa depan dinyatakan dengan jelas.
Kesadaran akan nilai-nilai ideal adalah langkah pertama dalm penciptaan secara sadar citra masa depan dan karena itu penciptaan secara sadar budaya. Karena nilai, menurut defenisinya, adalah apa yang membimbing kita menuju masa depan “ternilai” ...Jelaslah ssekarang bahwa ilmu gaib, agama, filsafat, sains, dan etika mungkin bersal dan berkembang secara kreatif dari kebutuhan pokok untuk memporoleh pengetahuan terlebih dahulu tentang masa depan. Dengan kata lain,bidang budaya yang asasi ini mungkin telah di kembangkan mula-mula sebagai cara dan sarana untuk memvisualisasikan dan mempengaruhi masa.
Kesadaran akan nilai-nilai ideal adalah langkah pertama dalm penciptaan secara sadar citra masa depan dan karena itu penciptaan secara sadar budaya. Karena nilai, menurut defenisinya, adalah apa yang membimbing kita menuju masa depan “ternilai” ...Jelaslah ssekarang bahwa ilmu gaib, agama, filsafat, sains, dan etika mungkin bersal dan berkembang secara kreatif dari kebutuhan pokok untuk memporoleh pengetahuan terlebih dahulu tentang masa depan. Dengan kata lain,bidang budaya yang asasi ini mungkin telah di kembangkan mula-mula sebagai cara dan sarana untuk memvisualisasikan dan mempengaruhi masa.
3. Mengatur
Waktu (timing) Dan Menjaga Waktu (Timekeeping) Di Antara Budaya -Budaya
Aspek penting dari dimensi waktu berkenaan dengan cara
bagaimana dan sejauh mana menjaga waktu yang objektif digunakan dan
bagaimana hal demikian mempengaruhi kecepatan waktu (temporal pacing) dan pola-pola waktu dalam budaya tertentu. Lebih
penting lagi bagi kita ialah bagaimana kendala dan kendali waktu objektif dapat
mempengaruhi orang dari berbagai budaya dengan orientasi waktu yang berlainan. Dengan
kata lain, cara-cara waktu (time devices),
metode menjaga waktu, dan dan formulasi waktu yang objektif merupakan inti pacu
kehidupan modern. Pacu kehidupan berinteraksi dengan mesin dan segala mesin. Mesin
(jam) kecil yang melingkar di pergelangan tangan merupakan mesin yang paling
pokok dan paling perkasa di dunia.Jam tampaknya mengendalikan mesin dan semua
alat-alat elektronik. Gagasan waktu objektif sebagai bentuk waktu yang benar
dan real adalah perkembangan penting dalam sejarah perilaku manusia.Kata
Munford, “Jam adalah mesin kunci dari abad industri. Karaktristik pertama dari
peradaban mesin modern adalah keteraturan waktu. Sejak bangun tidur, ritme hari
diatur oleh jam. Tanpa memperdulikan lelah dan penat, keengganan atau apati, rumah
tangga bergerak sesuai dengan jam yang telah di setel”,(1962:14,269).
Penggunaan jam yang meluas dan alat-alat menjaga waktu
mungkin tumbuh ke satu arah yang tidak dapat di ulangi selama paruh terakhir
abad ini. Pertumbuhan ekspansi penjagaan waktu ini bukan tanpa bahaya terhadap
kesehatan orang.Wright (1968:7) mengatakan bahaya ini secara singkat dalam
bukunya tentang tirani jam: “Inilah sejarah kronarki(kekuasaan waktu) yang
terus meningkat, tidak terhambat, dan tak dapat di tahan. Kata tersebut
tidak ada dalam The Oxford English
Dictionary. Penciptanya berhak mndefenisikannya.Marilah kita defenisikan
kronarki bukan hanya “rule by time”, tetapi
juga rejimentasi manusia dengan penjagaan waktu. ”Jam menjadi standar untuk
membandingkan peristiwa-peristiwa dan bagaimana peristiwa-periwtiwa yang sama
dapat di nilai berebeda. Jika waktunya di pandang sebagai penjagaan menjaga
waktu yang objektif lebih diberi nilai dari pada metode lainnya. Dengan
mengutip gambaran jam yang menarik dari Dora Marsden, “seluruh alam semesta
bergrak menuju ritme, di mana-mana seperti dalam tarian kosmik, jasad-jasad alamiah
melakukan putaran mereka, alam semesta di penuhi jam”.(1955:12)
Sejauh mana kelompok budaya yang berlainan menilai berbagai
jenis penjagaan waktu objektif dapat menentukan jenis-jenis interaksi komunikatif
yang potensial.Perbedaan sejauh mana penjagaan waktu yang objektif
dinilai, akan mempengaruhi cara orang dari berbagai budaya menyesuaikan diri
dengan standar waktu objektif dan mengikuti tuntutan orang-orang yang
mengontrol, memanipulasi, dan menafsirkan waktu objektif. Perbedaan kurtural
dalam menilai waktu objektif, dapat menjadi dasar untuk memahami sejumlah
masalah komunikasi antarbudaya. Lebih-lebih lagi jika kita memahami bahwa
penjagaan waktu dan standar waktu objektif dapat mengontrol ruang
dan gerak melalui ruang dan memang seringkali begitu. Pemaksaan waktu
objektif kelompok budaya tertentu pada kelompok budaya lain dapat di anggap
sebgai salah satu bentuk pengaruh atau persuasi budaya.
