PARADIGMATIS
FENOMENOLOGI DALAM ILMU KOMUNIKASI
(Studi Konstruksi Makna
dan Realitas Komunikasi)
artikel lengkap dapat diperoleh di Jurnal Semiotika UBM-Universitas Bunda Mulia
Oleh
Ahmad Toni dan Rini
Lestari
Fakultas Ilmu Komunikasi
Universitas Budiluhur Jakarta
A. PENDAHULUAN
Fenomena atau gejala dalam sistem masyarakat
disebabkan oleh banyak faktor, realitas masyarakat menjadi sebuah wahana besar
untuk bisa menerima perubahan-perubahan nilai, sistem sosial, politik,
keyakinan, dan lain sebagainya. Perubahan yang berimbas pada kehadiran sesuatu
yang baru, yang kemudian menjadi sebuah kebudayaan baru yang diterima, diyakini
dan diimplementasikan dalam sistem sosialnya. Perilaku dan sistem perubahan
sosial ini menjadi roh kebenaran empirisme yang didasarkan pada sistem
pengamatan yang maksimal dan mendalam.
Pola-pola perilaku yang mengakibatkan perubahan
sebagai indikasi gejala baru yang sering muncul dan menjadi perhatian sosial
masyarakat. Dimana fenomena atau gejala tersebut memerlukan suatu pengamatan
baru sebagai cara pandang terhadap tujuan utamanya untuk menggali suatu makna
yang terkonstruksikan sebagai bagian perspektif manusia melihat gejala yang
menjadi perhatiannya. Konstruksi makna yang didasari dengan pengetahuan, yang didapatkan
dari pengalaman yang pernah dialami oleh para subjek atau actor gejala tersebut
sebagai suatu cara pandang dan kebenaran yang dituangkan dalam bentuk sebuah
kebenaran empirisme, sehingga pemahaman tentang apa yang dilakukan oleh aktor
gejala tersebut menjadi kebenaran yang berupa pengamalan hidup manusia.
Persoalan fenomenologi dalam konstruksi realitas
yang diakibatkan oleh media, tayangan media ialah mampu menempatkan actor atau
subjek responden yang sedang diamati sebagai subjek yang aktif dan sekaligus
merupakan esensi kebenaran ilmiah. Dimana bentuk-bentuk interaksi subjek
responden dalam sistem masyarakat dilihat sebagai objek kajian formalnya, yakni
interaksi yang dilatarbelakangi oleh interaksinya dengan media. Kebenaran dalam
bingkai fenomenologi merupakan tindakan manusia dalam hal pengalaman,
pengetahuan dan pemahamannya sebagai pengaruh dari media yang ditontonnya,
sebagai sebuah gejala yang dikategorisasikan berdasarkan kemiripan, kesesuaian,
keseragaman tetapi tidak mutlak persamaan.
B. PARADIGMATIS TOKOH DAN PEMIKIRAN DALAM
FENOMENOLOGI
Fenomenologi merupakan transformasi pengalam,
kesengajaa, kesadaran, pengalaman empiris, indrawi, dalam konteks pikiran
individu yang mengalaminya. Gejalah yang demikian dihadirkan atas kesadaran
pengalaman yang diakibatkan oleh benturan sejumlah peermasalahan realitas
dengan memori orang dalam menjalani kehidupannya dalam sistem masyarakat,
lingkungan yang menyertainya. Fenomenologi ialah “suatu perspektif yang modern
tentang dunia manusia dan merupakan gerakan filsafat yang paling dekat
hubungannya dengan abad ke-20 (Ritzer dan Smart, p. 460). Selanjutnya (Ritzer
dan Smart, p. 461) “peralihan subjektif yang menjadi ciri semua pemikiran
modern dan menyadarkan wawasan bahwa kesadaran manusia terperangkap dalam
sebuah sistem representasi-representasi referensial diri (self-referential)
tiada akhir; bahwa kesadaran manusia adalah sebuah sistem tanda-tanda”.
Jame dan Brentano (Kuswarno, p. 8) menyatakan
bahwa “pada dasarnya teori fenomenologi merupakan penelitian empiris mengenai cognitive neuroscience”. Selanjutnya
Husserl (Kuswarno, p. 8) “sebuah pengalaman (tindakan sadar) mengacu kepada
suatu objek dalam pengertian noema
atau neomatic. Teori kesengajaan
(kesadaran) adalah generalisasi dari teori referensi bahasa. Ketika referensi
bahasa dimediasi oleh pengertian, maka referensi perhatian dimediasi oleh
pengertian noematic”. “Noesis
merupakan bahan dasar pikiran dan roh (mind and spirit) manusia. Deskripsi
noesis adalah deskripsi subjektif, karena sudah ada pemberian manka padanya.
Lawan noesis adalah noema, yakni sesuatu yang diterimma oleh panca indera
manusia” (Kuswarno, p. 43-44). Esensi yang sebenarnya dari fenomena ialah
kesengajaan pemberian makna, dimana makna merupakan bagian kesengajaan yang
berhubungan antara real (itas) sebagai objek dalam persepsinya masing-masing.
