Jumat, 29 Agustus 2014

PARADIGMATIS FENOMENOLOGI DALAM ILMU KOMUNIKASI (Studi Konstruksi Makna dan Realitas Komunikasi) (Ahmad Toni)

PARADIGMATIS FENOMENOLOGI DALAM ILMU KOMUNIKASI
(Studi Konstruksi Makna dan Realitas Komunikasi)

artikel lengkap dapat diperoleh di Jurnal Semiotika UBM-Universitas Bunda Mulia

Oleh
Ahmad Toni dan Rini Lestari
Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Budiluhur Jakarta




A. PENDAHULUAN
Fenomena atau gejala dalam sistem masyarakat disebabkan oleh banyak faktor, realitas masyarakat menjadi sebuah wahana besar untuk bisa menerima perubahan-perubahan nilai, sistem sosial, politik, keyakinan, dan lain sebagainya. Perubahan yang berimbas pada kehadiran sesuatu yang baru, yang kemudian menjadi sebuah kebudayaan baru yang diterima, diyakini dan diimplementasikan dalam sistem sosialnya. Perilaku dan sistem perubahan sosial ini menjadi roh kebenaran empirisme yang didasarkan pada sistem pengamatan yang maksimal dan mendalam.
Pola-pola perilaku yang mengakibatkan perubahan sebagai indikasi gejala baru yang sering muncul dan menjadi perhatian sosial masyarakat. Dimana fenomena atau gejala tersebut memerlukan suatu pengamatan baru sebagai cara pandang terhadap tujuan utamanya untuk menggali suatu makna yang terkonstruksikan sebagai bagian perspektif manusia melihat gejala yang menjadi perhatiannya. Konstruksi makna yang didasari dengan pengetahuan, yang didapatkan dari pengalaman yang pernah dialami oleh para subjek atau actor gejala tersebut sebagai suatu cara pandang dan kebenaran yang dituangkan dalam bentuk sebuah kebenaran empirisme, sehingga pemahaman tentang apa yang dilakukan oleh aktor gejala tersebut menjadi kebenaran yang berupa pengamalan hidup manusia.
Persoalan fenomenologi dalam konstruksi realitas yang diakibatkan oleh media, tayangan media ialah mampu menempatkan actor atau subjek responden yang sedang diamati sebagai subjek yang aktif dan sekaligus merupakan esensi kebenaran ilmiah. Dimana bentuk-bentuk interaksi subjek responden dalam sistem masyarakat dilihat sebagai objek kajian formalnya, yakni interaksi yang dilatarbelakangi oleh interaksinya dengan media. Kebenaran dalam bingkai fenomenologi merupakan tindakan manusia dalam hal pengalaman, pengetahuan dan pemahamannya sebagai pengaruh dari media yang ditontonnya, sebagai sebuah gejala yang dikategorisasikan berdasarkan kemiripan, kesesuaian, keseragaman tetapi tidak mutlak persamaan.

