Sabtu, 13 September 2014

DASAR ILMU KOMUNIKASI: SOSIOLOGI SEBAGAI AKAR KOMUNIKASI (AHMAD TONI)

DASAR ILMU KOMUNIKASI: SOSIOLOGI SEBAGAI AKAR KOMUNIKASI

"HAI MANUSIA, SESUNGGUHNYA KAMI MENJADIKAN KAMU DARI LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN DAN KAMI JADIKAN BERBANGSA-BANGSA (NATIONS) SUPAYA KAMU BERKENALAN SATU SAMA LAIN. SESUNGGUHNYA ORANG YANG TERMULIA DIANTARA KAMU PADA SISI ALLAH ADALAH YANG LEBIH BERTAQWA" (Q.S. Al-Hujarat: 12)

Sepenggal- materi perkuliahan-unpad-ilmu komunikasi-doktoral

Studi Terhadap Etnographic Eksistensi Sejarah dan Makna Nasionalisme Tentara Nasional Indonesia (TNI) Dalam Film Trilogi “Merah Putih” (Ahmad Toni

Studi Terhadap Etnographic Eksistensi Sejarah dan Makna
Nasionalisme Tentara Nasional Indonesia (TNI)
Dalam Film Trilogi “Merah Putih”

  Makalah ini dipresentasikan dalam seminar nasional Komunikasi Militer di UPN Jogjakarta
OLEH:
Ahmad Toni


Abstraksi

Sementara kepingan-kepingan sejarah bangsa ini dalam merebut kemerdekaan yang ditopang dengan semangat berbangsa dan bernegara, senasib dan seperjuangan dalam menegakkan kemerdekaan negara seakan-akan telah surut dalam ingatan generasi muda. Perjuangan yang ditempuh oleh semua suku, ras, etnis, golongan dan agama di Indonesia, perjuangan yang dilakukan dalam bingkai pluralism dan kemajemukan bangsa tanpa membeda-bedakan latar belakang untuk bergabung sebagai tentara nasional Indonesia (TNI). Bergabung sebagai militer dalam wadah TNI ialah kebanggaan tertinggi sebagai anak bangsa bagi para pemuda di zamannya. Media mencoba menghadirkan kembali eksistensi sejarah dan makna nasionalisme yang sesungguhnya, terutama film, di tengah-tengah film Indonesia yang lebih mengusung perumusan seksualitas paha dan dada sebagai perwujudan eksistensi budaya dan nilai nasionalisme sebagai pembungkusnya. Sementara ribuan kisah perjuangan pemuda-pemudi bangsa dalam mengusir penjajah telah terlupakan, apakah bangsa kita diciptakan sebagai bangsa yang melupakan sejarahnya sendiri?.

Kata Kunci: Pluralisme, Militer, Sinema, Indonesia.


