Jumat, 29 Agustus 2014

FENOMENOLOGI ALFRED SCHUTZ (Oleh: Ahmad Toni)

FENOMENOLOGI ALFRED SCHUTZ
Oleh:
Ahmad Toni


A.    Max Weber Dan Pengaruh Fenomenologi Schutz
Fenomenologi ialah suatu perspektif yang modern tentang dunia manusia dan merupakan gerakan filsafat yang paling dekat dengan hubungannya dengan abad ke-20. Bahwa pemahaman historis pengalaman ditunjang dengan konsep subjektivitas ‘interaktif’ namun yang jauh lebih menantang ialah ide bahwa subjek kolektif atau universal, yang didefiniskan melalui hasil-hasil umum dari reduksi transedental, juga berkarakter historis. Menurut Weber “pemisahan dunia akal budi sebagai idealism ilmiah dan rasionalitas dengan dunia pengalaman primordial, akhirnya menimbulkan crisis, hilangnya makna dan signifikansi pada pembawa akal budi itu sendiri. Komitmen imprensif dan kekkakuan crisis menurut Weber akan sia-sia, bahwa kegagalan manusia tidak dapat dihindari dalam modernitas. Fenomenologi telah diidentikan secara keliru dengan baik tentang pandangan ‘psikologis’ maupun pandangan idealis, pandangan yang dari perspektif sosiologis melihat dirinya sendiri memiliki tanggung jawab istimewa untuk memenangkan keyakinan.
Terdapat beberapa hal bukti relevansi fenomenologi dalam ilmu sosial;
1.     Sebagai pendekatan metodologis khas terhadap permasalahan dari kajian sosiologi, yakni manusia dan pola-pola interaksi kehidupannya.
2.     Fenomenologi sebagai sumber wawasan dan pengetahuan yang riil atas isu-isu dan gejala sosial.
3.     Sebagai konstruks materi deskriftif untuk gejalan sosial dan pengalaman modernitas.
Pendekatan Alfred Schutz berbeda dengan pendekatan Husserl, bahwa pendekatan fenomenologis Schutz terhadap realitas sosial dapat dicirikan pada imanen dan duniawi. Schutz tidak terlalu membahas tentang mengungkap karakter tertentu dari suatu gejala melainkan sebagai konsep sejarah sosial dalam arus kehidupan sosial yang sadar dan riil, juga memahami dunia sosial sebagai realitas yang diinterpretasikan secara holistic (menyeluruh). Fenomenologi Schutz memandang dunia kehidupan sehari-hari ialah realitas fundamental dan terpenting manusia yang dikonstruksikan sebagai intersubjektivitas.
Intersubjektivitas adalah kenetntuan dunia nyata dan tidak memerlukan eksplikasi fundamental. Bahwa kita menanggapi interaksi sosial dan hidup dalam dunia nyata yang sudah terbentuk sebagai komunitas. Maka secara konkret kita berhadapan dengan duniawi yang terkungkung dalam realitas transcendental. Baik konsep ilmiah dan pengalaman sehari-hari terbentuk lewat kategori-kategori yang terpisah dari segala sesuatu yang menyertai dan ditentukan dalam kesadaran manusia. Schutz mendefinisikan realitas ‘diterima apa adanya’ dalam hubungan kognitif, sebagai suatu dunia pemikiran spesifik dan komunitas perceptual, tempat, gudang pengetahuan yang menjadi pondasi pengalaman. Asumsi hubungan timbale balik antara manusia dalam pengalaman sebagai fondasi kehidupan sosial secara umum. Relasi sosial autentik menyatakan timbale balik langsung secara kontak fisik dan kontak pengalaman. Gudang pengetahuan manusia ialah bahwa distribusi pengetahuan melalui kelompok-kelompok luar didefinisikan dalam hubungan yang macam-macam, yakni tipikasi. Bahwa tipikasi ialah dunia fisik dan dunia sosio-budaya yang dialami sejak awal dan hubungannya dengan tipe-tipe tertentu.