B. PARADIGMATIS TOKOH DAN PEMIKIRAN DALAM FENOMENOLOGI
Fenomenologi merupakan transformasi pengalam, kesengajaa, kesadaran, pengalaman empiris, indrawi, dalam konteks pikiran individu yang mengalaminya. Gejalah yang demikian dihadirkan atas kesadaran pengalaman yang diakibatkan oleh benturan sejumlah peermasalahan realitas dengan memori orang dalam menjalani kehidupannya dalam sistem masyarakat, lingkungan yang menyertainya. Fenomenologi ialah “suatu perspektif yang modern tentang dunia manusia dan merupakan gerakan filsafat yang paling dekat hubungannya dengan abad ke-20 (Ritzer dan Smart, p. 460). Selanjutnya (Ritzer dan Smart, p. 461) “peralihan subjektif yang menjadi ciri semua pemikiran modern dan menyadarkan wawasan bahwa kesadaran manusia terperangkap dalam sebuah sistem representasi-representasi referensial diri (self-referential) tiada akhir; bahwa kesadaran manusia adalah sebuah sistem tanda-tanda”.
Jame dan Brentano (Kuswarno, p. 8) menyatakan bahwa “pada dasarnya teori fenomenologi merupakan penelitian empiris mengenai cognitive neuroscience”. Selanjutnya Husserl (Kuswarno, p. 8) “sebuah pengalaman (tindakan sadar) mengacu kepada suatu objek dalam pengertian noema atau neomatic. Teori kesengajaan (kesadaran) adalah generalisasi dari teori referensi bahasa. Ketika referensi bahasa dimediasi oleh pengertian, maka referensi perhatian dimediasi oleh pengertian noematic”. “Noesis merupakan bahan dasar pikiran dan roh (mind and spirit) manusia. Deskripsi noesis adalah deskripsi subjektif, karena sudah ada pemberian manka padanya. Lawan noesis adalah noema, yakni sesuatu yang diterimma oleh panca indera manusia” (Kuswarno, p. 43-44). Esensi yang sebenarnya dari fenomena ialah kesengajaan pemberian makna, dimana makna merupakan bagian kesengajaan yang berhubungan antara real (itas) sebagai objek dalam persepsinya masing-masing.
Penjelasan neomatic ialah suatu kesadaran tentang konstruksi suatu pengalaman seseorang tentang realitas empiris yang membangun konsepsi kedasaran orang tersebut untuk bisa mewujudkan hasil pengalaman yang dihasilkannya sebagai suatu kebenaran yang terdeskripsikan dialam memori. Artinya, pengalaman tentang yang dideskripsikan bukan pada kondisi fisik realitas yang dimaksudkan akan tetapi deskripsi yang bisa terlukiskan didalam imajinasi, memori mereka secara sadar. Sebagai contoh, tubuh sexy perempuan dan bau wangi farfum yang dipakai saat meintas didepan laki-laki akan tergambarkan secara berbeda antara saat laki-laki melihatnya langsung dengan saat membayangkan persitiwa yang telah dialaminya. Daya ingat laki-laki terhadap perempuan sexy yang dilihatnya menjadi noema dari pengalaman yang dilaluinya secara sadar.
Berikut adalah tokoh fenomenologi dan konsep yang dilahirkannya:
1.     Fenomenologi Husserl
Bagi Husserl (Kuswarno, p. 10) fenomenologi adalah ilmu mengenai pokok-pokok kedasaran (the science of the essence of consciousness), studi tentang kesadaran, dan keberagaman pengalaman yang ada di dalamnya”. Pengertian ini menunjukan sebuah dasar dalam mengejaahwantahkan, menelanjangi, mengeluarkan pengalaman setiap orang, baik dari segi bentuk pengalaman, jenis pengalaman, perspektif pengalaman yang menempatkan peneliti seakan-akan terlibat di dalam gejala yang dialami oleh peneliti.
Tidak ada batasan serta jarak antara peneliti dengan subjek-subjek yang sedang diamati dan diteliti, suatu kedekatan emosional antara peneliti dengan subjek atau objek yang diteliti, maka semakin mempererat hubungan keduanya. Hal yang demikian diwajibkan menjadi harmonisasi untuk dapat menungkapkan pengalaman seseorang sebagai kesadaran pengungkapan pengalaman yang dijalaninya. Proses pemaknaan subjek terhadap objek pengalaman melahirkan makna bukan sekedar arti yang dilekatkan kepada suatu objek atau benda tetapi makna merupakan sikap dinamis dari pengalaman setiap orang. Makna bukan dihadirkan secara monolitik tetapi makna dihadirkan secara plural dalam keadaan kesadaran jiwa setiap individu yang memaknainya.  
Bentuk pengalaman yang beragam menempatkan pemikiran Husserl menolak metode transcendental idealism dari Kan (Kuswarno, p.10). dimana kondisi setiap individu atau orang memaknai setiap pengalamannya akan bergantung pada kemungkinan-kemungkinan dari kesadaran yang didasari oleh latar belakang yang bersangkutan, pengetahuan serta lingkungan individu atau orang tersebut. Adapun menurut Husserl (kuswarno, p.10) “diperlukan metodis reduksi: metodis reduksi eidetic, reduksi fenomenologi dan reduksi transcendental”. Husserl juga mengkonsepsikan struktur intensionalitas kesadaran yaitu: objektifikasi, identifikasi, korelasi dan kosntitusi (Kuswarno, p.11).
2.     Fenomenologi Heidegger
Destruksi fenomenologis merupakan konsep dasar fenomenologi Heidegger yang menempatkan metode fenomenologi hermeneutik, yakni mencoba untuk menungkapkan makna yang tersembunyi (Kuswarno, p.12). Konsepsi ini menunjukan kapada kita bahwa pengalaman atau tindakan selalu ada dalam realitas dunia. Artinya makna hadir dan dihadirkan oleh para pelaku tindakan bergantung bagaimana konteks tindakan dengan realitasnya. Kontekstualisasi tindakan dengan kehadiran makna menempatkan posisi fenomenologi sebagai pola penelussuran atau investigasi makna dan kelahiran makna.
Fenomenologi diartikan sebagai alat semata untuk mengungkapkan bagaimana tindakan bisa terjadi, menelusurinya, sejauh keperluan dan beerkembangnya gejala yang timbul dalam sistem sosial. Fenomena dalam pandangan Heidegger bukan terbentuk secara sengaja dan disengaja oleh para pelakunya, tetapi pengetahuan dan keterampilan para pelaku yang diterpa oleh suatu keadaan berjalan apa adanya. Pada hakikatnya fenomenologi merupakan metode untuk mencari, melacak dan menelusuri secara investigasif makna “menjadi”. Pola ini sebagai sebuah instrument yang mempertanyakan “kenapa hal itu bisa menjadi demikian”, pelacakan terhadap persoalan “cara bagaimana untuk menjadi demikian”.
Kehadiran suatu realitas baru bukan serta merta ada dengan sendirinya, tetapi logika kita akan mempertanyakan realitas baru tersebut dengan pertanyaan “kenapa itu menjadi ….”. Maka penelusuran terhadap hal-hal yang mmenjadikan suatu realitas baru itu ialah dengan cara melacak proses menjadi sebagai pengungkapan makna yang berhubungan dengan konteks makna itu ddihadirkan sebagai konsekuensi dari gejala yang timbul kepermukaan realitas sosial.
3.     Fenomenologi Schutz
Di Indonesia, pemikiran Schutz menjadi acuan dasar penelitian fenomenologi sebagai kajian yang menarik, akan tetapi pemikiran Schutz sebenarnya tidak beda dengan para pendahulunya. Schutz melihat fenomenologi sebagai tindakan sosial pada pengalaman, makna dan kesadaran. Manusia mengkonstruksi makna di luar arus utama pengalamannya melalui proses “tipikasi” (Kuswarno. P.17-18).
Penafsiran “tipikasi” dalam konteks fenomenologi di Indonesia dimaknai dangkal sebagai Pengelompokan pengalaman manusia. Pada prinsipnya tipikasi ialah sebuah pengelolaan, produksi makna yang dikelola, diorganisasikan berdasarkan hubungan dengan pengelolaan informasi atau pengalaman lain yang diterima oleh manusia pada masa sebelumnya. Dalam bahasa fenomenologi Schutz disebut dengan “stock of knowledge”, proses kumpulan pengalaman tersebut kemudian mempengaruhi makna yang terkonstruksi dalam pola pikir, gerak, sikap, perilaku dan dapat diaplikasikan, diimplementasikan secara nyata dalam realitas.
Tipikasi bukan sekedar pengetahuan yang terkonstruksi di dalam alam imajinasi, otak, atau pikiran individu semata, melainkan pengetahuan tersebut dapat diimplementasikan dalam bentuk tindakan nyata dalam dunia. Dimana manusia secara substantive melahirkan konsep pengalaman subjektif, dimana pengalaman subjektif tersebut ialah bentuk modal yang menjadikan manusia melakukan suatu tindakan riil. Pola tindakan merupakan cerminan, wujud, reprensentasi dari makna yang dihadirkan dari pengalaman subjektif yang diorganisasikan oleh dirinya.
Dalam pandangan Schutz selajutnya, dalam konteks manusia atau individu sebagai mahkluk sosial, tipikasi dimaknai dan ditafsirkan sebagai pemahaman atas dasar pengalaman bersama, dimana argumentasinya mencoba mengelompokkan manusia sebagai individu yang menyesuaikan diri, dimana individu ialah orang yang memainkan tipikal situasi tertentu. konsepsi fenomenologi ini mencoba menempatkan individu bukan sebagai orang yang mempunyai prinsip, namun individu yang berkompromi dengan peengalaman sejenis yang diakibatkan oleh interaksi yang dilakukannya sebagai mahkluk sosial.
Pemahaman yang demikian menempatkan fenomenologi Schutz tidak menempatkan pengalaman hidup seseorang sebagai kemandirian makna yang dikonstruksi oleh individu secara sadar. Pada hakikatnya makna dari pengalaman hidup seseorang berbeda-beda dan tidak bisa digeneraliasaikan, realitas bukan bersifat monolitik tapi realitas bersifat plural. Kemiripan pengalaman bukanlah merukan kesamaan dan keseragaman pengalaman antara individu satu dengan individu yang lainnya.     
4.     Fenomenologi Berger
Berger yang sejalan dengan Weber melihat “makna-makna yang berkembang diluar makna umum, karena manusia memiliki naluri-naluri yang stabil dan khusus. Makna yang berkembang dalam organisasi sosial mengalami objektifikasi dalam isntitusi-institusi sosial, dengan makna inilah sosialisasi terhadap anggota baru dilakukan” (Kuswarno, p.20). Selanjutnya Berger (Kuswarno, p. 20) menyatakan bahwa “tindakan manusia sebagai produk proses internalisasi dan eksternalisasi, secara cenderung konstruksionistik”.
Tindakan yang demikian mencoba untuk menunjukan bahwa interkasi yang dilakukan antar individu mempunyai sikap yang dikonstruksi berdasarkan pada individu sebagai subjek yang mandiri, orang yang mampu menggunakan pola pikirnya secara rasional, mempunyai kemerdekaan atau kebebasan pilihan dan penentuan, dan tidak dikonstruksikan secara sistematis oleh sistem yang mempengaruhinya. Tindakan ini mencoba memposisikan individu sebagai manusia seutuhnya sebagai mahkluk yang berakal, mampu memfilter informasi atau pengalamanya, sebagai subjek yang kritis, dimana proses berpikirnya ialah problematic. Maka dari itu manusia berusaha untuk menafsirkan, menginterpretasikan segala macam pengetahuannnya sebagaimana kemampuan yang dimilikinya.
Adapun konsepsi dasar fenomenologi Berger (kuswarno, p.21-22) ialah mencoba memetakannya dalam dua varian:
a.     Fenomenologi hermeneutik
Pusat pehatian fenomenologi hermeneutik pada asspek kolektif dari budaya yang concern dengan bahasa. Dengan demikian teks dapat dianalisis secara objektif, dalam arti mengeksplorasi dan menentukan kealamiahan serta struktur komunikasi.
b.     Fenomenologi eksistensial
Sementara pusat perhatian fenomenologi eksistensial beroreientasi pada level individu dari budaya yang meliputi internalisasi kesadaran subjektif dari individu.
Konsepsi fenomenologi ini sebenarnya berupaya membangun pemahaman kepada kita bahwa fenomenologi bukanlah sekedar pengalaman biasa dari individu akan tetapi merupakan pengalam yang mendasar sebagai akibat yang ditimbulkan oleh unsur-unsur penting dalam kehidupan seseorang. Dimana proses dan interaksi sosial yang melibatkan dunia sebagai kenyataan dan realitas yang penuh dengan problematika sosial.

