Studi Terhadap
Etnographic Eksistensi Sejarah dan Makna
Nasionalisme Tentara
Nasional Indonesia (TNI)
Dalam Film Trilogi
“Merah Putih”
OLEH:
Ahmad
Toni
Abstraksi
Sementara
kepingan-kepingan sejarah bangsa ini dalam merebut kemerdekaan yang ditopang
dengan semangat berbangsa dan bernegara, senasib dan seperjuangan dalam menegakkan
kemerdekaan negara seakan-akan telah surut dalam ingatan generasi muda.
Perjuangan yang ditempuh oleh semua suku, ras, etnis, golongan dan agama di
Indonesia, perjuangan yang dilakukan dalam bingkai pluralism dan kemajemukan
bangsa tanpa membeda-bedakan latar belakang untuk bergabung sebagai tentara
nasional Indonesia (TNI). Bergabung sebagai militer dalam wadah TNI ialah
kebanggaan tertinggi sebagai anak bangsa bagi para pemuda di zamannya. Media
mencoba menghadirkan kembali eksistensi sejarah dan makna nasionalisme yang
sesungguhnya, terutama film, di tengah-tengah film Indonesia yang lebih
mengusung perumusan seksualitas paha dan dada sebagai perwujudan eksistensi budaya
dan nilai nasionalisme sebagai pembungkusnya. Sementara ribuan kisah perjuangan
pemuda-pemudi bangsa dalam mengusir penjajah telah terlupakan, apakah bangsa
kita diciptakan sebagai bangsa yang melupakan sejarahnya sendiri?.
Kata
Kunci: Pluralisme, Militer, Sinema, Indonesia.
A. LATAR BELAKANG
Sinema Indonesia dalam
sejarahnya merepresentasikan nilai-nilai bangsa yang terkandung melalui pesan
instrinsik maupun pesan ekstrisik, sinema Indonesia berkaitan erat dengan
sistem politik dan kekuasaan yang membentuk proses keterikatan sinema dengan
sistem sosial dan budaya yang menyertainya. Proses ini menyurutkan segenap
film-film yang diproduksi sebagai film yang menunjukan nilai-nilai entertaintment
semata, namun sebagian lagi kemudian mampu mengusung nilai-nilai dan semangat
kemajemukan berbangsa dan bernegara.
Sampai saat ini, sinema
Indonesia masih didominasi oleh generasi teknologi digital sebagai instrument produksi
untuk mengahdirkan gambar gerak bersuara, detail antropologi bangsa ini
terapresiasikan lewat segenap karya mumpuni para sineas. Bahkan film-film yang
diproduksi berdasarkan cerita nun jauh dari keramaian dan pertarungan politik
justeru menjadi film yang mampu berbicara banyak di kancah sinema
internasional, seperti sederet film yang ditampilkan sutradara kenamaan Garin
Nugroho dalam setiap produksinya: “Surat Untuk Bidadari”, “Cinta Dalam Sepotong
Roti”, “Bulan Tertusuk Ilalang”, “Daun Diatas Bantal”, Puisi Tak Terkuburkan”, “Dan Bulan Pun Menari”, “Aku Ingin
Menciummu Sekali Saja”, “Rindu Kami Padamu”, “Opera Jawa”, “Dibawah Pohon”,
“Mata Tertutup” dan segenap judul lainnya.
Garin dan karyanya
disebut sebagai tokoh yang mampu menjembatani teknologi sinema Indonesia dalam
dua zaman, zaman teknologi konvensional dengan segenap instrument teknologi
perfilman yang masih konvensional dengan instrument produksi digital, kemampuan
Garin dalam berkomunikasi lewat sinema telah diakui oleh dunia sebagai
sutradara yang genius dan kritis melihat gejala sosial yang terjadi di
Indonesia. Sementara generasi digital melahirkan sineas-sineas muda yang mampu
menghadirkan detail-detail sosial dan antropologi kebudayaan Indonesia dengan
sisi yang lebih modern. Sutradara Riri Reza yang terkenal dengan karya-karyanya
mampu menjadikan Indonesia sebagai bagian dari industri film yang sarat dengan
nilai-nilai keindonesiaan. Sederet judul film yang dihasilkan Riri Reza ialah:
“Petualangan Sherina”, “Eliana”, “Gie”, “Untuk Rheina”, “Tiga Hari Untuk Selamanya”,
“Laskar Pelangi’, “Sang Pemimpi”, dan lain-lain.
Namun sinema Indonesia
dalam dimensi nassionalisme masih berada pada level yang sangat memprihatinkan,
makna nasionalisme yang riil diusung dalam bentuk penyerahan jiwa dan raga
untuk keutuhan bangsa dan negara. Konteks nasionalisme ini ialah nilai-nilai
luhur bangsa dalam sejarah perjuangan bangsa. Nasionalisme dalam lingkung
kesejarahan bangsa yang terjajah selama tiga abad lebih, sebuah bangsa yang
tangguh untuk menentukan sendiri sejarah dan kehidupan rakyatnya, bukan bangsa
yang mendompleng keinginan dan hegemoni bangsa penjajah. Nilai nasionalisme
inilah yang jarang dan hampir terlupakan oleh sineas-sineas perfilman
Indonesia, sebuah makna nasionalisme yang terlupakan oleh generasi saat ini
untuk dihadirkan dan wujudkan dalam beerkesenian audio visual.