A.   LATAR BELAKANG
Sinema Indonesia dalam sejarahnya merepresentasikan nilai-nilai bangsa yang terkandung melalui pesan instrinsik maupun pesan ekstrisik, sinema Indonesia berkaitan erat dengan sistem politik dan kekuasaan yang membentuk proses keterikatan sinema dengan sistem sosial dan budaya yang menyertainya. Proses ini menyurutkan segenap film-film yang diproduksi sebagai film yang menunjukan nilai-nilai entertaintment semata, namun sebagian lagi kemudian mampu mengusung nilai-nilai dan semangat kemajemukan berbangsa dan bernegara.
Sampai saat ini, sinema Indonesia masih didominasi oleh generasi teknologi digital sebagai instrument produksi untuk mengahdirkan gambar gerak bersuara, detail antropologi bangsa ini terapresiasikan lewat segenap karya mumpuni para sineas. Bahkan film-film yang diproduksi berdasarkan cerita nun jauh dari keramaian dan pertarungan politik justeru menjadi film yang mampu berbicara banyak di kancah sinema internasional, seperti sederet film yang ditampilkan sutradara kenamaan Garin Nugroho dalam setiap produksinya: “Surat Untuk Bidadari”, “Cinta Dalam Sepotong Roti”, “Bulan Tertusuk Ilalang”, “Daun Diatas Bantal”, Puisi Tak Terkuburkan”,  “Dan Bulan Pun Menari”, “Aku Ingin Menciummu Sekali Saja”, “Rindu Kami Padamu”, “Opera Jawa”, “Dibawah Pohon”, “Mata Tertutup” dan segenap judul lainnya.
Garin dan karyanya disebut sebagai tokoh yang mampu menjembatani teknologi sinema Indonesia dalam dua zaman, zaman teknologi konvensional dengan segenap instrument teknologi perfilman yang masih konvensional dengan instrument produksi digital, kemampuan Garin dalam berkomunikasi lewat sinema telah diakui oleh dunia sebagai sutradara yang genius dan kritis melihat gejala sosial yang terjadi di Indonesia. Sementara generasi digital melahirkan sineas-sineas muda yang mampu menghadirkan detail-detail sosial dan antropologi kebudayaan Indonesia dengan sisi yang lebih modern. Sutradara Riri Reza yang terkenal dengan karya-karyanya mampu menjadikan Indonesia sebagai bagian dari industri film yang sarat dengan nilai-nilai keindonesiaan. Sederet judul film yang dihasilkan Riri Reza ialah: “Petualangan Sherina”, “Eliana”, “Gie”, “Untuk Rheina”, “Tiga Hari Untuk Selamanya”, “Laskar Pelangi’, “Sang Pemimpi”, dan lain-lain.
Namun sinema Indonesia dalam dimensi nassionalisme masih berada pada level yang sangat memprihatinkan, makna nasionalisme yang riil diusung dalam bentuk penyerahan jiwa dan raga untuk keutuhan bangsa dan negara. Konteks nasionalisme ini ialah nilai-nilai luhur bangsa dalam sejarah perjuangan bangsa. Nasionalisme dalam lingkung kesejarahan bangsa yang terjajah selama tiga abad lebih, sebuah bangsa yang tangguh untuk menentukan sendiri sejarah dan kehidupan rakyatnya, bukan bangsa yang mendompleng keinginan dan hegemoni bangsa penjajah. Nilai nasionalisme inilah yang jarang dan hampir terlupakan oleh sineas-sineas perfilman Indonesia, sebuah makna nasionalisme yang terlupakan oleh generasi saat ini untuk dihadirkan dan wujudkan dalam beerkesenian audio visual.
Sineas saat ini lebih mementingkan unsur hiburan daripada unsur kesajarahan kebangsaan yang begitu panjang dan berliku sebagai modal dalam produksi-produksi karyanya, hampir setiap saat dan setiap minggu para sineas mengahdirkan film horror, hantu, sesualitas perempuan, pergaulan remaja dan sejenisnya. Sedangkan perkembangan film yang menghadirkan unsur sejarah perjuangan bangsa Indonesia yang berabad seakan hanya sebagai memoriam dalam segenap benak insan bangsa yang berjumlah ratusan juta, sebuah kontras sejarah yang telah hadir dalam kehidupan nyata untuk melupakan akar rrumput sejarah yang membentuk dan meembesarkan negeri ini.
Ditengah gempuran kehadiran film-film tersebut seorang sutradara dalam produksinya mampu dan berani tampil dengan karya yang memukau, seorang sineas yang diberikan kesempatan dalam berkarya untuk mengaktualisasikan ide dan gagasannya diantara serbuan nilai-nilai kapitalisme perfilman Indonesia. Dengan segala konsekuensi dan perdebatan pro dan kontra Yadi Sugandhi menghadirkan detail-detail sejarah bangsa dalam membangun nilai-nilai persatuan dan kesatuan berbangsa dan bernegara dalam bingkai mata kamera sinema Indonesia lewat trilogi film yang diproduksinya: “Merah Putih” yang mengusung nilai-nilai pluralisme dan multikulturalisme untuk mewujudkan kehadiran sejarah dan keberadaan militer sebagai bagian dari ketahanan nasional yang berafiliasi dengan berbagai konteks kehidupan.  
B.  FILM SEBAGAI MEDIA MASSA
Sejumlah teori komunikasi massa menempatkan film sebagai salah satu media yang dipergunakan dalam berbagai kajian dan ojek jenisnya, film bahkan dengan karakteristiknya yang bernuansa seni tinggi ditempatkan pada kerangka teori komunikasi massa yang tidak dibahas secara mendalam, berbeda dengan media radio dan televisi. Hal ini dikarenakan film jarang dihadirkan pada ruang private audience dan hanya diputar ditempat-tempat yang telah ditentukan, sejarah yang demikian menempatkan film sebagai sisi media massa yang jarang diulas secara detail dan menyeluruh dalam bingkai teori komunikasi, terutama komunikasi massa yang menonjolkan peran audience sebagai khalayak massa.  
Keberadaan film justeru lebih banyak dibahas sebagai sebuah bidang keilmuan seni, mengingat film mengahdirkan sistem dramaturgi yang meliputi: curiosity, suspense, konflic dan surprise. Sistem dramatisir ini dilakukan berkaitan dengan produksi film yang lebih menonjolkan unsur dramatik cerita dalam alur narasi yang dihadirkan. Film dijadikan sebagai wahana untuk memadukan dan proses harmonisasi bidang-bidang seni, seperti sastra, seni peran (acting), penyutradaraan, tata cahaya, audio, kamera (sinematografi), busana dan lain-lain. Hal ini memunculkan proses ambiguitas film sebagai komikasi massa dengan seni.
McQuail (2002: 33) menyatakan bahwa teori komunikasi massa ialah “karakteristik film sebagai usaha bisnis pertunjukan (show business) dalam pasar yang kian berkembang mencakup segenap permasalahan film. Dimana tema film dimanfaatkan sebagai alat propaganda. Pentingnya pemanfaatan film dalam dunia pendidikan didasari oleh pertimbangan bahwa film memiliki kemampuan untuk menarik perhatian orang (massa) dengan kemmampuan film mengantar pesan secara unik”. Selanjutnya Winarso (2005: 40) “menggunakan konsep masyarakat massa memberikan ciri khalayak massa “heterogen dalam komposisi, anggota-anggotanya berasal dari kelompok-kelompok yang berbeda dalam masyarakat, kelompok individu yang tidak mengenal satu sama lain, yang terpisah berdasarkan kekhususan, yang tidak dapat berinteraksi satu sama lain, tidak mempunyai kepemimpinan atau organisasi formal”. Terdapat semacam sinkronitas antara film dengan khalayak massa yang disebutkan diantara kedua pendapat diatas, secara konsep media massa diakses dan dinikmati oleh massa yang heterogen dalam konsepsi keberadaan dan fungsi media untuk mengantarkan dan distribusikan pesan.
Selanjutnya McQuail (2000: 35-36) “Film merupakan salah satu dari media massa, film berperan sebagai sarana komunikasi yang digunakan untuk penyebaran hiburan, menyajikan cerita, peristiwa, musik, drama dan sajian teknis lainnya kepada masyarakat”. Karakteristik film sebagai usaha bisnis pertunjukan dalam pasar sebenarnya belum mampu mencakup segenap permasalahannya. Dalam sejarahnya film mempunyai tiga elemen besar diantaranya:
1.     Pemanfaatan film sebagai alat propaganda. Film ialah sebagai upaya pencapaian tujuan nasional dan masyarakat. Hal ini berkaitan dengan pandangan yang menilai bahwa film memiliki jangkauan, realism, pengaruh emosional, dan popularitas. Bauran pengembangan unsur pesan dengan hiburan sebenarnya sudah lama diterapkan dalam kesusastraan dan drama (teater) namun unsur film jauh lebih sempurna dibandingkan dengan teater dari segi jangkauan penonton tanpa harus kehilangan kredibilitasnya.
2.     Munculnya beberapa aliran film diantaranya drama, dokumenter, dokudrama dan lain-lain.
3.     Memunculkan aliran dokumentasi sosial. Di samping itu, terdapat unsur-unsur ideologi dan propaganda yang terselubung dalam suatu film yang berasal dari fenomena yang tampaknya tidak tergantung pada ada atau tidaknya kebebasan masyarakat. Fenomena ini berakar dari keinginan untuk merefleksikan kondisi masyarakat.
Adapun media film terdiri dari berbagai unsur di dalamnya, unsur-unsur tersebut seperti:
1.     Bentuk, konsep ini berlandaskan pada cara media film membentuk produk-produk genre (jenis bedasarkan tema dan ceritanya). Selain itu juga film berpegang pada cara konstruksi berbagai kualitas seperti realism.
2.     Narasi, konsep ini menempatkan diri pada aspek bentuk yang berkaitan dengan konstruksi cerita dan drama atau proses dramatisir. Narasi membentuk makna yang ada dalam suatu konflik yang dibangun atas tokoh-tokoh dan penokohan (perwatakan), adanya deprivasi sosial suatu rangkaian atau jalinan alur cerita dengan berbagai konflik yang menuju klimaks tanpa adanya pencopotan atas konflik yang terjadi.
3.     Teks, konsep teks berhaluan pada semua produk media yang menenpatkan diri seakan-akan semua produk yang ada dalm frame kamera adalah sebuah buku yang sedang dibaca untuk dicari makna-maknanya.
4.     Genre, genre termasuk konsep yang mengacu pada fakta atas sebagian besar produk media film yang terbagi ke dalam berbagai kategori atau tipenya.
5.     Representasi, konsep media film untuk menunjukkan presentasi terhadap berbagai kelompok sosial yang dikategorikan dengan cara gender, umur, kelas sosial dan lain-lain.
6.     Audience, konsep ini menaruh perhatian pada sejauh persepsi dan pengalaman sosial seseorang terhadap pembacaan materi yang diusung di film tersebut bergantung dengan tingkat pendidikan yang ditempuh oleh masing-masing.
7.     Efek, efek meproporsi tentang bagaimana dan mengapa produk media mempengaruhi para audience baik secara aktif maupun pasif.
8.     Institusi, ialah pada organisasi yang menjalankan dan mengontrol media sehingga institusi bisa memelihara kepentingan pemodal.
Nugroho (2001: 13) menyatakan bahwa “durasi film cerita (fiksi) pendek di bawah 60 menit. Film cerita pendek dijadikan laboratorium eksperimen dan batu loncatan bagi seorang dan atau sekelompok orang untuk kemudian memproduksi film panjang. Film dengan durasi lebih dari 60 menit disebut film panjang”. Film pertama kali lahir di paruh kedua abad ke-19, dibuat dengan bahan dasar seluloid yang sangat mudah terbakar, bahkan oleh percikan abu rokok sekalipun. Sesuai perjalanan waktu, para ahli berlomba-lomba untuk menyempurnakan film agar lebih aman dan mudah diproduksi”. Selanjutnya Nugroho (2001:30-39) menyatakan bahwa “dalam proses produksi kebutuhan shooting dengan melakaukan perencanaan, sebagai berikut:
1.     Script Breakdown, yakni berisi informasi tentang setiap adegan yang ada dalam film. Isinya meliputi; date, script version date, production company, breakdown page no, title, page count, location on set, scene no, int/ext, day/night, description, cast, wadrobe, extras/atmosphere, make up/hair do, stunt, vehicles/animal, props, set dressing, sound effect, musik, special equipment, production notes, dll.
2.     Jadwal shooting, yakni kumpulan adegan dan lokasi yang direncaanakan berdasarkan waktunya.
Adapun tim inti dalam film menurut Nugroho (2001: 60-65) dalam pembuatan film ialah sebagai berikut: Produser, kepala depatemen produksi sebagai penggerak produksi film, terdiri atas; executive producer, Associate producer, producers, line producer. Director (sutradara), yakni menentukan konsep kreatif tentang arahan gaya pengambilan gambar. Manajer produksi, yakni sebagai coordinator harian yang mengatur kerja dan memaksimalkan potensi yang ada di seluruh departemen. Desainer produksi (art), yakni mendesain dan membuat sketsa untuk memvisualisasikan setiap shot. Director of Photography, yakni meraancang tata cahaya dan kamera berdasarkan atas arahan sutradara dan bagian lain.