C. ESENSI FENOMENOLOGI
Hegel dan gerakan fenomeologi dalam modernitas  menitikberatkan kepada landasan berpikir tentang pengalaman yang melebihi batas-batas pengalaman. “gagasan fenomeologi menolak mengakui referen banyak istilah ‘deskriptif’ yang tampak tidak berbahaya sebagai sesuatu yang nyata baik dalam wacana ilmiah maupun dalam bahasa sehari-hari” (Ritzer dan Samrt, p.466). berikut adalah penjelasan esensial fenomenologi yang menetapkan suatu orientasi orisinal terhadap realitas:
1.              Intensional
“Husserl mengungkapkan bahwa karakter pengalaman merupakan intensionalitas kesadaran, hal ini berarti kesadaran tidak pernah tanpa isi: proses sadar disebut dengan intensional”. Brentano, (Ritzer dan Smart, 2011, p.467) “ineksistensi intensional juga disebut dengan mental, suatu objek yang sepenuhnya relasi dengan suatu isi, arah menuju objek atau objektivitas imanen”. Bahwa pada dasarnya kesadaran muncul sebagai kebenaran empiris yang menganggap pengalaman indrawi manusia sebagai pengalaman kebenaran, artinya wawasan yang paling tajam dalam pengalaman modern yang bersifat empiris yang menandai tentang kualitas pengalaman.  
2.              Pengalaman nyata
Terpaan dan pengalaman yang dikonstruksi individu sebagai bentuk hubungan sadar antara pengakses media dengan pesan-pesan yang dapat dipersepsikan, diproses, dimaknai dengan kesadaran yang mendasar sebagai bentuk pengalaman manusia.
3.              Esensi
Esensi yang dimaksudkan ialah kesadaran ideal dari actor-aktor sosial sebagai bentuk kesadaran yang konkret yang dimanifestasikan dalam bentuk pemaknaan, tindakan atas kesadaran dari dan untuk dirinya.
4.              Modalisasi
Kebenaran suatu gejalan merupakan usaha untuk menemukan penyebab subjektivitas dan objektivitas pengalaman inderawi manusia. Dimana hubungan antara konsep fisik dengan modalitas diri seseorang yang menjadi actor untuk merepresentasikan relasi umum dan generalisasi atas fenomena inderawi manusia.
5.              Epoche
Esensi kesadaran  ialah bertujuan untuk mengembalikan sikap kita sebagai actor sosial kepada pemaknaan tentang dunia dan realitasnya.
6.              Penubuhan
Fenomena adalah suatu konsep keterbukaan  yang terkonstruksikan atas dasar hubungan tubuh dengan dunia ekspresi. Artinya ada hubungan antara jiwa dan fisik seseorang untuk menggerakan pemikiran memaknai suatu realitas yang sedang diamati sebagai sebuah gejala.
7.              Temporalitas
Hal ini menunjukan bahwa ada keterkaitan ruang dan waktu yang luas dan mendalam berdasarkan pada kesadaran manusia. Makna yang dilahirkan dari individu bergantung pada konsisi ruang dan waktu yang melingkupinya secara sosial.
8.              Intersubjektivitas
Relasi timbal balik antara diri sendiri dengan sosial. Ketersilangan individu dalam pemaknaan melahirkan pemaknaan yang bersifat sosial berdasarkan pada pengalaman yang sama dengan subjek lain.