Sineas saat ini lebih
mementingkan unsur hiburan daripada unsur kesajarahan kebangsaan yang begitu
panjang dan berliku sebagai modal dalam produksi-produksi karyanya, hampir
setiap saat dan setiap minggu para sineas mengahdirkan film horror, hantu,
sesualitas perempuan, pergaulan remaja dan sejenisnya. Sedangkan perkembangan
film yang menghadirkan unsur sejarah perjuangan bangsa Indonesia yang berabad
seakan hanya sebagai memoriam dalam segenap benak insan bangsa yang berjumlah
ratusan juta, sebuah kontras sejarah yang telah hadir dalam kehidupan nyata
untuk melupakan akar rrumput sejarah yang membentuk dan meembesarkan negeri
ini.
Ditengah gempuran
kehadiran film-film tersebut seorang sutradara dalam produksinya mampu dan
berani tampil dengan karya yang memukau, seorang sineas yang diberikan
kesempatan dalam berkarya untuk mengaktualisasikan ide dan gagasannya diantara
serbuan nilai-nilai kapitalisme perfilman Indonesia. Dengan segala konsekuensi
dan perdebatan pro dan kontra Yadi Sugandhi menghadirkan detail-detail sejarah
bangsa dalam membangun nilai-nilai persatuan dan kesatuan berbangsa dan
bernegara dalam bingkai mata kamera sinema Indonesia lewat trilogi film yang
diproduksinya: “Merah Putih” yang mengusung nilai-nilai pluralisme dan multikulturalisme
untuk mewujudkan kehadiran sejarah dan keberadaan militer sebagai bagian dari
ketahanan nasional yang berafiliasi dengan berbagai konteks kehidupan.
B. FILM SEBAGAI MEDIA MASSA
Sejumlah teori komunikasi
massa menempatkan film sebagai salah satu media yang dipergunakan dalam
berbagai kajian dan ojek jenisnya, film bahkan dengan karakteristiknya yang
bernuansa seni tinggi ditempatkan pada kerangka teori komunikasi massa yang
tidak dibahas secara mendalam, berbeda dengan media radio dan televisi. Hal ini
dikarenakan film jarang dihadirkan pada ruang private audience dan hanya
diputar ditempat-tempat yang telah ditentukan, sejarah yang demikian
menempatkan film sebagai sisi media massa yang jarang diulas secara detail dan
menyeluruh dalam bingkai teori komunikasi, terutama komunikasi massa yang
menonjolkan peran audience sebagai khalayak massa.
Keberadaan film justeru
lebih banyak dibahas sebagai sebuah bidang keilmuan seni, mengingat film
mengahdirkan sistem dramaturgi yang meliputi: curiosity, suspense, konflic dan surprise. Sistem dramatisir ini dilakukan berkaitan dengan produksi
film yang lebih menonjolkan unsur dramatik cerita dalam alur narasi yang
dihadirkan. Film dijadikan sebagai wahana untuk memadukan dan proses
harmonisasi bidang-bidang seni, seperti sastra, seni peran (acting), penyutradaraan, tata cahaya,
audio, kamera (sinematografi), busana
dan lain-lain. Hal ini memunculkan proses ambiguitas film sebagai komikasi
massa dengan seni.
McQuail (2002: 33) menyatakan
bahwa teori komunikasi massa ialah “karakteristik film sebagai usaha bisnis
pertunjukan (show business) dalam
pasar yang kian berkembang mencakup segenap permasalahan film. Dimana tema film
dimanfaatkan sebagai alat propaganda. Pentingnya pemanfaatan film dalam dunia
pendidikan didasari oleh pertimbangan bahwa film memiliki kemampuan untuk
menarik perhatian orang (massa) dengan kemmampuan film mengantar pesan secara
unik”. Selanjutnya Winarso (2005: 40) “menggunakan konsep masyarakat massa
memberikan ciri khalayak massa “heterogen
dalam komposisi, anggota-anggotanya berasal dari kelompok-kelompok yang berbeda
dalam masyarakat, kelompok individu yang tidak mengenal satu sama lain, yang
terpisah berdasarkan kekhususan, yang tidak dapat berinteraksi satu sama lain,
tidak mempunyai kepemimpinan atau organisasi formal”. Terdapat semacam
sinkronitas antara film dengan khalayak massa yang disebutkan diantara kedua
pendapat diatas, secara konsep media massa diakses dan dinikmati oleh massa
yang heterogen dalam konsepsi
keberadaan dan fungsi media untuk mengantarkan dan distribusikan pesan.
Selanjutnya McQuail
(2000: 35-36) “Film merupakan salah satu dari media massa, film berperan
sebagai sarana komunikasi yang digunakan untuk penyebaran hiburan, menyajikan
cerita, peristiwa, musik, drama dan sajian teknis lainnya kepada masyarakat”.
