Jumat, 29 Agustus 2014

KONSEP BUDAYA “NUSANTARA” DALAM DIPLOMASI INDONESIA-MALAYSIA (Ahmad Toni)

KONSEP BUDAYA “NUSANTARA” DALAM DIPLOMASI INDONESIA-MALAYSIA:
Studi Framing dan Historisitas Terhadap Klaim Budaya
di Media Kompas Online Indonesia

Makalah Ini Dipresentasikan di Seminar Internasional di UNAIR 

Oleh:
Ahmad Toni

A.   Latar Belakang
Pemberitaan klaim atas sejumlah kekayaan warisan budaya bangsa Indonesia oleh pihak negara serumpun Malaysia menjadi pemberitaan yang hampir menjadi headline news di semua media di Indonesia. Dari media cetak, elektronik hingga cyber media, media mencoba mengkonstruksi sejumlah isu besar tentang kedua negara sebagai komoditas dan bentuk propaganda provokatif yang melahirkan kemarahan sejumlah golongan di beberapa provinsi di Indonesia. Lahirnya pergolakan dan penolakan terhadap segenap pihak-pihak Malaysia di Indonesia ditopang oleh gencarnya media dalam pemberitaan klaim budaya atas tari tor-tor.
Pihak berwenang Malaysia mencoba untuk meluruskan persoalan tentang peemberitaan dengan berbagai upaya, namun isu media di Indonesia lebih massif daripada usaha yang ddilakukan pihak Malaysia. Sehingga posisi Malaysia seakan-akan berada pada pihak yang menekan, mengopresikan bangsa Indonesia. Malaysia sebagai negara yang berdaulat teentunya akan melakukan sejumlah diplomasi kebudayaan atas sejarah dan persinggungan budaya yang hampir sama dengan Indonesia. Adanya beberapa etnis Indonesia di Malaysia membuktikan bahwa sejarah berpengaruh besar terhadap kedudukan kedua negara dalam pergaulan bilateral dan internasional.
Media Indonesia berusaha untuk membangkitkan nilai-nilai nasionalisme sebagai agenda bersama dalam menegaknan demokrasi, termasuk demokrasi kebudayaan. Sehingga media mencoba mengangkat isu sensitive tersebut sebagai bagian tugasnya menjaga kebudayaan, menjaga kedaulatan dan menjaga nilai-nilai persatuan dan kesatuan dalam bingkai demokratisasi media. Pada hakikatnya media ialah sarana untuk menunjukan kemerdekaan dalam berbangsa dan bernegara dengan turut serta, andil melaksanakan prinsip-prinsip diplomasinya.
Media dalam konteks pemberitaan klaim Malaysia atas sejumlah kebudayaan Indonesia terkesan mengusung agenda besar untuk membangkitkan sensitivitas dan patriotisme warga negara Indonesia dalam percaturan negara-negara ASEAN. Pembangkitan nilai-nilai nasionalisme ini melahirkan segenap rasa sinisme sebagian rakyat atas isu kedua negara, sebuah bentuk formasi realitas propaganda yang dihadirkan membakar rasa keprihatinan atas pelecehan, penghinaan dan perwujudan pemberontakan dan sikap permusuhan yang memungkinkan untuk dilahirkan atas dasar propaganda tersebut.
Kompas sebagai media yang dianggap kredibilitasnya dalam pemberitaan klaim budaya yang dilakukan oleh pihak Malaysia mencoba menurunkan sejumlah artikel yang dipublikasikan secara online melalui situs www.kompas.com. Atas dasar itulah maka pemberitaan kompas online tersebut dilakukan analisa dengan pendekatan framing Etman.