C. KONSTRUKSI MAKNA DAN KEDUDUKAN MEDIA DALAM REALITAS KOMUNIKASI
Menurut Weber “suatu tindakan hanya dapat disebut tindakan sosial apabila tindakan tersebut dengan mempertimbangkan perilaaku orang lain dan beroerientasi pada perilaku oranglain. Jadi tindakan sosial merupakan perilaku manusia yang mempunyai makna subjektif bagi pelakuknya” (Kuswarno, p.109). Berger (Kuswarno, p. 111) menyatakan bahwa “realitas sosial eksis dengan sendirinya dan struktur dunia sosial bergantung pada manusia yang menjadi dubjeknya”. Selanjutnya Luckmann menyebutkan (Kuswarno, p. 112) bahwa “seseorang hidup dalam kehidupannya mengembangkan suatu perilaku yang reepetitif, yang mereka sebut sebagai “kebiasaan” (habits)”.
Dalam pandangan kontruksionis (Eriyanto, p. 16) bahwa “konstruksi sosial yakni plural dan bersifat dinamis”. Pandangan Berger (Eriyanto, p. 17)tentang konstruksi realitas dalam konteks realitas media dan realitas komunikasi ialah “teks media tidak bisa disamakan seperti sebuah kopi dari realitas, ia (teks komunikasi) haruslah dipandang sebagai konstruksi atas realitas”. Artinya sebuah teks komunikasi dalam arti yang sangat luas, bukan merupakan peristiwa  atau fakta yang dalam arti riil, tetapi ada sejumlah orang yang mengkonstruksi realitas tersebut dalam kemasan content media. Konsepsi fakta dalam teks komunikasi yang diekspresikan untuk melihat dan membangun realitas itu sendiri dalam konstruksi media. Media komunikasi dipandang sebagai konstruksi realitas bersifat subjektif, dimana realitas dihadirkan oleh sejumlah konsep pelaku media, realitas media terkonsepsikan oleh pandangan golongan tertentu, termasuk kepentingan lembaga atau isntitusi media yang mendorong kepada hal-hal tertentu sebagai sebuah agenda yang dihadirkan secara sadar dan disengaja. Pada substansinya, fakta atau realitas merupakan konstruksi atas realitas itu sendiri, karena nilai kebenaran suatu fakta sangatlah relative, harus dipandang dari berbagai perspektif tertentu. Sehingga fakta tertentu juga dapat dipahami sehingga melahirkan penafsiran dan makna yang dihadirkan tertentu pula.
Selanjutnya pandangan konstruksionis (Eriyanto, p. 22-23) mengenai media “media adalah agen konstruksi, media bukanlah suatu saluran yang bebas, ia merupakan subjek yang mengkonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan bias dan keberpihakan”. Posisi media ialah sebagai agen atas sejumlah penafsiran realitas dari massing-masing pelaku. Teks media bukan merupakan cerminan dan reflekksi dari realitas, karena teks media merupakan konstruksi realitas yang disengaja. Teks media pada intinya ialah bersifat subjektif atas konstruksi yang distandarisasikan oleh aturan-aturan yang melingkupinya.
Sementara kaum konstruksionis memandang kahalyak media sebagai individu yang mempunyai penafsiran yang beragam terhadap teks media, sehingga keberagaman penafsiran menempatkan khlayak media sebagai orang atau individu yang aktif dan dinamis. Dalam pandangan Hall (Eriyanto, p.36) “makna suatu teks bukan terdapat dalam pesan (teks media), makna selalu potensial mempunyai banyak arti (polisemi)”. Sehingga makna hadir dan dihadirkan oleh individu yang terlibat dalam terpaan media, yang mengkonsumsi teks media, sehingga muncullah interpretasi yang beragam antara satu individu dengan individu lainnya.