C.  KONSEP IDENTITAS DAN PLURALISME DALAM MILITER
1.1.Konsep Identitas
Identitas menurut Briggs dan Cobley dalam  Burton (2008: 30) “adalah pemahaman tentang diri sebagai direpresentasikan oleh kekontrasan dengan pihak-pihak lain dikaitkan dengan kekuasaan atau kekurangan kekuasaan”. Selanjutnya Burton (2008: 32) “Identitas adalah bagian dari makna-makna yang dimunculkan dengan merepresentasikan kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat dengan cara-cara tertentu. representasi tersebut, pada gilirannya, berasal dari ideologi, dari caranya memahami dunia dan hubungan-hubungan kekuasaan”. “Argumen identitas yang merupakan bagian suatu subkultur terpisah yang dapat dikenali harus memproduksi hubungan yang bersifat perjuangan, jika bukan merupakan benar-benar oposisi terhadap budaya dominan tersebut” (Burton, 2008: 40).
                                           Gambar 1: Identitas

Representasi menyangkut persoalan dan pembuatan atas makna, dimana cara mengamati keadaan, individual melalui sistem berbagai konvensi sehingga cara pembuatan makna dibenarkan berdasarkan hasil konvensi tersebut. Berkaitan dengan konsep teori representasi ini sebagaimana dinyatakan Burton (2008: 41) “Berbagai pandangan (perspektif) tentang umur, ras dan seterusnya yang berasal dari artikel tertulis, gambar-gambar dari komik dan film. Adalah lebih bermenfaat untuk berpikir tentang representasi dalam pengertian verbal dan aktif”.  Selanjutnya pandangan tentang representasi meliputi:
a.     Sudut pandang, pada tahap ini representasi ditunjukan oleh sudut pandang yang ditempatkan oleh kamera (eyeline) dan tahap mengintip (voyeuristic).
b.     Hall (1997) mendeskripsikan representasi atas; reflektif dalam ranah kehidupan sosial masyarakat, intensional dalam ranah sudut pandang kreativitas seorang creator, konstruksionis dalam ranah bahasa kode visual.
c.     Tatapan dan objektivikasi, jenis konstruksi mental dan tindakan tatapan menyangkut gambar film.
d.     Ideologi dan wacana, dalam hal ini merujuk kepada siapa yang berkuasa, bagaimana kekuasaan diterapkan dan nilai-nilai dominasinya.
e.     Determinasi ekonomi, dilihat dari pemasaran secara khusus.
f.      Posmodernisme, mencoba untuk merefleksikan realitas sosial terhadap ukuran mutlak representasi.
1.2.Konsep Pluralisme (Multikultural) Militer
Agger (2009: 140) menyatakan bahwa “multikulturalisme adalah varian teori perbedaan, perbedaan manusia secara analistis lebih penting ketimbang kesamaan, multikulturalisme merayakan perbedaan sebagai suatu kerangka kerja yang ada didalamnya untuk menghargai banyak kelompok dan narasi khas mereka tentang pengalaman mereka”. selanjutnya Agger (2009: 141) “multikulturalisme meemperbaiki politik identitas dengan mendorong setiap kelompok tertindas untuk mengisahkan pengalaman ketertindasan yang dialami kelompok lain. Multikulturalisme menjadikan pribadi sebagai agenda politik utama”. Hal inilah yang mencoba menjadi wilayah utama multikulturalisme melihat masyarakat yang baik dalam hal nostalgia citra plural. Pluralitas disini ialah mencoba memberdayakan kelompok minoritas dan melakukan penempatan identitas sama layaknya dengan kaum lain.
Pluralisme memperlakukan ras, kelas dan semua kelompok anggota komunitas sebagai sebuah struktur penindasan yang bermakna besar daripada yang dilakukan atas dasar individual yang mempengaruhi dan mengubah pengalaman dan sejarahnya. Tingkat individu yang berusaha memproduksi aspek identitas sebagai bentuk representasi diri sebagai individu yang kuat diantara individu lain yang teropresikan. Pendekatan ini menunjukan dan memperlakukan fenomena sosial sebagai nilai dan yang terkandung dalam karakteristik sosial tersebut yang meliputi ras, jender, agama, pendidikan, dan sebagainya. Dalam citra identitasnya, pluralism menekankan tentang politik identitas yang menunjukan narativitas sebagai bentuk pengejahwantahan dirinya, identitas tidak bisa dibentuk sebagai karakteristik perbedaan namun identitas lebih jauh mencoba untuk menghadirkan keragaman.
Keragaman (plural) adalah “sumber keragaman budaya, kehadiran lebih dari satu bangsa di dalam suatu negara tertentu, dimana ‘bangsa’ berarti komunitas historis, secara institusional menduduki suatu wilayah atau tanah tertentu, mempunyai bahasa dan kebudayaannya sendiri” (Kymlicka, 2002: 14-15). Secara sosiologis masyarakat yang dibangun atas kebudayaan ialah dipertukarkan dengan masyarakat lain yang sama tertopang dengan kebudayaan yang dimilikinya, suatu pandangan tentang kaum minoritas dan mayoritas yang sinergi dalam historisitas pembentukan bangsa. Pluralisme berusaha untuk menggabungkan secara bersama-sama historisitas kelompok-kelompok bangsa untuk membentuk institusi sebagai tujuan dari identitas baru yang dibentuk berdasarkan makna-makna keberagaman yang dihadirkan lewat aspirasi secara bersama-sama. Historisitas suatu bangsa menjadi bangsa yang multi-bangsa diakibatkan oleh proses penjajahan yang panjang, penaklukan, imigrasi perorangan atau kelompok yang kemudian menghadirkan kompleksitas budaya, perspektif, etos dan lain-lain.
Dalam sejarahnya militer Indonesia (TNI) terbentuk atas kesamaan nasib, berbagai suku dan bangsa di tanah air terhadap penjajahan yang dilakukan oleh Belanda, Portugis, Jepang selama berabad-abad. Penderitaan yang melatarbelakangi sejarah penjajahan ini memunculkan rasa patriotism dan cinta tanah air, sehingga mempertahankan sejengkal tanah menjadi harga mati demi mewujudkan kemerdekaan. Militer di Indonesia berdiri sebagai pasukan dalam ekistensi bangsa merebut kemerdekaan dan persamaan hak dengan bangsa-bangsa lain.
             
