FENOMENOLOGI
ALFRED SCHUTZ
Oleh:
Ahmad
Toni
A.
Max
Weber Dan Pengaruh Fenomenologi Schutz
Fenomenologi
ialah suatu perspektif yang modern tentang dunia manusia dan merupakan gerakan
filsafat yang paling dekat dengan hubungannya dengan abad ke-20. Bahwa
pemahaman historis pengalaman ditunjang dengan konsep subjektivitas
‘interaktif’ namun yang jauh lebih menantang ialah ide bahwa subjek kolektif
atau universal, yang didefiniskan melalui hasil-hasil umum dari reduksi
transedental, juga berkarakter historis. Menurut Weber “pemisahan dunia akal
budi sebagai idealism ilmiah dan rasionalitas dengan dunia pengalaman
primordial, akhirnya menimbulkan crisis, hilangnya makna dan signifikansi pada
pembawa akal budi itu sendiri. Komitmen imprensif dan kekkakuan crisis menurut
Weber akan sia-sia, bahwa kegagalan manusia tidak dapat dihindari dalam
modernitas. Fenomenologi telah diidentikan secara keliru dengan baik tentang
pandangan ‘psikologis’ maupun pandangan idealis, pandangan yang dari perspektif
sosiologis melihat dirinya sendiri memiliki tanggung jawab istimewa untuk
memenangkan keyakinan.
Terdapat beberapa hal bukti relevansi
fenomenologi dalam ilmu sosial;
1. Sebagai
pendekatan metodologis khas terhadap permasalahan dari kajian sosiologi, yakni
manusia dan pola-pola interaksi kehidupannya.
2. Fenomenologi
sebagai sumber wawasan dan pengetahuan yang riil atas isu-isu dan gejala
sosial.
3. Sebagai
konstruks materi deskriftif untuk gejalan sosial dan pengalaman modernitas.
Pendekatan
Alfred Schutz berbeda dengan pendekatan Husserl, bahwa pendekatan fenomenologis
Schutz terhadap realitas sosial dapat dicirikan pada imanen dan duniawi. Schutz
tidak terlalu membahas tentang mengungkap karakter tertentu dari suatu gejala
melainkan sebagai konsep sejarah sosial dalam arus kehidupan sosial yang sadar
dan riil, juga memahami dunia sosial sebagai realitas yang diinterpretasikan
secara holistic (menyeluruh). Fenomenologi Schutz memandang dunia kehidupan
sehari-hari ialah realitas fundamental dan terpenting manusia yang
dikonstruksikan sebagai intersubjektivitas.
Intersubjektivitas
adalah kenetntuan dunia nyata dan tidak memerlukan eksplikasi fundamental.
Bahwa kita menanggapi interaksi sosial dan hidup dalam dunia nyata yang sudah
terbentuk sebagai komunitas. Maka secara konkret kita berhadapan dengan duniawi
yang terkungkung dalam realitas transcendental. Baik konsep ilmiah dan
pengalaman sehari-hari terbentuk lewat kategori-kategori yang terpisah dari
segala sesuatu yang menyertai dan ditentukan dalam kesadaran manusia. Schutz
mendefinisikan realitas ‘diterima apa adanya’ dalam hubungan kognitif, sebagai
suatu dunia pemikiran spesifik dan komunitas perceptual, tempat, gudang
pengetahuan yang menjadi pondasi pengalaman. Asumsi hubungan timbale balik
antara manusia dalam pengalaman sebagai fondasi kehidupan sosial secara umum.
Relasi sosial autentik menyatakan timbale balik langsung secara kontak fisik
dan kontak pengalaman. Gudang pengetahuan manusia ialah bahwa distribusi
pengetahuan melalui kelompok-kelompok luar didefinisikan dalam hubungan yang
macam-macam, yakni tipikasi. Bahwa tipikasi ialah dunia fisik dan dunia sosio-budaya
yang dialami sejak awal dan hubungannya dengan tipe-tipe tertentu.