D. METODE PENELITIAN FENOMENOLOGI DALAM PERSPEKTIF KOMUNIKASI
Konvesi dunia sebagai hasil dari proses berpikir ilmiah melalui empiris merupakan interpretasi subjek atau actor masyarakat dalam mengkonstruksi makna tentang dunia yang kita sepakati bersama. Fokus fenomenologi dalam gejala realitas sosial yang diakibatkan oleh media sebagai rangsangan, pengalaman dan pengetahuan manusia, sehingga pemahaman tentang realitas sebagai implikasi media menjadi perilaku hidup, tindakan, sikap, maupun pola pikir manusia yang dilatarbelakangi oleh faktor-faktor yang melingkupinya baik pendidikan, ekonomi, nilai sosial, aturan hingga keyakinan.
Perilaku tersebut menempatkan individu sebagai actor yang menjadi subjek dan sekaligus objek dalam penelitian yang menggunakan fenomenologi sebagai metodenya, dimana aktor tersebut merupakan pihak yang memberikan konstribusi konstruksi pemaknaan terhadap tindakan dirinya sendiri. Pola yang demikian merupakan sebuah proses pemaknaan atas sebuah kesepakatan yang pada dasarnya lebih menekankan interpretasi tentang kehidupan yang dijalankan oleh aktor berkaitan dengan aktivitas keeharian. Aktor individu yang memerankan diri sebagai subjek dan objek penelitian ialah konstruksi makna dari proses intersubjektivitas atas tindakan dan perilaku yang dijalankannya. Artinya, tindakan manusia dalam kehidupan sehari-hari tidak terlepas dari pengaruh situasi dirinya, psikologis, dan situasi lain yang sedang dirasakannya, baik marah, sedih, gembira, dan lain-lain. Makna yang terkonstruks ialah sebagai konsekuensi interaksi dirinya dengan orang, lingkungan, media, nilai, serta hal-hal lain yang menjadi aktivitasnya. Tindakan tersebut sebagai sebuah proses konstruksi makna atau disebut dengan pemaknaan tersistematis dan mempunyai hubungan yang koheren atas aktor penelitian dengan lingkungannya.
Proses pemaknaan ini ialah bentuk sistem relevansi dalam proses interaksi manusia dalam menggunakan media. Media memberikan suatu pengalaman, pendidikan, pengetahuan dan pemahaman atas materi yang disampaikannya. Media sebagai sebuah rangsangan untuk dapat mengkonstruks pengetahuan manusia. Dimana ada hubungan kausalitas, hubungan relevansi antara pengetahuan, media dan pemahaman atas materi yang disampaikan oleh media. Televisi sebagai media yang memberikan pengetahuan lewat audio dan visualnya mampu untuk mengkonstruksi suatu realitas. Konstruksi realitas yang diakibatkan oleh daya relevansi sosial teks media dengan tindakan manusia dalam realitas nyata. Tindakan yang demikian menempatkan peneliti masuk pada tataran pengamatan dan observasi peneliti pada hal-hal yang mencakup kognitif aktor penelitian.
Sebagaimana yang dinyatakan oleh Nindito (2005, p. 90) tiga model konstruksi makna terhadap tindakan sosial, yaitu:
1.     Model konsistensi tindakan, yang menjadi validitas objektif dari konstruksi peneliti yang menjadi jaminan dan pembedaan dengan konstruksi makna dari realitas kehidupan sehari-hari.
2.     Model interpretasi subjektif, tempat dimana peneliti dapat mendasarkan kategorisasi jenis tindakan manusia dan hasil makna subjektif dari tindakan atau hasil tindakan (manusia) yang dilakukan oleh aktor (penelitian).
3.     Model kelayakan, kesesuaian antara makna yang dikonstruksi oleh peneliti dengan makna yang dikonstruksi oleh aktor (peneliti).
Model konstruksi makna dalam penelitian fenomenologi terdiri atas tiga konstruksi makna untuk mencapai kedalaman pemahaman pemaknaan yang dilakukan oleh peneliti. Ketiga konstruksi makna tersebut didasarkan pada hasil pengamatan peneliti terhadap aktor-aktor yang terlibat dalam sebuah gejala yang sama atau sejenis. Dari hasil pengamatan (observasi-partisipan), diksusi (FGD-Focus group discution) merupakan data yang dapat diolah sebagai konstruksi makna tingkat pertama (tingkat I).
Selanjutnya, pada konstruksi makna tingkat kedua (tingkat II) dilakukannya sortir data berdasarkan kategorisasi atau tipikasi (data yang se-tipe), data yang sejenis, baik dari hasil jawaban wawancara, pengamatan dari jauh, observasi partisipan dan lain-lain.  Kategorisasi atau tipikasi berguna untuk menentukan konstruksi makna pada tahap pemetaan data sebagai bentuk keseimpulan sementara dari semua data yang diperoleh dan peneliti berhak untuk memberikan label-ing tentang tipe-tipe yang diperolehnya berdasarkan data yang peneliti miliki. Tahap ketiga (tingkat III) ialah proses penyesuaian atau kelayakan konstruksi tingkat II dengan realitas actor penelitian. Dimana peneliti mencocokan, meng-konfirmasikan, konstruksi makna berupa label-ing (tipe) kepada orang yang diamati gejalanya. Proses konfirmasi inilah yang kemudian banyak mengalami tahap-tahap yang kompleks, dimana makna hasil konstruksi peneliti pada tahap pertama dan tahap kedua menjadi semacam wacana yang ditawarkan kepada actor-aktor yang mengalami gejala sosial yang diakibatkan oleh media.