D. EKSISTENSIALISME SEJARAH DAN MAKNA NASIONALISME
1.1.Eksistensialisme Sejarah Bangsa
Sejumlah narasi permulaan munculnya suatu bangsa diberbagai belahan dunia dalam makna yang terkandung dalam sebuah cerita menunjukan banyaknya perspektif dan konteks sosial masing-masing wilayah untuk menunjukan jati dirinya sebagai bangsa yang tangguh dan besar pada masanya. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Grosby (2011:78-79) bahwa “legenda berkontribusi pada pembentukan gambaran hubungan wilayah yang memiliki batas teritorial dan durasi waktu, memformulasikan hubungan antara komunitas sejarah aktual ke tatanan persepsi dari alam semesta. Pembentukan bangsa-bangsa dalam sejarah ialah eksistensi legenda yang bersifat mitologi”. Selanjutnya Grosby (2011: 80) menyatakan “eksistensialisme melalui sejarah secara luas dipahami mengikutkan legenda yang sedemikian rupa hingga mengaburkan perbedaan antara fakta dengan khayalan. Suatu bangsa dapat mengerti dan membentuk dirinya sendiri dan dengan demikian ialah berproses membentuk dirinya”.
Sejarah berusaha untuk menunjukan diri sebagai daya tarik yang selektif pada aspek selektif di masa lalu untuk memperomosikan pemahaman tertentu dari masa kini dan tujuan utamanya ialah masa depan, sejarah tetap akan membawa kerumitan berupa pro dan kontra sebagai pemahaman di masa depan. Sejarah akan selalu menjadi seebuah ajang terjadinya eksistensi ketegangan dengan masanya, ketegangan yang dilakukan oleh sebuah tradisi dengan tradisi lain, oleh sebuah orde dengan orde yang lain. Ketegangan yang ditopang oleh rasionalitas manusia yang tidak pernah terpuaskan dengan satu kesimpulan tertentu, dimana ketengangan muncul yang diakibatkan oleh suatu problematikan sebagai sebuah tuntutan baru dalam pelurusan sejarah, tuntutan yang diberikan kepada komunitas yang berkuasa secara sosial politik dan dominasi idiologi tertentu.
1.2.Makna Nasionalisme
Beragam pemaknaan tentang nasionalisme dalam berbagai sumber dan literature dalam kesejarahan bangsa Indonesia. Anthony Smith dalam Corby (2011: 18-19) “lokasi kelahiran bangsa di dalam sesuatu yang berkelanjutan dari kelompok-kelompok kekerabatan. Adalah elemen kekerabatan ini dimana ahli bangsa dan nasionalisme yang sangat produktif. Bangsa adalah komunitas kekerabatan, berbatasan secara spesifik, secara territorial luas, komunitas kelahiran yang erat untuk sementara waktu”. Nasionalisme juga sering diidentikan dengan patriotism, dimana patriotism apa yang dipahami sebagai milik seseorang merupakan bentuk pertanggungan dan elemen konsekuensi dari obsesi dan keinginan diri secara berkesinambungan terikat dengan wilayah, baik secara fisik maupun kecintaan yang dimilikinya. Sebuah bentuk kecintaan seseorang terhadap bangsa yang telah membesarkannya.
“Istilah cinta yang dipakai secara meluas merupakan ekspresi kemelekatan dimana individu memilikinya terhadap bangsanya, kemelekatan ini menggambarkan sesuatu yang dipunyainya seperti kekasih, anak, teman dan Tuhan” (Corby, 2011: 21). Artinya, ada bentuk-bentuk ekspresi secara psikologis yang dimiliki oleh seseorang kepada tanah airnya, kewilayahan ini memberikan ikatan jiwa individu dengan nilai-nilai bangsanya. Nilai patriotism dan nasionalisme tidak mengenal adanya kompromi dalam hal bernegara dan berbangsa, dimana kompromi adalah politik yang mengubah pendirian nilai-nilai kecintaan terhadap tanah air dan antusiasme patriotik.
Tanah air ialah referensi yang ditujukan kepada bentuk image wilayah yang memiliki sebentuk batas-batas yang telah diperjuangkan, yang kemudian menjadi identitas asal seseorang dilahirkan, dibesarkan oleh teritorial tersebut, penduduk asli tanah, rumah nenek moyang, secara nyata kata ‘tanah air’ merupakan representasi atas sumber kehidupan yang telah memberi seseorang kehidupan yang dilaluinya, sebuah bentuk perwujudan pengakuan diri dan keterikatan diri seseorang dengan bumi yang telah diijaknya sejak dilahirkan yang harus dibela “elemen dari kedalaman waktu dalam hubungan territorial suatu tanah air nasional, dimana bagian dari diri diletakan ke dalam tanah air yang dipersepsikan sebagai nenek moyang”(Corby: 2011: 73).