B.    Konsep Historisitas Mancanegara dan Nusantara
1.     Historisitas Sriwijaya
Dalam bahasa Sansekertasri berarti “bercahaya” danwijaya berarti “kemenangan”. Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan ini berasal dari abad ke-7; seorang pendeta Tiongkok I-tsing menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya tahun 671 dan tinggal selama 6 bulan. Prasasti paling tua mengenai Sriwijaya juga berada pada abad ke-7 yaitu Prasasti Kedukan Bukit di Palembang bertarikh 682. Sriwijaya (Srivijaya) adl kerajaan maritim yg kuat di pulau Sumatera dan berpengaruh di Nusantara daerah kekuasaan Sriwijaya meliputi Kamboja  Thailand Semenanjung Malaya Sumatera Jawa Kalimantan dan Sulawesi.
Kemunduran pengaruh Sriwijaya terhadap daerah bawahan mulai menyusut dikarenakan beberapa peperangandiantara serangan dari raja Dharmawangsa dari Jawa ditahun 990 dan tahun 1025 serangan Rajendra Coladewa dari Koromandel selanjut tahun 1183 Sriwijaya dibawah kendali kerajaan Dharmasraya. Dan di akhir masa kerajaan ini takluk di bawah kerajaan Majapahit. Sriwijaya menjadi simbol kebesaran Sumatera awal dan kerajaan besar Nusantara selain Majapahit di Jawa Timur. Pada abad ke-20 kedua kerajaan tersebut menjadi referensi olehkaum nasionalis utk menunjukkan bahwa Indonesia merupakan satu kesatuan negara sebelelum kolonialisme Belanda.Sriwijaya disebut dgn berbagai macam nama. Orang Tionghoa menyebut Shih-li-fo-shih atau San-fo-ts’i atau San Fo Qi. Dalam bahasa Sansekerta dan Pali kerajaan Sriwijaya disebut Yavadesh dan Javadeh. Bangsa Arab menyebut Zabaj dan Khmer menyebut Malayu.Sementara dari peta Ptolemaeus ditemukan keterangan tentang ada 3 pulau Sabadeibei yg berkaitan dgn Sriwijaya.
Kerajaan Sriwijaya menjadi pusat perdagangan dan merupakan negara maritim. Negara ini tak memperluas kekuasaan diluar wilayah kepulauan Asia Tenggara dgn pengecualian berkontribusi utk populasi Madagaskar sejauh 3.300 mil di barat. Sekitar tahun 500 akar Sriwijaya mulai berkembang di wilayah sekitar Palembang Sumatera. Kerajaan ini terdiri atas tiga zona utama daerah ibukota muara yg berpusatkan Palembang lembah Sungai Musi yg berfungsi sebagai daerah pendukung dan daerah-daerah muara saingan yg mampu menjadi pusat kekuasan saingan. Wilayah hulu sungai Musi kaya akan berbagai komoditas yg berharga utk pedagang Tiongkok Ibukota diperintah secara langsung oleh penguasa sementara daerah pendukung tetap diperintah oleh datu setempat.
Ekspansi kerajaan ini ke Jawa dan Semenanjung Malaya menjadikan Sriwijaya mengontrol dua pusat perdagangan utama di Asia Tenggara. Berdasarkan observasi ditemukan reruntuhan candi-candi Sriwijaya di Thailand dan Kamboja. Di abad ke-7 pelabuhan Cham di sebelah timur Indochina mulai mengalihkan banyak pedagang dari Sriwijaya. Untuk mencegah hal tersebut Maharaja Dharmasetu melancarkan beberapa serangan ke kota-kota pantai di Indochina. Kota Indrapura di tepi sungai Mekong di awal abad ke-8 berada di bawah kendali Sriwijaya. Sriwijaya meneruskan dominasi atas Kamboja sampai raja Khmer Jayawarman II pendiri imperium Khmer memutuskan hubungan dgn kerajaan di abad yg sama. DariPrasasti Kedukan Bukit pada tahun 682 di bawah kepemimpinan Dapunta Hyang Jayanasa Kerajaan Minanga takluk di bawah imperium Sriwijaya. Penguasaan atas Malayu yg kaya emas telah meningkatkan prestise kerajaan.
BerdasarkanPrasasti Kota Kapur yg yg berangka tahun 682 dan ditemukan di pulau Bangka Pada akhir abad ke-7 kemaharajaan ini telah menguasai bagian selatan Sumatera pulau Bangka dan Belitung hingga Lampung. Prasasti ini juga menyebutkan bahwa Jayanasa telah melancarkan ekspedisi militer utk menghukum Bhumi Jawa yg tak berbakti kepada Sriwijaya peristiwa ini bersamaan dgn runtuh Tarumanagara di Jawa Barat dan Holing (Kalingga) di Jawa Tengah yg kemungkinan besar akibat serangan Sriwijaya. Sriwijaya tumbuh dan berhasil mengendalikan jalur perdagangan maritim di Selat Malaka Selat Sunda Laut China Selatan Laut Jawa dan Selat Karimata.
Abad ke-7 orang Tionghoa mencatat bahwa terdapat dua kerajaan di Sumatera yaitu Malayu dan Kedah dan tiga kerajaan di Jawa menjadi bagian kemaharajaan Sriwijaya. Di akhir abad ke-8 beberapa kerajaan di Jawa antara lain Tarumanegara dan Holing berada di bawah kekuasaan Sriwijaya. Menurut catatan pada masa ini pula wangsa Melayu-Budha Sailendra bermigrasi ke Jawa Tengah dan berkuasa disana. Di abad ini pula Langkasuka di semenanjung Melayu menjadi bagian kerajaan. Di masa berikut Pan Pan dan Trambralinga yg terletak di sebelah utara Langkasuka juga berada di bawah pengaruh Sriwijaya. Di abad ke-9 wilayah kemaharajaan Sriwijaya meliputi Sumatera Sri Lanka Semenanjung Malaya Jawa Barat Sulawesi Maluku Kalimantan dan Filipina. Dengan penguasaan tersebut kerajaan Sriwijaya menjadi kerajaan maritim yg hebat hingga abad ke-13. Setelah Dharmasetu Samaratungga menjadi penerus kerajaan. Ia berkuasa pada periode 792 sampai 835. Tidak seperti Dharmasetu yg ekspansionis Samaratungga tak melakukan ekspansi militer tetapi lbh memilih utk memperkuat penguasaan Sriwijaya di Jawa. Selama masa kepemimpinan ia membangun candi Borobudur di Jawa Tengah yg selesai pada tahun 825.
Ekstensi Sriwijaya diketahui secara resmi tahun 1918 oleh sejarawan Perancis George Cœdès dari École française d’Extrême-Orient. Sekitar tahun 1992 hingga 1993 Pierre-Yves Manguin membuktikan bahwa pusat Sriwijaya berada di Sungai Musi antara Bukit Seguntang dan Sabokingking (terletak di provinsi Sumatra Selatan Indonesia). Namun Soekmono berpendapat bahwa pusat Sriwijaya terletak di provinsi Jambi sekarang yaitu pada kawasan sehiliran Batang Hari antara Muara Sabak sampai ke Muara Tembesi.
Dari catatan sejarah danbukti arkeologi dinyatakan bahwa pada abad ke-9 Sriwijaya telah melakukan kolonisasi di hampir seluruh kerajaan-kerajaan Asia Tenggara antara lain Sumatera Jawa Semenanjung Malaya Kamboja dan Vietnam Selatan . Dominasi atas Selat Malaka dan Selat Sunda menjadikan Sriwijaya sebagai pengendali rute perdagangan rempah dan perdagangan lokal yg mengenakan biaya atas tiap kapal yg lewat. Sriwijaya mengakumulasi kekayaan sebagai pelabuhan dan gudang perdagangan yg melayani pasar Tiongkok dan India. Pada masa awalKerajaan Khmer juga menjadi daerah jajahan Sriwijaya. Banyak sejarawan mengklaim bahwa Chaiya di propinsi Surat Thani Thailand Selatan sebagai ibu kota terakhir kerajaan tersebut pengaruh Sriwijaya nampak pada bangunan pagoda Borom That yg bergaya Sriwijaya. Setelah kejatuhan Sriwijaya Chaiya terbagi menjadi tiga kota yakni (Mueang) Chaiya Thatong (Kanchanadit) dan Khirirat Nikhom.
Sriwijaya juga berhubungan dekat dgn kerajaan Pala di Benggala dan sebuah prasasti berangka 860 mencatat bahwa raja Balaputra mendedikasikan seorang biara kepada Universitas Nalada Pala. Relasi dgn dinasti Chola di India selatan cukup baik dan kemudian menjadi buruk setelah Rajendra Coladewa naik tahta dan melakukan penyerangan di abad ke-11. Minanga merupakan kekuatan pertama yg menjadi pesaing Sriwijaya yg akhir dapat ditaklukkan pada abad ke-7. Kerajaan Melayu ini memiliki pertambangan emas sebagai sumber ekonomi dan kata Swarnnadwipa (pulau emas) mungkin merujuk pada hal ini. Dan kemudian Kedah juga takluk dan menjadi daerah bawahan.
Pada paruh pertama abad ke-10 diantara kejatuhan dinasti Tang dan naik dinasti Song perdagangan dgn luar negeri cukup marak terutama Fujian kerajaan Min dan negeri kaya Guangdong kerajaan Nan Han. Tak diragukan lagi Sriwijaya mendapatkan keuntungan dari perdagangan ini. Pada tahun 903 penulis Muslim Ibnu Batutah sangat terkesan dgn kemakmuran Sriwijaya. Daerah urban kerajaan meliputi Palembang (khusus Bukit Seguntang) Muara Jambi dan Kedah. Di tahun 902 Sriwijaya mengirimkan upeti ke China. Dua tahun kemudian raja terakhir dinasti Tang menganugerahkan gelar kepada utusan Sriwijaya. Dari literatur Tiongkok utusan itu mempunyai nama Arab hal ini memberikan informasi bahwa pada masa-masa itu Sriwijaya sudah berhubungan dgn Arab yg memungkinkan Sriwijaya sudah masuk pengaruh Islam di dalam kerajaan.
Untuk memperkuat posisinya atas penguasaan kawasan Asia Tenggara, Sriwijaya menjalin hubungan diplomasi dengan kekaisaran Cina, dan secara teratur mengantarkan utusan beserta upeti. Pada tahun 100 Hijriyah (718 Masehi) Maharaja Sriwijaya bernama Sri Indrawarman mengirimkan sepucuk surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Kekhalifahan Umayyah, yang berisi permintaan kepada Khalifah untuk mengirimkan ulama yang dapat menjelaskan ajaran dan hukum Islam kepadanya. Dalam surat itu tertulis:
Dari Raja sekalian para raja yang juga adalah keturunan ribuan raja, yang isterinya pun adalah cucu dari ribuan raja, yang kebun binatangnya dipenuhi ribuan gajah, yang wilayah kekuasaannya terdiri dari dua sungai yang mengairi tanaman lidah buaya, rempah wangi, pala, dan jeruk nipis, yang aroma harumnya menyebar hingga 12 mil. Kepada Raja Arab yang tidak menyembah tuhan-tuhan lain selain Allah. Aku telah mengirimkan kepadamu bingkisan yang tak seberapa sebagai tanda persahabatan. Kuharap engkau sudi mengutus seseorang untuk menjelaskan ajaran Islam dan segala hukum-hukumnya kepadaku."
Peristiwa ini membuktikan bahwa Sriwijaya telah menjalin hubungan diplomatik dengan dunia Islam atau dunia Arab. Meskipun demikian surat ini bukanlah berarti bahwa raja Sriwijaya telah memeluk agama Islam, melainkan hanya menunjukkan hasrat sang raja untuk mengenal dan mempelajari berbagai hukum, budaya, dan adat-istiadat dari berbagai rekan perniagaan dan peradaban yang dikenal Sriwijaya saat itu; yakni Tiongkok, India, dan Timur Tengah. Pada masa awal, Kerajaan Khmer merupakan daerah jajahan Sriwijaya. Banyak sejarawan mengklaim bahwa Chaiya, di propinsi Surat Thani, Thailand Selatan, sebagai ibu kota kerajaan tersebut. Pengaruh Sriwijaya nampak pada bangunan pagoda Borom That yang bergaya Sriwijaya. Setelah kejatuhan Sriwijaya, Chaiya terbagi menjadi tiga kota yakni (Mueang) Chaiya, Thatong (Kanchanadit), dan Khirirat Nikhom.
Sriwijaya juga berhubungan dekat dengan kerajaan Pala di Benggala, pada prasasti Nalanda berangka 860 mencatat bahwa raja Balaputradewa mendedikasikan sebuah biara kepada Universitas Nalanda. Relasi dengan Dinasti Chola di selatan India juga cukup baik. Dari Prasasti Leiden disebutkan raja Sriwijaya di Kataha Sri Mara-Vijayottunggawarman telah membangun sebuah vihara yang dinamakan dengan Vihara Culamanivarmma, namun menjadi buruk setelah Rajendra I naik tahta yang melakukan penyerangan pada abad ke-11. Kemudian hubungan ini kembali membaik pada masa Kulothunga Chola I, di mana raja Sriwijaya di Kadaram mengirimkan utusan yang meminta dikeluarkannya pengumuman pembebasan cukai pada kawasan sekitar Vihara Culamanivarmma tersebut. Namun demikian pada masa ini Sriwijaya dianggap telah menjadi bagian dari dinasti Chola. Kronik Tiongkok menyebutkan bahwa Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo) sebagai raja San-fo-ts'i, membantu perbaikan candi dekat Kanton pada tahun 1079. Pada masa dinasti Song candi ini disebut dengan nama Tien Ching Kuan, dan pada masa dinasti Yuan disebut dengan nama Yuan Miau Kwan.
Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa di Dharmasraya sebagaimana yang tertulis pada prasasti Padang Roco. Peristiwa ini kemudian dikaitkan dengan manuskrip yang terdapat pada prasasti Grahi. Begitu juga dalam Nagarakretagama yang menguraikan tentang daerah jajahan Majapahit, juga sudah tidak menyebutkan lagi nama Sriwijaya untuk Pada tahun 1079  dan 1088, catatan Cina menunjukkan bahwa Sriwijaya mengirimkan duta besar pada Cina. Khususnya pada tahun 1079, masing-masing duta besar tersebut mengunjungi Cina. Ini menunjukkan bahwa ibu kota Sriwijaya selalu bergeser dari satu kota maupun kota lainnya selama periode tersebut. Ekspedisi Chola mengubah jalur perdagangan dan melemahkan Palembang, yang memungkinkan jambi untuk mengambil kepemimpinan Sriwijaya pada abad ke-11.
Berdasarkan sumber Tiongkok pada buku Chu-fan-chi yang ditulis pada tahun 1178, Chou-Ju-Kua menerangkan bahwa di kepulauan Asia Tenggara terdapat dua kerajaan yang sangat kuat dan kaya, yakni San-fo-ts'i dan Cho-po (Jawa). Di Jawa dia menemukan bahwa rakyatnya memeluk agama Budha dan Hindu, sedangkan rakyat San-fo-ts'i memeluk Budha, dan memiliki 15 daerah bawahan yang meliputi; Si-lan (kamboja), Tan-ma-ling (Tambralingga, Ligor, selatan Thailand), Kia-lo-hi (Grahi, Chaiya sekarang, selatan Thailand), Ling-ya-si-kia (Langkasuka), Kilantan (Kelantan), Pong-fong (Pahang), Tong-ya-nong (Terengganu), Fo-lo-an (muara sungai Dungun daerah Terengganu sekarang), Ji-lo-t'ing (Cherating, pantai timur semenanjung malaya), Ts'ien-mai (Semawe, pantai timur semenanjung malaya), Pa-t'a (Sungai Paka, pantai timur Semenanjung Malaya), Lan-wu-li (Lamuri di Aceh), Pa-lin-fong ( Palembang), Kien-pi (jambi), dan Sin-t'o (Sunda).
Namun demikian, istilah San-fo-tsi terutama pada tahun 1178 tidak lagi identik dengan Sriwijaya, melainkan telah identik dengan Dharmasraya. Dari daftar 15 negeri bawahan San-fo-tsi tersebut, ternyata adalah wilayah jajahan Kerajaan Dharmasraya. Walaupun sumber Tiongkok tetap menyebut San-fo-tsi sebagai kerajaan yang berada di kawasan Laut Cina Selatan. Hal ini karena dalam Pararaton telah disebutkan Malayu. Kitab ini mengisahkan bahwa Kertanagara raja Singhasari, mengirim sebuah ekspedisi Pamalayu atau Pamalayu, dan kemudian menghadiahkan Arca Amoghapasa kepada raja Melayukawasan yang sebelumnya merupakan kawasan Sriwijaya.