Max
Weber mengartikan, dalam konteks ini tindakan sosial tidak hanya dianggap
bermakna secara subjektif tetapi interpretasi manusia merupakan salah satu
konsekuensi dari kesatuan fungsional masyarakat sebagai suatu keseluruhan,
timbale balik, tindakan yang komprehensif, sebagai bagian dari kesatuan
tindakan yang nyata. Bahwa masyarakat modern dipandang sebagai realitas yang
integral secara fungsi dan mempunyai kesatuan atau persatuan komunitas dalam
tingkat yang tinggi. Bahwa tindakan rasional manusia sebagai pilihan kesadaran,
sebagai ekspresi, tindakan diartikan sebagai suatu perbuatan yang telah
direncanakan terlebih dahulu oleh pelaku (aktor) dan didasari oleh prinsip atas
tindakan tersebut. Pada dasarnya
Weber bukan menekankan hukum kausalitas (sebab-akibat) dalam memandang realitas
sosial, akan tepati Weber lebih menekankan pada cara-cara yang ditempuh dan
dipergunakan dalam memahami dan mengamati gejala sosial (masyarakat). Secara
subtansi proses dan gejala sosial merupakan sebuah konsekuensi dari fenomena
realitas yang sifatnya kompleks, dari hakikat realita sosial.
B.
Konstitusi
Pengalaman Hidup Yang Bermakna
Kehidupan yang bermakna menurut
Schutz adalah tindakan manusia secara sosial tidak hanya dipandang atau
dianggap bermakna secara subjektif, melainkan secara objektif dengan berpedoman
pada komunitas dan makna yang dilahirkan secara bersama-sama oleh komunitas.
Makna dilahirkan secara subjektif yang kemudian didukung olehb pengalaman yang
sama yang dikonsepsikan oleh orang lain, sehingga menjadi sekumpulan pengalaman
yang banyak, yang sama kemudian melahirkan objetivitas dari realitas komunitas
tersebut. Pola-pola kesatuan atau (lifeworld)
yang melahirkan sebuah konsekuensi persatuan atas pengalaman, ketimbal-balikan
tindakan dan kesatuan pengalaman nyata menjadikan objektif dalam pengalaman
hidup mereka sehari-hari. Semakin pola kehidupan dekat dan terlembagakan maka
semakin tipikal (tipikasi) menyerupai atau mirip dalam dimensi kebudayaan,
hukum atau aturan, adat istiadat dan lain sebagainya. Realitas sehari-hari
dipahami dan dikonstruksikan sebagai hirarki makna yang melalui tatanan
kesepakatan atau konvensional dicapai dan dipertahankan sebagai interaksi
sosial para actor sosial dalam reaksi yang alamiah atau natural.
C.
Fondasi
Intersubjektivitas
Intersubjektivitas
adalah ketentuan dunia nyata dan tidak memerlukan eksplikasi fundamental. Bahwa
kita memandang dunia yang membentuk komunitas. Bahwa ilmu-ilmu sosial secara
konkret berhadapan dengan realitas sosial yang nyata yang tekah
termanipulasikan oleh fenomenologi transcendental. Pemikiran Schutz ini adalah
kritik atas sejumlah fenomenologi yang terdahulu yang memandang realitas
sebagai sebuah ruang transcendental yang hanya bisa dipandang oleh kalangan
tertentu. Pengalaman sehari-hari dari manusia terbentuk lewat kategori atau
tipikasi yang terpisah dari segala sesuatu dan pula didorong oleh kesadaran
sosial.
Bahwa
sosiologi adalah konstruksi tingkat kedua dalam memandang dunia abstrak-abstrak
yang melahirkan interpretasi atas bentuk dan isi langsung dari kehidupan.
Schutz memperjuangkan subuah sosiologi ‘subjektif’ artinya bahwa realitas
sosial dibentuk atau dikonstruksi berdasarkan pada tindakan dan relasi makna.
D.