Max Weber mengartikan, dalam konteks ini tindakan sosial tidak hanya dianggap bermakna secara subjektif tetapi interpretasi manusia merupakan salah satu konsekuensi dari kesatuan fungsional masyarakat sebagai suatu keseluruhan, timbale balik, tindakan yang komprehensif, sebagai bagian dari kesatuan tindakan yang nyata. Bahwa masyarakat modern dipandang sebagai realitas yang integral secara fungsi dan mempunyai kesatuan atau persatuan komunitas dalam tingkat yang tinggi. Bahwa tindakan rasional manusia sebagai pilihan kesadaran, sebagai ekspresi, tindakan diartikan sebagai suatu perbuatan yang telah direncanakan terlebih dahulu oleh pelaku (aktor) dan didasari oleh prinsip atas tindakan tersebut.  Pada dasarnya Weber bukan menekankan hukum kausalitas (sebab-akibat) dalam memandang realitas sosial, akan tepati Weber lebih menekankan pada cara-cara yang ditempuh dan dipergunakan dalam memahami dan mengamati gejala sosial (masyarakat). Secara subtansi proses dan gejala sosial merupakan sebuah konsekuensi dari fenomena realitas yang sifatnya kompleks, dari hakikat realita sosial.
B.    Konstitusi Pengalaman Hidup Yang Bermakna
Kehidupan yang bermakna menurut Schutz adalah tindakan manusia secara sosial tidak hanya dipandang atau dianggap bermakna secara subjektif, melainkan secara objektif dengan berpedoman pada komunitas dan makna yang dilahirkan secara bersama-sama oleh komunitas. Makna dilahirkan secara subjektif yang kemudian didukung olehb pengalaman yang sama yang dikonsepsikan oleh orang lain, sehingga menjadi sekumpulan pengalaman yang banyak, yang sama kemudian melahirkan objetivitas dari realitas komunitas tersebut. Pola-pola kesatuan atau (lifeworld) yang melahirkan sebuah konsekuensi persatuan atas pengalaman, ketimbal-balikan tindakan dan kesatuan pengalaman nyata menjadikan objektif dalam pengalaman hidup mereka sehari-hari. Semakin pola kehidupan dekat dan terlembagakan maka semakin tipikal (tipikasi) menyerupai atau mirip dalam dimensi kebudayaan, hukum atau aturan, adat istiadat dan lain sebagainya. Realitas sehari-hari dipahami dan dikonstruksikan sebagai hirarki makna yang melalui tatanan kesepakatan atau konvensional dicapai dan dipertahankan sebagai interaksi sosial para actor sosial dalam reaksi yang alamiah atau natural.
C.   Fondasi Intersubjektivitas
Intersubjektivitas adalah ketentuan dunia nyata dan tidak memerlukan eksplikasi fundamental. Bahwa kita memandang dunia yang membentuk komunitas. Bahwa ilmu-ilmu sosial secara konkret berhadapan dengan realitas sosial yang nyata yang tekah termanipulasikan oleh fenomenologi transcendental. Pemikiran Schutz ini adalah kritik atas sejumlah fenomenologi yang terdahulu yang memandang realitas sebagai sebuah ruang transcendental yang hanya bisa dipandang oleh kalangan tertentu. Pengalaman sehari-hari dari manusia terbentuk lewat kategori atau tipikasi yang terpisah dari segala sesuatu dan pula didorong oleh kesadaran sosial.
Bahwa sosiologi adalah konstruksi tingkat kedua dalam memandang dunia abstrak-abstrak yang melahirkan interpretasi atas bentuk dan isi langsung dari kehidupan. Schutz memperjuangkan subuah sosiologi ‘subjektif’ artinya bahwa realitas sosial dibentuk atau dikonstruksi berdasarkan pada tindakan dan relasi makna.