C:\Documents and Settings\toni\My Documents\FENOMENOLOGI\1.jpg


Kompleksitas itu muncul sebagai upaya pemaksaan peneliti dengan label-ing (tipikasi)  dimana ada semacam keberatan atau penolakan dari aktor-aktor penelitian yang diamati gejalanya. Terdapat semacam proses tawar menawar antara peneliti dengan actor-aktor yang sedang diamati, namun dari berbagai pengalaman penelitian tentang fenomenologi justeru banyak aktor-aktor penelitian yang sedang diamati gejalanya, bangga dengan label-ing yang diberikan oleh peneliti kepada actor penelitian. Berikut adalah dua hal yang dapat kita lakukan dalam proses konstruksi makna tingkat III, antara lain:
1.     Logika penolakan, penolakan atas konstruksi makna pada tahap ini merupakan proses tawar menawar antara peneliti dengan aktor penelitian dengan mengkedepankan etika serta nilai-nilai kesetaraan antara keduanya. Tidak bisa dipaksakan jika tipikasi (label-ing) akan ditolak oleh aktor penelitian, solusinya ialah dengan menawarkan beberapa label untuk disepakati dengan berusaha untuk menjelaskan maksud, tujuan dan atau makna dari tipikasi tersebut (label-ing) agar dapat disetujui dan disepakati.
2.     Logika kompromi, kompromi atas konstruksi maka pada tahap penyesuaian ini dapat diterima oleh aktor penelitian jika peneliti dapat mengambil hati, akrab, intim, bisa dipercaya, kompeten. Hal yang demikian menempatkan peneliti merupakan bagian (partisipan) yang menyatu dengan gejala yang sedang diamati. Justeru bila sudah terdapat hubungan baik antara peneliti dan aktor-aktor penelitian, maka label-ing (tipikasi) yang diberikan diterima dengan bangga, dengan tangan terbuka oleh para aktor yang sedang diamati gejalanya.
C:\Documents and Settings\toni\My Documents\FENOMENOLOGI\2.jpg
Tayangan media dalam proses konstruksi sosial dan realitas komunikasi dalam pengumpulan data penelitian dihadapkan pada dua metode, yakni: metode direct dan metode natural. Adapun tahapan pengumpulan data dalam penelitian fenomenologi adalah sebagai berikut:
1.     Direct (proses pengumpulan data yang disengaja). Ialah bentuk pengumpulan data yang di lakukan dengan kesengajaan untuk sebuah pengamatan fenomena, yakni terdapat tiga tahapan: interview formal yang diupayakan dengan penjadwalan dan daftar pertanyaan yang sudah disediakan untuk mengetahui gejala yang diteliti. Focus Group Discution, dimana actor-aktor yang sedang diamati dikumpulkan untuk sebuah diskusi tentang gejala yang diamatinya, kemudian diambil penarikan keseimpulan berdasarkan pada keterlembagaan fenomena yang sedang diamati. Kuesioners, yang diharapkan pada peneliti menggiring kearah permasalahan yang sedang diamati.
2.     Natural dimana metode ini dilakukan berdasarkan pada ke-alamiahan data penelitian. Terdapat tiga tahapan, yakni: obesrvasi partisipan ialah observasi yang dilakukan dan diamati berdasarkan pada pengamatan yang dilakukan pada aktor-aktor dengan mengikuti secara partisipasi, observasi ethnografi yang didasarkan pada mekanisme budaya dan kebudaayaan yang melingkupi actor-aktor pengamatan yang dinilai bersarakan pada kebiasaan, norma nilai, budaya dan lain-lain, interview informal dilakukan atas dasar ketidaksengajaan berdasarkan pada spontanitas subjek yang diamati.