2.     Historisitas Majapahit
Wilayah utama daratan Nusantara terbentuk dari dua ujung Superbenua Pangaea di Era Mesozoikum (250 juta tahun yang lalu), namun bagian dari lempang benua yang berbeda. Dua bagian ini bergerak mendekat akibat pergerakan lempengnya, sehingga di saat Zaman Es terakhir telah terbentuk selat besar di antara Paparan Sunda di barat dan Paparan Sahul di timur. Pulau Sulawesi dan pulau-pulau di sekitarnya mengisi ruang di antara dua bagian benua yang berseberangan. Kepulauan antara ini oleh para ahli biologi sekarang disebut sebagai Wallacea, suatu kawasan yang memiliki distribusi fauna yang unik. Situasi geologi dan geografi ini berimplikasi pada aspek topografi, iklim, kesuburan tanah, sebaran makhluk hidup (khususnya tumbuhan dan hewan), serta migrasi manusia di wilayah ini.
Bagian pertemuan Lempang Eurasia di barat, Lempeng Indo-Australia di selatan, dan Lempeng Pasifik di timur laut menjadi daerah vulkanik aktif yang memberi kekayaan mineral bagi tanah di sekitarnya sehingga sangat baik bagi pertanian, namun juga rawan gempa bumi. Pertemuan lempeng benua ini juga mengangkat sebagian dasar laut ke atas mengakibatkan adanya formasi perbukitan karst yang kaya gua di sejumlah tempat. Fosil-fosil hewan laut ditemukan di kawasan ini.
Nusantara terletak di daerah tropika, yang berarti memiliki laut hangat dan mendapat penyinaran cahaya matahari terus-menerus sepanjang tahun dengan intensitas tinggi. Situasi ini mendorong terbentuknya ekosistem yang kaya keanekaragaman makhluk hidup, baik tumbuhan maupun hewan. Lautnya hangat dan menjadi titik pertemuan dua samudera besar. Selat di antara dua bagian benua (Wallacea) merupakan bagian dari arus laut dari Samudera Hindia ke Samudera pasifik yang kaya sumberdaya laut. Terumbu karang di wilayah ini merupakan tempat dengan keanekaragaman hayati sangat tinggi. Kekayaan alam di darat dan laut mewarnai kultur awal masyarakat penghuninya. Banyak di antara penduduk asli yang hidup mengandalkan pada kekayaan laut dan membuat mereka memahami navigasi pelayaran dasar, dan kelak membantu dalam penghunian wilayah Pasifik (Oseania).
Benua Australia dan perairan Samudera Hindia dan Pasifik di sisi lain memberikan faktor variasi iklim tahunan yang penting. Nusantara dipengaruhi oleh sistem muson dengan akibat banyak tempat yang mengalami perbedaan ketersediaan air dalam setahun. Sebagian besar wilayah mengenal musim kemarau dan musim penghujan. Bagi pelaut dikenal angin barat (terjadi pada musim penghujan) dan angin timur. Pada era perdagangan antarpulau yang mengandalkan kapal ber layar, pola angin ini sangat penting dalam penjadwalan perdagangan.
Dari sudut persebaran makhluk hidup, wilayah ini merupakan titik pertemuan dua provinsi flora dan tipe fauna yang berbeda, sebagai akibat proses evolusi yang berjalan terpisah, namun kemudian bertemu. Wilayah bagian Paparan Sunda, yang selalu tidak jauh dari ekuator, memiliki fauna tipe Eurasia, sedangkan wilayah bagian Paparan Sahul di timur memiliki fauna tipe Australia. Kawasan Wallacea membentuk "jembatan" bagi percampuran dua tipe ini, namun karena agak terisolasi ia memiliki tipe yang khas. Hal ini disadari oleh sejumlah sarjana dari abad ke-19, seperti Alfred Walace, Max carl Wihelm Weber, dan Richard Lydecker. Berbeda dengan fauna, sebaran flora (tumbuhan) di wilayah ini lebih tercampur, bahkan membentuk suatu provinsi flora yang khas, berbeda dari tipe di India dan Asia Timur maupun kawasan kering Australia, yang dinamakan oleh botaniwan sebagai Malesia. Migrasi manusia kemudian mendorong persebaran flora di daerah ini lebih jauh dan juga masuknya tumbuhan dan hewan asing dari daratan Eurasia, Amerika, dan Afrika pada masa sejarah.

Pola kesatuan politik khas sejarah Asia Tenggara purba seperti ini kemudian diidentifikasi oleh sejarahwan modern sebagai "mandala", yaitu kesatuan yang politik ditentukan oleh pusat atau inti kekuasaannya daripada perbatasannya, dan dapat tersusun atas beberapa unit politik bawahan tanpa integrasi administratif lebih lanjut. Daerah-daerah bawahan yang termasuk dalam lingkup mandala Majapahit, yaitu wilayah Mancanegara dan Nusantara, umumnya memiliki pemimpin asli penguasa daerah tersebut yang menikmati kebebasan internal cukup luas. Wilayah-wilayah bawahan ini meskipun sedikit-banyak dipengaruhi Majapahit, tetap menjalankan sistem pemerintahannya sendiri tanpa terintegrasi lebih lanjut oleh kekuasaan pusat di ibu kota Majapahit. Pola kekuasaan mandala ini juga ditemukan dalam kerajaan-kerajaan sebelumnya, seperti Sriwijaya dan Angkor, serta mandala-mandala tetangga Majapahit yang sezaman; Ayutthaya dan Champa.
Berikut adalah konsep ketiga wilayah yang menjadi bagian dari kerajaan majapahit ialah yang dipengaruhi oleh letak geografis dan territorial wilayahnya sebagai berikut:

KONSEP NEGARA AGUNG
KONSEP MANCANEGARA
KONSEP NUSANTARA
KONSEP MITREKA SATATA
Negara Agung, atau Negara Utama, inti kerajaan. Area awal Majapahit atau Majapahit Lama selama masa pembentukannya sebelum memasuki era kemaharajaan. Yang termasuk area ini adalah ibukota kerajaan dan wilayah sekitarnya dimana raja secara efektif menjalankan pemerintahannya. Area ini meliputi setengah bagian timur Jawa, dengan semua provinsinya yang dikelola oleh para Bhre (bangsawan), yang merupakan kerabat dekat raja.
Mancanegara, area yang melingkupi Negara Agung. Area ini secara langsung dipengaruhi oleh kebudayaan Jawa, dan wajib membayar upeti tahunan. Akan tetapi, area-area tersebut biasanya memiliki penguasa atau raja pribumi, yang kemungkinan membentuk persekutuan atau menikah dengan keluarga kerajaan Majapahit. Kerajaan Majapahit menempatkan birokrat dan pegawainya di tempat-tempat ini dan mengatur kegiatan perdagangan luar negeri mereka dan mengumpulkan pajak, namun mereka menikmati otonomi internal yang cukup besar. Wilayah Mancanegara termasuk didalamnya seluruh daerah Pulau Jawa lainnya, Madura, Bali, dan juga Dharmasraya, Pagaruyung, Lampung, Palembang, di Sumatera.
Nusantara, adalah area yang tidak mencerminkan kebudayaan Jawa, tetapi termasuk ke dalam koloni dan mereka harus membayar upeti tahunan. Mereka menikmati otonomi yang cukup luas dan kebebasan internal, dan Majapahit tidak merasa penting untuk menempatkan birokratnya atau tentara militernya di sini; akan tetapi, tantangan apa pun yang terlihat mengancam ketuanan Majapahit atas wilayah itu akan menuai reaksi keras. Termasuk dalam area ini adalah kerajaan kecil dan koloni di Maluku, Kepulauan Nusa Tenggara, Sulawesi, Kalimantan dan Semenenjung Malaya.
Mitreka Satata, yang secara harafiah berarti "mitra dengan tatanan (aturan) yang sama". Hal itu menunjukkan negara independen luar negeri yang dianggap setara oleh Majapahit, bukan sebagai bawahan dalam kekuatan Majapahit. Menurut Negarakertagama pupuh 15, bangsa asing adalah Syangkayodhyapura (Ayutthaya di Thailand), Dharmmanagari (Kerajaan Nakhon Si Thammarat), Marutma, Rajapura dan Sinhanagari (kerajaan di Myanmar), Kerajaan Champa, Kamboja (Kamboja), dan Yawana (Annam). Mitreka Satata dapat dianggap sebagai aliansi Majapahit, karena kerajaan asing di luar negeri seperti China dan India tidak termasuk dalam kategori ini meskipun Majapahit telah melakukan hubungan luar negeri dengan kedua bangsa ini