4. Pacu
Hidup,Tempo Budaya, Dan Komunikasi Interkultural
Banyak jenis waktu yang membentuk sistem seseoang: waktu
biologis, waktu fisiologis, waktu perseptual, waktu objektif, waktu psikologis,
waktu sosial, dan waktu kultural. Bagaimana tingkata waktu yang saling
bergantung ini berinteraksi menjadi “kronemika”perilaku manusia (Bruneeau,1997:3).
Kronemika adalah bidang ilmu komunikasi yang relatif baru, yang dapat di
defenisikan sebagai makna pengalaman waktu manusia, yang mempengaruhi dan
di pengaruhi oleh komunikasi insani. Pacu hidup kelompok budaya berkenaan
dengan bagaimana tingkat-tingkat pengalaman waktu terintegrasikan oleh anggota
atau kumpulan individu dalam kelompok tersebut.Selanjutnya,pacu hidup
satu kelompok budaya addalah standar dan kebiasaan perilaku waktu yang
mendasari interaksi di antara anggota-anggota kelompok budaya (perlu
disebutkan disini bahwa jenis-jenis dan tingkat –tingkat perilaku waktu akan
disajikan secara singkat pada Taksonomi Lingkungan Waktu). Hal lain yang
juga penting dalam pacu hidup kelompok budaya adalah bagaimana bentuk
pengalaman waktu subjektif dan objektif berinteraksi. Dengan kata lain, bagaimana
interaksi antara bentuk-bentuk pengalaman waktu yang berbeda dalam budaya
tertentu dengan bentuk-bentuk pengalaman waktu yang agak konstan dan konsisten
membantu menentukan tempo yang khas dari satu budaya.
Sebagian kelompok budaya menggunakan bentuk-bentuk waktu
objektif yang agak konstan (jam, timers, bel, jadwal harian).Kelompok budaya
ini mengembangkan lingkungan waktu yang khas dengan membaurkan waktu
objektif dengan kegiatan dan peristiwa personal, sosial, dan kultural. Kelompok
budaya yang menekankan pentingnya standar waktu yang objektif, kecermatan
waktu, dan pengaturan pacu hidup yang di hubungkan dengan jam dapat menjadi
kelompok budaya yang “terikat jam” (clock-bound).
Kelompok budaya yang “clock- bound” tampaknya lebih menekankan waktu objektif
ketimbang bentuk-bentuk pengalaman waktu yang personal dan subjektif. Seringkali
kessepakatan pada waktu jam menjadi dasar bagi kesepakatan-kesepakatan yang
lain (misalnya,kebiasaandan adat proksemik dan kinesik).
Kronofilia dapat menjadi patologi kronik dalam arti yang
sebenarnya. Hidup menjadi rangkaian kebosanan yang terus-menerus dan kelabu. Pada
rangkaian membosankan seperti itu para pemain makin mempercepat tarian mereka
dalam upaya yang sia-sia untuk memperkaya ddan menyemarakkan rangkaian. Tetapi-bila
kita menggunakan kalimat Whitehead
yang lebih keras-hasil dari kegiatan yang makin intensif itu sangat jelas:
“Intensitas adalah upah kesempitan”. Tempo khas dari suatu kelompok budaya
dapat dibandingkan dengan tempo khas dari setiap anggota kelompok budaya
tersebut. Setiap individu harus menyesuaikan temporalitasnya yang unik dan
personal dengan tempo yang unik dari kelompok budayanya. Bila orang-orang dari
berbagai tempo budaya berussaha berkomunikasi,lingkungan temporalnya merupakan
perpaduan dari tempo kultural dan tempo personal. Dalam situasi komunikasi
interkultural, tingkat perilaku dan harapan berkenaan dengan tingkat-tingkat ini
berbeda dari orang ke orang. Dalam situasi demikian ,nilai-nilai yang dianut
dalam menghadapi berbagai bentuk waktu objektif dapat menimbulkan secara luas
salah pengertian dan salah tafsir.
Bila kita pahami bahwa perilaku proksemik dan kinesika
didasarkan pada kepercayaan waktu (temporal beliefs), sikap ,motif ,dan nilai
dan perilaku temporal semua peserta dalam situasi interkultural, jelaslah bahwa
dimensi waktu adalah faktor paling penting dalam komunikasi interkultural. Dengan
mengonseptualisasikan secara kreatif cara orientasi dan perspektif waktu
berinteraksi dengan identitas kultural,perilaku budaya,ddan komunikasi
interkultural,kita dapat memperoleh bahan untuk kegiatan penelitian selama
bertahun-tahun.