E. KONSEP FENOMENOLOGI HERMENEUTIK DI ERA MODERN MEDIA

Hubungan antara subjek dalam diemnsi hermenutik fenomenologi ialah bergantung kepada realitas sosial komunikasi dan atau media. Ada dua unsur yang melingkupi dimensi hermeneutik, yakni konstruksi makna yang dibuat berdasarkan pada proses kesengajaan media dalam menyampaikan pesan yang ditopang dengan agenda setting media. Sementara dalam dimensi natural, gejala yang ditimbulkan oleh media didasarkan pada kealamiahan proses pesan berkembang dalam sistem sosial.
Terpaan media dan orientasi individu merupakan pemaknaan yang subjektif yang dilahirkan atas dasar pesan secara global, umum, lazim yang dimaknai oleh setiap orang. Konstruksi yang demikian dihadapkan pada orientasi pemaknaan yang bertumpu pada realitas kemanusiaan, bagaimana pun media menjadikan diri sebagai teks yang universal yang menghormati nilai-nilai kemanusiaan, kemerdekaan yang menyangkut Hak Azazi Manusia (HAM) serta prinsip keterbukaan. Sehingga secara substansif, media merupakan implementasi nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat universal. Hermeneutika mengacu kepada universalitas manusia sebagai makhluk yang berpikir untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran kemanusiaan.

Kelahiran makna yang diproses berdasarkan pada internalisasi kesadaran manusia sebagai manusia yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan perlu ditafsirkan secara plural, bahwa realitas bersifat plural bukan monolitik sehingga konsepsi dasar fenomenologi hermeneutika ialah nilai kemanusiaan secara universal, tidak memihak kepada salah satu golongan, tidak memihak kepada salah satu kepentingan, bahwa semua manusia harus dan wajib mendapatkan nilai luhur yang dibawa oleh media.
Makna tersebut kemudian diimplementasikan dalam bentuk tindakan nyata yang dapat memberikan konstribusi bagi perdamaian di dunia, sebagai konstruksi individu yang meahirkan solusi kemanusiaan, konstruksi sosial sebagai generalisasi yang berdasarkan tipikasi untuk sebuah kemaslhatan umat manusia. Bentuk real tindakan atas konsepsi pemakanaan ialah manifestasi realitas media yang diproses beradasarkan pada  komintemen manusia sebagai wujud naluri kemanusiaan dirinya yang diwujudkan pada sebuah tindakan yang dliahirkan dari proses terpaan media dalam bentuk pemaknaan suatu pesan yang menjadi gejala dalam kehidupan.  

F. KONSEP FENOMENOLOGI EKSISTENSIAL DI ERA MODERN MEDIA
Pendekatan eksistensialis dalam fenomenologi berangkat pada keterasingan manusia atas pemaknaan manusia yang bersifat absurd. Kehadiran psikoanalisis dalam psikologi komunikasi menempatkan manusia sebagai pihak yang bersentuhan dengan kegamanangan untuk memaknai sebuah gejala namun gejala itu dirasakan dalam jiwa manusia itu sendiri. Eksistensialis theistic merupakan fenomena yang bersentuhan atas terpaan media yang melahirkan fenomena keagamaan dilahirkan dan diproses oleh media. Bahwa agama menjadi terpaan dan sekaligus komoditas media untuk mempengaruhi kahalayak luas.

Pengakses media dan actor-aktor fenomena ialah berusaha untuk mencari jati dirinya sebagai bukti sentuhan, terpaan media yang berorintasi pada individu untuk selalu menannyakan tentang keimanan, agama, keyakinan dan pola-pola hubungan antara manusia dengan Tuhan. Tuhan dalam filsafat ketuhanan hanya bisa didekati dengan subjektivitas keyakinan seseorang. Bahwa iman manusia dan tingkatnya hanya dirinya dengan Tuhan yang diyakininya yang dapat ia rasakan. Kelahiran makna dan pemaknaan atas kehadiran terpaan media di implementasikan dalam wujud tayangan media. Ada tahapan manusia dalam bermedia bukan hanya sekedar untuk kehidupan duniawi, tetapi beroerientasi pada kehidupan ukhrawhi. Kecenderungan inilah yang menempatkan fenomenologi media dalam pendekatan eksistensialis bahwa actor-aktor penerima pesan media ada semacam kejenuhan bermedia pada pesan duniawi. Terdapat keunikan dan spesifikasi yang tidak dimiliki oleh actor lain dalam memahami Tuhan.