C.    Konsep Diplomasi Kebudayaan dan Politik
1.     Diplomasi Kebudayaan Majapahit
Kesultanan-kesultanan Islam Demak, Pajang, dan Mataram berusaha mendapatkan legitimasi atas kekuasaan mereka melalui hubungan ke Majapahit. Demak menyatakan legitimasi keturunannya melalui Kertabhumi; pendirinya, Raden Patah, menurut babad-babad keraton Demak dinyatakan sebagai anak Kertabhumi dan seorang Putri Cina, yang dikirim ke luar istana sebelum ia melahirkan. Penaklukan Mataram atas Wirasaba tahun 1615 yang dipimpin langsung oleh Sultan Agung sendiri memiliki arti penting karena merupakan lokasi ibukota Majapahit. Keraton-keraton Jawa Tengah memiliki tradisi dan silsilah yang berusaha membuktikan hubungan para rajanya dengan keluarga kerajaan Majapahit — sering kali dalam bentuk makam leluhur, yang di Jawa merupakan bukti penting — dan legitimasi dianggap meningkat melalui hubungan tersebut. Bali secara khusus mendapat pengaruh besar dari Majapahit, dan masyarakat Bali menganggap diri mereka penerus sejati kebudayaan Majapahit.
Para penggerak nasionalisme Indonesia modern, termasuk mereka yang terlibat Gerakan Kebangkitan Nasional di awal abad ke-20, telah merujuk pada Majapahit, disamping Sriwijaya, sebagai contoh gemilang masa lalu Indonesia. Majapahit kadang dijadikan acuan batas politik negara Republik Indonesia saat ini. Dalam propaganda yang dijalankan tahun 1920-an, Partai Komunis Indonesia menyampaikan visinya tentang masyarakat tanpa kelas sebagai penjelmaan kembali dari Majapahit yang diromantiskan. Sukarno juga mengangkat Majapahit untuk kepentingan persatuan bangsa, sedangkan Orde baru menggunakannya untuk kepentingan perluasan dan konsolidasi kekuasaan negara. Sebagaimana Majapahit, negara Indonesia modern meliputi wilayah yang luas dan secara politik berpusat di pulau Jawa.
Beberapa simbol dan atribut kenegaraan Indonesia berasal dari elemen-elemen Majapahit. Bendera kebangsaan Indonesia Sang merah Putih  atau kadang disebut "Dwiwarna" ("dua warna"), berasal dari warna Panji Kerajaan Majapahit. Demikian pula bendera armada kapal perang TNI Angkatan Laut berupa garis-garis merah dan putih juga berasal dari warna Majapahit. Semboyan nasional Indonesia, "Bhinneka Tunggal Ika ", dikutip dari "Kakawin Sutasoma" yang ditulis oleh Mpu Tantular, seorang pujangga Majapahit.
2.     Diplomasi Kebudayaan Sriwijaya
Budaya sriwijaya Berdasarkan berbagai sumber sejarah, sebuah masyarakat yang kompleks dan kosmopolitan yang sangat dipengaruhi alam pikiran Budha Wajrayana digambarkan bersemi di ibu kota Sriwijaya. Beberapa prasasti Siddhayatra abad ke-7 seperti Prasasti talang Tuwo menggambarkan ritual Budha untuk memberkati peristiwa penuh berkah yaitu peresmian taman Sriksetra, anugerah Maharaja Sriwijaya untuk rakyatnya. Prasasti Telaga Batu menggambarkan kerumitan dan tingkatan jabatan pejabat kerajaan, sementara Prasasti Kota Kapur menyebutkan keperkasaan balatentara Sriwijaya atas Jawa. Semua prasasti ini menggunakan bahasa Melayu Kuno, leluhur bahasa Melayu dan bahasa Indonesia modern. Sejak abad ke-7, bahasa Melayu kuno telah digunakan di Nusantara. Ditandai dengan ditemukannya berbagai prasasti Sriwijaya dan beberapa prasasti berbahasa Melayu Kuno di tempat lain, seperti yang ditemukan di pulau Jawa. Hubungan dagang yang dilakukan berbagai suku bangsa Nusantara menjadi wahana penyebaran bahasa Melayu, karena bahasa ini menjadi alat komunikasi bagi kaum pedagang. Sejak saat itu, bahasa Melayu menjadi lingua franca dan digunakan secara meluas oleh banyak penutur di Kepulauan Nusantara.
Meskipun disebut memiliki kekuatan ekonomi dan keperkasaan militer, Sriwijaya hanya meninggalkan sedikit tinggalan purbakala di jantung negerinya di Sumatera. Sangat berbeda dengan episode Sriwijaya di Jawa Tengah saat kepemimpinan wangsa Syailendra yang banyak membangun monumen besar; seperti Candi Kalasan, Candi Sewu, dan Borobudur. Candi-candi Budha yang berasal dari masa Sriwijaya di Sumatera antara lain Candi Muaro Jambi, Candi Muara Takus, dan Biaro Bahal. Akan tetapi tidak seperti candi periode Jawa Tengah yang terbuat dari batu andesit, candi di Sumatera terbuat dari bata merah. Beberapa arca-arca bersifat Budhisme, seperti berbagai arca Budha yang ditemukan di Bukit Seguntang, Palembang, dan arca-arca Bodhisatwa Awalokiteswara dari Jambi, Bidor, Perak dan Chaiya, dan arca Maitreya dari Komering, Sumatera Selatan. Semua arca-arca ini menampilkan keanggunan dan langgam yang sama yang disebut "Seni Sriwijaya" atau "Langgam/Gaya Sriwijaya" yang memperlihatkan kemiripan — mungkin diilhami — oleh langgam Amarawati India dan langgam Syailendra Jawa (sekitar abad ke-8 sampai ke-9).
3.     Konsep diplomasi modern
“Diplomasi merupakan salah satu instrument penting dalam pelaksanaan politik luar negeri sebuah negara. Diplomasi bagaikan alat utama dalam pencapaian kepentingan nasional yang berkaitan dengan negara lain atau organisasi internasional. Melalui diplomasi, sebuah negara dapat membangun citra tentang dirinya dalam rangka membangun nilai tawar atau state branding” (Shoelih, 2011: 73-74). Hal yang demikian ialah kerangkan diplomasi ialah melakukan konstruks kepercayaan melalui branding internasional guna menjaga nilai-nilai positif suatu bangsa. Suatu bangsa jika melakukan citra kenegaraan dimata negara lain ditentukan oleh penawaran politik luar negeri yang memunculkan kekuatan, kesetaraan prinsip bernegara, kedaulatan negara sebagai implementasi pergaulan internasional. Sementara state branding dibangun atas kerangka nilai-nilai positif kesetaraan, drajat yang sama dan mekanisme yang logis dan bermartabat.
Kluber (2011: 75) menyatakan bahwa “diplomasi menitikberatkan aspek seni berkomunikasi, mencakup kegairahan pencetusan ide mengenai pengelolaan masalah internasional, pengendalian hubungan luar negeri, pengelolaan pertukaran informasi, baik dalam situasi damai maupun situasi perang”. Aspek dan prinsip komunikasi dalam diplomasi memunculkan serangkaian masalah-masalah yang menjadi persoalan bangsa-bangsa terkait, komunikasi merupakan prinsip pertukaran informasi yang sudah diproses, dikemas, yang didalamnya terkandung nilai-nilai persuasive dan citra sebagai isi (content) pesan. Ide besar yang dipertukarkan dalam sistem pesan yang terkemas merupakan bentuk dan cara yang mengusung nilai-nilai kesetaraan dan prinsip kedaulatan benegara.
Berikut ragam diplomasi yang dikemukakan dalam hubungan antarnegara dewasa ini:
NO
JENIS DIPLOMASI
KONSEP DIPLOMASI
1
Diplomasi borjuis-sipil
Penyelesaian kompromis yang mengutamakan pemilihan cara damai melalui negosiasi untuk mencapai tujuan saling menguntungkan dari pihak yang bermuasuhan
2
Diplomasi demokratis
Diplomasi terbuka dengan memperhatikan suara rakyat, berada pada kontrol public, kolaborasi untuk tujuan publisitas pers.
3
Diplomasi totaliter
Diplomasi nasionalisme ekstrem, pemujaan patriotism dan loyalitas kepada negara berapapun harga pengorbanannya, bersifat ideologis.
4
Diplomasi preventif
Muncul disaat konflik besar atau dalam suasana genting/darurat
5
Diplomasi provokatif
Bertujuan menyudutkan posisi suatu negara atau untuk menimbulkan sikap masyakarat internasional.
6
Diplomasi perjuangan
Diplomasi (Indonesia) untuk menghadapi situasi genting untuk mempertahankan posisinya dalam memperjuangkan hak-hak untuk mengatur urusan dalam negerinya dan menghindari campur tangan negara lain
7
Diplomasi kebudayaan
Kebudayaan dimanfaatkan  (Indonesia) sebagai sarana untuk mempererat hubungan internasional, untuk mempengaruhi dan memperbaiki sikap dan pandangan terhadap suatu negara
8
Diplomasi ekonomi
Penanaman pengaruh melalui berbicara cara bantuan ekonomi dengan mengelola sumber daya alam sebagai kepentingan ekonomi bersama
9
Diplomasi multijalur
Elemen fundamental untuk melibatkan pemerintah, NGO/LSM, agama, media massa dan rakyat

Adapun tujuan diplomasi menurut Shoelhi (2011: 89) ialah “acquisition dengan pertimbangan kebijakan, preservation: permeliharaan hubungan baik, augmentation: peningkatan kesejahteraan, proper distribustion: keseimbangan, perolehan yang adil”. Jelas sekali bahwa diplomasi bertujuan untuk mensejejarkan drajat negara-negara yang terkait kedalam persoalan. Bila dilihat dalam konteks diplomasi kebudayaan, maka konsekuensi diplomasi kesetaraan atas penghargaan dan pengakuan atas kebudayaan sebagai wahana, sebagai instrument, sebagai manifestasi nilai-nilai kultural dalam rangka memajukan kesetaraan kedaulatan negara-negara. Kebudayaan ialah bentuk norma dan nilai sosial yang didukung nilai-nilai historisitas dan latar belakang hubungan yang telah terjalin sebelaumnya. Pesan-pesan diplomasi yang ditopang nilai-nilai perdamaian, persahabatn, kerja sama, hadiah, hiba, bantuan, konsensi, perundingan atas perselisihan, ancaman, embargo, boikot, krisis hubungan, peperangan dan pendudukan.

D.   Metode Framing Media Massa Etman
Dalam artian Teori framing berbicara tentang seleksi isu yang dimasukkan ke atau dikeluarkan dari wacana. Menurut framing, dalam wacana berlangsung proses pemilihan fakta mana yang mau diangkat, fakta mana yang mau disembunyikan, atau fakta mana dihilangkan sama sekali. Wacana menurut framing terdiri dari sejumlah komponen yang diisi dengan fakta-fakta pilihan itu.
Entman (1993a) menyebut framing sebagai:
as a fractured paradigm, but like the communication field itself its interdisciplinary nature makes it attractive. When viewed as the interplay of media practices, culture, audiences, and producers, the framing approach guards against unduly compartmentalizing components of communication (sender, content, audience). As with any theoretical formulation, we must consider what aspects of the social world are better explained with its and which are obscured Framing is concerned with the way interests, communicators, sources, and culture combine to yield coherent ways of understanding the world, which are developed using all of the available verbal and visual symbolic resources. Before proceeding further, it will be helpful to propose my own working definition of framing, one that suggests a series of research questions out of its components.(Reese:2001:8).
Media memiliki peran aktif dalam menentukan isu sosial di tengah masyarakat untuk diangkat dalam meja redaksi kemudian menjadi produk jurnalistik surat kabar. Produk baca berupa informasi inilah yang berpotensi menjadi opini publik di tengah masyarakat, akan menjadi topik perbincangan hangat pada struktur masyarakat.
Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese (2001:183), memandang bahwa telah terjadi pertarungan dalam memaknai realitas dalam isi media.
Frames are organizing principles that are socially shared and persistent over time, that work symbolically to meaningfully structure the social world”.
1.     Organizing: Framing varies in how successfully, comprehensively, or completely it organizes information.
2.     Principles: the frame is based on an abstract principle and is not the same as the texts through which it manifests itself.
3.     Shared: The frame must be shared on same level for it to be significant and communicable.
4.     Persistent: The significance of frames lies in their durability, their persistent and routine use over time.
5.     Symbolically: The frame is revealed in symbolic forms of expression.
6.     Structure: Frames organize by providing identifiable patterns or structures, which can vary in their complexity (Reese:2001:183).
Terjemahan bebas sebagai berikut, pertarungan itu disebabkan oleh berbagai faktor, yaitu:
1.                        Latar belakang awak media (wartawan, editor, kamerawan, dan lainnya).
2.    Rutinitas media (media routine), yaitu mekanisme dan proses penentuan berita. Misalnya, berita hasil investigasi langsung akan berbeda dengan berita yang di beli dari kantor berita.
3.    Struktur organisasi, bahwa media adalah kumpulan berbagai job-descriptions. Misalnya bagian marketing dapat memengaruhi agar diproduksi isi media yang dapat di jual ke pasar.
4.    Kekuatan ekstramedia, yaitu lingkungan di luar media (sosial, budaya, politik, hukum, kebutuhan khalayak, agama, dan lain-lainnya). Termasuk didalamnya sumber berita, pengiklan, pemerintah dan lingkungan bisnis
5.    Ideologi (misalnya ideologi negara), yaitu kerangka berpikir atau referensi tertentu yang dipakai oleh individu untuk melihat realitas dan bagaimana mereka menghadapinya.
Cara menganalisis analisis wacana dengan framing adalah memenuhi setiap komponen framing dengan fakta (bagian naskah) yang terdapat dalam suatu naskah. Sejalan dengan hal itu terdapat beberapa varian analisis framing menurut Eriyanto (2004:67), yaitu:
1.     Komponen framing Gamson dan Modigliani: Metaphors, Exemplars, Catchphrases, Depictions, Visual images, Roots, Consequences, dan Appeals to principals.
2.     Komponen framing Pan dan Kosicki: Sintaksis (skema berita); Skrip (kelengkapan berita); Tematik (detail; koherensi; bentuk kalimat; kata ganti); Retoris (leksikon; grafis; metafora)
3.     Komponen framing Van Dijk: Summary (Headline; lead); Story (situation   and comments); Situation  (episode  and background); Comments (verbal reactions and conclussions); Episode (main events and consequences); Background (context and history); History (circumtances and previous events) dan Conclussion (expectations and evaluations)
4.     Komponen framing Robert Entman: Problem Identification, Causal Interpretation, Moral Evaluation: dan Treatment  Recommendation
5.     Komponen framing Ibnu Hamad: Perlakuan atas peristiwa (Tema yang diangkat dan Penempatan berita), Sumber yang dikutip (Nama dan atribut sosial sumber), Cara Penyajian (Pilihan fakta yang dimuat dan Struktur penyajian), dan Simbol yang dipergunakan (Verbal : kata, istilah, frase; dan Non-verbal: foto, gambar)
Dari kelima varian tersebut, menurut peneliti model Entman merupakan model yang tepat digunakan sebagai varian untuk menganalisis isi artikel berita klaim budaya Indonesia di Harian Umum Kompas. Untuk menemukan konstruksi besar tentang suatu konsep atau ide besar di balik teks. Karena dasar dari munculnya pemberitaan ini bukan berdasar pada peristiwa diplomasi dan kerja sama antarnegara. Karena itulah maka dalam kaitan dengan penyajian Surat Kabar Harian Umum Kompas peneliti mencoba melihatnya berdasarkan analisis Framing Entman dengan alasan mampu menjawab rumusan masalah peneliti. Pippa Norris dkk. menawarkan model untuk menjelaskan bagaimana seperangkat asumsi budaya seperti sistem nilai dan norma dalam masyarakat sangat berpengaruh bagi media, dengan perannya dalam menentukan bagaimana media melakukan framing pemberitaan. Model ini digunakan Norris dalam melihat bagaimana media melakukan news framing terhadap isu terorisme : (Pippa Norris dalam Dibyantari, 2003: 12)
Sumber: Pippa Norris dalam Dibyantari, 2003: 12
Dalam model tersebut, budaya sosial (social culture) menjalankan level paling luas atau umum, yaitu norma yang paling utama, nilai-nilai, dan kepercayaan dalam komunitas. Ia menjadi dasar dari keseluruhan proses. Dalam konteks luas ini, frame berita dibentuk oleh tiga faktor yaitu (1) fakta dasar di sekitar peristiwa,  (2) bagaimana peristiwa itu diinterpretasikan sumber dalam bentuk pernyataan tokoh-tokoh yang diwawancarai oleh wartawan. (3) pendapat kelompok-kelompok yang berkepentingan seperti juru bicara yang mengartikulasikan keluhan atau permintaan kelompok yang setuju, termasuk militer, keamanan, penegak hukum dan akademisi, seperti pengamat yang ahli dalam bidang yang relevan, think tank, dan kelompok yang memiliki pengalaman dalam bidang tersebut. Sumber-sumber berita yang kredibel diharapkan membentuk interpretasi dan arti dari sebuah peristiwa, dengan menyediakan cara alternatif untuk mengerti ”siapa”, ”apa” dan ”bagaimana” sehingga membentuk sense of accident.
Budaya sosial tadi, menjadi dasar bagi terbentuknya ketiga faktor diatas. Dasar bagi pemerintah dan kelompok-kelompok masyarakat dalam memberikan pandangan, serta menjadi kerangka bagi masyarakat untuk melihat sebuah peristiwa. Ketiga hal diataslah yang kemudian mempengaruhi terbentuknya frame berita. Bagaimana media mengangkat sebuah peristiwa, seperti bahasa yang digunakan untuk menggambarkan peristiwa, pilihan kata, penggambaran dalam bentuk gambar, serta pilihan orang-orang yang berkomentar dalam peristiwa tersebut