E.  METODE PENELITIAN
Studi analisis isi bergantung atas beberapa validasi data atau dokumentasi yang dikategorikan. Sebagaimana dinyatakan oleh Deutschmann) “kategori-kategori; perang, pertahanan dan diplomasi, politik dan pemerintahan, kegiatan ekonomi, kejahatan, masalah moral masyarakat, kesehatan dan kesejahteraan, kecelakaan dan bencana, ilmu serta penemuan, pendidikan dan seni klasik, hiburan rakyat dan human interest” (Flournoy, 1986: 25-26).  Edelman dalam Eriyanto (2004: 156-157) menyatakan bahwa “mensejajarkan framing dengan kategorisasi, kategorisasi merupakan abstraksi dan fungsi pikiran. Kategori, membantu manusia memahami realitas yang beragam dan tidak beraturan menjadi realitas yang memahami makna. Khalayak tidak sadar bahwa alam pikiran mereka dan kesadaran mereka telah didikte dalam sudut pandang tertentu sehingga tidak berpikir pada dimensi yang lain”. Dalam ECA Kriyantono (2010: 250) menyatakan bahwa “peneliti dihadapkan pada beberapa hal yang menyangkut sistematis analisis isi sebagai guide kategorisasinya antara lain: isi (content), process (pengemasan bentuk media), emergency, yakni tahapan pembentukan secara bertahap dari sebuah pesan melalui interpretasi”. Selanjutnya Bungin (2010: 203) menyatakan dengan jelas bahwa “apapun jenis teks gambar, termasuk gambar bergerak (moving image), haruslah memperhatikan beberapa hal, antara lain: context, atau situasi sosial di seputar dokumen atau text yang diteliti, procces, produksi media atau isi pesan dikreasi secara aktual dan diorganisasikan, emergency, tahapan makna sebuah pesan melalui pemahaman dan interpretasinya.
Penelitian ini menggunakan metode analisis isi (content analys) terhadap objek penelitiannya yaitu teks (wicara), baik dialog maupun audio-visual film. Analisis isi konvensional yang secara tipikal difokuskan pada muatan isi teks film yang manifest, analisis yang dimaksudkan ialah menekankan semua isi pesan (teks), termasuk cara pengambilan gambar (frame), pencahayaan, tata artistik, tata suara, skenario  maupun istilah-istilah yang digunakannya dalam produksi film. Macam dan jenis analisis isi banyak dipakai untuk metode penelitian yang difokuskan pada penelitian surat kabar untuk melihat berbagai persoalan isi media, baik dalam bentuk kewacanaan, politik, sosial, religious, konflik, pluralism dan sebagainya. Sebagaimana dinyatakan oleh Burhan Bungin (2010: 203) “analisis isi media kualitatif lebih banyak dipakai untuk meneliti dokumen yang dapat berupa teks, gambar, simbol, dan sebagainya untuk memahami budaya dari suatu konteks sosial tertentu”.
Persoalan teks media, baik berupa teks tertulis, gambar, simbol dan sebagainya termasuk dalam perkembangan teks audio-visual, televisi maupun film yang terekam dalam bingkai kamera audio-visual. Selanjutnya Bungin (2010: 203) menjelaskan bahwa “dokumen dalam analisis isi kualitatif adalah wujud dari representasi simbolik yang dapat direkam/didokumentasikan, analisis isi untuk memahmai makna, signifikansi dan revelansinya”. David L. Altheide dalam Bungin (2010: 204) lebih suka menggunakan istilah ethnographic content analysis “untuk menjelaskan model penelitian analisis isi kualitatif. Istilah ECA (ethnographic content analysis) sebenarnya adalah perpaduan (blend) antara metode analisis isi objektif (traditional notion of objective content analysis) dengan observasi partisipan”. Sementara Kriyantono (2008: 249) “dalam ECA periset (peneliti) berinteraksi dengan material-material dokumentasi atau bahkan melakukan wawancara mendalam untuk mendapatkan konteksnya”.