Penjelasan neomatic
ialah suatu kesadaran tentang konstruksi suatu pengalaman seseorang tentang
realitas empiris yang membangun konsepsi kedasaran orang tersebut untuk bisa
mewujudkan hasil pengalaman yang dihasilkannya sebagai suatu kebenaran yang
terdeskripsikan dialam memori. Artinya, pengalaman tentang yang dideskripsikan
bukan pada kondisi fisik realitas yang dimaksudkan akan tetapi deskripsi yang
bisa terlukiskan didalam imajinasi, memori mereka secara sadar. Sebagai contoh,
tubuh sexy perempuan dan bau wangi farfum yang dipakai saat meintas didepan
laki-laki akan tergambarkan secara berbeda antara saat laki-laki melihatnya
langsung dengan saat membayangkan persitiwa yang telah dialaminya. Daya ingat
laki-laki terhadap perempuan sexy yang dilihatnya menjadi noema dari pengalaman
yang dilaluinya secara sadar.
Berikut adalah tokoh fenomenologi dan konsep
yang dilahirkannya:
1.
Fenomenologi Husserl
Bagi
Husserl (Kuswarno, p. 10) fenomenologi adalah ilmu mengenai pokok-pokok
kedasaran (the science of the essence of
consciousness), studi tentang kesadaran, dan keberagaman pengalaman yang
ada di dalamnya”. Pengertian ini menunjukan sebuah dasar dalam
mengejaahwantahkan, menelanjangi, mengeluarkan pengalaman setiap orang, baik
dari segi bentuk pengalaman, jenis pengalaman, perspektif pengalaman yang
menempatkan peneliti seakan-akan terlibat di dalam gejala yang dialami oleh
peneliti.
Tidak
ada batasan serta jarak antara peneliti dengan subjek-subjek yang sedang
diamati dan diteliti, suatu kedekatan emosional antara peneliti dengan subjek
atau objek yang diteliti, maka semakin mempererat hubungan keduanya. Hal yang
demikian diwajibkan menjadi harmonisasi untuk dapat menungkapkan pengalaman seseorang
sebagai kesadaran pengungkapan pengalaman yang dijalaninya. Proses pemaknaan
subjek terhadap objek pengalaman melahirkan makna bukan sekedar arti yang
dilekatkan kepada suatu objek atau benda tetapi makna merupakan sikap dinamis
dari pengalaman setiap orang. Makna bukan dihadirkan secara monolitik tetapi
makna dihadirkan secara plural dalam keadaan kesadaran jiwa setiap individu
yang memaknainya.
Bentuk
pengalaman yang beragam menempatkan pemikiran Husserl menolak metode transcendental idealism dari Kan
(Kuswarno, p.10). dimana kondisi setiap individu atau orang memaknai setiap
pengalamannya akan bergantung pada kemungkinan-kemungkinan dari kesadaran yang
didasari oleh latar belakang yang bersangkutan, pengetahuan serta lingkungan
individu atau orang tersebut. Adapun menurut Husserl (kuswarno, p.10)
“diperlukan metodis reduksi: metodis reduksi
eidetic, reduksi fenomenologi dan
reduksi transcendental”. Husserl juga
mengkonsepsikan struktur intensionalitas kesadaran yaitu: objektifikasi,
identifikasi, korelasi dan kosntitusi (Kuswarno, p.11).
2.
Fenomenologi Heidegger
Destruksi
fenomenologis merupakan konsep dasar fenomenologi Heidegger yang menempatkan
metode fenomenologi hermeneutik, yakni mencoba untuk menungkapkan makna yang
tersembunyi (Kuswarno, p.12). Konsepsi ini menunjukan kapada kita bahwa
pengalaman atau tindakan selalu ada dalam realitas dunia. Artinya makna hadir
dan dihadirkan oleh para pelaku tindakan bergantung bagaimana konteks tindakan
dengan realitasnya. Kontekstualisasi tindakan dengan kehadiran makna
menempatkan posisi fenomenologi sebagai pola penelussuran atau investigasi
makna dan kelahiran makna.
Fenomenologi
diartikan sebagai alat semata untuk mengungkapkan bagaimana tindakan bisa
terjadi, menelusurinya, sejauh keperluan dan beerkembangnya gejala yang timbul
dalam sistem sosial. Fenomena dalam pandangan Heidegger bukan terbentuk secara
sengaja dan disengaja oleh para pelakunya, tetapi pengetahuan dan keterampilan
para pelaku yang diterpa oleh suatu keadaan berjalan apa adanya. Pada hakikatnya
fenomenologi merupakan metode untuk mencari, melacak dan menelusuri secara
investigasif makna “menjadi”. Pola ini sebagai sebuah instrument yang
mempertanyakan “kenapa hal itu bisa menjadi demikian”, pelacakan terhadap
persoalan “cara bagaimana untuk menjadi demikian”.
Kehadiran
suatu realitas baru bukan serta merta ada dengan sendirinya, tetapi logika kita
akan mempertanyakan realitas baru tersebut dengan pertanyaan “kenapa itu
menjadi ….”. Maka penelusuran terhadap hal-hal yang mmenjadikan suatu realitas
baru itu ialah dengan cara melacak proses menjadi sebagai pengungkapan makna
yang berhubungan dengan konteks makna itu ddihadirkan sebagai konsekuensi dari
gejala yang timbul kepermukaan realitas sosial.
3.