E.    Hasil Analisis
Pemilihan website kompas.com dalam pembingkaian pemberitaan dikarenakan kompas mempunyai reputasi yang positif sebagai website media online tingkat Asia. Pemberitaan Indonesia-Malaysia  tentang sejumlah klaim baru-baru ini tentang beberapa hal mengenai Indonesia-Malaysia yang didasarkan atas pemilihan artikel yang ditulis oleh beragam reporter/wartawan, beragam tokoh yang diwawancarai oleh wartawan sebagai bentuk perwakilan atas komentar dan pokok pikiran dari sejumlah tokoh yang mempunyai kredibiltas dalam bernegara, antara lain disajikan dalam bentuk matriks berikut ini:

TANGGAL PUBLIKASI/
WARTAWAN
JUDUL BERITA/
ARTIKEL
KUTIPAN KLAIM ATAS REDAKSI
Tokoh/ Jabatan
Selasa 19 Juni 2012. 21:08 WIB


Jodhi Yudono
Malaysia Klaim Tujuh Budaya Indonesia Sepanjang 2007-2012
1.   “klaim Malaysia dimulai dari November 2007 terhadap kesenian Reog Ponorogo”
2.   “selanjutnya pada Desember 2008 klaim lagu “Rasa Sayange”
3.   “lalu klaim “Batik” pada Januari 2009
4.   “tari “Pendet” Bali di klaim Malaysia pada Agustus 2009 yang muncul dalam iklan pariwisata negeri jiran tersebut”.
5.   “selanjutnya musik “Angklung” pada Maret 2010”
6.   “selain kesenian, Malaysia juga mengklaim beras asli Nunukan, Kalimantan Timur, yaitu beras adan krayan yang merupakan beras organik. Beras tersebut dijual Malaysia dengan merek Bario Rice.
7.   Yang terbaru adalah klaim Malaysia atas tari tortor dan gordang sambilan, yang merupakan kesenian asli dari Sumatera Utara.
8.   "Mereka menyatakan tidak mengklaim tari tortor, tapi hanya mencatat. Kami minta secara tertulis maksud mereka mencatat itu dalam kategori apa," kata Windu.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan


Windu Nuryanti

Dalam pemberitaan kompas.com diatas terdapat sejumlah kata propokatif yang dikontruksi oleh media dan reporter yang mengutip pernyataan wakil menteri pendidikan dan kebudayaan Republik Indonesia “Windu Nuryanti”. Judul artikel yang ditulis Jodhi Yudono memberikan kesan negatif terhadap pihak negara Malaysia, bentuk kalimat propokatif dalam judul mengkonstruksi ingatan pembaca pada sejumlah peristiwa yang hampir sama di tahun-tahun yang telah berlalu.

TANGGAL PUBLIKASI/
WARTAWAN
JUDUL BERITA/
ARTIKEL
KUTIPAN KLAIM ATAS REDAKSI
Tokoh/ Jabatan
Indra Akuntono | Lusia Kus Anna |

Selasa, 19 Juni 2012 | 17:47 WIB
Dalam 5 Tahun, Malaysia 7 Kali Klaim Budaya Indonesia
1.  “klaim Malaysia dimulai pada November 2007 terhadap kesenian Reog Ponorogo”
2.  Selanjutnya pada Desember 2008, saat itu Malaysia mengklaim lagu "Rasa Sayange",
3.  disusul dengan batik yang diklaim Malaysia pada Januari 2009
4.  "Masih ada Tari Pendet dari Bali dan alat musik angklung yang juga diklaim oleh mereka,
5.  klaim semena-mena juga dilakukan Malaysia pada Beras Adan. Padahal beras tersebut asli dari Nunukan, Kalimantan Timur, tetapi dijual Malaysia dengan merek Bario Rice.
6.  Yang terhangat adalah klaim negeri jiran atas Tari Tor-tor dan Gondang Sambilan yang merupakan kesenian asli dari Sumatera Utara
7.  Mereka menyatakan tidak mengklaim Tari Tor-tor, tapi hanya mencatat. Kami minta secara tertulis maksud mereka mencatat itu dalam kategori apa,"
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan


Windu Nuryanti

Sementara wartwan Lusia Kus dan Anna memberikan judul artikel yang sedikit lebih santun, ia menekankan konstruksi tentang Malaysia kepada keadaan citra yang negatif. Sebuah citra yang menjadikan Indonesia seakan-akan telah dizalimi oleh negara tetangga yang serumpun dalam jangkan waktu 5 tahun. Konstruksi yang didasarkan pada pernyataan yang dilakukan oleh wakil menteri pendidikan dan kebudayaan Republik Indonesia, yakni Windu Nuryanti.

TANGGAL PUBLIKASI/
WARTAWAN
JUDUL BERITA/
ARTIKEL
KUTIPAN KLAIM ATAS REDAKSI
Tokoh/ Jabatan
Jodhi Yudono | Rabu, 20 Juni 2012 | 13:50 WIB
Pengamat: Klaim Budaya karena Kurangnya Perhatian Pemerintah

1.  Klaim oleh Malaysia terhadap Tari Tor-tor berasal dari Batak terjadi karena kurangnya perhatian Pemerintah Indonesia terhadap kesenian itu.
2.  Harusnya banyaknya kejadian itu mampu membuka mata untuk melindungi seni dan budaya kita,
3.  pemerintah dapat membuka mata dan melakukan proteksi setelah klaim yang berkali-kali terjadi itu.
4.  Pemerintah hanya berkomentar untuk menolak klaim tersebut tanpa melakukan proteksi terhadap seni dan budaya Nusantara
5.  , terdapat 650 suku yang tersebar mulai dari Sabang hingga Merauke. Dari ratusan suku tersebut, di dalamnya terdapat ribuan seni dan budaya yang merupakan kekayaan tak ternilai yang dimiliki Bangsa Indonesia
6.  "Saya berharap setelah kejadian ini, hendaknya pemerintah kita melakukan penghargaan terhadap khazanah budaya yang tersebar di Nusantara
pengamat seni dan budaya Institut Kesenian Jakarta (IKJ),


Dedi Lutan

Sementara diartikel kompas.com yang ketiga, wartawan mencoba memberikan berita alternative tentang klaim Malaysia atas budaya Indonesia yang dikonstruks berdasarkan pengamat seni budaya “Dedi Lutan” IKJ yang menyatakan dan meyalahkan posisi pemerintah Indonesia. Citra pemerintah Indonesia sebagai pemerintahan yang negatif tidak mampu melindungi asset budaya bangsa. Judul artikel ini mencoba untuk menyalahkan peran dan posisi pemerintah Indonesia terhadap budaya bangsa. Wartawan yang mengkonstruksi berita ini ialah Jodhi Yudono, sebagai bentuk keseeimbangan berita yang ditulisnya terdahulu.
TANGGAL PUBLIKASI/
WARTAWAN
JUDUL BERITA/
ARTIKEL
KUTIPAN KLAIM ATAS REDAKSI
Tokoh/ Jabatan
Muhammad Hasanudin | Laksono Hari W | Minggu, 24 Juni 2012 | 16:51 WIB
Silakan Malaysia Lestarikan Tor-tor, Jangan Mengklaim

1.  Polemik tari Tor-tor yang diklaim Malaysia sebagai warisan budaya mereka terus bergulir. Banjir kecaman pun muncul dari warga asli Mandailing sebagai pemilik kesenian Tor-tor serta berbagai lapisan masyarakat di berbagai daerah di Indonesia
2.  warga Batak yang tergabung dalam Ikatan Keluarga Batak Bali (IKBB) memprotes pemerintah Malaysia dengan cara berunjuk rasa di Konsul Kehormatan di Kuta, Bali
3.  merasa keberatan jika sampai ada klaim budaya mereka oleh negara lain.
4.  Kalau nenek moyang kami membawa (kesenian) ke Malaysia, silakan dilestarikan dan dikembangkan, tapi jangan diklaim. Kami tidak rela bahwa warisan budaya bangsa kami di klaim sebagai warisan negara lain,
Penasehat IKBB,


Yusri Nasution
Muhammad Hasnudin dan Laksono Hari mencoba mengkonstruks tentang posisi Malaysia yang dianggap sebagai pihak yang tidak dipersalahkan. Ada semacam toleransi dan kesetaraan posisi berdiplomasi media. Kompas.com mulai meredam artikel-ertikel propaganda yang dilakukan para wartawannya, melalui judul artikel pemberitaan yang lebih santun. Walaupun isi berita tersebut masih memunculkan tudingan terhadap negara Malaysia, dengan menyertakan kutipan pernyataan tokoh masyarakat IKBB.