G. PEMBAHASAN

Konsepsi fenomenologi dalam konstruksi realitas media menjadi perdebatan yang cukup panjang, banyak ilmuan sosiologi menempatakan fenomenologi sebagai konsepsi paradigmatis kelilmuan sosial yang berorinetasi pada pemkanaan konstruksi media sangat cocok dengan konsepsi pola-pola pesan media yang bersifat kemanusiaan dan universal. Sehingga asumsi para ilmuan  terutama di Indonesia menempatkan fenoneologi sebagai teori yang relevan dengan segala bentuk persepsi dan efek media karena melibatkan psikologis khalayak untuk dapat memaknai pesan-pesab media secara universal.
Sementara konsepsi lain tentang fenomenologi sebagai paradigma penelitian yang konstruks masih dipertanyakan sebagai konsepsi paradigmatis dalam kajian dan penelitian ilmu komunikasi. Fenomenologi lahir dan dilahirkan atas konsepsi ilmu sosial untuk mengamatai gejala yang timbul di dalam sistem sosial masyarakat, namun keterpaduan antara ilmu komunikasi dengan ilmu sosial lainnya menunjukan bahwa eksistensi fenomenologi dalam kajian ilmu komunikasi sangat berhubungan berdasarkan pada teknologi modern dewasa ini.
Perdebatan paradigmatis fenomenologi mampu menghadirkan pemaknaan dan konstruksi realitas media dan komunikasi dihadapkan pada implementasi pemaknaan kalahayk yang bersifat dinamis untuk menghadirkan maka sebagai pengalaman media, pengalaman proses bermedia sebagai sebuah kesadaran bermedia dalam mewujudkan bentuk penyadaran diri individu terhadap realitas yang terkonstruksi akibat terpaan media. Paradigmatis yang lahir sebagai konsekuensi logis terpaan media dan pola-pola konstruksi media yang bersifat konstruksionis. Bahwa media mempunyai kekuatan agenda dan pengaruh yang diterpakan sebagai sebuah kepentingan pemunculan persepsi tentang makna yang dikonstruksikanya lewat pesan yang disampaikan.
Secara eksplisit, proses pengamatan fenomena yang ditimbulkan oleh media berdasarkan pada keberpihakan dan sekaligus kemampuan peneliti dalam menjalankan pengamatan terhadap gejala yang diamatinya, baik terkonstruksikan berdasarkan unsur kesengajaan untuk mengetahui secara cepat bagaimana konstruksi realitas media dan komunikasi diusung oleh aktor yang sedang diamati atau berdasarkan pada proses pengamatan secara alamiah, dengan mengikuti pola, gerak kehidupan actor atau subjek penelitian guna mengenathui secara lebih dalam fenomena yang terjadai di dalam jiwa yang terekspresikan oleh fisik subjek atau actor yang sedang diamatinya.


H. PENUTUP
Secara paradigmatis fenomenologi mampu meberikan nuansa baru dalam penelitian konstruksi makna dan konstruksi realitas media dan komunikasi yang bersumber pada hal-hal berikut ini:
1.     Fenomenologi berusaha menelisik proses pemaknaan realitas media dan realitas komunikasi yang bersifat esensi, bukan pada rekayasa realitas itu sendiri.
2.     Fenomenologi menempatkan kajian komunikasi sebagai kajian transcendental dalam hal-hal ketuhanan yang diterpakan oleh media.
3.     Fenomenologi berpatokan pada nilai-nilai kemanusiaan seperti halnya media yang menunjung tinggi Hak Azazi Manusia sehingga bisa dilakukan dengan pendekatan hermenutik.
4.     Fenomenologi berusaha untuk mengungkapkan kebenaran inderawi manusia sebagai sebuah kebenaran empiris yang didasarkan pada terpaan media dan pola-pola komunikasi lainnya.


I. DAFTAR PUSTAKA

Eriyanto, 2004. Analisis Framing: Konstruksi, ideologi, dan Politik Media, Yogyakarta: LKiS.

________, 2001,  Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, Yogyakarta: LKiS.

Kuswarno, Engkus, 2009, Metodologi Penelitian Komunikasi: Fenomenologi, Kosepsi, Pedoman dan Contoh Penelitiannya, Bandung: Widya Pajajaran.

Nindito, Stefanus, 2005, Fenomenologi Alfred Schutz: Studi Tentang Konstruksi Makna dan Realitas dalam Ilmu Sosial. Yogyakarta: Jurnal Komunikasi Atmajaya Yogyakarta.

Ritzer, George dan Smart, Barry,  2011, Teori Sosial, Bandung, Nusa Media.

Ritzer, Geogre, 2011. Teori Sosial, Bandung: Nusa Media



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terima kasih. segera saya akan konfirmasi.