KONSEP BUDAYA “NUSANTARA” DALAM DIPLOMASI
INDONESIA-MALAYSIA:
Studi Framing dan Historisitas Terhadap Klaim Budaya
di Media Kompas Online Indonesia
Oleh:
Ahmad Toni
A.
Latar
Belakang
Pemberitaan
klaim atas sejumlah kekayaan warisan budaya bangsa Indonesia oleh pihak negara
serumpun Malaysia menjadi pemberitaan yang hampir menjadi headline news di
semua media di Indonesia. Dari media cetak, elektronik hingga cyber media,
media mencoba mengkonstruksi sejumlah isu besar tentang kedua negara sebagai
komoditas dan bentuk propaganda provokatif yang melahirkan kemarahan sejumlah
golongan di beberapa provinsi di Indonesia. Lahirnya pergolakan dan penolakan
terhadap segenap pihak-pihak Malaysia di Indonesia ditopang oleh gencarnya
media dalam pemberitaan klaim budaya atas tari tor-tor.
Pihak
berwenang Malaysia mencoba untuk meluruskan persoalan tentang peemberitaan
dengan berbagai upaya, namun isu media di Indonesia lebih massif daripada usaha
yang ddilakukan pihak Malaysia. Sehingga posisi Malaysia seakan-akan berada
pada pihak yang menekan, mengopresikan bangsa Indonesia. Malaysia sebagai
negara yang berdaulat teentunya akan melakukan sejumlah diplomasi kebudayaan
atas sejarah dan persinggungan budaya yang hampir sama dengan Indonesia. Adanya
beberapa etnis Indonesia di Malaysia membuktikan bahwa sejarah berpengaruh
besar terhadap kedudukan kedua negara dalam pergaulan bilateral dan
internasional.
Media
Indonesia berusaha untuk membangkitkan nilai-nilai nasionalisme sebagai agenda
bersama dalam menegaknan demokrasi, termasuk demokrasi kebudayaan. Sehingga
media mencoba mengangkat isu sensitive tersebut sebagai bagian tugasnya menjaga
kebudayaan, menjaga kedaulatan dan menjaga nilai-nilai persatuan dan kesatuan
dalam bingkai demokratisasi media. Pada hakikatnya media ialah sarana untuk
menunjukan kemerdekaan dalam berbangsa dan bernegara dengan turut serta, andil
melaksanakan prinsip-prinsip diplomasinya.
Media
dalam konteks pemberitaan klaim Malaysia atas sejumlah kebudayaan Indonesia
terkesan mengusung agenda besar untuk membangkitkan sensitivitas dan
patriotisme warga negara Indonesia dalam percaturan negara-negara ASEAN.
Pembangkitan nilai-nilai nasionalisme ini melahirkan segenap rasa sinisme
sebagian rakyat atas isu kedua negara, sebuah bentuk formasi realitas propaganda
yang dihadirkan membakar rasa keprihatinan atas pelecehan, penghinaan dan
perwujudan pemberontakan dan sikap permusuhan yang memungkinkan untuk
dilahirkan atas dasar propaganda tersebut.
Kompas
sebagai media yang dianggap kredibilitasnya dalam pemberitaan klaim budaya yang
dilakukan oleh pihak Malaysia mencoba menurunkan sejumlah artikel yang
dipublikasikan secara online melalui situs www.kompas.com.
Atas dasar itulah maka pemberitaan kompas online tersebut dilakukan analisa
dengan pendekatan framing Etman.
B.
Konsep
Historisitas Mancanegara dan Nusantara
1.
Historisitas
Sriwijaya
Dalam bahasa
Sansekertasri berarti “bercahaya” danwijaya berarti “kemenangan”. Bukti awal
mengenai keberadaan kerajaan ini berasal dari abad ke-7; seorang pendeta
Tiongkok I-tsing menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya tahun 671 dan tinggal
selama 6 bulan. Prasasti paling tua mengenai Sriwijaya juga berada pada abad
ke-7 yaitu Prasasti Kedukan Bukit di Palembang bertarikh 682. Sriwijaya (Srivijaya)
adl kerajaan maritim yg kuat di pulau Sumatera dan berpengaruh di Nusantara
daerah kekuasaan Sriwijaya meliputi Kamboja Thailand Semenanjung Malaya Sumatera Jawa Kalimantan dan
Sulawesi.
Kemunduran pengaruh
Sriwijaya terhadap daerah bawahan mulai menyusut dikarenakan beberapa
peperangandiantara serangan dari raja Dharmawangsa dari Jawa ditahun 990 dan
tahun 1025 serangan Rajendra Coladewa dari Koromandel selanjut tahun 1183
Sriwijaya dibawah kendali kerajaan Dharmasraya. Dan di akhir masa kerajaan ini
takluk di bawah kerajaan Majapahit. Sriwijaya menjadi simbol kebesaran Sumatera
awal dan kerajaan besar Nusantara selain Majapahit di Jawa Timur. Pada abad
ke-20 kedua kerajaan tersebut menjadi referensi olehkaum nasionalis utk
menunjukkan bahwa Indonesia merupakan satu kesatuan negara sebelelum
kolonialisme Belanda.Sriwijaya disebut dgn berbagai macam nama. Orang Tionghoa
menyebut Shih-li-fo-shih atau San-fo-ts’i atau San Fo Qi. Dalam bahasa
Sansekerta dan Pali kerajaan Sriwijaya disebut Yavadesh dan Javadeh. Bangsa
Arab menyebut Zabaj dan Khmer menyebut Malayu.Sementara dari peta Ptolemaeus
ditemukan keterangan tentang ada 3 pulau Sabadeibei yg berkaitan dgn Sriwijaya.
Kerajaan Sriwijaya
menjadi pusat perdagangan dan merupakan negara maritim. Negara ini tak
memperluas kekuasaan diluar wilayah kepulauan Asia Tenggara dgn pengecualian
berkontribusi utk populasi Madagaskar sejauh 3.300 mil di barat. Sekitar tahun
500 akar Sriwijaya mulai berkembang di wilayah sekitar Palembang Sumatera.
Kerajaan ini terdiri atas tiga zona utama daerah ibukota muara yg berpusatkan
Palembang lembah Sungai Musi yg berfungsi sebagai daerah pendukung dan
daerah-daerah muara saingan yg mampu menjadi pusat kekuasan saingan. Wilayah
hulu sungai Musi kaya akan berbagai komoditas yg berharga utk pedagang Tiongkok
Ibukota diperintah secara langsung oleh penguasa sementara daerah pendukung
tetap diperintah oleh datu setempat.
Ekspansi kerajaan ini ke
Jawa dan Semenanjung Malaya menjadikan Sriwijaya mengontrol dua pusat
perdagangan utama di Asia Tenggara. Berdasarkan observasi ditemukan reruntuhan
candi-candi Sriwijaya di Thailand dan Kamboja. Di abad ke-7 pelabuhan Cham di
sebelah timur Indochina mulai mengalihkan banyak pedagang dari Sriwijaya. Untuk
mencegah hal tersebut Maharaja Dharmasetu melancarkan beberapa serangan ke
kota-kota pantai di Indochina. Kota Indrapura di tepi sungai Mekong di awal
abad ke-8 berada di bawah kendali Sriwijaya. Sriwijaya meneruskan dominasi atas
Kamboja sampai raja Khmer Jayawarman II pendiri imperium Khmer memutuskan
hubungan dgn kerajaan di abad yg sama. DariPrasasti Kedukan Bukit pada tahun
682 di bawah kepemimpinan Dapunta Hyang Jayanasa Kerajaan Minanga takluk di
bawah imperium Sriwijaya. Penguasaan atas Malayu yg kaya emas telah
meningkatkan prestise kerajaan.
BerdasarkanPrasasti Kota
Kapur yg yg berangka tahun 682 dan ditemukan di pulau Bangka Pada akhir abad
ke-7 kemaharajaan ini telah menguasai bagian selatan Sumatera pulau Bangka dan
Belitung hingga Lampung. Prasasti ini juga menyebutkan bahwa Jayanasa telah
melancarkan ekspedisi militer utk menghukum Bhumi Jawa yg tak berbakti kepada
Sriwijaya peristiwa ini bersamaan dgn runtuh Tarumanagara di Jawa Barat dan
Holing (Kalingga) di Jawa Tengah yg kemungkinan besar akibat serangan
Sriwijaya. Sriwijaya tumbuh dan berhasil mengendalikan jalur perdagangan
maritim di Selat Malaka Selat Sunda Laut China Selatan Laut Jawa dan Selat
Karimata.
Abad ke-7 orang Tionghoa
mencatat bahwa terdapat dua kerajaan di Sumatera yaitu Malayu dan Kedah dan
tiga kerajaan di Jawa menjadi bagian kemaharajaan Sriwijaya. Di akhir abad ke-8
beberapa kerajaan di Jawa antara lain Tarumanegara dan Holing berada di bawah
kekuasaan Sriwijaya. Menurut catatan pada masa ini pula wangsa Melayu-Budha
Sailendra bermigrasi ke Jawa Tengah dan berkuasa disana. Di abad ini pula
Langkasuka di semenanjung Melayu menjadi bagian kerajaan. Di masa berikut Pan
Pan dan Trambralinga yg terletak di sebelah utara Langkasuka juga berada di
bawah pengaruh Sriwijaya. Di abad ke-9 wilayah kemaharajaan Sriwijaya meliputi
Sumatera Sri Lanka Semenanjung Malaya Jawa Barat Sulawesi Maluku Kalimantan dan
Filipina. Dengan penguasaan tersebut kerajaan Sriwijaya menjadi kerajaan
maritim yg hebat hingga abad ke-13. Setelah Dharmasetu Samaratungga menjadi
penerus kerajaan. Ia berkuasa pada periode 792 sampai 835. Tidak seperti
Dharmasetu yg ekspansionis Samaratungga tak melakukan ekspansi militer tetapi
lbh memilih utk memperkuat penguasaan Sriwijaya di Jawa. Selama masa
kepemimpinan ia membangun candi Borobudur di Jawa Tengah yg selesai pada tahun
825.
Ekstensi Sriwijaya
diketahui secara resmi tahun 1918 oleh sejarawan Perancis George Cœdès dari
École française d’Extrême-Orient. Sekitar tahun 1992 hingga 1993 Pierre-Yves
Manguin membuktikan bahwa pusat Sriwijaya berada di Sungai Musi antara Bukit
Seguntang dan Sabokingking (terletak di provinsi Sumatra Selatan Indonesia).
Namun Soekmono berpendapat bahwa pusat Sriwijaya terletak di provinsi Jambi
sekarang yaitu pada kawasan sehiliran Batang Hari antara Muara Sabak sampai ke
Muara Tembesi.