D.   Realitas Sebagai Struktur Social
Realitas diartikan sebagai ketergantungan struktur, pertukaran langsung, umum, produkstivitas. Realsi pertukaran ini dari setiap actor sosial terpilih dalam sebuah sistem, sistem yang kemudian berpola pada konstruksi sosial. Bahwa kehidupan atau realitas adalah dibangun berdasarkan struktur sosial. Dalam proses pertukaran sosial terjadi interaksi di dalam struktur sosial, ketika insiasi terbalas, timbale-balik, serangkaian transaski yang dilakukan secara kontinu atau terus menerus, yang dilakukan oleh para actor sosial. Transaksi dalam pertukaran sosial adalah ketika actor sosial lain membalas interaksinya untuk sebuah tindakan yang dilakukan oleh actor sosial yang lain. Pola-pola stuktur sosial dan ketergantungan didasari atas integrasi kepentingan, perbedaan, kelompok, konflik termasuk kekuasaan. Kekuasaan dalam perspektif strukturalis ialah sebuah hirarki tertinggi yang mengakibatkan ketergantungan actor-aktor sosial dalam pemenuhan kebutuhan hidup serta eksistensi dirinya.
E.    Problematika Interpretif Sosial
Konsepsi fenomenologi dalam konstruksi realitas media menjadi perdebatan yang cukup panjang, banyak ilmuan sosiologi menempatakan fenomenologi sebagai konsepsi paradigmatis kelilmuan sosial yang berorinetasi pada pemkanaan konstruksi media sangat cocok dengan konsepsi pola-pola pesan media yang bersifat kemanusiaan dan universal. Sehingga asumsi para ilmuan  terutama di Indonesia menempatkan “fenomenologi” sebagai teori yang relevan dengan segala bentuk persepsi dan efek media karena melibatkan psikologis khalayak untuk dapat memaknai pesan-pesab media secara universal. Sementara konsepsi lain tentang fenomenologi sebagai paradigma penelitian yang konstruks masih dipertanyakan sebagai konsepsi paradigmatis dalam kajian dan penelitian ilmu komunikasi. Fenomenologi lahir dan dilahirkan atas konsepsi ilmu sosial untuk mengamatai gejala yang timbul di dalam sistem sosial masyarakat, namun keterpaduan antara ilmu komunikasi dengan ilmu sosial lainnya menunjukan bahwa eksistensi fenomenologi dalam kajian ilmu komunikasi sangat berhubungan berdasarkan pada teknologi modern dewasa ini.
Perdebatan paradigmatis fenomenologi mampu menghadirkan pemaknaan dan konstruksi realitas media dan komunikasi dihadapkan pada implementasi pemaknaan kalahayk yang bersifat dinamis untuk menghadirkan maka sebagai pengalaman media, pengalaman proses bermedia sebagai sebuah kesadaran bermedia dalam mewujudkan bentuk penyadaran diri individu terhadap realitas yang terkonstruksi akibat terpaan media. Paradigmatis yang lahir sebagai konsekuensi logis terpaan media dan pola-pola konstruksi media yang bersifat konstruksionis. Bahwa media mempunyai kekuatan agenda dan pengaruh yang diterpakan sebagai sebuah kepentingan pemunculan persepsi tentang makna yang dikonstruksikanya lewat pesan yang disampaikan. Secara eksplisit, proses pengamatan fenomena yang ditimbulkan oleh media berdasarkan pada keberpihakan dan sekaligus kemampuan peneliti dalam menjalankan pengamatan terhadap gejala yang diamatinya, baik terkonstruksikan berdasarkan unsur kesengajaan untuk mengetahui secara cepat bagaimana konstruksi realitas media dan komunikasi diusung oleh aktor yang sedang diamati atau berdasarkan pada proses pengamatan secara alamiah, dengan mengikuti pola, gerak kehidupan actor atau subjek penelitian guna mengenathui secara lebih dalam fenomena yang terjadai di dalam jiwa yang terekspresikan oleh fisik subjek atau actor yang sedang diamatinya.
Pemikiran Schutz menjadi acuan dasar penelitian fenomenologi sebagai kajian yang menarik, akan tetapi pemikiran Schutz sebenarnya tidak beda dengan para pendahulunya. Schutz melihat fenomenologi sebagai tindakan sosial pada pengalaman, makna dan kesadaran. Manusia mengkonstruksi makna di luar arus utama pengalamannya melalui proses “tipikasi”. Penafsiran “tipikasi” dalam konteks fenomenologi di Indonesia dimaknai dangkal sebagai Pengelompokan pengalaman manusia. Pada prinsipnya tipikasi ialah sebuah pengelolaan, produksi makna yang dikelola, diorganisasikan berdasarkan hubungan dengan pengelolaan informasi atau pengalaman lain yang diterima oleh manusia pada masa sebelumnya. Dalam bahasa fenomenologi Schutz disebut dengan “stock of knowledge”, proses kumpulan pengalaman tersebut kemudian mempengaruhi makna yang terkonstruksi dalam pola pikir, gerak, sikap, perilaku dan dapat diaplikasikan, diimplementasikan secara nyata dalam realitas.