Karakteristik film sebagai usaha bisnis pertunjukan dalam pasar sebenarnya
belum mampu mencakup segenap permasalahannya. Dalam sejarahnya film mempunyai
tiga elemen besar diantaranya:
1. Pemanfaatan
film sebagai alat propaganda. Film ialah sebagai upaya pencapaian tujuan
nasional dan masyarakat. Hal ini berkaitan dengan pandangan yang menilai bahwa
film memiliki jangkauan, realism, pengaruh emosional, dan popularitas. Bauran
pengembangan unsur pesan dengan hiburan sebenarnya sudah lama diterapkan dalam
kesusastraan dan drama (teater) namun unsur film jauh lebih sempurna
dibandingkan dengan teater dari segi jangkauan penonton tanpa harus kehilangan
kredibilitasnya.
2. Munculnya
beberapa aliran film diantaranya drama, dokumenter, dokudrama dan lain-lain.
3. Memunculkan
aliran dokumentasi sosial. Di samping itu, terdapat unsur-unsur ideologi dan
propaganda yang terselubung dalam suatu film yang berasal dari fenomena yang
tampaknya tidak tergantung pada ada atau tidaknya kebebasan masyarakat.
Fenomena ini berakar dari keinginan untuk merefleksikan kondisi masyarakat.
Adapun media film terdiri dari berbagai
unsur di dalamnya, unsur-unsur tersebut seperti:
1. Bentuk,
konsep ini berlandaskan pada cara media film membentuk produk-produk genre
(jenis bedasarkan tema dan ceritanya). Selain itu juga film berpegang pada cara
konstruksi berbagai kualitas seperti realism.
2. Narasi,
konsep ini menempatkan diri pada aspek bentuk yang berkaitan dengan konstruksi
cerita dan drama atau proses dramatisir. Narasi membentuk makna yang ada dalam
suatu konflik yang dibangun atas tokoh-tokoh dan penokohan (perwatakan), adanya
deprivasi sosial suatu rangkaian atau jalinan alur cerita dengan berbagai
konflik yang menuju klimaks tanpa adanya pencopotan atas konflik yang terjadi.
3. Teks,
konsep teks berhaluan pada semua produk media yang menenpatkan diri seakan-akan
semua produk yang ada dalm frame
kamera adalah sebuah buku yang sedang dibaca untuk dicari makna-maknanya.
4. Genre, genre
termasuk konsep yang mengacu pada fakta atas sebagian besar produk media film
yang terbagi ke dalam berbagai kategori atau tipenya.
5. Representasi,
konsep media film untuk menunjukkan presentasi terhadap berbagai kelompok
sosial yang dikategorikan dengan cara gender, umur, kelas sosial dan lain-lain.
6. Audience,
konsep ini menaruh perhatian pada sejauh persepsi dan pengalaman sosial
seseorang terhadap pembacaan materi yang diusung di film tersebut bergantung
dengan tingkat pendidikan yang ditempuh oleh masing-masing.
7. Efek,
efek meproporsi tentang bagaimana dan mengapa produk media mempengaruhi para audience baik secara aktif maupun pasif.
8. Institusi,
ialah pada organisasi yang menjalankan dan mengontrol media sehingga institusi
bisa memelihara kepentingan pemodal.
Nugroho (2001: 13)
menyatakan bahwa “durasi film cerita (fiksi) pendek di bawah 60 menit. Film cerita
pendek dijadikan laboratorium eksperimen dan batu loncatan bagi seorang dan
atau sekelompok orang untuk kemudian memproduksi film panjang. Film dengan
durasi lebih dari 60 menit disebut film panjang”. Film pertama kali lahir di
paruh kedua abad ke-19, dibuat dengan bahan dasar seluloid yang sangat mudah
terbakar, bahkan oleh percikan abu rokok sekalipun. Sesuai perjalanan waktu,
para ahli berlomba-lomba untuk menyempurnakan film agar lebih aman dan mudah
diproduksi”. Selanjutnya Nugroho (2001:30-39) menyatakan bahwa “dalam proses
produksi kebutuhan shooting dengan melakaukan perencanaan, sebagai berikut:
1. Script Breakdown,
yakni berisi informasi tentang setiap adegan yang ada dalam film. Isinya
meliputi; date, script version date,
production company, breakdown page no, title, page count, location on set,
scene no, int/ext, day/night, description, cast, wadrobe, extras/atmosphere,
make up/hair do, stunt, vehicles/animal, props, set dressing, sound effect,
musik, special equipment, production notes, dll.
2. Jadwal
shooting, yakni kumpulan adegan dan
lokasi yang direncaanakan berdasarkan waktunya.
Adapun tim inti dalam
film menurut Nugroho (2001: 60-65) dalam pembuatan film ialah sebagai berikut: Produser,
kepala depatemen produksi sebagai penggerak produksi film, terdiri atas; executive producer, Associate producer,
producers, line producer. Director
(sutradara), yakni menentukan konsep kreatif tentang arahan gaya pengambilan
gambar. Manajer produksi, yakni sebagai coordinator harian yang mengatur kerja
dan memaksimalkan potensi yang ada di seluruh departemen. Desainer produksi (art), yakni mendesain dan membuat sketsa
untuk memvisualisasikan setiap shot. Director
of Photography, yakni meraancang tata cahaya dan kamera berdasarkan atas
arahan sutradara dan bagian lain.