Fenomenologi Schutz
Di
Indonesia, pemikiran Schutz menjadi acuan dasar penelitian fenomenologi sebagai
kajian yang menarik, akan tetapi pemikiran Schutz sebenarnya tidak beda dengan
para pendahulunya. Schutz melihat fenomenologi sebagai tindakan sosial pada
pengalaman, makna dan kesadaran. Manusia mengkonstruksi makna di luar arus
utama pengalamannya melalui proses “tipikasi” (Kuswarno. P.17-18).
Penafsiran
“tipikasi” dalam konteks fenomenologi di Indonesia dimaknai dangkal sebagai
Pengelompokan pengalaman manusia. Pada prinsipnya tipikasi ialah sebuah
pengelolaan, produksi makna yang dikelola, diorganisasikan berdasarkan hubungan
dengan pengelolaan informasi atau pengalaman lain yang diterima oleh manusia
pada masa sebelumnya. Dalam bahasa fenomenologi Schutz disebut dengan “stock of knowledge”, proses kumpulan
pengalaman tersebut kemudian mempengaruhi makna yang terkonstruksi dalam pola
pikir, gerak, sikap, perilaku dan dapat diaplikasikan, diimplementasikan secara
nyata dalam realitas.
Tipikasi
bukan sekedar pengetahuan yang terkonstruksi di dalam alam imajinasi, otak,
atau pikiran individu semata, melainkan pengetahuan tersebut dapat
diimplementasikan dalam bentuk tindakan nyata dalam dunia. Dimana manusia
secara substantive melahirkan konsep pengalaman subjektif, dimana pengalaman
subjektif tersebut ialah bentuk modal yang menjadikan manusia melakukan suatu
tindakan riil. Pola tindakan merupakan cerminan, wujud, reprensentasi dari
makna yang dihadirkan dari pengalaman subjektif yang diorganisasikan oleh
dirinya.
Dalam
pandangan Schutz selajutnya, dalam konteks manusia atau individu sebagai
mahkluk sosial, tipikasi dimaknai dan ditafsirkan sebagai pemahaman atas dasar
pengalaman bersama, dimana argumentasinya mencoba mengelompokkan manusia
sebagai individu yang menyesuaikan diri, dimana individu ialah orang yang
memainkan tipikal situasi tertentu. konsepsi fenomenologi ini mencoba
menempatkan individu bukan sebagai orang yang mempunyai prinsip, namun individu
yang berkompromi dengan peengalaman sejenis yang diakibatkan oleh interaksi
yang dilakukannya sebagai mahkluk sosial.
Pemahaman
yang demikian menempatkan fenomenologi Schutz tidak menempatkan pengalaman
hidup seseorang sebagai kemandirian makna yang dikonstruksi oleh individu
secara sadar. Pada hakikatnya makna dari pengalaman hidup seseorang
berbeda-beda dan tidak bisa digeneraliasaikan, realitas bukan bersifat
monolitik tapi realitas bersifat plural. Kemiripan pengalaman bukanlah merukan
kesamaan dan keseragaman pengalaman antara individu satu dengan individu yang
lainnya.
4.
Fenomenologi Berger
Berger
yang sejalan dengan Weber melihat “makna-makna yang berkembang diluar makna
umum, karena manusia memiliki naluri-naluri yang stabil dan khusus. Makna yang
berkembang dalam organisasi sosial mengalami objektifikasi dalam
isntitusi-institusi sosial, dengan makna inilah sosialisasi terhadap anggota
baru dilakukan” (Kuswarno, p.20). Selanjutnya Berger (Kuswarno, p. 20)
menyatakan bahwa “tindakan manusia sebagai produk proses internalisasi dan
eksternalisasi, secara cenderung konstruksionistik”.
Tindakan
yang demikian mencoba untuk menunjukan bahwa interkasi yang dilakukan antar
individu mempunyai sikap yang dikonstruksi berdasarkan pada individu sebagai
subjek yang mandiri, orang yang mampu menggunakan pola pikirnya secara
rasional, mempunyai kemerdekaan atau kebebasan pilihan dan penentuan, dan tidak
dikonstruksikan secara sistematis oleh sistem yang mempengaruhinya. Tindakan
ini mencoba memposisikan individu sebagai manusia seutuhnya sebagai mahkluk
yang berakal, mampu memfilter informasi atau pengalamanya, sebagai subjek yang
kritis, dimana proses berpikirnya ialah problematic. Maka dari itu manusia
berusaha untuk menafsirkan, menginterpretasikan segala macam pengetahuannnya
sebagaimana kemampuan yang dimilikinya.
Adapun
konsepsi dasar fenomenologi Berger (kuswarno, p.21-22) ialah mencoba
memetakannya dalam dua varian:
a.
Fenomenologi hermeneutik
Pusat
pehatian fenomenologi hermeneutik pada asspek kolektif dari budaya yang concern
dengan bahasa. Dengan demikian teks dapat dianalisis secara objektif, dalam
arti mengeksplorasi dan menentukan kealamiahan serta struktur komunikasi.
b.
Fenomenologi eksistensial
Sementara
pusat perhatian fenomenologi eksistensial beroreientasi pada level individu
dari budaya yang meliputi internalisasi kesadaran subjektif dari individu.