Realitas
Sebagai Struktur Social
Realitas
diartikan sebagai ketergantungan struktur, pertukaran langsung, umum,
produkstivitas. Realsi pertukaran ini dari setiap actor sosial terpilih dalam
sebuah sistem, sistem yang kemudian berpola pada konstruksi sosial. Bahwa kehidupan
atau realitas adalah dibangun berdasarkan struktur sosial. Dalam proses
pertukaran sosial terjadi interaksi di dalam struktur sosial, ketika insiasi
terbalas, timbale-balik, serangkaian transaski yang dilakukan secara kontinu
atau terus menerus, yang dilakukan oleh para actor sosial. Transaksi dalam
pertukaran sosial adalah ketika actor sosial lain membalas interaksinya untuk
sebuah tindakan yang dilakukan oleh actor sosial yang lain. Pola-pola stuktur
sosial dan ketergantungan didasari atas integrasi kepentingan, perbedaan,
kelompok, konflik termasuk kekuasaan. Kekuasaan dalam perspektif strukturalis
ialah sebuah hirarki tertinggi yang mengakibatkan ketergantungan actor-aktor
sosial dalam pemenuhan kebutuhan hidup serta eksistensi dirinya.
E. Problematika Interpretif Sosial
Konsepsi
fenomenologi dalam konstruksi realitas media menjadi perdebatan yang cukup
panjang, banyak ilmuan sosiologi menempatakan fenomenologi sebagai konsepsi
paradigmatis kelilmuan sosial yang berorinetasi pada pemkanaan konstruksi media
sangat cocok dengan konsepsi pola-pola pesan media yang bersifat kemanusiaan
dan universal. Sehingga asumsi para ilmuan terutama di Indonesia menempatkan “fenomenologi” sebagai teori yang relevan dengan segala bentuk
persepsi dan efek media karena melibatkan psikologis khalayak untuk dapat
memaknai pesan-pesab media secara universal. Sementara konsepsi lain tentang
fenomenologi sebagai paradigma penelitian yang konstruks masih dipertanyakan
sebagai konsepsi paradigmatis dalam kajian dan penelitian ilmu komunikasi.
Fenomenologi lahir dan dilahirkan atas konsepsi ilmu sosial untuk mengamatai
gejala yang timbul di dalam sistem sosial masyarakat, namun keterpaduan antara
ilmu komunikasi dengan ilmu sosial lainnya menunjukan bahwa eksistensi
fenomenologi dalam kajian ilmu komunikasi sangat berhubungan berdasarkan pada
teknologi modern dewasa ini.
Perdebatan
paradigmatis fenomenologi mampu menghadirkan pemaknaan dan konstruksi realitas
media dan komunikasi dihadapkan pada implementasi pemaknaan kalahayk yang
bersifat dinamis untuk menghadirkan maka sebagai pengalaman media, pengalaman
proses bermedia sebagai sebuah kesadaran bermedia dalam mewujudkan bentuk
penyadaran diri individu terhadap realitas yang terkonstruksi akibat terpaan
media. Paradigmatis yang lahir sebagai konsekuensi logis terpaan media dan
pola-pola konstruksi media yang bersifat konstruksionis. Bahwa media mempunyai
kekuatan agenda dan pengaruh yang diterpakan sebagai sebuah kepentingan
pemunculan persepsi tentang makna yang dikonstruksikanya lewat pesan yang
disampaikan. Secara eksplisit, proses pengamatan fenomena yang ditimbulkan oleh
media berdasarkan pada keberpihakan dan sekaligus kemampuan peneliti dalam
menjalankan pengamatan terhadap gejala yang diamatinya, baik terkonstruksikan berdasarkan
unsur kesengajaan untuk mengetahui secara cepat bagaimana konstruksi realitas
media dan komunikasi diusung oleh aktor yang sedang diamati atau berdasarkan
pada proses pengamatan secara alamiah, dengan mengikuti pola, gerak kehidupan
actor atau subjek penelitian guna mengenathui secara lebih dalam fenomena yang
terjadai di dalam jiwa yang terekspresikan oleh fisik subjek atau actor yang
sedang diamatinya.
Pemikiran Schutz menjadi
acuan dasar penelitian fenomenologi sebagai kajian yang menarik, akan tetapi
pemikiran Schutz sebenarnya tidak beda dengan para pendahulunya. Schutz melihat
fenomenologi sebagai tindakan sosial pada pengalaman, makna dan kesadaran.