C. KONSEP IDENTITAS DAN PLURALISME DALAM MILITER
1.1.Konsep
Identitas
Identitas menurut Briggs dan Cobley dalam Burton (2008: 30) “adalah pemahaman
tentang diri sebagai direpresentasikan oleh kekontrasan dengan pihak-pihak lain
dikaitkan dengan kekuasaan atau kekurangan kekuasaan”. Selanjutnya Burton (2008:
32) “Identitas adalah bagian dari makna-makna yang dimunculkan dengan
merepresentasikan kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat dengan cara-cara
tertentu. representasi tersebut, pada gilirannya, berasal dari ideologi, dari
caranya memahami dunia dan hubungan-hubungan kekuasaan”. “Argumen identitas
yang merupakan bagian suatu subkultur terpisah yang dapat dikenali harus
memproduksi hubungan yang bersifat perjuangan, jika bukan merupakan benar-benar
oposisi terhadap budaya dominan tersebut” (Burton, 2008: 40).
Gambar
1: Identitas
Representasi menyangkut persoalan dan pembuatan atas makna,
dimana cara mengamati keadaan, individual melalui sistem berbagai konvensi
sehingga cara pembuatan makna dibenarkan berdasarkan hasil konvensi tersebut.
Berkaitan dengan konsep teori representasi ini sebagaimana dinyatakan Burton
(2008: 41) “Berbagai pandangan (perspektif) tentang umur, ras dan seterusnya
yang berasal dari artikel tertulis, gambar-gambar dari komik dan film. Adalah
lebih bermenfaat untuk berpikir tentang representasi dalam pengertian verbal
dan aktif”. Selanjutnya pandangan
tentang representasi meliputi:
a. Sudut
pandang, pada tahap ini representasi ditunjukan oleh sudut pandang yang
ditempatkan oleh kamera (eyeline) dan
tahap mengintip (voyeuristic).
b. Hall
(1997) mendeskripsikan representasi atas; reflektif dalam ranah kehidupan
sosial masyarakat, intensional dalam ranah sudut pandang kreativitas seorang creator, konstruksionis dalam ranah
bahasa kode visual.
c. Tatapan
dan objektivikasi, jenis konstruksi mental dan tindakan tatapan menyangkut
gambar film.
d. Ideologi
dan wacana, dalam hal ini merujuk kepada siapa yang berkuasa, bagaimana
kekuasaan diterapkan dan nilai-nilai dominasinya.
e. Determinasi
ekonomi, dilihat dari pemasaran secara khusus.
f. Posmodernisme,
mencoba untuk merefleksikan realitas sosial terhadap ukuran mutlak
representasi.
1.2.Konsep
Pluralisme (Multikultural) Militer
Agger (2009: 140) menyatakan
bahwa “multikulturalisme adalah varian teori perbedaan, perbedaan manusia
secara analistis lebih penting ketimbang kesamaan, multikulturalisme merayakan
perbedaan sebagai suatu kerangka kerja yang ada didalamnya untuk menghargai
banyak kelompok dan narasi khas mereka tentang pengalaman mereka”. selanjutnya
Agger (2009: 141) “multikulturalisme meemperbaiki politik identitas dengan
mendorong setiap kelompok tertindas untuk mengisahkan pengalaman ketertindasan
yang dialami kelompok lain. Multikulturalisme menjadikan pribadi sebagai agenda
politik utama”. Hal inilah yang mencoba menjadi wilayah utama multikulturalisme
melihat masyarakat yang baik dalam hal nostalgia citra plural. Pluralitas disini
ialah mencoba memberdayakan kelompok minoritas dan melakukan penempatan
identitas sama layaknya dengan kaum lain.
Pluralisme memperlakukan ras,
kelas dan semua kelompok anggota komunitas sebagai sebuah struktur penindasan
yang bermakna besar daripada yang dilakukan atas dasar individual yang
mempengaruhi dan mengubah pengalaman dan sejarahnya. Tingkat individu yang
berusaha memproduksi aspek identitas sebagai bentuk representasi diri sebagai
individu yang kuat diantara individu lain yang teropresikan. Pendekatan ini
menunjukan dan memperlakukan fenomena sosial sebagai nilai dan yang terkandung
dalam karakteristik sosial tersebut yang meliputi ras, jender, agama,
pendidikan, dan sebagainya. Dalam citra identitasnya, pluralism menekankan
tentang politik identitas yang menunjukan narativitas sebagai bentuk
pengejahwantahan dirinya, identitas tidak bisa dibentuk sebagai karakteristik
perbedaan namun identitas lebih jauh mencoba untuk menghadirkan keragaman.