Dari catatan sejarah
danbukti arkeologi dinyatakan bahwa pada abad ke-9 Sriwijaya telah melakukan
kolonisasi di hampir seluruh kerajaan-kerajaan Asia Tenggara antara lain
Sumatera Jawa Semenanjung Malaya Kamboja dan Vietnam Selatan . Dominasi atas
Selat Malaka dan Selat Sunda menjadikan Sriwijaya sebagai pengendali rute
perdagangan rempah dan perdagangan lokal yg mengenakan biaya atas tiap kapal yg
lewat. Sriwijaya mengakumulasi kekayaan sebagai pelabuhan dan gudang
perdagangan yg melayani pasar Tiongkok dan India. Pada masa awalKerajaan Khmer
juga menjadi daerah jajahan Sriwijaya. Banyak sejarawan mengklaim bahwa Chaiya
di propinsi Surat Thani Thailand Selatan sebagai ibu kota terakhir kerajaan
tersebut pengaruh Sriwijaya nampak pada bangunan pagoda Borom That yg bergaya
Sriwijaya. Setelah kejatuhan Sriwijaya Chaiya terbagi menjadi tiga kota yakni
(Mueang) Chaiya Thatong (Kanchanadit) dan Khirirat Nikhom.
Sriwijaya juga
berhubungan dekat dgn kerajaan Pala di Benggala dan sebuah prasasti berangka
860 mencatat bahwa raja Balaputra mendedikasikan seorang biara kepada
Universitas Nalada Pala. Relasi dgn dinasti Chola di India selatan cukup baik
dan kemudian menjadi buruk setelah Rajendra Coladewa naik tahta dan melakukan
penyerangan di abad ke-11. Minanga merupakan kekuatan pertama yg menjadi
pesaing Sriwijaya yg akhir dapat ditaklukkan pada abad ke-7. Kerajaan Melayu
ini memiliki pertambangan emas sebagai sumber ekonomi dan kata Swarnnadwipa
(pulau emas) mungkin merujuk pada hal ini. Dan kemudian Kedah juga takluk dan
menjadi daerah bawahan.
Pada paruh pertama abad
ke-10 diantara kejatuhan dinasti Tang dan naik dinasti Song perdagangan dgn
luar negeri cukup marak terutama Fujian kerajaan Min dan negeri kaya Guangdong
kerajaan Nan Han. Tak diragukan lagi Sriwijaya mendapatkan keuntungan dari
perdagangan ini. Pada tahun 903 penulis Muslim Ibnu Batutah sangat terkesan dgn
kemakmuran Sriwijaya. Daerah urban kerajaan meliputi Palembang (khusus Bukit
Seguntang) Muara Jambi dan Kedah. Di tahun 902 Sriwijaya mengirimkan upeti ke
China. Dua tahun kemudian raja terakhir dinasti Tang menganugerahkan gelar
kepada utusan Sriwijaya. Dari literatur Tiongkok utusan itu mempunyai nama Arab
hal ini memberikan informasi bahwa pada masa-masa itu Sriwijaya sudah berhubungan
dgn Arab yg memungkinkan Sriwijaya sudah masuk pengaruh Islam di dalam
kerajaan.
Untuk memperkuat
posisinya atas penguasaan kawasan Asia Tenggara, Sriwijaya menjalin hubungan
diplomasi dengan kekaisaran Cina, dan secara teratur mengantarkan utusan beserta
upeti. Pada tahun 100 Hijriyah (718 Masehi) Maharaja Sriwijaya
bernama Sri Indrawarman mengirimkan sepucuk surat kepada Khalifah Umar bin
Abdul Aziz dari Kekhalifahan Umayyah, yang berisi permintaan kepada Khalifah
untuk mengirimkan ulama yang dapat menjelaskan ajaran dan hukum Islam
kepadanya. Dalam surat itu tertulis:
Dari Raja sekalian para
raja yang juga adalah keturunan ribuan raja, yang isterinya pun adalah cucu
dari ribuan raja, yang kebun binatangnya dipenuhi ribuan gajah, yang wilayah
kekuasaannya terdiri dari dua sungai yang mengairi tanaman lidah buaya, rempah
wangi, pala, dan jeruk nipis, yang aroma harumnya menyebar hingga 12 mil.
Kepada Raja Arab yang tidak menyembah tuhan-tuhan lain selain Allah. Aku telah
mengirimkan kepadamu bingkisan yang tak seberapa sebagai tanda persahabatan.
Kuharap engkau sudi mengutus seseorang untuk menjelaskan ajaran Islam dan
segala hukum-hukumnya kepadaku."
Peristiwa ini
membuktikan bahwa Sriwijaya telah menjalin hubungan diplomatik dengan dunia
Islam atau dunia Arab. Meskipun demikian surat ini bukanlah berarti bahwa raja
Sriwijaya telah memeluk agama Islam, melainkan hanya menunjukkan hasrat sang
raja untuk mengenal dan mempelajari berbagai hukum, budaya, dan adat-istiadat
dari berbagai rekan perniagaan dan peradaban yang dikenal Sriwijaya saat itu;
yakni Tiongkok, India, dan Timur Tengah. Pada masa awal, Kerajaan Khmer merupakan
daerah jajahan Sriwijaya. Banyak sejarawan mengklaim bahwa Chaiya, di propinsi
Surat Thani, Thailand Selatan, sebagai ibu kota kerajaan tersebut. Pengaruh
Sriwijaya nampak pada bangunan pagoda Borom That yang bergaya Sriwijaya.
Setelah kejatuhan Sriwijaya, Chaiya terbagi menjadi tiga kota yakni (Mueang)
Chaiya, Thatong (Kanchanadit), dan Khirirat Nikhom.
Sriwijaya juga
berhubungan dekat dengan kerajaan Pala di Benggala, pada prasasti Nalanda berangka
860 mencatat bahwa raja Balaputradewa mendedikasikan sebuah biara kepada Universitas
Nalanda. Relasi dengan Dinasti Chola di selatan India juga cukup baik. Dari Prasasti
Leiden disebutkan raja Sriwijaya di Kataha Sri Mara-Vijayottunggawarman telah
membangun sebuah vihara yang dinamakan dengan Vihara Culamanivarmma,
namun menjadi buruk setelah Rajendra I naik tahta yang melakukan penyerangan
pada abad ke-11. Kemudian hubungan ini kembali membaik pada masa Kulothunga
Chola I, di mana raja Sriwijaya di Kadaram mengirimkan utusan yang meminta
dikeluarkannya pengumuman pembebasan cukai pada kawasan sekitar Vihara
Culamanivarmma tersebut. Namun demikian pada masa ini Sriwijaya dianggap
telah menjadi bagian dari dinasti Chola. Kronik Tiongkok menyebutkan bahwa
Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo) sebagai raja San-fo-ts'i, membantu
perbaikan candi dekat Kanton pada tahun 1079. Pada masa dinasti Song candi ini
disebut dengan nama Tien Ching Kuan, dan pada masa dinasti Yuan disebut
dengan nama Yuan Miau Kwan.
Srimat Tribhuwanaraja
Mauli Warmadewa di Dharmasraya sebagaimana yang tertulis pada prasasti Padang
Roco. Peristiwa ini kemudian dikaitkan dengan manuskrip yang terdapat pada prasasti
Grahi. Begitu juga dalam Nagarakretagama yang menguraikan tentang daerah
jajahan Majapahit, juga sudah tidak menyebutkan lagi nama Sriwijaya untuk Pada
tahun 1079 dan 1088, catatan Cina
menunjukkan bahwa Sriwijaya mengirimkan duta besar pada Cina. Khususnya pada
tahun 1079, masing-masing duta besar tersebut mengunjungi Cina. Ini menunjukkan
bahwa ibu kota Sriwijaya selalu bergeser dari satu kota maupun kota lainnya
selama periode tersebut. Ekspedisi Chola mengubah jalur perdagangan dan
melemahkan Palembang, yang memungkinkan jambi untuk mengambil kepemimpinan
Sriwijaya pada abad ke-11.
Berdasarkan sumber
Tiongkok pada buku Chu-fan-chi yang ditulis pada tahun 1178, Chou-Ju-Kua
menerangkan bahwa di kepulauan Asia Tenggara terdapat dua kerajaan yang sangat
kuat dan kaya, yakni San-fo-ts'i dan Cho-po (Jawa). Di Jawa dia menemukan bahwa
rakyatnya memeluk agama Budha dan Hindu, sedangkan rakyat San-fo-ts'i memeluk
Budha, dan memiliki 15 daerah bawahan yang meliputi; Si-lan (kamboja), Tan-ma-ling
(Tambralingga, Ligor, selatan Thailand), Kia-lo-hi (Grahi, Chaiya sekarang,
selatan Thailand), Ling-ya-si-kia (Langkasuka), Kilantan (Kelantan),
Pong-fong (Pahang), Tong-ya-nong (Terengganu), Fo-lo-an
(muara sungai Dungun daerah Terengganu sekarang), Ji-lo-t'ing (Cherating,
pantai timur semenanjung malaya), Ts'ien-mai (Semawe, pantai timur
semenanjung malaya), Pa-t'a (Sungai Paka, pantai timur Semenanjung
Malaya), Lan-wu-li (Lamuri di Aceh), Pa-lin-fong ( Palembang), Kien-pi
(jambi), dan Sin-t'o (Sunda).
Namun demikian, istilah San-fo-tsi
terutama pada tahun 1178 tidak lagi identik dengan Sriwijaya, melainkan telah
identik dengan Dharmasraya. Dari daftar 15 negeri bawahan San-fo-tsi tersebut,
ternyata adalah wilayah jajahan Kerajaan Dharmasraya. Walaupun sumber Tiongkok
tetap menyebut San-fo-tsi sebagai kerajaan yang berada di kawasan Laut Cina
Selatan. Hal ini karena dalam Pararaton telah disebutkan Malayu. Kitab ini
mengisahkan bahwa Kertanagara raja Singhasari, mengirim sebuah ekspedisi
Pamalayu atau Pamalayu, dan kemudian menghadiahkan Arca Amoghapasa kepada
raja Melayukawasan yang sebelumnya merupakan kawasan Sriwijaya.
2.
Historisitas
Majapahit
Wilayah utama daratan
Nusantara terbentuk dari dua ujung Superbenua Pangaea di Era Mesozoikum (250
juta tahun yang lalu), namun bagian dari lempang benua yang berbeda. Dua bagian
ini bergerak mendekat akibat pergerakan lempengnya, sehingga di saat Zaman Es terakhir
telah terbentuk selat besar di antara Paparan Sunda di barat dan Paparan Sahul di
timur. Pulau Sulawesi dan pulau-pulau di sekitarnya mengisi ruang di antara dua
bagian benua yang berseberangan. Kepulauan antara ini oleh para ahli biologi
sekarang disebut sebagai Wallacea, suatu kawasan yang memiliki distribusi fauna
yang unik. Situasi geologi dan geografi ini berimplikasi pada aspek topografi,
iklim, kesuburan tanah, sebaran makhluk hidup (khususnya tumbuhan dan hewan),
serta migrasi manusia di wilayah ini.
Bagian pertemuan Lempang
Eurasia di barat, Lempeng Indo-Australia di selatan, dan Lempeng Pasifik di
timur laut menjadi daerah vulkanik aktif yang memberi kekayaan mineral bagi
tanah di sekitarnya sehingga sangat baik bagi pertanian, namun juga rawan gempa
bumi. Pertemuan lempeng benua ini juga mengangkat sebagian dasar laut ke atas
mengakibatkan adanya formasi perbukitan karst yang kaya gua di sejumlah tempat.
Fosil-fosil hewan laut ditemukan di kawasan ini.