Konsepsi fenomenologi ini sebenarnya berupaya
membangun pemahaman kepada kita bahwa fenomenologi bukanlah sekedar pengalaman
biasa dari individu akan tetapi merupakan pengalam yang mendasar sebagai akibat
yang ditimbulkan oleh unsur-unsur penting dalam kehidupan seseorang. Dimana
proses dan interaksi sosial yang melibatkan dunia sebagai kenyataan dan
realitas yang penuh dengan problematika sosial.
C. ESENSI FENOMENOLOGI
Hegel dan gerakan fenomeologi dalam
modernitas menitikberatkan kepada
landasan berpikir tentang pengalaman yang melebihi batas-batas pengalaman.
“gagasan fenomeologi menolak mengakui referen banyak istilah ‘deskriptif’ yang
tampak tidak berbahaya sebagai sesuatu yang nyata baik dalam wacana ilmiah
maupun dalam bahasa sehari-hari” (Ritzer dan Samrt, p.466). berikut adalah
penjelasan esensial fenomenologi yang menetapkan suatu orientasi orisinal
terhadap realitas:
1.
Intensional
“Husserl
mengungkapkan bahwa karakter pengalaman merupakan intensionalitas kesadaran,
hal ini berarti kesadaran tidak pernah tanpa isi: proses sadar disebut dengan
intensional”. Brentano, (Ritzer dan Smart, 2011, p.467) “ineksistensi
intensional juga disebut dengan mental, suatu objek yang sepenuhnya relasi
dengan suatu isi, arah menuju objek atau objektivitas imanen”. Bahwa pada
dasarnya kesadaran muncul sebagai kebenaran empiris yang menganggap pengalaman
indrawi manusia sebagai pengalaman kebenaran, artinya wawasan yang paling tajam
dalam pengalaman modern yang bersifat empiris yang menandai tentang kualitas
pengalaman.
2.
Pengalaman nyata
Terpaan
dan pengalaman yang dikonstruksi individu sebagai bentuk hubungan sadar antara
pengakses media dengan pesan-pesan yang dapat dipersepsikan, diproses, dimaknai
dengan kesadaran yang mendasar sebagai bentuk pengalaman manusia.
3.
Esensi
Esensi
yang dimaksudkan ialah kesadaran ideal dari actor-aktor sosial sebagai bentuk
kesadaran yang konkret yang dimanifestasikan dalam bentuk pemaknaan, tindakan
atas kesadaran dari dan untuk dirinya.
4.
Modalisasi
Kebenaran
suatu gejalan merupakan usaha untuk menemukan penyebab subjektivitas dan
objektivitas pengalaman inderawi manusia. Dimana hubungan antara konsep fisik
dengan modalitas diri seseorang yang menjadi actor untuk merepresentasikan
relasi umum dan generalisasi atas fenomena inderawi manusia.
5.
Epoche
Esensi
kesadaran ialah bertujuan untuk
mengembalikan sikap kita sebagai actor sosial kepada pemaknaan tentang dunia
dan realitasnya.
6.
Penubuhan
Fenomena
adalah suatu konsep keterbukaan
yang terkonstruksikan atas dasar hubungan tubuh dengan dunia ekspresi.
Artinya ada hubungan antara jiwa dan fisik seseorang untuk menggerakan
pemikiran memaknai suatu realitas yang sedang diamati sebagai sebuah gejala.
7.
Temporalitas
Hal ini
menunjukan bahwa ada keterkaitan ruang dan waktu yang luas dan mendalam
berdasarkan pada kesadaran manusia. Makna yang dilahirkan dari individu
bergantung pada konsisi ruang dan waktu yang melingkupinya secara sosial.
8.
Intersubjektivitas
Relasi
timbal balik antara diri sendiri dengan sosial. Ketersilangan individu dalam
pemaknaan melahirkan pemaknaan yang bersifat sosial berdasarkan pada pengalaman
yang sama dengan subjek lain.
C. KONSTRUKSI MAKNA DAN KEDUDUKAN MEDIA DALAM
REALITAS KOMUNIKASI
Menurut Weber “suatu tindakan hanya dapat
disebut tindakan sosial apabila tindakan tersebut dengan mempertimbangkan
perilaaku orang lain dan beroerientasi pada perilaku oranglain. Jadi tindakan
sosial merupakan perilaku manusia yang mempunyai makna subjektif bagi
pelakuknya” (Kuswarno, p.109). Berger (Kuswarno, p. 111) menyatakan bahwa
“realitas sosial eksis dengan sendirinya dan struktur dunia sosial bergantung
pada manusia yang menjadi dubjeknya”. Selanjutnya Luckmann menyebutkan
(Kuswarno, p. 112) bahwa “seseorang hidup dalam kehidupannya mengembangkan
suatu perilaku yang reepetitif, yang mereka sebut sebagai “kebiasaan” (habits)”.