F.  HASIL ANALISA DATA
1.1.Tinjauan Teks Sejarah Kemerdekaan Republik Indonesia Dalam Film
            Film trilogy mera putih terdiri atas: “Merah Putih”, “Darah Garuda”, “Hati Merdeka”, sebagai tiga bentuk film panjang yang diaktori oleh Lukman Sardi, Donny Alamsyah, Darius Sinathrya, T. Rifnu Wikana, Zumi Zola, Astri Nurdin, Rahayu Saraswati, Atiqah Hasiholan, Alex Komang,  disutradarai oleh Yadi Sugandhi. Film ini diproduksi oleh media desa yang diproduseri oleh Hashim Djojohadikusumo, Bob Allyn dan  Jeremy Stewart sehingga film yang menampilkan detail antropologi sejarah penjajahan bangsa Eropa kepada bangsa Indonesia berabad-abad lamanya ini tidak diakui sebagai film produksi Indonesia dalam FFI, Festival Film Indonesia. Film ini menceritakan seluk beluk berbagai suku, ras dan tempat yang pernah menjadi sejarah kekejaman para penjajah yang dilatarbelakangi dengan perjuangan Jenderal Soedirman dan sejarah terbentuknya Tentara Nasional Indonesia.
            Film ini diproduksi untuk menegenang wafatnya R.M. Subianto Djojohadikusmo (21-tahun) dan Kadet R.M. Sujono Djojohadikusumo (16-tahun) dan semua pahlawan yang telah berjuang sebagai tentara republic Indonesia yang gugur di medan perang. Film ini berusaha untuk memberikan stimulus kepada rakyat Indonesia untuk kembali merenungkan kembali niat dan nilai-nilai kemerdekaan yang telah diraih oleh bangsa yang besar ini. Film ini mencoba untuk menyegarkan kembali ingatan generasi muda yang sudah mengubah paradigmanya untuk hidup berbangsa dan bernegara. Sebuah tinjauan ulang makna nasionalisme yang diberikan oleh sejarah pahlawan pembela bangsa dan negara, tinjauan ulang dimana negara kini hanya dijadikan sebagai jembatan untuk menumpuk kekayaan dengan jalan korupsi, kekerasa kelompok dan arogansi-arogansi lain untuk menindas sesama anak bangsa. Negara yang besar ini dibangun bukan hanya untuk kelompok atau golongan tertentu semata, melainkan negara yang besar ini dibangun dan diberikan kepada segenap anak bangsa.
            Eksistensi perjuangan bangsa dalam merebut kemerdekaan menjadi rujukan dan referensi generasi muda untuk bisa belajar dan mengimplementasikan bilai-nilai luhur kemerdekaan untuk bisa hidup secara damai dengan suku, ras dan agama yang berbeda. Indonesia sebagai eksistensi sejarah ialah Indonesia yang majemuk atas nama kebhinekaan yang ika merupakan falsafah luhur yang diwariskan nenek moyang dari zama ke zaman untuk menghadirkan kebersahajaan hidup saling member, menghormati dan menunjung tinggi persamaan hak dan kewajiban. Sejarah bangsa yang telah memberikan konsep-konsep multikulturalisme bangsa ini.
1.2.Tinjauan Proses Sejarah TNI
            Film ini dimulai dengan sebuah adegan (scene) yang menggambarkan sebuah sekolah tentara rakyat ketika pertama kali dibuka di wilayah Jawa Tengah pada Juni 1947 atau dua tahun setelah kemerdekaan Republik Indonesia 1945. Dalam tinjauan ini sejarah TNI terbentuk berdasarkan multikulturalisme, dimana ribuan golongan, ratusan suku, berbagai agama dan kepercayaan mencita-citakan suatu sistem kenegaraan yang mandiri yang diperoleh dengan perjuangan sendiri tanpa meminta kepada pihak yang dominan sebagai bangsa yang merdeka. Nilai-nilai kebersamaan ini menjadikan kekuatan yang besar dan tidak tergoyahkan oleh kekuatan manapun, hal ini membuktikan bahwa, kemajemukan suatu bangsa bila dikekola dengan baik menjadi sebuah kekuatan yang dinamis untuk mewujudkan kemakmuran bangsa.
1.3.Tinjauan Eksistensi Sejarah Pluralisme TNI
1.3.1.   Identitas Bangsa Jawa dan Islam
       Sosok Kapten Amir ialah seorang guru sekolah yang religious dan dihormati oleh murid-muridnya. Ia seorang jawa yang menjunjung nilai-nilai budayanya untuk bisa memberikan motivasi perjuangan kepada para muridnya. Wejangan motivasi yang ia berikan kepada para muridnya menjadi wujud nyata jiwa nasionalismenya untuk mempertahankan negara ini dari tangan penjajah. Ia berisiterikan seorang perempuan religious yang menjunjung nilai-nilai ajaran agama Islam. Kapten Amir tertantang hatinya ketika suatu ketika ditanya oleh mantan murid disekolahnya untuk kemudian terjun langsung di medan perang untuk merebut kemerdekaan bangsa sebagai modal untuk memajukan sekolah dan generasi mudanya.


1.3.2.   Identitas Bangsa Bali dan Hindu
             Dayan seorang Bali yang datang ke sekolah tentara rakyat Indonesia untuk bergabung dengan pemuda-pemuda lain untuk mempertahankan bangsa ini.    Dayan yang beragama Hindu mencoba menjadi seorang tentara yang selalu sabar dengan membawa nilai-nilai agamanya dalam kehidupannya. Dayan merupakan sosok religious sekaligus sosok keterwakilan suku yang mempunyai tekad untuk mempertahankan Indonesia melalui perjuangan sebagai prajurit. Sebuah bentuk representasi agama sekaligus suku Bali dalam kiprahnya untuk membela bangsa.
1.3.3.   Identitas Bangsa (Sulawesi Utara)/Bugis dan Kristen
             Thomas Lalamente seorang pemuda yang berasal dari sulawesi yang berangkat ke Jawa untuk bergabung menjadi tentara rakyat Indonesia setelah keluarganya dibantai oleh Belanda di depan matanya, Thomas seorang Kristen yang sejati. Sosok Thomas menjadi perwujudan kriten dan Indonesia Timur yang bergabung dengan Tentara Rakyat Indonesia menjadikan persoalan dalam
1.3.4.   Identitas Priyayi Jawa
             Identitas priyayi Jawa yang direpresentasikan sebagai bentuk eksistensi keterwakilan kaum bangsawaan Jawa dinyatakan dengan tokoh Marius. Marius adalah sosok yang dilahirkan atas perkawinan campuran antara kaum bangsawan Jawa dengan seorang berbagsa eropa sehingga menghantarkan mereka untuk melanggengkan kelas sosialnya. Marius yang diperlakukan oleh keluarganya dengan budaya eropa bangkit melawan untuk menjadi seorang pribumi asli. Sebuah pencarian jati diri sebagai seorang pribumi dengan belajar dari ketertindasan saudara-saudaranya dalama berbagai bidang, ekonomi, pendidikan, perlakuan dan sebagainya.


1.3.5.   Identitas Peranakan
             Surono (Zumi Zola) dan adiknya yang bernama Senja, merupakan generasi kedua dari sebuah pernikahan antara pribumi dengan bangsa eropa. Sebuah hasisl perkawinan antar negara dan sebuah kelahiran sikap sosial yang menyudutkan keberadaan keluarga peranakan ini pada level kesinisan sosial yang terprovokasi oleh hasutan orang-orang yang iri melihat kemapanan yang dimiliki oleh keluarga ini, baik dari segi ekonomi, kelas sosial, pendidikan dan lain-lain dibandingkan dengan pribumi. Surono dan yang berusaha untuk menjadi pribumi sesungguhnya kemudian mendaftarkan diri atau bergabung dengan sekolah tentara rakyat. Namun nasib memaksakan Surono harus tewas oleh sebuah serangan di malam kelulusannya sebagai tentara rakyat Indonesia. Nasib inilah yang membawa Senja untuk menjadi bagian tentara rakyat Indonesia.