Manusia mengkonstruksi makna di luar arus utama pengalamannya melalui proses
“tipikasi”. Penafsiran “tipikasi” dalam konteks fenomenologi di Indonesia
dimaknai dangkal sebagai Pengelompokan pengalaman manusia. Pada prinsipnya
tipikasi ialah sebuah pengelolaan, produksi makna yang dikelola,
diorganisasikan berdasarkan hubungan dengan pengelolaan informasi atau
pengalaman lain yang diterima oleh manusia pada masa sebelumnya. Dalam bahasa
fenomenologi Schutz disebut dengan “stock
of knowledge”, proses kumpulan pengalaman tersebut kemudian mempengaruhi
makna yang terkonstruksi dalam pola pikir, gerak, sikap, perilaku dan dapat
diaplikasikan, diimplementasikan secara nyata dalam realitas.
Tipikasi
bukan sekedar pengetahuan yang terkonstruksi di dalam alam imajinasi, otak,
atau pikiran individu semata, melainkan pengetahuan tersebut dapat
diimplementasikan dalam bentuk tindakan nyata dalam dunia. Dimana manusia
secara substantive melahirkan konsep pengalaman subjektif, dimana pengalaman
subjektif tersebut ialah bentuk modal yang menjadikan manusia melakukan suatu
tindakan riil. Pola tindakan merupakan cerminan, wujud, reprensentasi dari
makna yang dihadirkan dari pengalaman subjektif yang diorganisasikan oleh
dirinya. Dalam pandangan Schutz selajutnya, dalam konteks manusia atau individu
sebagai mahkluk sosial, tipikasi dimaknai dan ditafsirkan sebagai pemahaman
atas dasar pengalaman bersama, dimana argumentasinya mencoba mengelompokkan
manusia sebagai individu yang menyesuaikan diri, dimana individu ialah orang
yang memainkan tipikal situasi tertentu. konsepsi fenomenologi ini mencoba
menempatkan individu bukan sebagai orang yang mempunyai prinsip, namun individu
yang berkompromi dengan peengalaman sejenis yang diakibatkan oleh interaksi
yang dilakukannya sebagai mahkluk sosial.
Pemahaman
yang demikian menempatkan fenomenologi Schutz tidak menempatkan pengalaman
hidup seseorang sebagai kemandirian makna yang dikonstruksi oleh individu
secara sadar. Pada hakikatnya makna dari pengalaman hidup seseorang
berbeda-beda dan tidak bisa digeneraliasaikan, realitas bukan bersifat
monolitik tapi realitas bersifat plural. Kemiripan pengalaman bukanlah merukan
kesamaan dan keseragaman pengalaman antara individu satu dengan individu yang
lainnya. Hegel dan gerakan fenomeologi dalam modernitas menitikberatkan kepada landasan
berpikir tentang pengalaman yang melebihi batas-batas pengalaman. “gagasan
fenomeologi menolak mengakui referen banyak istilah ‘deskriptif’ yang tampak
tidak berbahaya sebagai sesuatu yang nyata baik dalam wacana ilmiah maupun
dalam bahasa sehari-hari” (Ritzer dan Samrt, 2011: 466). berikut adalah penjelasan
esensial fenomenologi yang menetapkan suatu orientasi orisinal terhadap
realitas:
1.
Intensional
“Husserl
mengungkapkan bahwa karakter pengalaman merupakan intensionalitas kesadaran,
hal ini berarti kesadaran tidak pernah tanpa isi: proses sadar disebut dengan
intensional”. Brentano, (Ritzer dan Smart, 2011: 467) “ineksistensi intensional
juga disebut dengan mental, suatu objek yang sepenuhnya relasi dengan suatu
isi, arah menuju objek atau objektivitas imanen”. Bahwa pada dasarnya kesadaran
muncul sebagai kebenaran empiris yang menganggap pengalaman indrawi manusia
sebagai pengalaman kebenaran, artinya wawasan yang paling tajam dalam
pengalaman modern yang bersifat empiris yang menandai tentang kualitas
pengalaman.
2.
Pengalaman Nyata
Terpaan
dan pengalaman yang dikonstruksi individu sebagai bentuk hubungan sadar antara
pengakses media dengan pesan-pesan yang dapat dipersepsikan, diproses, dimaknai
dengan kesadaran yang mendasar sebagai bentuk pengalaman manusia.
3.
Esensi
Esensi
yang dimaksudkan ialah kesadaran ideal dari actor-aktor sosial sebagai bentuk
kesadaran yang konkret yang dimanifestasikan dalam bentuk pemaknaan, tindakan
atas kesadaran dari dan untuk dirinya.