Nusantara terletak di daerah
tropika, yang berarti memiliki laut hangat dan mendapat penyinaran cahaya
matahari terus-menerus sepanjang tahun dengan intensitas tinggi. Situasi ini
mendorong terbentuknya ekosistem yang kaya keanekaragaman makhluk hidup, baik
tumbuhan maupun hewan. Lautnya hangat dan menjadi titik pertemuan dua samudera
besar. Selat di antara dua bagian benua (Wallacea) merupakan bagian dari arus
laut dari Samudera Hindia ke Samudera pasifik yang kaya sumberdaya laut. Terumbu
karang di wilayah ini merupakan tempat dengan keanekaragaman hayati sangat
tinggi. Kekayaan alam di darat dan laut mewarnai kultur awal masyarakat
penghuninya. Banyak di antara penduduk asli yang hidup mengandalkan pada
kekayaan laut dan membuat mereka memahami navigasi pelayaran dasar, dan kelak
membantu dalam penghunian wilayah Pasifik (Oseania).
Benua Australia dan
perairan Samudera Hindia dan Pasifik di sisi lain memberikan faktor variasi
iklim tahunan yang penting. Nusantara dipengaruhi oleh sistem muson dengan
akibat banyak tempat yang mengalami perbedaan ketersediaan air dalam setahun.
Sebagian besar wilayah mengenal musim kemarau dan musim penghujan. Bagi pelaut
dikenal angin barat (terjadi pada musim penghujan) dan angin timur. Pada era
perdagangan antarpulau yang mengandalkan kapal ber layar, pola angin ini sangat
penting dalam penjadwalan perdagangan.
Dari sudut persebaran
makhluk hidup, wilayah ini merupakan titik pertemuan dua provinsi flora dan
tipe fauna yang berbeda, sebagai akibat proses evolusi yang berjalan terpisah,
namun kemudian bertemu. Wilayah bagian Paparan Sunda, yang selalu tidak jauh
dari ekuator, memiliki fauna tipe Eurasia, sedangkan wilayah bagian Paparan
Sahul di timur memiliki fauna tipe Australia. Kawasan Wallacea membentuk
"jembatan" bagi percampuran dua tipe ini, namun karena agak
terisolasi ia memiliki tipe yang khas. Hal ini disadari oleh sejumlah sarjana
dari abad ke-19, seperti Alfred Walace, Max carl Wihelm Weber, dan Richard
Lydecker. Berbeda dengan fauna, sebaran flora (tumbuhan) di wilayah ini lebih
tercampur, bahkan membentuk suatu provinsi flora yang khas, berbeda dari tipe
di India dan Asia Timur maupun kawasan kering Australia, yang dinamakan oleh
botaniwan sebagai Malesia. Migrasi manusia kemudian mendorong persebaran flora
di daerah ini lebih jauh dan juga masuknya tumbuhan dan hewan asing dari
daratan Eurasia, Amerika, dan Afrika pada masa sejarah.
Pola kesatuan politik
khas sejarah Asia Tenggara purba seperti ini kemudian diidentifikasi oleh
sejarahwan modern sebagai "mandala", yaitu kesatuan yang politik
ditentukan oleh pusat atau inti kekuasaannya daripada perbatasannya, dan dapat
tersusun atas beberapa unit politik bawahan tanpa integrasi administratif lebih
lanjut. Daerah-daerah bawahan yang termasuk dalam lingkup mandala Majapahit,
yaitu wilayah Mancanegara dan Nusantara, umumnya memiliki pemimpin asli
penguasa daerah tersebut yang menikmati kebebasan internal cukup luas.
Wilayah-wilayah bawahan ini meskipun sedikit-banyak dipengaruhi Majapahit,
tetap menjalankan sistem pemerintahannya sendiri tanpa terintegrasi lebih
lanjut oleh kekuasaan pusat di ibu kota Majapahit. Pola kekuasaan mandala ini
juga ditemukan dalam kerajaan-kerajaan sebelumnya, seperti Sriwijaya dan Angkor,
serta mandala-mandala tetangga Majapahit yang sezaman; Ayutthaya dan Champa.
Berikut adalah konsep ketiga wilayah yang
menjadi bagian dari kerajaan majapahit ialah yang dipengaruhi oleh letak
geografis dan territorial wilayahnya sebagai berikut:
KONSEP NEGARA AGUNG
|
KONSEP MANCANEGARA
|
KONSEP NUSANTARA
|
KONSEP MITREKA SATATA
|
Negara Agung, atau Negara Utama,
inti kerajaan. Area awal Majapahit atau Majapahit Lama selama masa
pembentukannya sebelum memasuki era kemaharajaan. Yang termasuk area ini
adalah ibukota kerajaan dan wilayah sekitarnya dimana raja secara efektif
menjalankan pemerintahannya. Area ini meliputi setengah bagian timur Jawa,
dengan semua provinsinya yang dikelola oleh para Bhre (bangsawan),
yang merupakan kerabat dekat raja.
|
Mancanegara, area yang melingkupi
Negara Agung. Area ini secara langsung dipengaruhi oleh kebudayaan
Jawa, dan wajib membayar upeti tahunan. Akan tetapi, area-area tersebut
biasanya memiliki penguasa atau raja pribumi, yang kemungkinan membentuk
persekutuan atau menikah dengan keluarga kerajaan Majapahit. Kerajaan
Majapahit menempatkan birokrat dan pegawainya di tempat-tempat ini dan
mengatur kegiatan perdagangan luar negeri mereka dan mengumpulkan pajak,
namun mereka menikmati otonomi internal yang cukup besar. Wilayah Mancanegara
termasuk didalamnya seluruh daerah Pulau Jawa lainnya, Madura, Bali, dan juga
Dharmasraya, Pagaruyung, Lampung, Palembang, di Sumatera.
|
Nusantara, adalah area yang
tidak mencerminkan kebudayaan Jawa, tetapi termasuk ke dalam koloni dan
mereka harus membayar upeti tahunan. Mereka menikmati otonomi yang cukup luas
dan kebebasan internal, dan Majapahit tidak merasa penting untuk menempatkan
birokratnya atau tentara militernya di sini; akan tetapi, tantangan apa pun
yang terlihat mengancam ketuanan Majapahit atas wilayah itu akan menuai
reaksi keras. Termasuk dalam area ini adalah kerajaan kecil dan koloni di
Maluku, Kepulauan Nusa Tenggara, Sulawesi, Kalimantan dan Semenenjung Malaya.
|
Mitreka Satata, yang secara harafiah
berarti "mitra dengan tatanan (aturan) yang sama". Hal itu
menunjukkan negara independen luar negeri yang dianggap setara oleh
Majapahit, bukan sebagai bawahan dalam kekuatan Majapahit. Menurut
Negarakertagama pupuh 15, bangsa asing adalah Syangkayodhyapura (Ayutthaya
di Thailand), Dharmmanagari (Kerajaan Nakhon Si Thammarat), Marutma,
Rajapura dan Sinhanagari (kerajaan di Myanmar), Kerajaan Champa,
Kamboja (Kamboja), dan Yawana (Annam). Mitreka
Satata dapat dianggap sebagai aliansi Majapahit, karena kerajaan asing di
luar negeri seperti China dan India tidak termasuk dalam kategori ini
meskipun Majapahit telah melakukan hubungan luar negeri dengan kedua bangsa
ini
|
C.
Konsep
Diplomasi Kebudayaan dan Politik
1.
Diplomasi
Kebudayaan Majapahit
Kesultanan-kesultanan
Islam Demak, Pajang, dan Mataram berusaha mendapatkan legitimasi atas kekuasaan
mereka melalui hubungan ke Majapahit. Demak menyatakan legitimasi keturunannya
melalui Kertabhumi; pendirinya, Raden Patah, menurut babad-babad keraton Demak
dinyatakan sebagai anak Kertabhumi dan seorang Putri Cina, yang dikirim
ke luar istana sebelum ia melahirkan. Penaklukan Mataram atas Wirasaba tahun
1615 yang dipimpin langsung oleh Sultan Agung sendiri memiliki arti penting
karena merupakan lokasi ibukota Majapahit. Keraton-keraton Jawa Tengah memiliki
tradisi dan silsilah yang berusaha membuktikan hubungan para rajanya dengan
keluarga kerajaan Majapahit — sering kali dalam bentuk makam leluhur, yang di
Jawa merupakan bukti penting — dan legitimasi dianggap meningkat melalui
hubungan tersebut. Bali secara khusus mendapat pengaruh besar dari Majapahit,
dan masyarakat Bali menganggap diri mereka penerus sejati kebudayaan Majapahit.
Para penggerak
nasionalisme Indonesia modern, termasuk mereka yang terlibat Gerakan
Kebangkitan Nasional di awal abad ke-20, telah merujuk pada Majapahit,
disamping Sriwijaya, sebagai contoh gemilang masa lalu Indonesia. Majapahit
kadang dijadikan acuan batas politik negara Republik Indonesia saat ini. Dalam
propaganda yang dijalankan tahun 1920-an, Partai Komunis Indonesia menyampaikan
visinya tentang masyarakat tanpa kelas sebagai penjelmaan kembali dari
Majapahit yang diromantiskan. Sukarno juga mengangkat Majapahit
untuk kepentingan persatuan bangsa, sedangkan Orde baru menggunakannya untuk
kepentingan perluasan dan konsolidasi kekuasaan negara. Sebagaimana Majapahit,
negara Indonesia modern meliputi wilayah yang luas dan secara politik berpusat
di pulau Jawa.
Beberapa simbol dan
atribut kenegaraan Indonesia berasal dari elemen-elemen Majapahit. Bendera kebangsaan
Indonesia Sang merah Putih atau
kadang disebut "Dwiwarna" ("dua warna"), berasal dari warna
Panji Kerajaan Majapahit. Demikian pula bendera armada kapal perang TNI
Angkatan Laut berupa garis-garis merah dan putih juga berasal dari warna
Majapahit. Semboyan nasional Indonesia, "Bhinneka Tunggal Ika ",
dikutip dari "Kakawin Sutasoma" yang ditulis oleh Mpu Tantular,
seorang pujangga Majapahit.
2.
Diplomasi
Kebudayaan Sriwijaya
Budaya sriwijaya
Berdasarkan berbagai sumber sejarah, sebuah masyarakat yang kompleks dan
kosmopolitan yang sangat dipengaruhi alam pikiran Budha Wajrayana digambarkan
bersemi di ibu kota Sriwijaya. Beberapa prasasti Siddhayatra abad ke-7 seperti Prasasti
talang Tuwo menggambarkan ritual Budha untuk memberkati peristiwa penuh berkah
yaitu peresmian taman Sriksetra, anugerah Maharaja Sriwijaya untuk rakyatnya. Prasasti
Telaga Batu menggambarkan kerumitan dan tingkatan jabatan pejabat kerajaan,
sementara Prasasti Kota Kapur menyebutkan keperkasaan balatentara Sriwijaya
atas Jawa. Semua prasasti ini menggunakan bahasa Melayu Kuno, leluhur bahasa
Melayu dan bahasa Indonesia modern. Sejak abad ke-7, bahasa Melayu kuno telah
digunakan di Nusantara. Ditandai dengan ditemukannya berbagai prasasti
Sriwijaya dan beberapa prasasti berbahasa Melayu Kuno di tempat lain, seperti
yang ditemukan di pulau Jawa. Hubungan dagang yang dilakukan berbagai suku
bangsa Nusantara menjadi wahana penyebaran bahasa Melayu, karena bahasa ini
menjadi alat komunikasi bagi kaum pedagang. Sejak saat itu, bahasa Melayu
menjadi lingua franca dan digunakan secara meluas oleh banyak penutur di
Kepulauan Nusantara.