Keragaman (plural) adalah “sumber keragaman budaya, kehadiran lebih dari satu
bangsa di dalam suatu negara tertentu, dimana ‘bangsa’ berarti komunitas
historis, secara institusional menduduki suatu wilayah atau tanah tertentu,
mempunyai bahasa dan kebudayaannya sendiri” (Kymlicka, 2002: 14-15). Secara
sosiologis masyarakat yang dibangun atas kebudayaan ialah dipertukarkan dengan
masyarakat lain yang sama tertopang dengan kebudayaan yang dimilikinya, suatu
pandangan tentang kaum minoritas dan mayoritas yang sinergi dalam historisitas
pembentukan bangsa. Pluralisme berusaha untuk menggabungkan secara bersama-sama
historisitas kelompok-kelompok bangsa untuk membentuk institusi sebagai tujuan
dari identitas baru yang dibentuk berdasarkan makna-makna keberagaman yang
dihadirkan lewat aspirasi secara bersama-sama. Historisitas suatu bangsa
menjadi bangsa yang multi-bangsa diakibatkan oleh proses penjajahan yang
panjang, penaklukan, imigrasi perorangan atau kelompok yang kemudian
menghadirkan kompleksitas budaya, perspektif, etos dan lain-lain.
Dalam sejarahnya militer
Indonesia (TNI) terbentuk atas kesamaan nasib, berbagai suku dan bangsa di
tanah air terhadap penjajahan yang dilakukan oleh Belanda, Portugis, Jepang
selama berabad-abad. Penderitaan yang melatarbelakangi sejarah penjajahan ini
memunculkan rasa patriotism dan cinta tanah air, sehingga mempertahankan
sejengkal tanah menjadi harga mati demi mewujudkan kemerdekaan. Militer di
Indonesia berdiri sebagai pasukan dalam ekistensi bangsa merebut kemerdekaan
dan persamaan hak dengan bangsa-bangsa lain.
D. EKSISTENSIALISME SEJARAH DAN MAKNA
NASIONALISME
1.1.Eksistensialisme
Sejarah Bangsa
Sejumlah narasi
permulaan munculnya suatu bangsa diberbagai belahan dunia dalam makna yang
terkandung dalam sebuah cerita menunjukan banyaknya perspektif dan konteks
sosial masing-masing wilayah untuk menunjukan jati dirinya sebagai bangsa yang
tangguh dan besar pada masanya. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Grosby (2011:78-79)
bahwa “legenda berkontribusi pada pembentukan gambaran hubungan wilayah yang
memiliki batas teritorial dan durasi waktu, memformulasikan hubungan antara
komunitas sejarah aktual ke tatanan persepsi dari alam semesta. Pembentukan
bangsa-bangsa dalam sejarah ialah eksistensi legenda yang bersifat mitologi”.
Selanjutnya Grosby (2011: 80) menyatakan “eksistensialisme melalui sejarah
secara luas dipahami mengikutkan legenda yang sedemikian rupa hingga
mengaburkan perbedaan antara fakta dengan khayalan. Suatu bangsa dapat mengerti
dan membentuk dirinya sendiri dan dengan demikian ialah berproses membentuk
dirinya”.
Sejarah berusaha untuk
menunjukan diri sebagai daya tarik yang selektif pada aspek selektif di masa
lalu untuk memperomosikan pemahaman tertentu dari masa kini dan tujuan utamanya
ialah masa depan, sejarah tetap akan membawa kerumitan berupa pro dan kontra sebagai
pemahaman di masa depan. Sejarah akan selalu menjadi seebuah ajang terjadinya
eksistensi ketegangan dengan masanya, ketegangan yang dilakukan oleh sebuah
tradisi dengan tradisi lain, oleh sebuah orde dengan orde yang lain. Ketegangan
yang ditopang oleh rasionalitas manusia yang tidak pernah terpuaskan dengan
satu kesimpulan tertentu, dimana ketengangan muncul yang diakibatkan oleh suatu
problematikan sebagai sebuah tuntutan baru dalam pelurusan sejarah, tuntutan
yang diberikan kepada komunitas yang berkuasa secara sosial politik dan
dominasi idiologi tertentu.
1.2.Makna
Nasionalisme
Beragam pemaknaan
tentang nasionalisme dalam berbagai sumber dan literature dalam kesejarahan
bangsa Indonesia. Anthony Smith dalam Corby (2011: 18-19) “lokasi kelahiran
bangsa di dalam sesuatu yang berkelanjutan dari kelompok-kelompok kekerabatan.
Adalah elemen kekerabatan ini dimana ahli bangsa dan nasionalisme yang sangat
produktif. Bangsa adalah komunitas kekerabatan, berbatasan secara spesifik,
secara territorial luas, komunitas kelahiran yang erat untuk sementara waktu”. Nasionalisme
juga sering diidentikan dengan patriotism, dimana patriotism apa yang dipahami
sebagai milik seseorang merupakan bentuk pertanggungan dan elemen konsekuensi
dari obsesi dan keinginan diri secara berkesinambungan terikat dengan wilayah,
baik secara fisik maupun kecintaan yang dimilikinya. Sebuah bentuk kecintaan
seseorang terhadap bangsa yang telah membesarkannya.