Tipikasi bukan sekedar pengetahuan yang terkonstruksi di dalam alam imajinasi, otak, atau pikiran individu semata, melainkan pengetahuan tersebut dapat diimplementasikan dalam bentuk tindakan nyata dalam dunia. Dimana manusia secara substantive melahirkan konsep pengalaman subjektif, dimana pengalaman subjektif tersebut ialah bentuk modal yang menjadikan manusia melakukan suatu tindakan riil. Pola tindakan merupakan cerminan, wujud, reprensentasi dari makna yang dihadirkan dari pengalaman subjektif yang diorganisasikan oleh dirinya. Dalam pandangan Schutz selajutnya, dalam konteks manusia atau individu sebagai mahkluk sosial, tipikasi dimaknai dan ditafsirkan sebagai pemahaman atas dasar pengalaman bersama, dimana argumentasinya mencoba mengelompokkan manusia sebagai individu yang menyesuaikan diri, dimana individu ialah orang yang memainkan tipikal situasi tertentu. konsepsi fenomenologi ini mencoba menempatkan individu bukan sebagai orang yang mempunyai prinsip, namun individu yang berkompromi dengan peengalaman sejenis yang diakibatkan oleh interaksi yang dilakukannya sebagai mahkluk sosial.
Pemahaman yang demikian menempatkan fenomenologi Schutz tidak menempatkan pengalaman hidup seseorang sebagai kemandirian makna yang dikonstruksi oleh individu secara sadar. Pada hakikatnya makna dari pengalaman hidup seseorang berbeda-beda dan tidak bisa digeneraliasaikan, realitas bukan bersifat monolitik tapi realitas bersifat plural. Kemiripan pengalaman bukanlah merukan kesamaan dan keseragaman pengalaman antara individu satu dengan individu yang lainnya. Hegel dan gerakan fenomeologi dalam modernitas  menitikberatkan kepada landasan berpikir tentang pengalaman yang melebihi batas-batas pengalaman. “gagasan fenomeologi menolak mengakui referen banyak istilah ‘deskriptif’ yang tampak tidak berbahaya sebagai sesuatu yang nyata baik dalam wacana ilmiah maupun dalam bahasa sehari-hari” (Ritzer dan Samrt, 2011: 466). berikut adalah penjelasan esensial fenomenologi yang menetapkan suatu orientasi orisinal terhadap realitas:
1.              Intensional
“Husserl mengungkapkan bahwa karakter pengalaman merupakan intensionalitas kesadaran, hal ini berarti kesadaran tidak pernah tanpa isi: proses sadar disebut dengan intensional”. Brentano, (Ritzer dan Smart, 2011: 467) “ineksistensi intensional juga disebut dengan mental, suatu objek yang sepenuhnya relasi dengan suatu isi, arah menuju objek atau objektivitas imanen”. Bahwa pada dasarnya kesadaran muncul sebagai kebenaran empiris yang menganggap pengalaman indrawi manusia sebagai pengalaman kebenaran, artinya wawasan yang paling tajam dalam pengalaman modern yang bersifat empiris yang menandai tentang kualitas pengalaman. 
2.     Pengalaman Nyata
Terpaan dan pengalaman yang dikonstruksi individu sebagai bentuk hubungan sadar antara pengakses media dengan pesan-pesan yang dapat dipersepsikan, diproses, dimaknai dengan kesadaran yang mendasar sebagai bentuk pengalaman manusia.
3.     Esensi
Esensi yang dimaksudkan ialah kesadaran ideal dari actor-aktor sosial sebagai bentuk kesadaran yang konkret yang dimanifestasikan dalam bentuk pemaknaan, tindakan atas kesadaran dari dan untuk dirinya.