Dalam pandangan kontruksionis (Eriyanto, p. 16)
bahwa “konstruksi sosial yakni plural dan bersifat dinamis”. Pandangan Berger
(Eriyanto, p. 17)tentang konstruksi realitas dalam konteks realitas media dan
realitas komunikasi ialah “teks media tidak bisa disamakan seperti sebuah kopi
dari realitas, ia (teks komunikasi) haruslah dipandang sebagai konstruksi atas
realitas”. Artinya sebuah teks komunikasi dalam arti yang sangat luas, bukan
merupakan peristiwa atau fakta
yang dalam arti riil, tetapi ada sejumlah orang yang mengkonstruksi realitas
tersebut dalam kemasan content media. Konsepsi fakta dalam teks komunikasi yang
diekspresikan untuk melihat dan membangun realitas itu sendiri dalam konstruksi
media. Media komunikasi dipandang sebagai konstruksi realitas bersifat
subjektif, dimana realitas dihadirkan oleh sejumlah konsep pelaku media,
realitas media terkonsepsikan oleh pandangan golongan tertentu, termasuk
kepentingan lembaga atau isntitusi media yang mendorong kepada hal-hal tertentu
sebagai sebuah agenda yang dihadirkan secara sadar dan disengaja. Pada
substansinya, fakta atau realitas merupakan konstruksi atas realitas itu
sendiri, karena nilai kebenaran suatu fakta sangatlah relative, harus dipandang
dari berbagai perspektif tertentu. Sehingga fakta tertentu juga dapat dipahami
sehingga melahirkan penafsiran dan makna yang dihadirkan tertentu pula.
Selanjutnya pandangan konstruksionis (Eriyanto,
p. 22-23) mengenai media “media adalah agen konstruksi, media bukanlah suatu
saluran yang bebas, ia merupakan subjek yang mengkonstruksi realitas, lengkap
dengan pandangan bias dan keberpihakan”. Posisi media ialah sebagai agen atas
sejumlah penafsiran realitas dari massing-masing pelaku. Teks media bukan
merupakan cerminan dan reflekksi dari realitas, karena teks media merupakan
konstruksi realitas yang disengaja. Teks media pada intinya ialah bersifat
subjektif atas konstruksi yang distandarisasikan oleh aturan-aturan yang
melingkupinya.
Sementara kaum konstruksionis memandang kahalyak
media sebagai individu yang mempunyai penafsiran yang beragam terhadap teks
media, sehingga keberagaman penafsiran menempatkan khlayak media sebagai orang
atau individu yang aktif dan dinamis. Dalam pandangan Hall (Eriyanto, p.36)
“makna suatu teks bukan terdapat dalam pesan (teks media), makna selalu
potensial mempunyai banyak arti (polisemi)”.
Sehingga makna hadir dan dihadirkan oleh individu yang terlibat dalam terpaan
media, yang mengkonsumsi teks media, sehingga muncullah interpretasi yang
beragam antara satu individu dengan individu lainnya.
D. METODE PENELITIAN FENOMENOLOGI DALAM
PERSPEKTIF KOMUNIKASI
Konvesi dunia sebagai hasil dari proses berpikir
ilmiah melalui empiris merupakan interpretasi subjek atau actor masyarakat
dalam mengkonstruksi makna tentang dunia yang kita sepakati bersama. Fokus
fenomenologi dalam gejala realitas sosial yang diakibatkan oleh media sebagai
rangsangan, pengalaman dan pengetahuan manusia, sehingga pemahaman tentang
realitas sebagai implikasi media menjadi perilaku hidup, tindakan, sikap,
maupun pola pikir manusia yang dilatarbelakangi oleh faktor-faktor yang
melingkupinya baik pendidikan, ekonomi, nilai sosial, aturan hingga keyakinan.
Perilaku tersebut menempatkan individu sebagai
actor yang menjadi subjek dan sekaligus objek dalam penelitian yang menggunakan
fenomenologi sebagai metodenya, dimana aktor tersebut merupakan pihak yang
memberikan konstribusi konstruksi pemaknaan terhadap tindakan dirinya sendiri.
Pola yang demikian merupakan sebuah proses pemaknaan atas sebuah kesepakatan
yang pada dasarnya lebih menekankan interpretasi tentang kehidupan yang
dijalankan oleh aktor berkaitan dengan aktivitas keeharian. Aktor individu yang
memerankan diri sebagai subjek dan objek penelitian ialah konstruksi makna dari
proses intersubjektivitas atas tindakan dan perilaku yang dijalankannya. Artinya,
tindakan manusia dalam kehidupan sehari-hari tidak terlepas dari pengaruh
situasi dirinya, psikologis, dan situasi lain yang sedang dirasakannya, baik
marah, sedih, gembira, dan lain-lain. Makna yang terkonstruks ialah sebagai
konsekuensi interaksi dirinya dengan orang, lingkungan, media, nilai, serta
hal-hal lain yang menjadi aktivitasnya. Tindakan tersebut sebagai sebuah proses
konstruksi makna atau disebut dengan pemaknaan tersistematis dan mempunyai
hubungan yang koheren atas aktor penelitian dengan lingkungannya.
Proses pemaknaan ini ialah bentuk sistem
relevansi dalam proses interaksi manusia dalam menggunakan media. Media
memberikan suatu pengalaman, pendidikan, pengetahuan dan pemahaman atas materi
yang disampaikannya. Media sebagai sebuah rangsangan untuk dapat mengkonstruks
pengetahuan manusia. Dimana ada hubungan kausalitas, hubungan relevansi antara
pengetahuan, media dan pemahaman atas materi yang disampaikan oleh media.
Televisi sebagai media yang memberikan pengetahuan lewat audio dan visualnya
mampu untuk mengkonstruksi suatu realitas. Konstruksi realitas yang diakibatkan
oleh daya relevansi sosial teks media dengan tindakan manusia dalam realitas
nyata. Tindakan yang demikian menempatkan peneliti masuk pada tataran
pengamatan dan observasi peneliti pada hal-hal yang mencakup kognitif aktor
penelitian.