“Istilah cinta yang
dipakai secara meluas merupakan ekspresi kemelekatan dimana individu
memilikinya terhadap bangsanya, kemelekatan ini menggambarkan sesuatu yang
dipunyainya seperti kekasih, anak, teman dan Tuhan” (Corby, 2011: 21). Artinya,
ada bentuk-bentuk ekspresi secara psikologis yang dimiliki oleh seseorang
kepada tanah airnya, kewilayahan ini memberikan ikatan jiwa individu dengan
nilai-nilai bangsanya. Nilai patriotism dan nasionalisme tidak mengenal adanya
kompromi dalam hal bernegara dan berbangsa, dimana kompromi adalah politik yang
mengubah pendirian nilai-nilai kecintaan terhadap tanah air dan antusiasme
patriotik.
Tanah air ialah
referensi yang ditujukan kepada bentuk image wilayah yang memiliki sebentuk
batas-batas yang telah diperjuangkan, yang kemudian menjadi identitas asal
seseorang dilahirkan, dibesarkan oleh teritorial tersebut, penduduk asli tanah,
rumah nenek moyang, secara nyata kata ‘tanah air’ merupakan representasi atas
sumber kehidupan yang telah memberi seseorang kehidupan yang dilaluinya, sebuah
bentuk perwujudan pengakuan diri dan keterikatan diri seseorang dengan bumi
yang telah diijaknya sejak dilahirkan yang harus dibela “elemen dari kedalaman
waktu dalam hubungan territorial suatu tanah air nasional, dimana bagian dari
diri diletakan ke dalam tanah air yang dipersepsikan sebagai nenek
moyang”(Corby: 2011: 73).
E. METODE PENELITIAN
Studi analisis isi bergantung atas beberapa validasi data
atau dokumentasi yang dikategorikan. Sebagaimana dinyatakan oleh Deutschmann)
“kategori-kategori; perang, pertahanan dan diplomasi, politik dan pemerintahan,
kegiatan ekonomi, kejahatan, masalah moral masyarakat, kesehatan dan
kesejahteraan, kecelakaan dan bencana, ilmu serta penemuan, pendidikan dan seni
klasik, hiburan rakyat dan human interest”
(Flournoy, 1986: 25-26). Edelman
dalam Eriyanto (2004: 156-157) menyatakan bahwa “mensejajarkan framing dengan
kategorisasi, kategorisasi merupakan abstraksi dan fungsi pikiran. Kategori,
membantu manusia memahami realitas yang beragam dan tidak beraturan menjadi
realitas yang memahami makna. Khalayak tidak sadar bahwa alam pikiran mereka
dan kesadaran mereka telah didikte dalam sudut pandang tertentu sehingga tidak
berpikir pada dimensi yang lain”. Dalam ECA Kriyantono (2010: 250) menyatakan
bahwa “peneliti dihadapkan pada beberapa hal yang menyangkut sistematis
analisis isi sebagai guide kategorisasinya antara lain: isi (content), process (pengemasan bentuk media), emergency, yakni tahapan pembentukan secara bertahap dari sebuah
pesan melalui interpretasi”. Selanjutnya Bungin (2010: 203) menyatakan dengan
jelas bahwa “apapun jenis teks gambar, termasuk gambar bergerak (moving image), haruslah memperhatikan
beberapa hal, antara lain: context,
atau situasi sosial di seputar dokumen atau text yang diteliti, procces, produksi media atau isi pesan
dikreasi secara aktual dan diorganisasikan, emergency,
tahapan makna sebuah pesan melalui pemahaman dan interpretasinya.
Penelitian ini menggunakan metode analisis isi (content analys) terhadap objek
penelitiannya yaitu teks (wicara), baik dialog maupun audio-visual film.
Analisis isi konvensional yang secara tipikal difokuskan pada muatan isi teks
film yang manifest, analisis yang dimaksudkan ialah menekankan semua isi pesan
(teks), termasuk cara pengambilan gambar (frame),
pencahayaan, tata artistik, tata suara, skenario maupun istilah-istilah yang digunakannya dalam produksi
film. Macam dan jenis analisis isi banyak dipakai untuk metode penelitian yang
difokuskan pada penelitian surat kabar untuk melihat berbagai persoalan isi
media, baik dalam bentuk kewacanaan, politik, sosial, religious, konflik,
pluralism dan sebagainya. Sebagaimana dinyatakan oleh Burhan Bungin (2010: 203)
“analisis isi media kualitatif lebih banyak dipakai untuk meneliti dokumen yang
dapat berupa teks, gambar, simbol, dan sebagainya untuk memahami budaya dari
suatu konteks sosial tertentu”.
Persoalan teks media, baik berupa teks tertulis, gambar,
simbol dan sebagainya termasuk dalam perkembangan teks audio-visual, televisi
maupun film yang terekam dalam bingkai kamera audio-visual. Selanjutnya Bungin
(2010: 203) menjelaskan bahwa “dokumen dalam analisis isi kualitatif adalah
wujud dari representasi simbolik yang dapat direkam/didokumentasikan, analisis
isi untuk memahmai makna, signifikansi dan revelansinya”. David L. Altheide
dalam Bungin (2010: 204) lebih suka menggunakan istilah ethnographic content analysis “untuk menjelaskan model penelitian
analisis isi kualitatif. Istilah ECA (ethnographic
content analysis) sebenarnya adalah perpaduan (blend) antara metode analisis isi objektif (traditional notion of objective content analysis) dengan observasi
partisipan”. Sementara Kriyantono (2008: 249) “dalam ECA periset (peneliti)
berinteraksi dengan material-material dokumentasi atau bahkan melakukan
wawancara mendalam untuk mendapatkan konteksnya”.