G. PEMBAHASAN
1.1.Konstruk Diri dan Pluralisme TNI
Kekontrasan yang disajikan dalam pemahaman proses kekuasaan sebagai bentuk dari representasi yang dinyatakan bagi pihak-pihak terkait untuk membentuk jati diri pada pola-pola kekuasaan dan ataupun bentuk dari kekurangan kekuasaan. Kekuasaan dalam lingkup penanaman ideologi, perspektif, objektifikasi dan konstruk mentalitas berbangsa dan bernegara sebagai identifikasi ketahanan nasional dalam mempertahankan kemerdekaan negara. Negara sebagai bentuk diri dalam proses kelahirannya menjadi bangsa yang merdeka, sejajar dan mempunyai karakter diri terhadap pergaulan antar negara. Kekontrasan pihak-pihak terkait dalam sistem bernegara merupakan identitas makna-makna yang ditopang oleh berbagai sendi-sendi kehidupan rakyat dan kelas sosialnya.
Makna yang dimunculkan oleh sistem kelas-kelas sosial, ras, agama, suku, golongan serta berbagai konstruksi nilai-nilai lain yang tumbuh dalam sistem, konstruksi yang melahirkan persamaan nasib, persamaan perjuangan dan persamaan keinginan untuk merdeka melupakan segenap kepentingan diri, golongan dan sukunya, nilai-nilai perjuangan mampu meruntuhkan egoism diri untuk menjadi yang terbaik, menjadi yang terkuat dan menjadi yang dominan. Cara-cara yang ditempuh dalam memperjuangkan nilai-nilai kebebasan dari keterjajahan oleh bangsa lain pada gilirannya berasal dari dasar-dasar nilai bernegara, yakni bhineka tunggal ika. Sebuah slogan dan sekaligus falsafah berbangsa Indonesia yang berlandaskan kepada berbagai lingkup antropologi budaya yang beragam. Keragaman yang menjadi nilai kekayaan yang tidak ternilai harganya, sebuah bentuk detail bahasa, adat, sosial, dan suku-suku yang tersebar di nusantara.
Masyarakat Indonesia dengan landasan pancasila dan bhineka tunggal ika-nya ialah manifestasi diri dalam persatuan dan kesatuan negara, dengan cara masing-masing suku, ras dan golongan yang berbeda untuk sebuah wujud nyata realitas kemerdekaan. Identitas diri yang dimanifestasikan lewat perjuangan dengan segenap kekuatannya ialah suatu subkultural yang dimiliki oleh semua elemen bangsa, subkultural yang masing-masing terpisah dengan cara dan instrument yang berbeda pula, dan masing-masing memproduksi hubungan-hubungan yang bersifat perjuangan. Perjuangan untuk terbebas dari kekuatan asing untuk mewujudkan semangat nasionalisme bersatu padu menegakan diri sebagai bangsa yang besar yang tidak bisa diintervensi oleh negara lain dalam menentukan nahkoda kenegaraan dan berjuang mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan. Suku, ras dan agama merupakan elemen yang bukan merupakan oposisi, tetapi merupakan keragaman bentuk nilai dan budaya yang mampu memproduksi pluralisme dalam konsep-konsep perjuangan. Representasi pluralism merupakan reflektif elemen bangsa dalam ranah berkehidupan sosial yang matang, bermasyarakat yang majemuk dan bertujuan yang sama menghargai kemerdekaan sebagai hak setiap orang dan setiap bangsa.
TNI, dalam masa pembentukannya menjadi referensi sejarah multikulturalisme bangsa Indonesia yang dibangun berdasarkan nilai-nilai keragaman, kehadiran tentara rakyat Indonesia ditopang oleh kekuatan yang berbeda yang mampu bersatu, antara rakyat jelata, priyayi, peranakan, islam, kriten, hindu, jawa, bali, Sulawesi, dan lain sebagainya sebagai representasi kemajemukan bangsa ini. Konstruks negara berdiri dengan TNI sebagai alat negara dalam rangka menegakkan kekuasaanya, TNI sebagai aparatus negara berusaha untuk mendekatkan diri dengan berbagai kelompok, golongan yang berjuang mempertahankan negara dengan cara yang berbeda, ada sejumlah adegan dalam film yang mencoba untuk menggabungkan beberapa perjuangan kelompok-kelompok masyarakat untuk mengusir penjajah dengan cara dan jalannya sendiri.
Film trilogy Merah Putih ialah sebuah konstruks identitas TNI dalam merepresentasikan sejarah terbentuknya pertahanan negara yang dirintis oleh kekuatan sipil dan rakyat, sebuah eksistensi diri sejarah dan makna-makna nasionalisme. Pertahanan dan keamanan Indonesia menjadi sebuah terminology konsep diri TNI dalam mencari format-format nasionalisme di era reformasi yang telah berubah. Adanya serangkaian kasus bentrokan, dibeberapa daerah di Indonesia seperti Sampit, Papua, Aceh, Mesuji, Ahmadiyah, Pemboman rumah Ibadah, perusakan masjid, gereja, menjadi tamparan bagi pihak-pihak terkait, yakni negara. TNI sebagai alat kekuasaan negara seharusnya menjadi pihak yang bertanggungjawab terhadap persoalan tersebut, dibeberapa kasus, TNI dituding sebagai pihak yang hanya membantengi pihak-pihak yang dekat dengan kekuasaan, sementara rakyat diposisikan sebagai pihak lawan dan sekaligus musuh yang harus dilumpuhkan, diberantas dan dimusnahkan.
Ambiguitas TNI dalam mengkonstruk diri dalam misinya sebagai tentara yang manunggal dan sekaligus sebagai pihak yang bengis, haus akan darah rakyat. Ada semacam perspektif TNI yang mulai berpolitik terhadap persoalan oposisi golongan, kaum beruang yang harus dilindungi berdasarkan undang-undang dan kaum yang lemah sebagai mitra dan musuh yang harus diawasi, yakni rakyat. Sejarah TNI dibentuk ialah untuk mempertahankan kemerdekaan akibat ambisius Belanda untuk keembali menjajah Indonesia melalui kekerasan persenjataan. Sebagai bangsa yang bermartabat, melalui BKR (Badan Keamanan Rakyat) yang selanjutnya menjadi Tentara Keamanan Rakyat menjadi tulang punggung alat negara untuk memberikan keamanan dan kenyamanan dari pihak-pihak musuh.
Maka pada Juni 1947 film trilogy dimulai dengan narasi alur penceritaan untuk mengenang berdirinya TNI sebagai manifestasi kekuasaan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat. Kemanggulangan TNI dengan rakyat pun mulai muncul ketika keberdaan TNI mulai diusik oleh pihak politik komunis, dalam kemanggunlangannya dengan rakyat, TNI pada tahun 1945-1949 menyatakan sebagai tahun perang rakyat semesta, dimana TNI dan Rakyat mempertahankan kemerdekaan dari agresi militer dengan tujuan integritas wilayah kesatuan republic Indonesia dan eksistensi NKRI sebagai kekuatan bersama. Film trilogy merah putih merupakan identitas dan sekaligus pernyataan patriotik TNI sebagai patner rakyat dalam mempertahankan kemerdekaan negara, dimana detail identitas itu diwujudkan dalam bentuk-bentuk aksi dalam narasi ceritanya, TNI dalam peranannya ialah sebagai penegak kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah NKRI, yang berdasarkan pada falsaafah kehidupan bangsa, melindungi segenap bangsa Indonesia dari ancaman dan rongrongan dari bangsa lain.
1.2.Eksistensi Nasionalisme Dan Makna Keluarga
         Eksistensi keluarga Djojohadikusumo ialah bentuk nyata representasi identitas keluarga dalam ranah mempertahankan kemerdekaan republic ini. Gugurnya  R.M. Subianto Djojohadikusmo (21-tahun) dan Kadet R.M. Sujono Djojohadikusumo (16-tahun) merupakan bentuk gagalnya negara memberikan penghormatan setinggi-tingginya kepada segenap pahlawan bangsa, baik yang dihargai secara formalitas seremonial kenegaraan maupun bagi pahlawan-pahlawan yang sampai saat ini belum dan tidak dikenang jasanya. Ada semacam pembongkaran sejarah sebagai eksistensi nasionalisme, pembongkaran sejarah yang mencoba mengkritik Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi, serta mekanime negara yang terlalu berbelit-belit untuk mengakui jasa seseorang yang telah memberikan segenap kehidupannya untuk bangsa.
         Media desa sebagai production house film trilogy merah putih mencoba untuk menawarkan dua pernyataan lewat karya monumental tersebut. Pertama, pernyataan sebagai bentuk diferensial sejarah dalam perspektif imajinatif semangat nasionalisme, sebuah historisitas bangsa yang mulai ditinggalkan oleh generasi mudanya, film ini membuktikan diri sebagai sebuah kritik, sekaligus tamparan bagi pemerintah, lembaga film dan semua elemen bangsa yang sudah melupakan sejarah bangsanya sendiri. Kedua, pernyatan sebagai bentuk eksitensi diri keluarga Djojohadikusumo sebagai bagian dari sejarah perjuangan bangsa dan sejarah lahir, dan perjuangan tentara rakyat Indonesia di awal berdirinya negara kesatuan ini. Terdapat semacam maksud pembuktian diri keluarga Djojohadikusumo sebagai keluarga pahlawan, sebagai keluarga patriotik, sebagai keluarga yang telah berjasa bagi negeri ini. Pengakuan ini ialah bentuk identitas keluarga, bentuk citra, bentuk orientasi diri dalam bermasyarakat dewasa ini, atau sebagai propaganda eksitensi keluarga Djojohadikusumo dalam percaturan kekuasaan dan politik Indonesia dewasa ini, bentuk propaganda media untuk melawan dan menjatuhkan lawan politiknya.
         Persoalan politik identitas yang diusung oleh keluarga Djojohadikusumo di tengah perwujudan makna pahlawan yang ditekankan dan dibuat mekanisme bakunya oleh departemen sosial, dimana mekanisme seseorang dinyatakan sebagai pahlawan ialah dengan mekanisme politik undang-undang dan peraturan pemerintah yang tidak dan kurang menyentuh relaitas makna pahlawan dan nasionalisme itu sendiri. Bentuk pangajuan sesesorang oleh golongan menjadi pahlawan nasional, didukung oleh mekanisme forum dan tulisan ilmiah, menjadi sebuah mekanisme kepahlawanan berada pada ujung tinta para penguasa, bukan pengakuan dari realitasnya.
         Eskistensi diri TNI dalam perspektif nasionalisme ialah: anggota TNI direkrut dari dan berasal dari warga negara Indonesia, hal ini direpresentasikan dalam beberapa adegan film yang digambarkan sebagai wujud nyata kebanggaan dan kebesaran pemuda-pemuda bangsa di era kemerdekaan. Sebagai tentara pejuang, maka perjuangan para pemuda bangsa yang tergabung dalam TNI pada jaman kemerdekaan selayaknya ditempatkan pada posisi terhormat dalam percaturan sejarah bangsa, termasuk pihak-pihak yang gugur dalam medan perang untuk dikenang jasa-jasanya. Eskistensi ini muncul ketika dua keluarga Djojohadikusumo berada pada pihak yang tersisikan oleh sistem politik dan identitas kebangsaan.
         Dalam terminologi kepentingan negara, TNI menjadi sumber utama kekuatan dalam pertahanan dan keamanan, ras, suku, golongan, agama, daerah dan dinamikanya, karena TNI ditopang oleh kekuatan-kekuatan tersebut dalam mewujudkan kekuatan internalnya, TNI diwujudkan berdasarkan atas kepentingan-kepentingan ras, suku, golongan dan agama yang mempunyai misi sama, yakni mempertahankan kemerdekaan yang telah diraihnya, hal ini terwujudkan dalam kronologis alur pencerutaan film trilogy merah putih. Kosnep tersebut ialah menilik pada persamaan hak asasi yang menjadi cita-cita semua agama, semua golongan dan semua etnis manapun di dunia ini.