5. Taksonomi
Lingkungan Waktu.
Taksonomi yang di ikhtisarkan dibawah ini mula-mula
dikembangkan sebagai usaha persial dalam mendefenisikan kronemika perilaku
manusia (Bruneau:1978). Taksonomi dapat digunakan untuk menganalisis dan
menelaah perilaku waktu dan lingkungan waktu dari berbagai bentuk
interaksi manusia. Dorongan waktu (temporal drives): meliputi kegiatan
bioritmis ; keteraturan hormonal dan metabolis; impuls ergis ( cattell
1957,1965); meliputi pengurangan tegangan kebutuhan fisiologis,pola tegangan
kebutuhan ;dan sebagainya.Petunjuk waktu (temporal signals);berkenaan dengan
penginderaan awal dan mendeteksi dorongan waktu orang lain. Sinyal waktu
(temporal signals): meliputi penetuan keberlangsungan perseptual dan interval
yang menimbulkan indera tmwaktu individu;kontinuitas dan diskontinuitas yang
menimbulkan pengenalan urutan dan keberlangsungan yang menjadi kebiasaan atau
berubah-ubah; fenomena keberlangsungan dan proses yang membentuk informasi
perseptual berkenaan dengan pengaturan tempo, pengendaliaan, pengaturan, atau
fasilitasi perilaku manusia; berkenaan dengan pengenalan karakteristik waktu
dari perilaku nonverbal;danseterusnya. Perkiraan waktu(temporal
estimates):berkenaan dengan indera waktu dan perwaktuan;penggunaan sinyal waktu
untuk membuat , mempertahankan, atau mengubah pengenalan sejauh mana kecepatan
atau kelambatan waktu mengalir dalam hubungan dengan dasar waktu yang personal
dan habitual atau standar waktu yang objektif ;perkiraan mengenai tingkat tempo
yang personal dan atau tingkat peristiwa perilaku; dan seterusnya.
Lambang waktu (temporal symbols):berkenaan dengan gambaran simbolik urutan dan keberlangsungan,perubahan dan keperemanenan,atau perspektif dan orientasi waktu ;konsep tempo subjektif dan objektif ;berkenaan dengan fungsionalisasi dan gambaran linguistik yang berkaitan dengan tingkat pengalaman waktu dan seluruh perilaku (termasuk mental)yang tercakup dalam butir-butir taksonomi.
Lambang waktu (temporal symbols):berkenaan dengan gambaran simbolik urutan dan keberlangsungan,perubahan dan keperemanenan,atau perspektif dan orientasi waktu ;konsep tempo subjektif dan objektif ;berkenaan dengan fungsionalisasi dan gambaran linguistik yang berkaitan dengan tingkat pengalaman waktu dan seluruh perilaku (termasuk mental)yang tercakup dalam butir-butir taksonomi.
Keperccayaan waktu (temporal
beliefs): berkenaan dengan asumsi-asumsi yang ditereima orang sehubungan
dengan sifat waktu dan rang;berkenaan dengan tingkat kekakuan dalam mempersepsi
dan mengonseptualisasi perilaku ruang-waktu ;mengenai validitas petunjuk dan
perkiraan waktu; mengenai validitas informasi waktu yang timbul dari dorongan
waktu,sinyal waktu,dan simbolisme waktu;berkenaan dengan validitas dan sifat
penilaan waktu dan seterusnya.
Motif
waktu (temporal motives):berkenaan dengan maksud psikologis untuk mempengaruhi
perilaku waktu;mengenai proses mengubah tempo objektif dan
personal;mengenai upaya mempengaruhi dorongan,keperluan,dan motivasi;maksud yang
berkaitan dengan tujuan dan perilaku tujuan ;dan seteerusnya. Penilaian
waktu (temporal judgments): berkenaan dengan validitas kepercayaan waktu, motif
waktu dan nilai waktu seperti yang di jalankan individu atau kellompok indivu
dalam konteks sosiokultural; dan seterusnya. Nilai waktu (temporal values): mengenai
pemberian nilai pada waktu, waktu-waktu (peristiwa), dan perwaktuan ketika
dikaitkan dengan perilaku personal, sosial, dan kultural. Sumber .Komunikasi
Antar Budaya (Dedy Mulyana).
Sumber
Referensi:
Mulyana,
Deddy dan Rahmat, Jalaluddin, 2005, Komunikasi
Antarbudaya, Bandung: Rosda
Mulaya,
Deddy, 2008, Pengantar Ilmu Komunikasi,
Bandung: Rosda
Peursen,
Van. 2013. Strategi Kebudayaan.
Yogyakarta: Kanisius
Soedjatmoko, 2004, Kebudayaan Sosialis, Jakarta: Melibes.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terima kasih. segera saya akan konfirmasi.