Meskipun disebut
memiliki kekuatan ekonomi dan keperkasaan militer, Sriwijaya hanya meninggalkan
sedikit tinggalan purbakala di jantung negerinya di Sumatera. Sangat berbeda
dengan episode Sriwijaya di Jawa Tengah saat kepemimpinan wangsa Syailendra yang
banyak membangun monumen besar; seperti Candi Kalasan, Candi Sewu, dan Borobudur.
Candi-candi Budha yang berasal dari masa Sriwijaya di Sumatera antara lain Candi
Muaro Jambi, Candi Muara Takus, dan Biaro Bahal. Akan tetapi tidak seperti
candi periode Jawa Tengah yang terbuat dari batu andesit, candi di Sumatera
terbuat dari bata merah. Beberapa arca-arca bersifat Budhisme, seperti berbagai
arca Budha yang ditemukan di Bukit Seguntang, Palembang, dan arca-arca
Bodhisatwa Awalokiteswara dari Jambi, Bidor, Perak dan Chaiya, dan arca Maitreya
dari Komering, Sumatera Selatan. Semua arca-arca ini menampilkan keanggunan dan
langgam yang sama yang disebut "Seni Sriwijaya" atau
"Langgam/Gaya Sriwijaya" yang memperlihatkan kemiripan — mungkin
diilhami — oleh langgam Amarawati India dan langgam Syailendra Jawa (sekitar
abad ke-8 sampai ke-9).
3.
Konsep
diplomasi modern
“Diplomasi merupakan
salah satu instrument penting dalam pelaksanaan politik luar negeri sebuah
negara. Diplomasi bagaikan alat utama dalam pencapaian kepentingan nasional
yang berkaitan dengan negara lain atau organisasi internasional. Melalui
diplomasi, sebuah negara dapat membangun citra tentang dirinya dalam rangka
membangun nilai tawar atau state branding” (Shoelih, 2011: 73-74). Hal yang
demikian ialah kerangkan diplomasi ialah melakukan konstruks kepercayaan
melalui branding internasional guna menjaga nilai-nilai positif suatu bangsa.
Suatu bangsa jika melakukan citra kenegaraan dimata negara lain ditentukan oleh
penawaran politik luar negeri yang memunculkan kekuatan, kesetaraan prinsip
bernegara, kedaulatan negara sebagai implementasi pergaulan internasional.
Sementara state branding dibangun atas kerangka nilai-nilai positif kesetaraan,
drajat yang sama dan mekanisme yang logis dan bermartabat.
Kluber (2011: 75)
menyatakan bahwa “diplomasi menitikberatkan aspek seni berkomunikasi, mencakup
kegairahan pencetusan ide mengenai pengelolaan masalah internasional,
pengendalian hubungan luar negeri, pengelolaan pertukaran informasi, baik dalam
situasi damai maupun situasi perang”. Aspek dan prinsip komunikasi dalam
diplomasi memunculkan serangkaian masalah-masalah yang menjadi persoalan
bangsa-bangsa terkait, komunikasi merupakan prinsip pertukaran informasi yang
sudah diproses, dikemas, yang didalamnya terkandung nilai-nilai persuasive dan
citra sebagai isi (content) pesan. Ide besar yang dipertukarkan dalam sistem
pesan yang terkemas merupakan bentuk dan cara yang mengusung nilai-nilai
kesetaraan dan prinsip kedaulatan benegara.
Berikut ragam diplomasi
yang dikemukakan dalam hubungan antarnegara dewasa ini:
NO
|
JENIS DIPLOMASI
|
KONSEP DIPLOMASI
|
1
|
Diplomasi
borjuis-sipil
|
Penyelesaian kompromis
yang mengutamakan pemilihan cara damai melalui negosiasi untuk mencapai
tujuan saling menguntungkan dari pihak yang bermuasuhan
|
2
|
Diplomasi demokratis
|
Diplomasi terbuka
dengan memperhatikan suara rakyat, berada pada kontrol public, kolaborasi
untuk tujuan publisitas pers.
|
3
|
Diplomasi totaliter
|
Diplomasi nasionalisme
ekstrem, pemujaan patriotism dan loyalitas kepada negara berapapun harga
pengorbanannya, bersifat ideologis.
|
4
|
Diplomasi preventif
|
Muncul disaat konflik
besar atau dalam suasana genting/darurat
|
5
|
Diplomasi provokatif
|
Bertujuan menyudutkan
posisi suatu negara atau untuk menimbulkan sikap masyakarat internasional.
|
6
|
Diplomasi perjuangan
|
Diplomasi (Indonesia)
untuk menghadapi situasi genting untuk mempertahankan posisinya dalam
memperjuangkan hak-hak untuk mengatur urusan dalam negerinya dan menghindari
campur tangan negara lain
|
7
|
Diplomasi kebudayaan
|
Kebudayaan
dimanfaatkan (Indonesia) sebagai
sarana untuk mempererat hubungan internasional, untuk mempengaruhi dan
memperbaiki sikap dan pandangan terhadap suatu negara
|
8
|
Diplomasi ekonomi
|
Penanaman pengaruh
melalui berbicara cara bantuan ekonomi dengan mengelola sumber daya alam
sebagai kepentingan ekonomi bersama
|
9
|
Diplomasi multijalur
|
Elemen fundamental
untuk melibatkan pemerintah, NGO/LSM, agama, media massa dan rakyat
|
Adapun tujuan diplomasi
menurut Shoelhi (2011: 89) ialah “acquisition dengan pertimbangan kebijakan,
preservation: permeliharaan hubungan baik, augmentation: peningkatan
kesejahteraan, proper distribustion: keseimbangan, perolehan yang adil”. Jelas
sekali bahwa diplomasi bertujuan untuk mensejejarkan drajat negara-negara yang
terkait kedalam persoalan. Bila dilihat dalam konteks diplomasi kebudayaan,
maka konsekuensi diplomasi kesetaraan atas penghargaan dan pengakuan atas
kebudayaan sebagai wahana, sebagai instrument, sebagai manifestasi nilai-nilai
kultural dalam rangka memajukan kesetaraan kedaulatan negara-negara. Kebudayaan
ialah bentuk norma dan nilai sosial yang didukung nilai-nilai historisitas dan
latar belakang hubungan yang telah terjalin sebelaumnya. Pesan-pesan diplomasi
yang ditopang nilai-nilai perdamaian, persahabatn, kerja sama, hadiah, hiba,
bantuan, konsensi, perundingan atas perselisihan, ancaman, embargo, boikot,
krisis hubungan, peperangan dan pendudukan.
D.
Metode
Framing Media Massa Etman
Dalam
artian Teori framing berbicara tentang seleksi isu yang
dimasukkan ke atau dikeluarkan dari wacana. Menurut framing, dalam wacana
berlangsung proses pemilihan fakta mana yang mau diangkat, fakta mana yang mau
disembunyikan, atau fakta mana dihilangkan sama sekali. Wacana menurut framing
terdiri dari sejumlah komponen yang diisi dengan fakta-fakta pilihan itu.
Entman
(1993a) menyebut framing sebagai:
as a fractured paradigm, but like the communication field
itself its interdisciplinary nature makes it attractive. When viewed as the
interplay of media practices, culture, audiences, and producers, the framing
approach guards against unduly compartmentalizing components of communication
(sender, content, audience). As with any theoretical formulation, we must
consider what aspects of the social world are better explained with its and
which are obscured
Framing is concerned with the way
interests, communicators, sources, and culture combine to yield coherent ways
of understanding the world, which are developed using all of the available
verbal and visual symbolic resources. Before proceeding further, it will be
helpful to propose my own working definition of framing, one that suggests a
series of research questions out of its components.(Reese:2001:8).
Media memiliki peran aktif dalam
menentukan isu sosial di tengah masyarakat untuk diangkat dalam meja redaksi
kemudian menjadi produk jurnalistik surat kabar. Produk baca berupa informasi
inilah yang berpotensi menjadi opini publik di tengah masyarakat, akan menjadi
topik perbincangan hangat pada struktur masyarakat.
Pamela J. Shoemaker dan Stephen D.
Reese (2001:183), memandang bahwa telah terjadi pertarungan dalam memaknai realitas dalam
isi media.
“Frames are organizing principles that are socially shared
and persistent over time, that work symbolically to meaningfully structure the
social world”.
1.
Organizing: Framing
varies in how successfully, comprehensively, or completely it organizes
information.
2.
Principles: the frame is
based on an abstract principle and is not the same as the texts through which
it manifests itself.
3.
Shared: The frame must
be shared on same level for it to be significant and communicable.
4.
Persistent: The
significance of frames lies in their durability, their persistent and routine
use over time.
5.
Symbolically: The frame
is revealed in symbolic forms of expression.
6.
Structure: Frames
organize by providing identifiable patterns or structures, which can vary in
their complexity (Reese:2001:183).
Terjemahan bebas sebagai berikut, pertarungan itu
disebabkan oleh berbagai faktor, yaitu:
1.
Latar belakang awak media
(wartawan, editor, kamerawan, dan lainnya).
2. Rutinitas media (media routine), yaitu mekanisme dan proses penentuan berita. Misalnya, berita hasil investigasi langsung akan berbeda dengan
berita yang di beli dari kantor berita.
3. Struktur organisasi, bahwa media adalah kumpulan berbagai job-descriptions. Misalnya bagian
marketing dapat memengaruhi agar diproduksi isi media yang dapat di jual ke
pasar.
4. Kekuatan ekstramedia, yaitu lingkungan di luar media (sosial, budaya,
politik, hukum, kebutuhan khalayak, agama, dan lain-lainnya). Termasuk
didalamnya sumber berita, pengiklan, pemerintah dan lingkungan bisnis
5. Ideologi (misalnya
ideologi negara), yaitu kerangka berpikir atau referensi
tertentu yang dipakai oleh individu untuk melihat realitas dan bagaimana mereka
menghadapinya.
Cara menganalisis
analisis wacana dengan framing adalah
memenuhi setiap komponen framing dengan fakta (bagian naskah) yang terdapat
dalam suatu naskah. Sejalan dengan hal itu terdapat beberapa varian analisis framing menurut Eriyanto (2004:67),
yaitu:
1. Komponen framing Gamson dan Modigliani: Metaphors, Exemplars, Catchphrases,
Depictions, Visual images, Roots, Consequences, dan Appeals to principals.
2.
Komponen
framing Pan dan Kosicki: Sintaksis (skema berita); Skrip (kelengkapan berita);
Tematik (detail; koherensi; bentuk kalimat; kata ganti); Retoris (leksikon;
grafis; metafora)
3.
Komponen
framing Van Dijk: Summary (Headline; lead); Story (situation and comments); Situation (episode and background); Comments (verbal reactions and conclussions); Episode (main events and
consequences); Background (context and history); History (circumtances and previous events) dan Conclussion (expectations and
evaluations)
4.
Komponen
framing Robert Entman: Problem
Identification, Causal Interpretation, Moral Evaluation: dan Treatment Recommendation
5.