TANGGAL PUBLIKASI/
WARTAWAN
JUDUL BERITA/
ARTIKEL
KUTIPAN KLAIM ATAS REDAKSI
Tokoh/ Jabatan
Heru Margianto | Sabtu, 23 Juni 2012 | 14:07 WIB
Tor-tor, Pengakuan Malaysia atas Komunitas Mandailing

1.  masalah klaim tari Tor-tor oleh Malaysia lebih baik diselesaikan secara diplomasi antarpemerintah kedua negara.
2.  Mengenai tari Tor-tor ini, jawaban sementara dari kedutaan memang tidak ada klaim dari Malaysia atas tari Tor-tor
3.  Namun, pengakuan Pemerintah Malaysia atas komunitas Mandailing
4.  klaim yang dimaksudkan adalah pengakuan Pemerintah Malaysia atas komunitas Mandailing yang sudah lebih dari 70 tahun tinggal di negara itu, dengan jumlah anggota komunitas mencapai 50.000 orang
5.  Jadi, Malaysia mengakui keberadaan komunitas Mandailing, termasuk seninya, seperti Tor-tor yang disejajarkan dengan tarian kesenian lain, seperti barongsai dari masyarakat China, India, dan sebagainya
6.  Dengan pengakuan Malaysia atas komunitas Mandailing, termasuk seninya itu, kata dia, tarian Tor-tor boleh ditarikan di level nasional di Malaysia. "Sebab, Malaysia juga dikomposisi suku-suku dari Indonesia
7.  Padahal, masyarakat Sumatera Utara mengenal tarian Tor-tor sebagai salah satu bagian dalam upacara adat untuk menghormati para leluhur mereka. Adapun Mandailing merupakan salah satu suku di Sumatera Utara.
8.  Konsul Jenderal Malaysia di Medan, Norlin binti Othman, mengatakan, permasalahan yang muncul soal pengakuan tari Tor-tor dan Gondang Sambilan terjadi akibat kesalahpahaman dalam mengartikan kata "diperakui atau memperakui
9.  Diperakui atau memperakui di Malaysia dimaksudkan diangkat atau disahkan atau disetujui, bukan diklaim seperti yang diartikan di Indonesia. Masalah pengartian kata atau kalimat memang tampaknya sering menimbulkan masalah, tetapi dengan penegasan seperti ini, saya harap tidak ada masalah lagi,
Menteri Komunikasi dan Informatika


Tifatul Sembiring



Konsul Jenderal Malaysia di Medan,

Norlin binti Othman

Pemberitaan artikel diatas dengan pernyataan yang dikutip atas dua tokoh yang terlibat langsung dipemerintahan RI, menteri komunikasi dan informatika Tifatul Sembiring dan Norlin binti Othman sebagai perwakilan pihak Malaysia. Ada unsur kesetaraan konstruks dan cover both side pemberitaan dengan judul artikel yang lebih santun. Artikel tersebut  mencoba meredam bentuk-bentuk provokatif yang pernah dipublikasikan sebelumnya. Artikel yang ditulis oleh Heru Margianto mencoba memihak dengan santun atas apa yang dilakukan oleh pemerintah Malaysia.
TANGGAL PUBLIKASI/
WARTAWAN
JUDUL BERITA/
ARTIKEL
KUTIPAN KLAIM ATAS REDAKSI
Tokoh/ Jabatan
Imam Prihadiyoko | Marcus Suprihadi | Kamis, 21 Juni 2012 | 18:19 WIB
Soal Tortor, Pemerintah Tak Serius Urus Kebudayaan

1.   Munculnya klaim budaya Mandailing oleh Malaysia membuktikan bahwa pemerintah negeri ini tak miliki desain yang jelas terhadap strategi kebudayaan nasional
2.   Pemerintah cenderung reaktif terhadap klaim budaya oleh Negara lain
3.   klaim Malaysia atas reog ponorogo dan angklung, serta lagu rasa sayange adalah wujud lain masih reaktifnya pemerintah dalam urusan mengembangkan dan melindungi aset budaya bangsa.
4.   Disayangkan sekali belum ada peraturan berupa undang-undang yang menjadi dasar kebijakan pengembangan kebudayaan nasional. Padahal, kebudayaan nasional yang ditopang oleh kebudayaan daerah menjadi salah satu identitas nasional
5.   Pemerintah perlu melakukan diplomasi budaya ke negara-negara lain yang secara kultur dan sejarah memiliki kesamaan. Diplomasi budaya ini penting untuk menyelesaikan problem negara pasca-kolonial yang membuat sekat-sekat geografis negara nasional, sehingga memunculkan klaim-klaim historis dan budaya,
Anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera

Raihan Iskandar

Imam dan Marcus sebagai wartawan dalam pemberitaan artikel diatas mencoba untuk tidak memunculkan nada propokatif dalam pemberitaan kompas.com. namun keduanya mencoba memposisikan pihak pemerintah Republik Indonesia pasa posisi pihak yang dipermasalahkan sebagai pihak yang tidak bertanggung jawab terhadap kebudayaan Indonesia. Artikel ini memunculkan citra yang positif untuk pihak Malaysia sebagai sebuah pengakuan komunitas etnis Indonesia.

TANGGAL PUBLIKASI/
WARTAWAN
JUDUL BERITA/
ARTIKEL
KUTIPAN KLAIM ATAS REDAKSI
Tokoh/ Jabatan
Aditya Revianur | Lusia Kus Anna | Rabu, 20 Juni 2012 | 17:21 WIB

Kemendikbud akan Daftarkan Tari Tor-tor

1.  Pemerintah dalam waktu dekat ini akan melakukan kajian mendalam untuk mendaftarkan tari Tor-Tor yang merupakan budaya asli suku Batak ke Unesco
2.  mendaftarkan tari Tor-Tor ke Unesco setelah Subak dari Bali resmi menjadi warisan budaya dunia yang ditandatangani oleh Unesco
3.  pemerintah telah melalukan inventarisasi terhadap warisan budaya hingga mencapai jumlah 2107 dan jika melihat kekayaan budaya Indonesia maka jumlah tersebut akan terus bertambah
Wiendu Nuryanti,



Wamendikbud

Artikel yang ditulis oleh Aditya dan Lusia Kus yang menyertakan pernyataan wakil menteri pendiidkan dan kebudayaan mencoba mengajukan solusi atas pemberitaan klaim yang dilakukan pihak Malaysia. Ada semacam konfirmasi permasalah yang sesungguhnya dan bentuk keseriusan pemerintah Republik Indonesia atas kekayaan budaya negara.

TANGGAL PUBLIKASI/
WARTAWAN
JUDUL BERITA/
ARTIKEL
KUTIPAN KLAIM ATAS REDAKSI
Tokoh/ Jabatan
Kiki Budi Hartawan | Heru Margianto | Rabu, 20 Juni 2012 | 08:35 WIB

Bahas Tari Tor-tor, Hari Ini Komisi X DPR Panggil Wamendikbud

1.  membahas kontroversi tari Tor-tor dan alat musik Mandailing Gondang Sambilan yang diklaim Malaysia sebagai warisan kebudayaan negeri itu
2.  Menteri Penerangan Komunikasi dan Kebudayaan Datuk Seri Rais Yatim berencana mendaftarkan kedua budaya masyarakat Sumatera Utara itu dalam Seksyen 67 Akta Warisan Kebangsaan 2005
Anggota Komisi X DPR,

Reni Marlinawati

Kantor Berita Bernama



Judul artikel diatas mencoba mengkonstruks tentang dua tokoh yang berpengaruh secara sosial politik antara anggota komisi X DPR RI dengan kutipan adri kantor berita bernama (Malaysia). Kiki Budi dan Heru Margianto mencoba untuk menyajikan fakta kedua negara yang saling bertikai tentang klaim budaya. Peranan artikel ini mencoba memfasilitasi kedua bela pihak dengan prinsip kesetaraan informasi.

TANGGAL PUBLIKASI/
WARTAWAN
JUDUL BERITA/
ARTIKEL
KUTIPAN KLAIM ATAS REDAKSI
Tokoh/ Jabatan
Akuntono | Latief | Selasa, 19 Juni 2012 | 20:35 WIB
Kemdikbud Desak Malaysia Buat Pernyataan Tertulis

1.  Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mendesak Pemerintah Malaysia membuat keterangan tertulis. Desakan itu dilakukan terkait klaim atas kesenian asli Sumatera Utara, Tari Tor-tor dan Gondang Sambilan
2.  Kementerian Luar Negeri (Kemlu) telah turun tangan untuk berdiplomasi dengan Malaysia atas permasalahan klaim tersebut
3.  Berdasarkan hasil pertemuan itu diketahui, jika permasalahan ini hanya sebatas insiden dan Pemerintah Malaysia menyatakan tidak bermaksud mengklaim dua kesenian Indonesia tersebut
4.  Sampai berita ini diturunkan, belum ada penjelasan detail dari Pemerintah Malaysia terkait insiden tersebut
Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Wamendikbud) Bidang Kebudayaan,


Wiendu Nuryanti

Akuntolo Latif sebagai wartawan mencoba untuk berbuat provokatif terhadap permasalahan klaim budaya dengan mengusung judul pihak yang berwenang di Indonesia untuk segera mendesak pihak Malaysia. Upaya yang dilakukan untuk mendesar pihak negara lain ini ditopang oleh pernyataan wakil menteri pendidikan dan kebudayaan.