Sebagaimana yang dinyatakan oleh Nindito (2005,
p. 90) tiga model konstruksi makna terhadap tindakan sosial, yaitu:
1. Model
konsistensi tindakan, yang menjadi validitas objektif dari konstruksi peneliti
yang menjadi jaminan dan pembedaan dengan konstruksi makna dari realitas
kehidupan sehari-hari.
2. Model
interpretasi subjektif, tempat dimana peneliti dapat mendasarkan kategorisasi
jenis tindakan manusia dan hasil makna subjektif dari tindakan atau hasil
tindakan (manusia) yang dilakukan oleh aktor (penelitian).
3. Model
kelayakan, kesesuaian antara makna yang dikonstruksi oleh peneliti dengan makna
yang dikonstruksi oleh aktor (peneliti).
Model konstruksi makna dalam penelitian
fenomenologi terdiri atas tiga konstruksi makna untuk mencapai kedalaman
pemahaman pemaknaan yang dilakukan oleh peneliti. Ketiga konstruksi makna
tersebut didasarkan pada hasil pengamatan peneliti terhadap aktor-aktor yang
terlibat dalam sebuah gejala yang sama atau sejenis. Dari hasil pengamatan
(observasi-partisipan), diksusi (FGD-Focus
group discution) merupakan data yang dapat diolah sebagai konstruksi makna
tingkat pertama (tingkat I).
Selanjutnya, pada konstruksi makna tingkat kedua
(tingkat II) dilakukannya sortir data berdasarkan kategorisasi atau tipikasi
(data yang se-tipe), data yang sejenis, baik dari hasil jawaban wawancara,
pengamatan dari jauh, observasi partisipan dan lain-lain. Kategorisasi atau tipikasi berguna
untuk menentukan konstruksi makna pada tahap pemetaan data sebagai bentuk
keseimpulan sementara dari semua data yang diperoleh dan peneliti berhak untuk
memberikan label-ing tentang tipe-tipe yang diperolehnya berdasarkan data yang
peneliti miliki. Tahap ketiga (tingkat III) ialah proses penyesuaian atau
kelayakan konstruksi tingkat II dengan realitas actor penelitian. Dimana
peneliti mencocokan, meng-konfirmasikan, konstruksi makna berupa label-ing
(tipe) kepada orang yang diamati gejalanya. Proses konfirmasi inilah yang
kemudian banyak mengalami tahap-tahap yang kompleks, dimana makna hasil
konstruksi peneliti pada tahap pertama dan tahap kedua menjadi semacam wacana
yang ditawarkan kepada actor-aktor yang mengalami gejala sosial yang
diakibatkan oleh media.

Kompleksitas itu muncul sebagai upaya pemaksaan
peneliti dengan label-ing (tipikasi)
dimana ada semacam keberatan atau penolakan dari aktor-aktor penelitian
yang diamati gejalanya. Terdapat semacam proses tawar menawar antara peneliti
dengan actor-aktor yang sedang diamati, namun dari berbagai pengalaman
penelitian tentang fenomenologi justeru banyak aktor-aktor penelitian yang
sedang diamati gejalanya, bangga dengan label-ing
yang diberikan oleh peneliti kepada actor penelitian. Berikut adalah dua hal
yang dapat kita lakukan dalam proses konstruksi makna tingkat III, antara lain:
1. Logika
penolakan, penolakan atas konstruksi makna pada tahap ini merupakan proses
tawar menawar antara peneliti dengan aktor penelitian dengan mengkedepankan
etika serta nilai-nilai kesetaraan antara keduanya. Tidak bisa dipaksakan jika
tipikasi (label-ing) akan ditolak
oleh aktor penelitian, solusinya ialah dengan menawarkan beberapa label untuk
disepakati dengan berusaha untuk menjelaskan maksud, tujuan dan atau makna dari
tipikasi tersebut (label-ing) agar
dapat disetujui dan disepakati.
2.
Logika kompromi, kompromi atas konstruksi maka
pada tahap penyesuaian ini dapat diterima oleh aktor penelitian jika peneliti
dapat mengambil hati, akrab, intim, bisa dipercaya, kompeten. Hal yang demikian
menempatkan peneliti merupakan bagian (partisipan) yang menyatu dengan gejala
yang sedang diamati. Justeru bila sudah terdapat hubungan baik antara peneliti
dan aktor-aktor penelitian, maka label-ing
(tipikasi) yang diberikan diterima dengan bangga, dengan tangan terbuka oleh
para aktor yang sedang diamati gejalanya.

Tayangan
media dalam proses konstruksi sosial dan realitas komunikasi dalam pengumpulan
data penelitian dihadapkan pada dua metode, yakni: metode direct dan metode
natural. Adapun tahapan pengumpulan data dalam penelitian fenomenologi adalah
sebagai berikut:
1.
Direct (proses pengumpulan data yang disengaja).