Komponen
framing Ibnu Hamad: Perlakuan atas peristiwa (Tema yang diangkat dan Penempatan
berita), Sumber yang dikutip (Nama dan atribut sosial sumber), Cara Penyajian
(Pilihan fakta yang dimuat dan Struktur penyajian), dan Simbol yang
dipergunakan (Verbal : kata, istilah, frase; dan Non-verbal: foto, gambar)
Dari kelima varian tersebut, menurut
peneliti model Entman merupakan model yang tepat digunakan sebagai varian untuk
menganalisis isi artikel berita
klaim budaya Indonesia di Harian Umum Kompas. Untuk
menemukan konstruksi besar tentang suatu konsep atau ide besar di balik teks.
Karena dasar dari munculnya pemberitaan ini bukan berdasar pada
peristiwa diplomasi
dan kerja sama antarnegara. Karena itulah maka dalam
kaitan dengan penyajian Surat Kabar Harian Umum Kompas peneliti mencoba
melihatnya berdasarkan analisis Framing Entman dengan alasan mampu menjawab
rumusan masalah peneliti. Pippa Norris dkk. menawarkan model untuk
menjelaskan bagaimana seperangkat asumsi budaya seperti sistem nilai dan norma
dalam masyarakat sangat berpengaruh bagi media, dengan perannya dalam
menentukan bagaimana media melakukan framing
pemberitaan. Model ini digunakan Norris dalam melihat bagaimana media
melakukan news framing terhadap isu
terorisme : (Pippa Norris dalam Dibyantari, 2003: 12)
Sumber: Pippa Norris dalam
Dibyantari, 2003: 12
Dalam model
tersebut, budaya sosial (social culture)
menjalankan level paling luas atau umum, yaitu norma yang paling utama,
nilai-nilai, dan kepercayaan dalam komunitas. Ia menjadi dasar dari keseluruhan
proses. Dalam konteks luas ini, frame
berita dibentuk oleh tiga faktor yaitu (1) fakta dasar di sekitar
peristiwa, (2) bagaimana peristiwa
itu diinterpretasikan sumber dalam bentuk pernyataan
tokoh-tokoh yang diwawancarai oleh wartawan. (3) pendapat kelompok-kelompok yang berkepentingan
seperti juru bicara yang mengartikulasikan keluhan atau permintaan kelompok
yang setuju, termasuk militer, keamanan, penegak hukum dan akademisi, seperti
pengamat yang ahli dalam bidang yang relevan, think tank, dan kelompok yang memiliki pengalaman dalam bidang
tersebut. Sumber-sumber berita yang kredibel diharapkan membentuk interpretasi
dan arti dari sebuah peristiwa, dengan menyediakan cara alternatif untuk
mengerti ”siapa”, ”apa” dan ”bagaimana” sehingga membentuk sense of accident.
Budaya sosial tadi, menjadi dasar bagi terbentuknya
ketiga faktor diatas. Dasar bagi pemerintah dan kelompok-kelompok masyarakat
dalam memberikan pandangan, serta menjadi kerangka bagi masyarakat untuk
melihat sebuah peristiwa. Ketiga
hal diataslah yang kemudian mempengaruhi terbentuknya frame berita. Bagaimana
media mengangkat sebuah peristiwa, seperti bahasa yang digunakan untuk
menggambarkan peristiwa, pilihan kata, penggambaran dalam bentuk gambar, serta
pilihan orang-orang yang berkomentar dalam peristiwa tersebut
E.
Hasil
Analisis
Pemilihan
website kompas.com dalam pembingkaian pemberitaan dikarenakan kompas mempunyai
reputasi yang positif sebagai website media online tingkat Asia. Pemberitaan
Indonesia-Malaysia tentang
sejumlah klaim baru-baru ini tentang beberapa hal mengenai Indonesia-Malaysia
yang didasarkan atas pemilihan artikel yang ditulis oleh beragam
reporter/wartawan, beragam tokoh yang diwawancarai oleh wartawan sebagai bentuk
perwakilan atas komentar dan pokok pikiran dari sejumlah tokoh yang mempunyai
kredibiltas dalam bernegara, antara lain disajikan dalam bentuk matriks berikut
ini:
TANGGAL PUBLIKASI/
WARTAWAN
|
JUDUL BERITA/
ARTIKEL
|
KUTIPAN KLAIM ATAS REDAKSI
|
Tokoh/ Jabatan
|
Selasa
19 Juni 2012. 21:08 WIB
Jodhi Yudono
|
Malaysia
Klaim Tujuh Budaya Indonesia Sepanjang 2007-2012
|
1.
“klaim Malaysia dimulai dari November 2007 terhadap
kesenian Reog Ponorogo”
2.
“selanjutnya pada Desember 2008 klaim lagu “Rasa Sayange”
3.
“lalu klaim “Batik” pada Januari 2009
4.
“tari “Pendet” Bali di klaim Malaysia pada Agustus 2009
yang muncul dalam iklan pariwisata negeri jiran tersebut”.
5.
“selanjutnya musik “Angklung” pada Maret 2010”
6.
“selain kesenian, Malaysia juga mengklaim beras asli
Nunukan, Kalimantan Timur, yaitu beras adan krayan yang merupakan beras
organik. Beras tersebut dijual Malaysia dengan merek Bario Rice.
7.
Yang terbaru adalah klaim Malaysia atas tari tortor dan
gordang sambilan, yang merupakan kesenian asli dari Sumatera Utara.
8.
"Mereka menyatakan tidak mengklaim tari tortor, tapi
hanya mencatat. Kami minta secara tertulis maksud mereka mencatat itu dalam
kategori apa," kata Windu.
|
Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan
Windu Nuryanti
|
Dalam
pemberitaan kompas.com diatas terdapat sejumlah kata propokatif yang
dikontruksi oleh media dan reporter yang mengutip pernyataan wakil menteri
pendidikan dan kebudayaan Republik Indonesia “Windu Nuryanti”. Judul artikel
yang ditulis Jodhi Yudono memberikan kesan negatif terhadap pihak negara
Malaysia, bentuk kalimat propokatif dalam judul mengkonstruksi ingatan pembaca
pada sejumlah peristiwa yang hampir sama di tahun-tahun yang telah berlalu.
TANGGAL PUBLIKASI/
WARTAWAN
|
JUDUL BERITA/
ARTIKEL
|
KUTIPAN KLAIM ATAS REDAKSI
|
Tokoh/ Jabatan
|
Indra Akuntono | Lusia Kus Anna |
Selasa, 19 Juni 2012 | 17:47 WIB
|
Dalam 5 Tahun, Malaysia 7 Kali
Klaim Budaya Indonesia
|
1.
“klaim Malaysia dimulai pada November 2007 terhadap
kesenian Reog Ponorogo”
2.
Selanjutnya pada Desember 2008, saat itu Malaysia
mengklaim lagu "Rasa Sayange",
3.
disusul dengan batik yang diklaim Malaysia pada Januari
2009
4.
"Masih ada Tari Pendet dari Bali dan alat musik
angklung yang juga diklaim oleh mereka,
5.
klaim semena-mena juga dilakukan Malaysia pada Beras Adan.
Padahal beras tersebut asli dari Nunukan, Kalimantan Timur, tetapi dijual
Malaysia dengan merek Bario Rice.
6.
Yang terhangat adalah klaim negeri jiran atas Tari Tor-tor
dan Gondang Sambilan yang merupakan kesenian asli dari Sumatera Utara
7.
Mereka menyatakan tidak mengklaim Tari Tor-tor, tapi hanya
mencatat. Kami minta secara tertulis maksud mereka mencatat itu dalam
kategori apa,"
|
Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan
Windu Nuryanti
|
Sementara
wartwan Lusia Kus dan Anna memberikan judul artikel yang sedikit lebih santun,
ia menekankan konstruksi tentang Malaysia kepada keadaan citra yang negatif.
Sebuah citra yang menjadikan Indonesia seakan-akan telah dizalimi oleh negara
tetangga yang serumpun dalam jangkan waktu 5 tahun. Konstruksi yang didasarkan
pada pernyataan yang dilakukan oleh wakil menteri pendidikan dan kebudayaan
Republik Indonesia, yakni Windu Nuryanti.
TANGGAL PUBLIKASI/
WARTAWAN
|
JUDUL BERITA/
ARTIKEL
|
KUTIPAN KLAIM ATAS REDAKSI
|
Tokoh/ Jabatan
|
Jodhi Yudono | Rabu, 20 Juni 2012
| 13:50 WIB
|
Pengamat: Klaim Budaya karena
Kurangnya Perhatian Pemerintah
|
1. Klaim oleh Malaysia
terhadap Tari Tor-tor berasal dari Batak terjadi karena kurangnya perhatian
Pemerintah Indonesia terhadap kesenian itu.
2. Harusnya banyaknya
kejadian itu mampu membuka mata untuk melindungi seni dan budaya kita,
3. pemerintah dapat
membuka mata dan melakukan proteksi setelah klaim yang berkali-kali terjadi
itu.
4. Pemerintah hanya
berkomentar untuk menolak klaim tersebut tanpa melakukan proteksi terhadap
seni dan budaya Nusantara
5. , terdapat 650 suku
yang tersebar mulai dari Sabang hingga Merauke. Dari ratusan suku tersebut,
di dalamnya terdapat ribuan seni dan budaya yang merupakan kekayaan tak
ternilai yang dimiliki Bangsa Indonesia
6. "Saya berharap
setelah kejadian ini, hendaknya pemerintah kita melakukan penghargaan
terhadap khazanah budaya yang tersebar di Nusantara
|
pengamat seni dan
budaya Institut Kesenian Jakarta (IKJ),
Dedi Lutan
|
Sementara diartikel
kompas.com yang ketiga, wartawan mencoba memberikan berita alternative tentang
klaim Malaysia atas budaya Indonesia yang dikonstruks berdasarkan pengamat seni
budaya “Dedi Lutan” IKJ yang menyatakan dan meyalahkan posisi pemerintah
Indonesia. Citra pemerintah Indonesia sebagai pemerintahan yang negatif tidak
mampu melindungi asset budaya bangsa. Judul artikel ini mencoba untuk
menyalahkan peran dan posisi pemerintah Indonesia terhadap budaya bangsa.
Wartawan yang mengkonstruksi berita ini ialah Jodhi Yudono, sebagai bentuk keseeimbangan
berita yang ditulisnya terdahulu.
TANGGAL PUBLIKASI/
WARTAWAN
|
JUDUL BERITA/
ARTIKEL
|
KUTIPAN KLAIM ATAS REDAKSI
|
Tokoh/ Jabatan
|
Muhammad Hasanudin | Laksono Hari
W | Minggu, 24 Juni 2012 | 16:51 WIB
|
Silakan Malaysia Lestarikan
Tor-tor, Jangan Mengklaim
|
1. Polemik tari Tor-tor
yang diklaim Malaysia sebagai warisan budaya mereka terus bergulir. Banjir
kecaman pun muncul dari warga asli Mandailing sebagai pemilik kesenian
Tor-tor serta berbagai lapisan masyarakat di berbagai daerah di Indonesia
2. warga Batak yang
tergabung dalam Ikatan Keluarga Batak Bali (IKBB) memprotes pemerintah
Malaysia dengan cara berunjuk rasa di Konsul Kehormatan di Kuta, Bali
3. merasa keberatan jika
sampai ada klaim budaya mereka oleh negara lain.