TANGGAL PUBLIKASI/
WARTAWAN
JUDUL BERITA/
ARTIKEL
KUTIPAN KLAIM ATAS REDAKSI
Tokoh/ Jabatan
Jodhi Yudono | Senin, 18 Juni 2012 | 16:03 WIB
KBRI: Soal Tor-tor Terjadi Kesalahpahaman

1.  Heboh tari Tor-tor dan Gondang Sambilan milik komunitas Mandailing yang akan segera diakui sebagai warisan budaya nasional Malaysia merupakan kesalahpahaman mengenai pengertian warisan dan bahasa.
2.  pihak Kementerian Penerangan, Komunikasi, Kebudayaan Malaysia dan juga Persatuan Masyarakat Mandailing di Malaysia yang memperoleh jawaban bahwa mereka tidak punya maksud untuk mengklaim tari Tor-tor dan Gondang Sambilan ini milik Malaysia.
3.  menurut ketentuan di Malaysia adalah pencatatan terhadap warisan budaya yang dimiliki oleh orang-orang Mandailing Malaysia yang asal-usulnya dari Mandailing, Sumatera Utara, Indonesia
4.  "Akta warisan kebangsaan tersebut hanya mencatat asal-usul dan bukan untuk mengklaim bahwa budaya Mandailing berasal dari Malaysia
5.  tarian tersebut akan didaftarkan di bawah Section 67 UU tentang warisan budaya nasional tahun 2005
Kepala Bidang Penerangan, Sosial, dan Budaya KBRI untuk Malaysia,

Suryana Sastradiredja

Menteri Informasi, Komunikasi, dan Kebudayaan Malaysia

Datuk Seri Dr Rais Yatim

Jodhi sebagai wartawan kompas.com yang banyak melulis pemberitaan klaim Malaysia atas sejumlah budaya Indonesia mencoba mengkonstruks citra positif pihak Malaysia dengan judul artikel yang santun tanpa ada agenda propokatif di dalamnya dengan menyuguhkan pernyataamn menteri komunikasi dan kebudayaan Malaysia.

TANGGAL PUBLIKASI/
WARTAWAN
JUDUL BERITA/
ARTIKEL
KUTIPAN KLAIM ATAS REDAKSI
Tokoh/ Jabatan
Sandro Gatra | Laksono Hari W | Senin, 18 Juni 2012 | 17:14 WIB

Semua Tahu Tor-Tor dari Tapanuli

1.  tidak ada negara lain yang bisa mengklaim bahwa tarian Tor-tor dan alat musik Gondang Sambilan (Sembilan Gendang) adalah kebudayaan miliknya
2.  tari Tor-tor dan Gondang Sambilan jelas milik daerah Tapanuli, Sumatera Utara
3.  Semua orang juga tahu tari Tor-tor itu dari Tapanuli, Batak
4.  semua pihak melihat akar masalah dari berbagai klaim kebudayaan Indonesia selama ini oleh Malaysia. Saat ini, kata dia, banyak etnis masyarakat Indonesia yang menjadi warga negara Malaysia
5.  Mungkin saja ada orang Tapanuli di daerah Malaysia, lalu mereka masih pertahankan sosial budaya mereka
Mantan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat

Akbar Tandjung




Ketua DPR


Marzuki Alie

Melalaui Sandro Gatra dan Laksono Hari, kompas.com mencoba mengkonstruksi pemberitaan klaim budaya yang dilakukan pihak Malaysia dengan mengagendakan provokasi yang dinyatakan dalam judul artikel. Hal tersebut didukung dengan pernyataan tokoh nasional Indonesia yang berasal dari Sumatera Utara tempat tari tor-tor, yakni Akbar Tanjung. Sementara ketua DPR RI yang menyatakan bahwa peengakuan atas etnis Tapanuli yang disejejarkan dengan etnis lain di Malaysia merupakan diplomatis politis pemerintah RI terhadap pihak Malaysia.

TANGGAL PUBLIKASI/
WARTAWAN
JUDUL BERITA/
ARTIKEL
KUTIPAN KLAIM ATAS REDAKSI
Tokoh/ Jabatan
Jodhi Yudono | Senin, 18 Juni 2012 | 13:48 WIB


Jangan Biarkan Malaysia Klaim Tor-tor

1.  tarian Tor-tor dan Paluan Gondang Sambilan dari Tanah Batak harus dikawal benar-benar. Jangan sampai Malaysia bisa mengklaim kedua jenis tarian tradisional Batak itu sebagai milik negara federasi Malaysia
2.  Malaysia mengembangkan kedua jenis tarian itu dan ada sinyalemen negara semenanjung yang sering mengaku "saudara serumpun Indonesia" itu akan memformalkan kedua tarian itu sebagai milik mereka
3.  "Malaysia harus memperhatikan sensitivitas rakyat Indonesia sebagai pemilik kedua tarian tradisional asli itu
4.  Kesalahan terbesar Pemerintah Malaysia adalah memformalkan. Ini tindakan provokatif dan agresif di bidang kebudayaan terhadap Indonesia. Sensitivitas Pemerintah Malaysia diperlukan karena dalam hubungan bertetangga yang mengalami pasang surut pasti publik Indonesia akan marah,
5.  Tindakan Pemerintah Malaysia pun—dalam konteks ini—tidak sejalan dengan solidaritas ASEAN dan keinginan untuk membangun masyarakat ASEAN
Pengamat hukum internasional Universitas Indonesia,


Hikmahanto Juwana

Dengan bermodalkan pernyataan pengamat hukum Internasional Hukmahanto Juwana, wartawan kompas.com Jodhi Yudono mencoba melakukan provokasi dengan judul artikelnya yang mengusung sikap ketegasan. Hal demikian mencitrakan bahwa pihak Malaysia menajdi pihak yang dicitrakan secara negatif atas pemberitaan tersebut.

TANGGAL PUBLIKASI/
WARTAWAN
JUDUL BERITA/
ARTIKEL
KUTIPAN KLAIM ATAS REDAKSI
Tokoh/ Jabatan
Sutarmi | Glori K. Wadrianto | Rabu, 20 Juni 2012 | 12:37 WIB

Sultan: Jadikan Klaim Malaysia Alat Introspeksi

1.  pengakuan Malaysia terhadap Tari Tor-Tor asal Sumatera Utara harus dijadikan sarana introspeksi bagi Bangsa Indonesia dan juga Pemerintah. Menurut Sultan, pengakuan tarian Tor-tor oleh Malaysia dapat diartikan sebagai wujud penghargaan kultural dalam kontek global.
2.  Malaysia menggunakan kultural menjadi kekuatan global, di mana Tor-tor sebagai sub kultur budaya mereka
3.  Hal ini sama halnya pengakuan Barongsai menjadi sub kultur Indonesia. Apa RRC marah, tidak kan?"
4.  Indonesia tidak menjadikan kebudayaan sendiri sebagai sebuah kekuatan. Seharusnya sebagai bangsa dan negara, Indonesia menjadikan budaya atau kultur sebagai kekuatan dalam menghadapi tantangan global. "Kita sendiri yang harus memetik itu menjadi kekuatan bangsa,"
5.  Sultan merasa prihatin, Bangsa Indonesia mulai melupakan budayanya sendiri. "Kita sendiri tidak memperdulikan budaya sendiri
Raja Yogyakarta


Sri Sultan Hamengku Buwono X

Sutarmi Glori dan Wadrianto mencoba alternative pernyataan tokoh nasional Indonesia yang sekaligus sebagai Raja Yogyakarta yang terkenal sangat peduli terhadap kebudayaan. Sultan mencoba memberikan kebijaksanaan sebagai alternative meredam pemberitaan negatif atas Malaysia. Dengan judul artikel yang mengandung kebijaksanaan tersebut sultan mengajak insstrospeksi diri bagi kita sebagai bangsa yang berbudaya.