H.  KESIMPULAN
Komunikasi militer dalam sistem sinema trilogy merah putih mewujudkan eksistensi sejarah dan makna nasionalisme yang direpresentasikan sebagai identitas:
1.     Perjuangan dan keberhasilan TNI dalam mengusir para penjajah dalam mempertahankan kemerdekaan pada saat Belanda melakukan agresi militernya.
2.     Sinema dijadikan sebagai eksistensi sejarah gugurnya pejuang yang berasal dari keluarga Dojohadikusumo di wilayah Tangerang. Dimana negara tidak pernah memberikan apresiasi terhadap keduanya.
3.     TNI pada dasarnya dibentuk atas dasar pluralism suku, ras, agama dan golongan yang menghuni bumi Indonesia.
4.     Pluralism dalam media adalah bentuk manifestasi yang diproyeksikan sebagai bentuk kampanye kepada generasi muda untuk menhargai dan memahami nilai nasionalisme.

I.    DAFTAR PUSTAKA

Agger, Ben, 2009, Teori Sosial Kritis, Kritik Penerapan dan Implikasinya, Kreasi Wacana: Yogyakarta.
Bungin, Burhan, Ed, 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT Radja Grafindo Persada.

Effendy, Heru, 2002. Mari Membuat Film, Panduan Menjadi Produser. Yogyakarta: Jalasutera.

Eriyanto. (2000). Analisis Framing: Konstruksi Ideologi dan Politik Medi. Yogjakarta: LKis.

________ (2005). Analisis Wacana, Pengantar Analisis Tek Media. Yogyakarta: LKis.

Graeme, Burton. (2008). Media dan Budaya Populer. Yogyakarta: Jalasutera.

Grosby, Steven, 2009. Sejarah Nasionalisme, Asal Usul Bangsa dan Tanah Air. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Kriyantono, Rachmat, 2008. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Kymlicka, Will, 2011. Kewargaan Multikultural. Jakarta: LP3ES

McQuail, Denis. (2007). Mass Communication Theory, An Introduction, 3rd Edition. London: Thousand Oaks-New Delhi: Sage Publication.

Nugroho, Heru, 2001. Produksi Film. Jakarta: Grasindo.

KATALOG:
Katalog Film Indonesia 2000-2006. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia.

Katalog International Women Film Festival 2010. Goethe Haus, Kineforum, Komunitas Salihara.

Katalog Film Indonesia, 2009. Festival Film Indonesia.