Ialah bentuk pengumpulan data yang di lakukan dengan kesengajaan untuk sebuah
pengamatan fenomena, yakni terdapat tiga tahapan: interview formal yang
diupayakan dengan penjadwalan dan daftar pertanyaan yang sudah disediakan untuk
mengetahui gejala yang diteliti. Focus Group Discution, dimana actor-aktor yang
sedang diamati dikumpulkan untuk sebuah diskusi tentang gejala yang diamatinya,
kemudian diambil penarikan keseimpulan berdasarkan pada keterlembagaan fenomena
yang sedang diamati. Kuesioners, yang diharapkan pada peneliti menggiring
kearah permasalahan yang sedang diamati.
2. Natural
dimana metode ini dilakukan berdasarkan pada ke-alamiahan data penelitian.
Terdapat tiga tahapan, yakni: obesrvasi partisipan ialah observasi yang
dilakukan dan diamati berdasarkan pada pengamatan yang dilakukan pada aktor-aktor
dengan mengikuti secara partisipasi, observasi ethnografi yang didasarkan pada
mekanisme budaya dan kebudaayaan yang melingkupi actor-aktor pengamatan yang
dinilai bersarakan pada kebiasaan, norma nilai, budaya dan lain-lain, interview
informal dilakukan atas dasar ketidaksengajaan berdasarkan pada spontanitas
subjek yang diamati.
E. KONSEP FENOMENOLOGI HERMENEUTIK DI ERA MODERN
MEDIA
Hubungan antara subjek dalam diemnsi hermenutik
fenomenologi ialah bergantung kepada realitas sosial komunikasi dan atau media.
Ada dua unsur yang melingkupi dimensi hermeneutik, yakni konstruksi makna yang
dibuat berdasarkan pada proses kesengajaan media dalam menyampaikan pesan yang
ditopang dengan agenda setting media. Sementara dalam dimensi natural, gejala
yang ditimbulkan oleh media didasarkan pada kealamiahan proses pesan berkembang
dalam sistem sosial.
Terpaan media dan orientasi individu merupakan
pemaknaan yang subjektif yang dilahirkan atas dasar pesan secara global, umum,
lazim yang dimaknai oleh setiap orang. Konstruksi yang demikian dihadapkan pada
orientasi pemaknaan yang bertumpu pada realitas kemanusiaan, bagaimana pun
media menjadikan diri sebagai teks yang universal yang menghormati nilai-nilai
kemanusiaan, kemerdekaan yang menyangkut Hak Azazi Manusia (HAM) serta prinsip
keterbukaan. Sehingga secara substansif, media merupakan implementasi
nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat universal. Hermeneutika mengacu kepada
universalitas manusia sebagai makhluk yang berpikir untuk menjunjung tinggi
nilai-nilai kebenaran kemanusiaan.

Kelahiran makna yang diproses berdasarkan pada
internalisasi kesadaran manusia sebagai manusia yang menjunjung tinggi
nilai-nilai kemanusiaan perlu ditafsirkan secara plural, bahwa realitas
bersifat plural bukan monolitik sehingga konsepsi dasar fenomenologi
hermeneutika ialah nilai kemanusiaan secara universal, tidak memihak kepada
salah satu golongan, tidak memihak kepada salah satu kepentingan, bahwa semua
manusia harus dan wajib mendapatkan nilai luhur yang dibawa oleh media.
Makna tersebut kemudian diimplementasikan dalam
bentuk tindakan nyata yang dapat memberikan konstribusi bagi perdamaian di
dunia, sebagai konstruksi individu yang meahirkan solusi kemanusiaan,
konstruksi sosial sebagai generalisasi yang berdasarkan tipikasi untuk sebuah
kemaslhatan umat manusia. Bentuk real tindakan atas konsepsi pemakanaan ialah
manifestasi realitas media yang diproses beradasarkan pada komintemen manusia sebagai wujud naluri
kemanusiaan dirinya yang diwujudkan pada sebuah tindakan yang dliahirkan dari
proses terpaan media dalam bentuk pemaknaan suatu pesan yang menjadi gejala
dalam kehidupan.
F. KONSEP FENOMENOLOGI EKSISTENSIAL DI ERA
MODERN MEDIA
Pendekatan eksistensialis dalam fenomenologi
berangkat pada keterasingan manusia atas pemaknaan manusia yang bersifat
absurd. Kehadiran psikoanalisis dalam psikologi komunikasi menempatkan manusia
sebagai pihak yang bersentuhan dengan kegamanangan untuk memaknai sebuah gejala
namun gejala itu dirasakan dalam jiwa manusia itu sendiri. Eksistensialis
theistic merupakan fenomena yang bersentuhan atas terpaan media yang melahirkan
fenomena keagamaan dilahirkan dan diproses oleh media. Bahwa agama menjadi
terpaan dan sekaligus komoditas media untuk mempengaruhi kahalayak luas.

Pengakses media dan actor-aktor fenomena ialah
berusaha untuk mencari jati dirinya sebagai bukti sentuhan, terpaan media yang
berorintasi pada individu untuk selalu menannyakan tentang keimanan, agama,
keyakinan dan pola-pola hubungan antara manusia dengan Tuhan. Tuhan dalam filsafat
ketuhanan hanya bisa didekati dengan subjektivitas keyakinan seseorang. Bahwa
iman manusia dan tingkatnya hanya dirinya dengan Tuhan yang diyakininya yang
dapat ia rasakan. Kelahiran makna dan pemaknaan atas kehadiran terpaan media di
implementasikan dalam wujud tayangan media. Ada tahapan manusia dalam bermedia
bukan hanya sekedar untuk kehidupan duniawi, tetapi beroerientasi pada
kehidupan ukhrawhi. Kecenderungan inilah yang menempatkan fenomenologi media
dalam pendekatan eksistensialis bahwa actor-aktor penerima pesan media ada
semacam kejenuhan bermedia pada pesan duniawi. Terdapat keunikan dan
spesifikasi yang tidak dimiliki oleh actor lain dalam memahami Tuhan.