F.    Pembahasan
1.     Diplomasi Historisitas Indonesia-Malaysia
Paradigm konstruks ke-Indonesiaan ialah secara historisitas konsep majapahit bahwa semanjung Malaya ialah bagian dari nusantara yang jika dipandang membahayakan maka akan dilakukan gerakan stabilitas dengan cara-cara militer. Konsep inilah yang kemudian menjadi bentuk ekslusivitas dan iklusivitas rakyat Indonesia yang tertanam sejak lama dan sudah menjadi warisan persepsi heroik dan bentuk nasionalisme untuk mempertahankan wilayah kesatuan nusantara. Lahirnya sentiment dan pergolakan antara Indonesia dengan Malaysia ialah bentuk-bentuk warisan kolonialisme bangsa Eropa yang berusaha untuk memisahkan semua wilayah “nusantara” menjadi negara-negara kecil (bagian) agar mudah menanamkan permusuhan dan konsep-konsep neo-kolonialisme yang akan diterapkan dalam konteks kemerdekaan modern. Dimana nilai-nilai neokolonialisme dipandang sebagai instrument dan alat politik kekuasaan di masing-masing negara jajahan yang sangat efektif.
Bila kita sebagai bangsa yang masih memegang peranan penting konsep diplomasi nusantara, Indonesia yang mewarisi lebih besar wilayah nusantara, Malaysia yang mewarisi sebagian wilayah nusantara, Singapura, Brunai Darusalam dan lain-lain. Adanya hubungan masa lalu dalam konsep nusantara yang otonom dalam sistem territorial, pemerintahan dan kebudayaan masing-masing. Nilai otonom sebagai bangsa, nilai otonom sebagai wilayah yang berdaulat dan masing-masing menghargai kekbebasan yang tidak menyingung persoalan hakiki atas suatu bangsa lain yang berdaulat, terjadi pada tahap harmonisasi kawasan.
Klaim budaya merupakan domain universal yang memerankan rasa kesadaran bernasionalisme dalam konteks ke-Indonesiaan, bahwa pengakuan atas suatu budaya, batik, angklung, reog, tari tor-tor, gendang sembilan, rending, ialah bentuk-bentuk penghinaan atas kekayaan budaya. Klaim budaya memunculkan rasa permusuhan, penghinaan dan penindasan bila dikontekstualisasikan dengan konsep nusantara yang dimunculkan oleh sejarah nusantara itu sendiri. Domain tor-tor, gendang sembilan, rendang ialah konteks semenanjung Malaysia yang masih mempunyai corak dan warna budaya yang sama. Dalam perspektif ke-Indonesiaan, wilayah bagian barat sumatera, Padang, Jambi, Lampung dan lain-lain yang langsung berhadapan dengan Samudera …. ialah wilayah yang mempunyai budaya yang berbeda dengan wilayah yang langsung berbatasan dengan Singapura dan Malaysia. Artinya, ada beberapa budaya dan hakikat kebudayaan yang secara geografi tidak bersentuhan langsung dengan pihak Malaysia, walaupun ada catatan sejarah yang menunjukan bahwa kawasan Sumatera dan negara-negara lain yang berdekatan ialah satu kesatuan etnis Melayu, dan Aceh.
Sebagai argumentasi sederhana saja, jika alat musik Melayu, dalam konteks ke-Indonesiaan melayu dimaknai sebagai suku dari orang-orang yang mendiami kawasan Riau daratan dan Kepulauan Riau, persepsi inilah yang membedakan antara etnis Melayu dan etnis-etnis lain yang mendiami beberapa kawasan lain di pulau Sumatera seperti Batak yang merupakan mayoritas etnis yang mendiami wilayah sekitar danau Toba, sumatera Utara. Artinya bila pengakuan, pencatatan budaya Melayu Riau dengan wilayah Malaysia dalam perspektif ke-Indonesiaan masih dalam tahap kewajaran dikarenakan adanya budaya yang bersentuhan langsung dengan dua kawasan tersebut. tetapi jika sudah melampaui territorial wilayah pedalaman, maka persepsi dalam konteks ke-Indonesiaan sangat tidak masuk akal dan tidak ada kompromi, jika dipaksakan maka yang terjadi ialah bentuk-bentuk konfrontasi, anarkisme dan berakibat pada peperangan sebagai bentuk nyata perwujudan nasionalisme terhadap kepemilikan budaya tersebut.
Namun disisi lain dalam konteks kesejarahan Melayu, konteks wilayah Sumatera ialah konteks wilayah melayu secara keseluruhan, dari Aceh, Sumetera Utara, Jambi, Padang, Riau, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Sumatera Selatan dan sebagainya ialah wilayah yang tergabung dalam bingkai etnis terbesar yang mendiami wilayah tersebut, yakni melayu. Dalam konteks kesejarahan inilah, hak-hak setiap wilayah untuk menghidupkan tradisi budaya secara internasional ialah hak bersama. Hak bersama ini tentunya harus dikelola dengan melibatkan semua elemen Melayu walaupun dalam konteks kekinian dipisahkan dengan kedaulatan masing-masing wilayah. Jika tidak dilakukan secara bersama-sama maka yang timbul ialah pembenaran masing-masing, dilain pihak akan menimbulkan kekecewaan, penghinaan dan pelecehan kemerdekaan berbudaya. Proses persamaan hak ini ialah dengan cara-cara yang logis dan ilmiah, antara lain:
a.   Dialog kebudayaan antar negara (Indonesia: Riau, Kepulauan Riau, Sumatera Utara, Aceh, Padang, Jambi, Bangka Belitung, Sumatera Selatan) dengan pihak (Malaysia dan Singapura, Brunai).
b.   Seminar kebudayaan, yang dilakukan untuk mencari solusi akademik mengenai masa depan budaya yang tumbuh di wilayah Indonesia (Sumatera), Singapura, Brunai dan Malaysia.
c.   Globalisasi budaya, sebagai usaha untuk mendaftarkan warisan budaya besar di kawasan tersebut sebagai bentuk kepemilikan bersama. Bukan dilakukan oleh satu negara semata tetapi dilakukan untuk sistem dan ketahan budaya bersama yang diakui secara internasional.
d.   Eksistensi kebudayaan sebagai bentuk rekonstruksi budaya besar dikawasan tersebut dalam konteks lokal wisdom. Budaya bukan dijadikan sebagai komoditas utama untuk mencapai indek pembangunan kawasan dan pariwisata. Budaya dijadikan sebagai filter terhadap nilai-nilai dan bentuk-bentuk komoditas itu sendiri. Disinilah letak ekslusivitas budaya sebagai penjaga stabilitas politik, sosial, ekonomi dan ketahanan.
Dalam konteks ke-Indonesiaan, di sisi lain, bahwa kawasan Asean ialah kawasan nusantara, makna nusantara yang dipahami oleh rakyat Indonesia ialah sebagai hiper-histori, dimana makna nusantara ialah makna totalitas dari semua kawasan Majapahit atau Sriwijaya. Pemaknaan yang hiper-histori inilah yang kemudian memandang negara lain seperti Singapura, Malaysia, dan Brunai dengan makna pengkerdilan. Rakyat Indonesia memandang kawasan atau negara tersebut ialah sebagai negara bagian dari nusantara, jika dimaknai sebagai negara bagian maka negara yang berkuasa ialah Indonesia. Artinya secara umum, Indonesia mencoba untuk meunjukan power dan kekuasaan yang diwarisi dari sejarah dalam memandang kawasan (negara lain). Indonesia tidak memandang konteks kekinian kedaulatan masing-masing kawasan (negara lain) sebagai perwujudan negara yang modern. Pemahaman inilah yang kemudian menimbulkan reaksi negatif terhadap pengakuan budaya lain yang dilakukan oleh Malaysia. Sentiment sejarah sudah melebur dalam benak rakyat Indonesia hingga apapun bentuk-bentuk pencatatan, pengakuan bahkan klaim atas budaya nusantara dimaknai sebagai usaha yang mengkredilkan posisi Indonesia.

2.     Diplomasi Media Massa Indonesia-Malaysia
Dengan menakar tentang konstruksi citra teerhadap kedua negara antara Indonesia dan Malaysia maka posisi wartawan kompas di hari-hari pertama pemberitaan melakukan konstruks citra negatif terhadap pihak Malaysia dengan sejumlah judul artikel pemberitaan yang mengandung unsur provokatif dengan mengandalkan pernyataan sepihak pihak-pihak terkait Indonesia, dan lebih di dominasi atas pernyataan wakil menteri pendidikan dan keebudayaan.
Seementara pada hari-hari berikutnya dilakukan prinsip jurnalisme yang sesuai dengan prinsip pemberitaan dengan merangkul kedua bela pihak dalam pemberitaannya. Bahkan melibatkan berbagai unsur tokoh nasional Indonesia, baik dari pihak legislative, eksekutif, partai, akademisi, tokoh dan pengamat budaya sehingga, citra Malaysia dalam pemberitaan klaim budaya lebih bersifat positif tanpa ada unsur provokatif yang dilakukan oleh pihak media.
Pada hakikatnya diplomasi yang dilakukan oleh pihak Malaysia terhadap Indonesia dalam konteks kebudayaan, hendakanya dilakukan pengkajian lebih dalam sebelum pemberitaan dipublikasikan. Apapun jenis pemberitaan yang dilakukan pihak Malaysia sebagai bentuk persuasive dan komunikasi budaya, perlunya upaya untuk melibatkan pihak-pihak budayawan Indonesia dalam penelitian dan apresiasi budaya yang dilakukan pihak Malaysia, untuk meminimalisir dan meniadakan perselisihan dan kesalahpahaman tentang redaksi, substansi, dan mekanisme diplomasi budaya yang elegan, bermartabat dan berbudaya.
Tentukan diplomasi ini dilakukan atas dasar kesetaraan, kesepadanan, yang dilakukan atas nilai-nilai historisitas Sriwijaya dan Majapahit sebagai pondasi diplomasi budaya nusantara yang pernah dilakukan beberapa abad yang lalu. Ada beberapa hal yang perlu dipahami dan di agendakan secara bersama-sama, yakni bahwa: sesuai dengan konsep nusantara dalam diplomasi bernegara, berkebudayaan. Persepsi Indonesia tentang nusantara ialah pembatasan kebudayaan Jawa yang menjadi kedaulatan suatu negara Majapahit, ialah wilayah territorial dan isinya, termasuk kebudayaan tidak bisa diakui, atas dasar hak mutlak. Sementara perspektif konsep nusantara untuk semenanjung Malaya yang meliputi pulau Sumatera, Singapura, Malaysia diberikan kebebasan kedaulatan atas dasar kesetaraan bernegara dengan konteks kebudayaan yang berbeda. Politik kebudayaan Jawa tidak bisa diintervensi dalam bentuk apapun, sementara semenanjung Malaya merupakan negara yang berdaulat atas dasar kebudayaan yang berbeda.
Konsep diplomasi bernegara dalam wilayah dan konteks historisitas ini hendaknya dijadikan modal dalam berdiplomasi antara negara-negara yang dahulu pernah bersatu atas dasar kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Konteks diplomasi Sriwijaya tentunya berbeda dengan konsep dilpomasi Majapahit. Jika konsep Majapahit menempatkan patron dan aturan yang Jawanisasi Kebudayaan pada negara agung. Maka konsep diplomasi Sriwijaya ialah atas dasar etnisitas Melayu, lebih mudah diterapkan dalam diplomasi Indonesia-Malaysia dan konteks penyebaran budaya Melayu di tiga negara bertetangga, yakni Indonesia, Malaysia dan Singapura. Diplomasi kebudayaan Sriwijaya ialah mencakup segala perkembangan kebudayaan yang hidup di pulau sumatera tetapi dengan mengusung nilai-nilai religious, kesakralan, serta sejarah panjang lahirnya kebudayaan dengan melakukan kajian, dialog, seminar, simposisum ilmiah yang melibatkan pihak Indonesia dan Malaysia secara bersama-sama atas dasar persamaan hak dan warisan budaya yang besar.

G.   Kesimpulan
Konsep diplomasi mancanegara yang dilahirkan pada zaman Majapahit hendaknya dipahami secara bersama-sama oleh kedua belah pihak aantara Indonesia dan Malaysia. Dikarenakan batas-batas negara dalam berkedaulatan ditegaskan secara nyata sebagai konsekuensi untuk berhubungan antarnegara yang dimunculkan berdasarkan konsepsi lokal kesejarahan sebagai semangat bersama untuk membangun kawasan ASEAN. Kebudayaan dan diplomasi nusantara tidak terlepas dari mekanisme memandang persamaan drajat, kesetaraan, kedaulatan territorial dan pembatasan berkebudayaan yang bersifat lokal dan universal yang terkandung disetiap nilai-nilai sacral, religious, yang terkandung di dalamnya.
Diplomasi media menjadi acuan untuk menyebarkan pesan dan prinsip-prinsip diplomasi kebudayaan Majapahit sebagai suatu pandangan terhadap persoalan klaim terhadap kekayaan budaya bangsa atas pihak lain, serta dialog, seminar, simposisum, lokakarya serta kajian ilmiah lainnya diperlukan dan dipublikasikan untuk menyatukan perspeektif kebudayaan yang sama tanpa ada perselisihan dimasa yang akan datang.

H.   Daftar Pustaka

Effendy, Amir Siregar.2010. Potret Manajemen Media di Indonesia. Yogyakarta:Prodi Komunikasi UII.
Eriyanto. 2003. Analisis Wacana Suatu Pengantar. Yogyakarta. LkiS.
Entman, Robert N. 1991. "Framing :Toward Clarification of a Fractured Paradigm" Dalam Journal of Communication, Vol.43, No.4, 1991, Hal.52-66
_______.2002. Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media. Yogyakarta:LKiS .
Davis, Howard dan Paul Walton. 2010. Bahasa, Citra, Media. Yogyakarta: Jalasutra.
Hamad, Ibnu. 2004. Konstruksi Realitas Politik Dalam Media Massa : Sebuah studi Critical Discourse Analysis terhadap Berita-berita Politik. Jakarta:Granit.
Reese, D. Stephen dkk.2001.Framing Public Life:Perspectives on Media and our Understanding of Social World. London : Lawrence Erlbaum Associates.
Sobur, Alex, (2001), Analisis Teks Media, Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya
Sudibyo, Agus. 2001. Politik Media dan Pertarungan Wacana. Yogyakarta: LKIS

Wikipedia.com

Kompas.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terima kasih. segera saya akan konfirmasi.