4. Kalau nenek moyang
kami membawa (kesenian) ke Malaysia, silakan dilestarikan dan dikembangkan,
tapi jangan diklaim. Kami tidak rela bahwa warisan budaya bangsa kami di
klaim sebagai warisan negara lain,
|
Penasehat IKBB,
Yusri Nasution
|
Muhammad Hasnudin dan
Laksono Hari mencoba mengkonstruks tentang posisi Malaysia yang dianggap
sebagai pihak yang tidak dipersalahkan. Ada semacam toleransi dan kesetaraan
posisi berdiplomasi media. Kompas.com mulai meredam artikel-ertikel propaganda
yang dilakukan para wartawannya, melalui judul artikel pemberitaan yang lebih
santun. Walaupun isi berita tersebut masih memunculkan tudingan terhadap negara
Malaysia, dengan menyertakan kutipan pernyataan tokoh masyarakat IKBB.
TANGGAL PUBLIKASI/
WARTAWAN
|
JUDUL BERITA/
ARTIKEL
|
KUTIPAN KLAIM ATAS REDAKSI
|
Tokoh/ Jabatan
|
Heru Margianto | Sabtu, 23 Juni
2012 | 14:07 WIB
|
Tor-tor, Pengakuan Malaysia atas
Komunitas Mandailing
|
1.
masalah klaim tari Tor-tor oleh Malaysia lebih baik
diselesaikan secara diplomasi antarpemerintah kedua negara.
2.
Mengenai tari Tor-tor ini, jawaban sementara dari kedutaan
memang tidak ada klaim dari Malaysia atas tari Tor-tor
3.
Namun, pengakuan Pemerintah Malaysia atas komunitas
Mandailing
4.
klaim yang dimaksudkan adalah pengakuan Pemerintah
Malaysia atas komunitas Mandailing yang sudah lebih dari 70 tahun tinggal di
negara itu, dengan jumlah anggota komunitas mencapai 50.000 orang
5.
Jadi, Malaysia mengakui keberadaan komunitas Mandailing,
termasuk seninya, seperti Tor-tor yang disejajarkan dengan tarian kesenian
lain, seperti barongsai dari masyarakat China, India, dan sebagainya
6.
Dengan pengakuan Malaysia atas komunitas Mandailing,
termasuk seninya itu, kata dia, tarian Tor-tor boleh ditarikan di level
nasional di Malaysia. "Sebab, Malaysia juga dikomposisi suku-suku dari
Indonesia
7.
Padahal, masyarakat Sumatera Utara mengenal tarian Tor-tor
sebagai salah satu bagian dalam upacara adat untuk menghormati para leluhur
mereka. Adapun Mandailing merupakan salah satu suku di Sumatera Utara.
8.
Konsul Jenderal Malaysia di Medan, Norlin binti Othman,
mengatakan, permasalahan yang muncul soal pengakuan tari Tor-tor dan Gondang
Sambilan terjadi akibat kesalahpahaman dalam mengartikan kata "diperakui
atau memperakui
9.
Diperakui atau memperakui di Malaysia dimaksudkan diangkat
atau disahkan atau disetujui, bukan diklaim seperti yang diartikan di
Indonesia. Masalah pengartian kata atau kalimat memang tampaknya sering
menimbulkan masalah, tetapi dengan penegasan seperti ini, saya harap tidak
ada masalah lagi,
|
Menteri Komunikasi dan
Informatika
Tifatul Sembiring
Konsul Jenderal
Malaysia di Medan,
Norlin binti Othman
|
Pemberitaan artikel diatas dengan pernyataan
yang dikutip atas dua tokoh yang terlibat langsung dipemerintahan RI, menteri
komunikasi dan informatika Tifatul Sembiring dan Norlin binti Othman sebagai
perwakilan pihak Malaysia. Ada unsur kesetaraan konstruks dan cover both side
pemberitaan dengan judul artikel yang lebih santun. Artikel tersebut mencoba meredam bentuk-bentuk
provokatif yang pernah dipublikasikan sebelumnya. Artikel yang ditulis oleh
Heru Margianto mencoba memihak dengan santun atas apa yang dilakukan oleh
pemerintah Malaysia.
TANGGAL PUBLIKASI/
WARTAWAN
|
JUDUL BERITA/
ARTIKEL
|
KUTIPAN KLAIM ATAS REDAKSI
|
Tokoh/ Jabatan
|
Imam Prihadiyoko | Marcus
Suprihadi | Kamis, 21 Juni 2012 | 18:19 WIB
|
Soal Tortor, Pemerintah Tak Serius
Urus Kebudayaan
|
1.
Munculnya klaim budaya Mandailing oleh Malaysia
membuktikan bahwa pemerintah negeri ini tak miliki desain yang jelas terhadap
strategi kebudayaan nasional
2.
Pemerintah cenderung reaktif terhadap klaim budaya oleh
Negara lain
3.
klaim Malaysia atas reog ponorogo dan angklung, serta lagu
rasa sayange adalah wujud lain masih reaktifnya pemerintah dalam urusan
mengembangkan dan melindungi aset budaya bangsa.
4.
Disayangkan sekali belum ada peraturan berupa undang-undang
yang menjadi dasar kebijakan pengembangan kebudayaan nasional. Padahal,
kebudayaan nasional yang ditopang oleh kebudayaan daerah menjadi salah satu
identitas nasional
5.
Pemerintah perlu melakukan diplomasi budaya ke
negara-negara lain yang secara kultur dan sejarah memiliki kesamaan.
Diplomasi budaya ini penting untuk menyelesaikan problem negara
pasca-kolonial yang membuat sekat-sekat geografis negara nasional, sehingga
memunculkan klaim-klaim historis dan budaya,
|
Anggota Fraksi Partai
Keadilan Sejahtera
Raihan Iskandar
|
Imam dan
Marcus sebagai wartawan dalam pemberitaan artikel diatas mencoba untuk tidak
memunculkan nada propokatif dalam pemberitaan kompas.com. namun keduanya
mencoba memposisikan pihak pemerintah Republik Indonesia pasa posisi pihak yang
dipermasalahkan sebagai pihak yang tidak bertanggung jawab terhadap kebudayaan
Indonesia. Artikel ini memunculkan citra yang positif untuk pihak Malaysia
sebagai sebuah pengakuan komunitas etnis Indonesia.
TANGGAL PUBLIKASI/
WARTAWAN
|
JUDUL BERITA/
ARTIKEL
|
KUTIPAN KLAIM ATAS REDAKSI
|
Tokoh/ Jabatan
|
Aditya Revianur | Lusia Kus Anna |
Rabu, 20 Juni 2012 | 17:21 WIB
|
Kemendikbud akan Daftarkan Tari
Tor-tor
|
1.
Pemerintah dalam waktu dekat ini akan melakukan kajian
mendalam untuk mendaftarkan tari Tor-Tor yang merupakan budaya asli suku
Batak ke Unesco
2.
mendaftarkan tari Tor-Tor ke Unesco setelah Subak dari
Bali resmi menjadi warisan budaya dunia yang ditandatangani oleh Unesco
3.
pemerintah telah melalukan inventarisasi terhadap warisan
budaya hingga mencapai jumlah 2107 dan jika melihat kekayaan budaya Indonesia
maka jumlah tersebut akan terus bertambah
|
Wiendu Nuryanti,
Wamendikbud
|
Artikel
yang ditulis oleh Aditya dan Lusia Kus yang menyertakan pernyataan wakil
menteri pendiidkan dan kebudayaan mencoba mengajukan solusi atas pemberitaan
klaim yang dilakukan pihak Malaysia. Ada semacam konfirmasi permasalah yang
sesungguhnya dan bentuk keseriusan pemerintah Republik Indonesia atas kekayaan
budaya negara.
TANGGAL PUBLIKASI/
WARTAWAN
|
JUDUL BERITA/
ARTIKEL
|
KUTIPAN KLAIM ATAS REDAKSI
|
Tokoh/ Jabatan
|
Kiki Budi Hartawan | Heru
Margianto | Rabu, 20 Juni 2012 | 08:35 WIB
|
Bahas Tari Tor-tor, Hari Ini
Komisi X DPR Panggil Wamendikbud
|
1. membahas kontroversi
tari Tor-tor dan alat musik Mandailing Gondang Sambilan yang diklaim Malaysia
sebagai warisan kebudayaan negeri itu
2. Menteri Penerangan
Komunikasi dan Kebudayaan Datuk Seri Rais Yatim berencana mendaftarkan kedua
budaya masyarakat Sumatera Utara itu dalam Seksyen 67 Akta Warisan Kebangsaan
2005
|
Anggota Komisi X DPR,
Reni Marlinawati
Kantor Berita Bernama
|
Judul
artikel diatas mencoba mengkonstruks tentang dua tokoh yang berpengaruh secara
sosial politik antara anggota komisi X DPR RI dengan kutipan adri kantor berita
bernama (Malaysia). Kiki Budi dan Heru Margianto mencoba untuk menyajikan fakta
kedua negara yang saling bertikai tentang klaim budaya. Peranan artikel ini
mencoba memfasilitasi kedua bela pihak dengan prinsip kesetaraan informasi.
TANGGAL PUBLIKASI/
WARTAWAN
|
JUDUL BERITA/
ARTIKEL
|
KUTIPAN KLAIM ATAS REDAKSI
|
Tokoh/ Jabatan
|
Akuntono | Latief | Selasa, 19
Juni 2012 | 20:35 WIB
|
Kemdikbud Desak Malaysia Buat
Pernyataan Tertulis
|
1. Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan mendesak Pemerintah Malaysia membuat keterangan tertulis. Desakan
itu dilakukan terkait klaim atas kesenian asli Sumatera Utara, Tari Tor-tor
dan Gondang Sambilan
2. Kementerian Luar Negeri (Kemlu) telah turun tangan untuk
berdiplomasi dengan Malaysia atas permasalahan klaim tersebut
3. Berdasarkan hasil pertemuan itu diketahui, jika
permasalahan ini hanya sebatas insiden dan Pemerintah Malaysia menyatakan
tidak bermaksud mengklaim dua kesenian Indonesia tersebut
4. Sampai berita ini diturunkan, belum ada penjelasan detail
dari Pemerintah Malaysia terkait insiden tersebut
|
Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Wamendikbud)
Bidang Kebudayaan,
Wiendu Nuryanti
|
Akuntolo
Latif sebagai wartawan mencoba untuk berbuat provokatif terhadap permasalahan
klaim budaya dengan mengusung judul pihak yang berwenang di Indonesia untuk
segera mendesak pihak Malaysia. Upaya yang dilakukan untuk mendesar pihak
negara lain ini ditopang oleh pernyataan wakil menteri pendidikan dan
kebudayaan.
TANGGAL
PUBLIKASI/
WARTAWAN
|
JUDUL
BERITA/
ARTIKEL
|
KUTIPAN
KLAIM ATAS REDAKSI
|
Tokoh/ Jabatan
|
Jodhi Yudono | Senin, 18 Juni 2012
| 16:03 WIB
|
KBRI: Soal Tor-tor Terjadi
Kesalahpahaman
|
1. Heboh tari Tor-tor dan
Gondang Sambilan milik komunitas Mandailing yang akan segera diakui sebagai
warisan budaya nasional Malaysia merupakan kesalahpahaman mengenai pengertian
warisan dan bahasa.