4.
Modalisasi
Kebenaran
suatu gejalan merupakan usaha untuk menemukan penyebab subjektivitas dan
objektivitas pengalaman inderawi manusia. Dimana hubungan antara konsep fisik
dengan modalitas diri seseorang yang menjadi actor untuk merepresentasikan
relasi umum dan generalisasi atas fenomena inderawi manusia.
5.
Epoche
Esensi
kesadaran ialah bertujuan untuk
mengembalikan sikap kita sebagai actor sosial kepada pemaknaan tentang dunia
dan realitasnya.
6.
Penubuhan
Fenomena
adalah suatu konsep keterbukaan
yang terkonstruksikan atas dasar hubungan tubuh dengan dunia ekspresi.
Artinya ada hubungan antara jiwa dan fisik seseorang untuk menggerakan
pemikiran memaknai suatu realitas yang sedang diamati sebagai sebuah gejala.
7.
Temporalitas
Hal ini
menunjukan bahwa ada keterkaitan ruang dan waktu yang luas dan mendalam
berdasarkan pada kesadaran manusia. Makna yang dilahirkan dari individu
bergantung pada konsisi ruang dan waktu yang melingkupinya secara sosial.
8.
Intersubjektivitas
Relasi
timbal balik antara diri sendiri dengan sosial. Ketersilangan individu dalam
pemaknaan melahirkan pemaknaan yang bersifat sosial berdasarkan pada pengalaman
yang sama dengan subjek lain.
F.
Ontologi dan
Epistimologi Fenomenologi Schutz
Landasan
ontology fenomenologi Schutz ialah konsep-konsep pemikiran dari Weber tentang
relevansi nilai, pemahaman (verstehen) dan konsep tipe ideal. Artinya konsep
tentang pembauran atau proses penyatuan makna yang sebenarnya bersifat dualitas
atau ambiguitas. Bagi Schutz makna ialah dapat diinterpretasikan dari berbagai
perspektif manusia sebagai makhluk sosial, makna dilahirkan berdasarkan pada
sebuah pengalaman yang subjektif, yang dikonstruksikan dalam diri manusia
sebagai individu yang merdeka. Indivdu yang aktif dalam proses pemberian makna,
bahwa setiap manusia memaknai realitas berdasarkan pada apa yang pernah
dilihat, didengar, dirasakan sebagai pengalaman yang nyata. Makna hadir dan
dihadirkan sebagai konsekuensi atas apa yang dirasakan oleh manusia.
Secara
epistimologi Schutz memandang bahwa penguasaan manusia terhadap makna yang
timbul dari motivasi atau disebut dengan makna motivasi, tindakan dan proses
pemahaman manusia sebagai mahkluk yang berpikir. Proses yang demikian kemudian
diimplementasikan oleh manusia pada tingkatan realitas atau lapangan, sehingga
terjadi dialektika manusia dalam proses versthehen dalam memaknai realitas-realitas
yang bersentuhan dengan dirinya. Dalam tataran ini manusia mencari kualitas
dirinya dalam memahami realitas, bahkan manusia menjadikan dirinya sebagai
sumber atas pemehaman realitas.
Pemikiran
mankna yang dilahirkan manusia yang sangat subjektif dalam mengeksplorasi perilaku dirinya yang berhubungan
dengan realitas sosial melahirkan perilaku-perilaku yang lain. Sehingga manusia
menggunakan intuisi dan logikanya untuk memahami dan menelusuri dunia sosial
sebagai dunia yang bukan bersifat monolitik akan tetapi bersifat plural. Artinya
manusia pada tataran ini adalah manusia yang intersubjektif, dimana manusia
merupakan dunia arti yang merupakan suatu makna dan simbolik diantara manusia
yang dinamis dan bertindak. Hubungan intersubjektif-intersubjektif adalah
konsep yang melahirkan hubungan manusia yang dapat mengkonstruksikan
objektivitas bagi realitas itu sendiri atau bagi kehidupan manusia itu sendiri.
Sumber Referensi: (dirangkum dari)
Schutz,
Alfred, 1967, The Phenomenology of The
social World, German: Der Sinnhafie Aufbau Der Sozialen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terima kasih. segera saya akan konfirmasi.