F. HASIL ANALISA DATA
1.1.Tinjauan
Teks Sejarah Kemerdekaan Republik Indonesia Dalam Film
Film
trilogy mera putih terdiri atas: “Merah Putih”, “Darah Garuda”, “Hati Merdeka”,
sebagai tiga bentuk film panjang yang diaktori oleh Lukman Sardi, Donny
Alamsyah, Darius Sinathrya, T. Rifnu Wikana, Zumi Zola, Astri Nurdin, Rahayu
Saraswati, Atiqah Hasiholan, Alex Komang,
disutradarai oleh Yadi Sugandhi. Film ini diproduksi oleh media desa
yang diproduseri oleh Hashim Djojohadikusumo, Bob Allyn dan Jeremy Stewart sehingga film yang
menampilkan detail antropologi sejarah penjajahan bangsa Eropa kepada bangsa
Indonesia berabad-abad lamanya ini tidak diakui sebagai film produksi Indonesia
dalam FFI, Festival Film Indonesia. Film ini menceritakan seluk beluk berbagai
suku, ras dan tempat yang pernah menjadi sejarah kekejaman para penjajah yang
dilatarbelakangi dengan perjuangan Jenderal Soedirman dan sejarah terbentuknya
Tentara Nasional Indonesia.
Film
ini diproduksi untuk menegenang wafatnya R.M. Subianto Djojohadikusmo
(21-tahun) dan Kadet R.M. Sujono Djojohadikusumo (16-tahun) dan semua pahlawan
yang telah berjuang sebagai tentara republic Indonesia yang gugur di medan
perang. Film ini berusaha untuk memberikan stimulus kepada rakyat Indonesia
untuk kembali merenungkan kembali niat dan nilai-nilai kemerdekaan yang telah
diraih oleh bangsa yang besar ini. Film ini mencoba untuk menyegarkan kembali
ingatan generasi muda yang sudah mengubah paradigmanya untuk hidup berbangsa
dan bernegara. Sebuah tinjauan ulang makna nasionalisme yang diberikan oleh
sejarah pahlawan pembela bangsa dan negara, tinjauan ulang dimana negara kini
hanya dijadikan sebagai jembatan untuk menumpuk kekayaan dengan jalan korupsi,
kekerasa kelompok dan arogansi-arogansi lain untuk menindas sesama anak bangsa.
Negara yang besar ini dibangun bukan hanya untuk kelompok atau golongan
tertentu semata, melainkan negara yang besar ini dibangun dan diberikan kepada
segenap anak bangsa.
Eksistensi
perjuangan bangsa dalam merebut kemerdekaan menjadi rujukan dan referensi
generasi muda untuk bisa belajar dan mengimplementasikan bilai-nilai luhur
kemerdekaan untuk bisa hidup secara damai dengan suku, ras dan agama yang
berbeda. Indonesia sebagai eksistensi sejarah ialah Indonesia yang majemuk atas
nama kebhinekaan yang ika merupakan falsafah luhur yang diwariskan nenek moyang
dari zama ke zaman untuk menghadirkan kebersahajaan hidup saling member,
menghormati dan menunjung tinggi persamaan hak dan kewajiban. Sejarah bangsa
yang telah memberikan konsep-konsep multikulturalisme bangsa ini.
1.2.Tinjauan
Proses Sejarah TNI
Film
ini dimulai dengan sebuah adegan (scene)
yang menggambarkan sebuah sekolah tentara rakyat ketika pertama kali dibuka di
wilayah Jawa Tengah pada Juni 1947 atau dua tahun setelah kemerdekaan Republik
Indonesia 1945. Dalam tinjauan ini sejarah TNI terbentuk berdasarkan
multikulturalisme, dimana ribuan golongan, ratusan suku, berbagai agama dan
kepercayaan mencita-citakan suatu sistem kenegaraan yang mandiri yang diperoleh
dengan perjuangan sendiri tanpa meminta kepada pihak yang dominan sebagai
bangsa yang merdeka. Nilai-nilai kebersamaan ini menjadikan kekuatan yang besar
dan tidak tergoyahkan oleh kekuatan manapun, hal ini membuktikan bahwa,
kemajemukan suatu bangsa bila dikekola dengan baik menjadi sebuah kekuatan yang
dinamis untuk mewujudkan kemakmuran bangsa.
1.3.Tinjauan
Eksistensi Sejarah Pluralisme TNI
1.3.1. Identitas Bangsa Jawa dan Islam
Sosok
Kapten Amir ialah seorang guru sekolah yang religious dan dihormati oleh
murid-muridnya. Ia seorang jawa yang menjunjung nilai-nilai budayanya untuk
bisa memberikan motivasi perjuangan kepada para muridnya. Wejangan motivasi
yang ia berikan kepada para muridnya menjadi wujud nyata jiwa nasionalismenya
untuk mempertahankan negara ini dari tangan penjajah. Ia berisiterikan seorang
perempuan religious yang menjunjung nilai-nilai ajaran agama Islam. Kapten Amir
tertantang hatinya ketika suatu ketika ditanya oleh mantan murid disekolahnya
untuk kemudian terjun langsung di medan perang untuk merebut kemerdekaan bangsa
sebagai modal untuk memajukan sekolah dan generasi mudanya.