2. pihak Kementerian
Penerangan, Komunikasi, Kebudayaan Malaysia dan juga Persatuan Masyarakat
Mandailing di Malaysia yang memperoleh jawaban bahwa mereka tidak punya
maksud untuk mengklaim tari Tor-tor dan Gondang Sambilan ini milik Malaysia.
3. menurut ketentuan di
Malaysia adalah pencatatan terhadap warisan budaya yang dimiliki oleh
orang-orang Mandailing Malaysia yang asal-usulnya dari Mandailing, Sumatera
Utara, Indonesia
4. "Akta warisan
kebangsaan tersebut hanya mencatat asal-usul dan bukan untuk mengklaim bahwa
budaya Mandailing berasal dari Malaysia
5. tarian tersebut akan
didaftarkan di bawah Section 67 UU tentang warisan budaya nasional tahun 2005
|
Kepala Bidang
Penerangan, Sosial, dan Budaya KBRI untuk Malaysia,
Suryana Sastradiredja
Menteri Informasi,
Komunikasi, dan Kebudayaan Malaysia
Datuk Seri Dr Rais
Yatim
|
Jodhi
sebagai wartawan kompas.com yang banyak melulis pemberitaan klaim Malaysia atas
sejumlah budaya Indonesia mencoba mengkonstruks citra positif pihak Malaysia
dengan judul artikel yang santun tanpa ada agenda propokatif di dalamnya dengan
menyuguhkan pernyataamn menteri komunikasi dan kebudayaan Malaysia.
TANGGAL PUBLIKASI/
WARTAWAN
|
JUDUL BERITA/
ARTIKEL
|
KUTIPAN KLAIM ATAS REDAKSI
|
Tokoh/ Jabatan
|
Sandro Gatra | Laksono Hari W |
Senin, 18 Juni 2012 | 17:14 WIB
|
Semua Tahu Tor-Tor dari Tapanuli
|
1. tidak ada negara lain
yang bisa mengklaim bahwa tarian Tor-tor dan alat musik Gondang Sambilan
(Sembilan Gendang) adalah kebudayaan miliknya
2. tari Tor-tor dan
Gondang Sambilan jelas milik daerah Tapanuli, Sumatera Utara
3. Semua orang juga tahu
tari Tor-tor itu dari Tapanuli, Batak
4. semua pihak melihat
akar masalah dari berbagai klaim kebudayaan Indonesia selama ini oleh
Malaysia. Saat ini, kata dia, banyak etnis masyarakat Indonesia yang menjadi
warga negara Malaysia
5. Mungkin saja ada orang
Tapanuli di daerah Malaysia, lalu mereka masih pertahankan sosial budaya
mereka
|
Mantan Ketua Dewan
Perwakilan Rakyat
Akbar Tandjung
Ketua DPR
Marzuki Alie
|
Melalaui
Sandro Gatra dan Laksono Hari, kompas.com mencoba mengkonstruksi pemberitaan
klaim budaya yang dilakukan pihak Malaysia dengan mengagendakan provokasi yang
dinyatakan dalam judul artikel. Hal tersebut didukung dengan pernyataan tokoh
nasional Indonesia yang berasal dari Sumatera Utara tempat tari tor-tor, yakni
Akbar Tanjung. Sementara ketua DPR RI yang menyatakan bahwa peengakuan atas
etnis Tapanuli yang disejejarkan dengan etnis lain di Malaysia merupakan
diplomatis politis pemerintah RI terhadap pihak Malaysia.
TANGGAL PUBLIKASI/
WARTAWAN
|
JUDUL BERITA/
ARTIKEL
|
KUTIPAN KLAIM ATAS REDAKSI
|
Tokoh/ Jabatan
|
Jodhi Yudono | Senin, 18 Juni 2012
| 13:48 WIB
|
Jangan Biarkan Malaysia Klaim
Tor-tor
|
1. tarian Tor-tor dan
Paluan Gondang Sambilan dari Tanah Batak harus dikawal benar-benar. Jangan
sampai Malaysia bisa mengklaim kedua jenis tarian tradisional Batak itu
sebagai milik negara federasi Malaysia
2. Malaysia mengembangkan
kedua jenis tarian itu dan ada sinyalemen negara semenanjung yang sering
mengaku "saudara serumpun Indonesia" itu akan memformalkan kedua
tarian itu sebagai milik mereka
3. "Malaysia harus
memperhatikan sensitivitas rakyat Indonesia sebagai pemilik kedua tarian
tradisional asli itu
4. Kesalahan terbesar
Pemerintah Malaysia adalah memformalkan. Ini tindakan provokatif dan agresif
di bidang kebudayaan terhadap Indonesia. Sensitivitas Pemerintah Malaysia
diperlukan karena dalam hubungan bertetangga yang mengalami pasang surut
pasti publik Indonesia akan marah,
5. Tindakan Pemerintah
Malaysia pun—dalam konteks ini—tidak sejalan dengan solidaritas ASEAN dan
keinginan untuk membangun masyarakat ASEAN
|
Pengamat hukum
internasional Universitas Indonesia,
Hikmahanto Juwana
|
Dengan
bermodalkan pernyataan pengamat hukum Internasional Hukmahanto Juwana, wartawan
kompas.com Jodhi Yudono mencoba melakukan provokasi dengan judul artikelnya
yang mengusung sikap ketegasan. Hal demikian mencitrakan bahwa pihak Malaysia
menajdi pihak yang dicitrakan secara negatif atas pemberitaan tersebut.
TANGGAL PUBLIKASI/
WARTAWAN
|
JUDUL BERITA/
ARTIKEL
|
KUTIPAN KLAIM ATAS REDAKSI
|
Tokoh/ Jabatan
|
Sutarmi | Glori K. Wadrianto |
Rabu, 20 Juni 2012 | 12:37 WIB
|
Sultan: Jadikan Klaim Malaysia
Alat Introspeksi
|
1.
pengakuan Malaysia terhadap Tari Tor-Tor asal Sumatera
Utara harus dijadikan sarana introspeksi bagi Bangsa Indonesia dan juga
Pemerintah. Menurut Sultan, pengakuan tarian Tor-tor oleh Malaysia dapat
diartikan sebagai wujud penghargaan kultural dalam kontek global.
2.
Malaysia menggunakan kultural menjadi kekuatan global, di
mana Tor-tor sebagai sub kultur budaya mereka
3.
Hal ini sama halnya pengakuan Barongsai menjadi sub kultur
Indonesia. Apa RRC marah, tidak kan?"
4.
Indonesia tidak menjadikan kebudayaan sendiri sebagai
sebuah kekuatan. Seharusnya sebagai bangsa dan negara, Indonesia menjadikan
budaya atau kultur sebagai kekuatan dalam menghadapi tantangan global.
"Kita sendiri yang harus memetik itu menjadi kekuatan bangsa,"
5.
Sultan merasa prihatin, Bangsa Indonesia mulai melupakan
budayanya sendiri. "Kita sendiri tidak memperdulikan budaya sendiri
|
Raja Yogyakarta
Sri Sultan Hamengku
Buwono X
|
Sutarmi
Glori dan Wadrianto mencoba alternative pernyataan tokoh nasional Indonesia
yang sekaligus sebagai Raja Yogyakarta yang terkenal sangat peduli terhadap
kebudayaan. Sultan mencoba memberikan kebijaksanaan sebagai alternative meredam
pemberitaan negatif atas Malaysia. Dengan judul artikel yang mengandung
kebijaksanaan tersebut sultan mengajak insstrospeksi diri bagi kita sebagai
bangsa yang berbudaya.
F.
Pembahasan
1.
Diplomasi
Historisitas Indonesia-Malaysia
Paradigm
konstruks ke-Indonesiaan ialah secara historisitas konsep majapahit bahwa
semanjung Malaya ialah bagian dari nusantara yang jika dipandang membahayakan
maka akan dilakukan gerakan stabilitas dengan cara-cara militer. Konsep inilah
yang kemudian menjadi bentuk ekslusivitas dan iklusivitas rakyat Indonesia yang
tertanam sejak lama dan sudah menjadi warisan persepsi heroik dan bentuk
nasionalisme untuk mempertahankan wilayah kesatuan nusantara. Lahirnya
sentiment dan pergolakan antara Indonesia dengan Malaysia ialah bentuk-bentuk
warisan kolonialisme bangsa Eropa yang berusaha untuk memisahkan semua wilayah
“nusantara” menjadi negara-negara kecil (bagian) agar mudah menanamkan
permusuhan dan konsep-konsep neo-kolonialisme yang akan diterapkan dalam konteks
kemerdekaan modern. Dimana nilai-nilai neokolonialisme dipandang sebagai
instrument dan alat politik kekuasaan di masing-masing negara jajahan yang
sangat efektif.
Bila kita
sebagai bangsa yang masih memegang peranan penting konsep diplomasi nusantara,
Indonesia yang mewarisi lebih besar wilayah nusantara, Malaysia yang mewarisi
sebagian wilayah nusantara, Singapura, Brunai Darusalam dan lain-lain. Adanya
hubungan masa lalu dalam konsep nusantara yang otonom dalam sistem territorial,
pemerintahan dan kebudayaan masing-masing. Nilai otonom sebagai bangsa, nilai
otonom sebagai wilayah yang berdaulat dan masing-masing menghargai kekbebasan
yang tidak menyingung persoalan hakiki atas suatu bangsa lain yang berdaulat,
terjadi pada tahap harmonisasi kawasan.
Klaim
budaya merupakan domain universal yang memerankan rasa kesadaran
bernasionalisme dalam konteks ke-Indonesiaan, bahwa pengakuan atas suatu
budaya, batik, angklung, reog, tari tor-tor, gendang sembilan, rending, ialah
bentuk-bentuk penghinaan atas kekayaan budaya. Klaim budaya memunculkan rasa
permusuhan, penghinaan dan penindasan bila dikontekstualisasikan dengan konsep
nusantara yang dimunculkan oleh sejarah nusantara itu sendiri. Domain tor-tor,
gendang sembilan, rendang ialah konteks semenanjung Malaysia yang masih
mempunyai corak dan warna budaya yang sama. Dalam perspektif ke-Indonesiaan,
wilayah bagian barat sumatera, Padang, Jambi, Lampung dan lain-lain yang
langsung berhadapan dengan Samudera …. ialah wilayah yang mempunyai budaya yang
berbeda dengan wilayah yang langsung berbatasan dengan Singapura dan Malaysia.
Artinya, ada beberapa budaya dan hakikat kebudayaan yang secara geografi tidak
bersentuhan langsung dengan pihak Malaysia, walaupun ada catatan sejarah yang
menunjukan bahwa kawasan Sumatera dan negara-negara lain yang berdekatan ialah
satu kesatuan etnis Melayu, dan Aceh.