G. PEMBAHASAN
Konsepsi fenomenologi dalam konstruksi realitas
media menjadi perdebatan yang cukup panjang, banyak ilmuan sosiologi
menempatakan fenomenologi sebagai konsepsi paradigmatis kelilmuan sosial yang
berorinetasi pada pemkanaan konstruksi media sangat cocok dengan konsepsi
pola-pola pesan media yang bersifat kemanusiaan dan universal. Sehingga asumsi
para ilmuan terutama di Indonesia
menempatkan fenoneologi sebagai teori yang relevan dengan segala bentuk
persepsi dan efek media karena melibatkan psikologis khalayak untuk dapat
memaknai pesan-pesab media secara universal.
Sementara konsepsi lain tentang fenomenologi
sebagai paradigma penelitian yang konstruks masih dipertanyakan sebagai
konsepsi paradigmatis dalam kajian dan penelitian ilmu komunikasi. Fenomenologi
lahir dan dilahirkan atas konsepsi ilmu sosial untuk mengamatai gejala yang
timbul di dalam sistem sosial masyarakat, namun keterpaduan antara ilmu
komunikasi dengan ilmu sosial lainnya menunjukan bahwa eksistensi fenomenologi
dalam kajian ilmu komunikasi sangat berhubungan berdasarkan pada teknologi
modern dewasa ini.
Perdebatan paradigmatis fenomenologi mampu
menghadirkan pemaknaan dan konstruksi realitas media dan komunikasi dihadapkan
pada implementasi pemaknaan kalahayk yang bersifat dinamis untuk menghadirkan
maka sebagai pengalaman media, pengalaman proses bermedia sebagai sebuah
kesadaran bermedia dalam mewujudkan bentuk penyadaran diri individu terhadap
realitas yang terkonstruksi akibat terpaan media. Paradigmatis yang lahir
sebagai konsekuensi logis terpaan media dan pola-pola konstruksi media yang
bersifat konstruksionis. Bahwa media mempunyai kekuatan agenda dan pengaruh
yang diterpakan sebagai sebuah kepentingan pemunculan persepsi tentang makna
yang dikonstruksikanya lewat pesan yang disampaikan.
Secara eksplisit, proses pengamatan fenomena
yang ditimbulkan oleh media berdasarkan pada keberpihakan dan sekaligus
kemampuan peneliti dalam menjalankan pengamatan terhadap gejala yang
diamatinya, baik terkonstruksikan berdasarkan unsur kesengajaan untuk
mengetahui secara cepat bagaimana konstruksi realitas media dan komunikasi
diusung oleh aktor yang sedang diamati atau berdasarkan pada proses pengamatan
secara alamiah, dengan mengikuti pola, gerak kehidupan actor atau subjek
penelitian guna mengenathui secara lebih dalam fenomena yang terjadai di dalam
jiwa yang terekspresikan oleh fisik subjek atau actor yang sedang diamatinya.
H. PENUTUP
Secara paradigmatis fenomenologi mampu meberikan
nuansa baru dalam penelitian konstruksi makna dan konstruksi realitas media dan
komunikasi yang bersumber pada hal-hal berikut ini:
1.
Fenomenologi
berusaha menelisik proses pemaknaan realitas media dan realitas komunikasi yang
bersifat esensi, bukan pada rekayasa realitas itu sendiri.
2.
Fenomenologi
menempatkan kajian komunikasi sebagai kajian transcendental dalam hal-hal
ketuhanan yang diterpakan oleh media.
3.
Fenomenologi
berpatokan pada nilai-nilai kemanusiaan seperti halnya media yang menunjung
tinggi Hak Azazi Manusia sehingga bisa dilakukan dengan pendekatan hermenutik.
4.
Fenomenologi
berusaha untuk mengungkapkan kebenaran inderawi manusia sebagai sebuah
kebenaran empiris yang didasarkan pada terpaan media dan pola-pola komunikasi
lainnya.
I. DAFTAR PUSTAKA
Eriyanto,
2004. Analisis Framing: Konstruksi, ideologi, dan Politik Media, Yogyakarta:
LKiS.
________,
2001, Analisis Wacana: Pengantar
Analisis Teks Media, Yogyakarta: LKiS.
Kuswarno,
Engkus, 2009, Metodologi Penelitian Komunikasi: Fenomenologi, Kosepsi, Pedoman
dan Contoh Penelitiannya, Bandung: Widya Pajajaran.
Nindito,
Stefanus, 2005, Fenomenologi Alfred Schutz: Studi Tentang Konstruksi Makna dan
Realitas dalam Ilmu Sosial. Yogyakarta: Jurnal Komunikasi Atmajaya Yogyakarta.
Ritzer,
George dan Smart, Barry, 2011,
Teori Sosial, Bandung, Nusa Media.
Ritzer,
Geogre, 2011. Teori Sosial, Bandung: Nusa Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terima kasih. segera saya akan konfirmasi.