4.     Modalisasi
Kebenaran suatu gejalan merupakan usaha untuk menemukan penyebab subjektivitas dan objektivitas pengalaman inderawi manusia. Dimana hubungan antara konsep fisik dengan modalitas diri seseorang yang menjadi actor untuk merepresentasikan relasi umum dan generalisasi atas fenomena inderawi manusia.
5.     Epoche
Esensi kesadaran  ialah bertujuan untuk mengembalikan sikap kita sebagai actor sosial kepada pemaknaan tentang dunia dan realitasnya.
6.     Penubuhan
Fenomena adalah suatu konsep keterbukaan  yang terkonstruksikan atas dasar hubungan tubuh dengan dunia ekspresi. Artinya ada hubungan antara jiwa dan fisik seseorang untuk menggerakan pemikiran memaknai suatu realitas yang sedang diamati sebagai sebuah gejala.
7.     Temporalitas
Hal ini menunjukan bahwa ada keterkaitan ruang dan waktu yang luas dan mendalam berdasarkan pada kesadaran manusia. Makna yang dilahirkan dari individu bergantung pada konsisi ruang dan waktu yang melingkupinya secara sosial.
8.     Intersubjektivitas
Relasi timbal balik antara diri sendiri dengan sosial. Ketersilangan individu dalam pemaknaan melahirkan pemaknaan yang bersifat sosial berdasarkan pada pengalaman yang sama dengan subjek lain.
F.    Ontologi dan Epistimologi Fenomenologi Schutz
Landasan ontology fenomenologi Schutz ialah konsep-konsep pemikiran dari Weber tentang relevansi nilai, pemahaman (verstehen) dan konsep tipe ideal. Artinya konsep tentang pembauran atau proses penyatuan makna yang sebenarnya bersifat dualitas atau ambiguitas. Bagi Schutz makna ialah dapat diinterpretasikan dari berbagai perspektif manusia sebagai makhluk sosial, makna dilahirkan berdasarkan pada sebuah pengalaman yang subjektif, yang dikonstruksikan dalam diri manusia sebagai individu yang merdeka. Indivdu yang aktif dalam proses pemberian makna, bahwa setiap manusia memaknai realitas berdasarkan pada apa yang pernah dilihat, didengar, dirasakan sebagai pengalaman yang nyata. Makna hadir dan dihadirkan sebagai konsekuensi atas apa yang dirasakan oleh manusia.  
Secara epistimologi Schutz memandang bahwa penguasaan manusia terhadap makna yang timbul dari motivasi atau disebut dengan makna motivasi, tindakan dan proses pemahaman manusia sebagai mahkluk yang berpikir. Proses yang demikian kemudian diimplementasikan oleh manusia pada tingkatan realitas atau lapangan, sehingga terjadi dialektika manusia dalam proses versthehen dalam memaknai realitas-realitas yang bersentuhan dengan dirinya. Dalam tataran ini manusia mencari kualitas dirinya dalam memahami realitas, bahkan manusia menjadikan dirinya sebagai sumber atas pemehaman realitas.
Pemikiran mankna yang dilahirkan manusia yang sangat subjektif  dalam mengeksplorasi perilaku dirinya yang berhubungan dengan realitas sosial melahirkan perilaku-perilaku yang lain. Sehingga manusia menggunakan intuisi dan logikanya untuk memahami dan menelusuri dunia sosial sebagai dunia yang bukan bersifat monolitik akan tetapi bersifat plural. Artinya manusia pada tataran ini adalah manusia yang intersubjektif, dimana manusia merupakan dunia arti yang merupakan suatu makna dan simbolik diantara manusia yang dinamis dan bertindak. Hubungan intersubjektif-intersubjektif adalah konsep yang melahirkan hubungan manusia yang dapat mengkonstruksikan objektivitas bagi realitas itu sendiri atau bagi kehidupan manusia itu sendiri.


Sumber Referensi: (dirangkum dari)

Schutz, Alfred, 1967, The Phenomenology of The social World, German: Der Sinnhafie Aufbau Der Sozialen.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terima kasih. segera saya akan konfirmasi.