Sebagai
argumentasi sederhana saja, jika alat musik Melayu, dalam konteks
ke-Indonesiaan melayu dimaknai sebagai suku dari orang-orang yang mendiami
kawasan Riau daratan dan Kepulauan Riau, persepsi inilah yang membedakan antara
etnis Melayu dan etnis-etnis lain yang mendiami beberapa kawasan lain di pulau
Sumatera seperti Batak yang merupakan mayoritas etnis yang mendiami wilayah
sekitar danau Toba, sumatera Utara. Artinya bila pengakuan, pencatatan budaya
Melayu Riau dengan wilayah Malaysia dalam perspektif ke-Indonesiaan masih dalam
tahap kewajaran dikarenakan adanya budaya yang bersentuhan langsung dengan dua
kawasan tersebut. tetapi jika sudah melampaui territorial wilayah pedalaman,
maka persepsi dalam konteks ke-Indonesiaan sangat tidak masuk akal dan tidak
ada kompromi, jika dipaksakan maka yang terjadi ialah bentuk-bentuk
konfrontasi, anarkisme dan berakibat pada peperangan sebagai bentuk nyata
perwujudan nasionalisme terhadap kepemilikan budaya tersebut.
Namun
disisi lain dalam konteks kesejarahan Melayu, konteks wilayah Sumatera ialah
konteks wilayah melayu secara keseluruhan, dari Aceh, Sumetera Utara, Jambi,
Padang, Riau, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Sumatera Selatan dan sebagainya
ialah wilayah yang tergabung dalam bingkai etnis terbesar yang mendiami wilayah
tersebut, yakni melayu. Dalam konteks kesejarahan inilah, hak-hak setiap
wilayah untuk menghidupkan tradisi budaya secara internasional ialah hak bersama.
Hak bersama ini tentunya harus dikelola dengan melibatkan semua elemen Melayu
walaupun dalam konteks kekinian dipisahkan dengan kedaulatan masing-masing
wilayah. Jika tidak dilakukan secara bersama-sama maka yang timbul ialah
pembenaran masing-masing, dilain pihak akan menimbulkan kekecewaan, penghinaan
dan pelecehan kemerdekaan berbudaya. Proses persamaan hak ini ialah dengan
cara-cara yang logis dan ilmiah, antara lain:
a.
Dialog
kebudayaan antar negara (Indonesia: Riau, Kepulauan Riau, Sumatera Utara, Aceh,
Padang, Jambi, Bangka Belitung, Sumatera Selatan) dengan pihak (Malaysia dan
Singapura, Brunai).
b.
Seminar
kebudayaan, yang dilakukan untuk mencari solusi akademik mengenai masa depan
budaya yang tumbuh di wilayah Indonesia (Sumatera), Singapura, Brunai dan
Malaysia.
c.
Globalisasi
budaya, sebagai usaha untuk mendaftarkan warisan budaya besar di kawasan
tersebut sebagai bentuk kepemilikan bersama. Bukan dilakukan oleh satu negara
semata tetapi dilakukan untuk sistem dan ketahan budaya bersama yang diakui
secara internasional.
d.
Eksistensi
kebudayaan sebagai bentuk rekonstruksi budaya besar dikawasan tersebut dalam
konteks lokal wisdom. Budaya bukan dijadikan sebagai komoditas utama untuk
mencapai indek pembangunan kawasan dan pariwisata. Budaya dijadikan sebagai filter
terhadap nilai-nilai dan bentuk-bentuk komoditas itu sendiri. Disinilah letak
ekslusivitas budaya sebagai penjaga stabilitas politik, sosial, ekonomi dan
ketahanan.
Dalam
konteks ke-Indonesiaan, di sisi lain, bahwa kawasan Asean ialah kawasan nusantara,
makna nusantara yang dipahami oleh rakyat Indonesia ialah sebagai
hiper-histori, dimana makna nusantara ialah makna totalitas dari semua kawasan
Majapahit atau Sriwijaya. Pemaknaan yang hiper-histori inilah yang kemudian
memandang negara lain seperti Singapura, Malaysia, dan Brunai dengan makna
pengkerdilan. Rakyat Indonesia memandang kawasan atau negara tersebut ialah
sebagai negara bagian dari nusantara, jika dimaknai sebagai negara bagian maka
negara yang berkuasa ialah Indonesia. Artinya secara umum, Indonesia mencoba
untuk meunjukan power dan kekuasaan yang diwarisi dari sejarah dalam memandang
kawasan (negara lain). Indonesia tidak memandang konteks kekinian kedaulatan
masing-masing kawasan (negara lain) sebagai perwujudan negara yang modern. Pemahaman
inilah yang kemudian menimbulkan reaksi negatif terhadap pengakuan budaya lain
yang dilakukan oleh Malaysia. Sentiment sejarah sudah melebur dalam benak
rakyat Indonesia hingga apapun bentuk-bentuk pencatatan, pengakuan bahkan klaim
atas budaya nusantara dimaknai sebagai usaha yang mengkredilkan posisi
Indonesia.
2.
Diplomasi
Media Massa Indonesia-Malaysia
Dengan
menakar tentang konstruksi citra teerhadap kedua negara antara Indonesia dan
Malaysia maka posisi wartawan kompas di hari-hari pertama pemberitaan melakukan
konstruks citra negatif terhadap pihak Malaysia dengan sejumlah judul artikel
pemberitaan yang mengandung unsur provokatif dengan mengandalkan pernyataan
sepihak pihak-pihak terkait Indonesia, dan lebih di dominasi atas pernyataan
wakil menteri pendidikan dan keebudayaan.
Seementara
pada hari-hari berikutnya dilakukan prinsip jurnalisme yang sesuai dengan prinsip
pemberitaan dengan merangkul kedua bela pihak dalam pemberitaannya. Bahkan
melibatkan berbagai unsur tokoh nasional Indonesia, baik dari pihak
legislative, eksekutif, partai, akademisi, tokoh dan pengamat budaya sehingga,
citra Malaysia dalam pemberitaan klaim budaya lebih bersifat positif tanpa ada
unsur provokatif yang dilakukan oleh pihak media.
Pada
hakikatnya diplomasi yang dilakukan oleh pihak Malaysia terhadap Indonesia
dalam konteks kebudayaan, hendakanya dilakukan pengkajian lebih dalam sebelum
pemberitaan dipublikasikan. Apapun jenis pemberitaan yang dilakukan pihak
Malaysia sebagai bentuk persuasive dan komunikasi budaya, perlunya upaya untuk
melibatkan pihak-pihak budayawan Indonesia dalam penelitian dan apresiasi
budaya yang dilakukan pihak Malaysia, untuk meminimalisir dan meniadakan
perselisihan dan kesalahpahaman tentang redaksi, substansi, dan mekanisme
diplomasi budaya yang elegan, bermartabat dan berbudaya.
Tentukan
diplomasi ini dilakukan atas dasar kesetaraan, kesepadanan, yang dilakukan atas
nilai-nilai historisitas Sriwijaya dan Majapahit sebagai pondasi diplomasi
budaya nusantara yang pernah dilakukan beberapa abad yang lalu. Ada beberapa
hal yang perlu dipahami dan di agendakan secara bersama-sama, yakni bahwa:
sesuai dengan konsep nusantara dalam diplomasi bernegara, berkebudayaan.
Persepsi Indonesia tentang nusantara ialah pembatasan kebudayaan Jawa yang menjadi
kedaulatan suatu negara Majapahit, ialah wilayah territorial dan isinya,
termasuk kebudayaan tidak bisa diakui, atas dasar hak mutlak. Sementara
perspektif konsep nusantara untuk semenanjung Malaya yang meliputi pulau
Sumatera, Singapura, Malaysia diberikan kebebasan kedaulatan atas dasar
kesetaraan bernegara dengan konteks kebudayaan yang berbeda. Politik kebudayaan
Jawa tidak bisa diintervensi dalam bentuk apapun, sementara semenanjung Malaya
merupakan negara yang berdaulat atas dasar kebudayaan yang berbeda.
Konsep
diplomasi bernegara dalam wilayah dan konteks historisitas ini hendaknya
dijadikan modal dalam berdiplomasi antara negara-negara yang dahulu pernah
bersatu atas dasar kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Konteks diplomasi
Sriwijaya tentunya berbeda dengan konsep dilpomasi Majapahit. Jika konsep
Majapahit menempatkan patron dan aturan yang Jawanisasi Kebudayaan pada negara
agung. Maka konsep diplomasi Sriwijaya ialah atas dasar etnisitas Melayu, lebih
mudah diterapkan dalam diplomasi Indonesia-Malaysia dan konteks penyebaran
budaya Melayu di tiga negara bertetangga, yakni Indonesia, Malaysia dan
Singapura. Diplomasi kebudayaan Sriwijaya ialah mencakup segala perkembangan
kebudayaan yang hidup di pulau sumatera tetapi dengan mengusung nilai-nilai religious,
kesakralan, serta sejarah panjang lahirnya kebudayaan dengan melakukan kajian,
dialog, seminar, simposisum ilmiah yang melibatkan pihak Indonesia dan Malaysia
secara bersama-sama atas dasar persamaan hak dan warisan budaya yang besar.
G.
Kesimpulan
Konsep
diplomasi mancanegara yang dilahirkan pada zaman Majapahit hendaknya dipahami
secara bersama-sama oleh kedua belah pihak aantara Indonesia dan Malaysia.
Dikarenakan batas-batas negara dalam berkedaulatan ditegaskan secara nyata
sebagai konsekuensi untuk berhubungan antarnegara yang dimunculkan berdasarkan
konsepsi lokal kesejarahan sebagai semangat bersama untuk membangun kawasan
ASEAN. Kebudayaan dan diplomasi nusantara tidak terlepas dari mekanisme
memandang persamaan drajat, kesetaraan, kedaulatan territorial dan pembatasan
berkebudayaan yang bersifat lokal dan universal yang terkandung disetiap
nilai-nilai sacral, religious, yang terkandung di dalamnya.
Diplomasi
media menjadi acuan untuk menyebarkan pesan dan prinsip-prinsip diplomasi
kebudayaan Majapahit sebagai suatu pandangan terhadap persoalan klaim terhadap
kekayaan budaya bangsa atas pihak lain, serta dialog, seminar, simposisum,
lokakarya serta kajian ilmiah lainnya diperlukan dan dipublikasikan untuk
menyatukan perspeektif kebudayaan yang sama tanpa ada perselisihan dimasa yang
akan datang.
H.
Daftar
Pustaka
Effendy,
Amir Siregar.2010. Potret Manajemen Media
di Indonesia. Yogyakarta:Prodi Komunikasi UII.
Eriyanto.
2003. Analisis Wacana Suatu Pengantar. Yogyakarta. LkiS.
Entman,
Robert N. 1991. "Framing :Toward
Clarification of a Fractured Paradigm" Dalam Journal of Communication,
Vol.43, No.4, 1991, Hal.52-66
_______.2002.
Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi,
dan Politik Media. Yogyakarta:LKiS .
Davis, Howard dan Paul Walton. 2010. Bahasa, Citra, Media. Yogyakarta:
Jalasutra.
Hamad, Ibnu.
2004. Konstruksi Realitas Politik Dalam
Media Massa : Sebuah studi Critical Discourse Analysis terhadap Berita-berita
Politik. Jakarta:Granit.
Reese, D.
Stephen dkk.2001.Framing Public
Life:Perspectives on Media and our Understanding of Social World. London :
Lawrence Erlbaum Associates.
Sobur, Alex,
(2001), Analisis Teks Media, Suatu
Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya
Sudibyo,
Agus. 2001. Politik Media dan Pertarungan
Wacana. Yogyakarta: LKIS
Wikipedia.com
Kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terima kasih. segera saya akan konfirmasi.