1.3.2. Identitas Bangsa Bali dan Hindu
Dayan
seorang Bali yang datang ke sekolah tentara rakyat Indonesia untuk bergabung
dengan pemuda-pemuda lain untuk mempertahankan bangsa ini. Dayan yang beragama Hindu
mencoba menjadi seorang tentara yang selalu sabar dengan membawa nilai-nilai
agamanya dalam kehidupannya. Dayan merupakan sosok religious sekaligus sosok
keterwakilan suku yang mempunyai tekad untuk mempertahankan Indonesia melalui
perjuangan sebagai prajurit. Sebuah bentuk representasi agama sekaligus suku
Bali dalam kiprahnya untuk membela bangsa.
1.3.3. Identitas Bangsa (Sulawesi Utara)/Bugis dan
Kristen
Thomas
Lalamente seorang pemuda yang berasal dari sulawesi yang berangkat ke Jawa
untuk bergabung menjadi tentara rakyat Indonesia setelah keluarganya dibantai
oleh Belanda di depan matanya, Thomas seorang Kristen yang sejati. Sosok Thomas
menjadi perwujudan kriten dan Indonesia Timur yang bergabung dengan Tentara
Rakyat Indonesia menjadikan persoalan dalam
1.3.4. Identitas Priyayi Jawa
Identitas
priyayi Jawa yang direpresentasikan sebagai bentuk eksistensi keterwakilan kaum
bangsawaan Jawa dinyatakan dengan tokoh Marius. Marius adalah sosok yang
dilahirkan atas perkawinan campuran antara kaum bangsawan Jawa dengan seorang
berbagsa eropa sehingga menghantarkan mereka untuk melanggengkan kelas
sosialnya. Marius yang diperlakukan oleh keluarganya dengan budaya eropa
bangkit melawan untuk menjadi seorang pribumi asli. Sebuah pencarian jati diri
sebagai seorang pribumi dengan belajar dari ketertindasan saudara-saudaranya
dalama berbagai bidang, ekonomi, pendidikan, perlakuan dan sebagainya.
1.3.5. Identitas Peranakan
Surono
(Zumi Zola) dan adiknya yang bernama Senja, merupakan generasi kedua dari
sebuah pernikahan antara pribumi dengan bangsa eropa. Sebuah hasisl perkawinan
antar negara dan sebuah kelahiran sikap sosial yang menyudutkan keberadaan
keluarga peranakan ini pada level kesinisan sosial yang terprovokasi oleh
hasutan orang-orang yang iri melihat kemapanan yang dimiliki oleh keluarga ini,
baik dari segi ekonomi, kelas sosial, pendidikan dan lain-lain dibandingkan
dengan pribumi. Surono dan yang berusaha untuk menjadi pribumi sesungguhnya
kemudian mendaftarkan diri atau bergabung dengan sekolah tentara rakyat. Namun
nasib memaksakan Surono harus tewas oleh sebuah serangan di malam kelulusannya
sebagai tentara rakyat Indonesia. Nasib inilah yang membawa Senja untuk menjadi
bagian tentara rakyat Indonesia.
G. PEMBAHASAN
1.1.Konstruk
Diri dan Pluralisme TNI
Kekontrasan yang
disajikan dalam pemahaman proses kekuasaan sebagai bentuk dari representasi
yang dinyatakan bagi pihak-pihak terkait untuk membentuk jati diri pada
pola-pola kekuasaan dan ataupun bentuk dari kekurangan kekuasaan. Kekuasaan
dalam lingkup penanaman ideologi, perspektif, objektifikasi dan konstruk
mentalitas berbangsa dan bernegara sebagai identifikasi ketahanan nasional
dalam mempertahankan kemerdekaan negara. Negara sebagai bentuk diri dalam
proses kelahirannya menjadi bangsa yang merdeka, sejajar dan mempunyai karakter
diri terhadap pergaulan antar negara. Kekontrasan pihak-pihak terkait dalam
sistem bernegara merupakan identitas makna-makna yang ditopang oleh berbagai
sendi-sendi kehidupan rakyat dan kelas sosialnya.
Makna yang dimunculkan
oleh sistem kelas-kelas sosial, ras, agama, suku, golongan serta berbagai
konstruksi nilai-nilai lain yang tumbuh dalam sistem, konstruksi yang
melahirkan persamaan nasib, persamaan perjuangan dan persamaan keinginan untuk
merdeka melupakan segenap kepentingan diri, golongan dan sukunya, nilai-nilai
perjuangan mampu meruntuhkan egoism diri untuk menjadi yang terbaik, menjadi
yang terkuat dan menjadi yang dominan. Cara-cara yang ditempuh dalam
memperjuangkan nilai-nilai kebebasan dari keterjajahan oleh bangsa lain pada
gilirannya berasal dari dasar-dasar nilai bernegara, yakni bhineka tunggal ika.
Sebuah slogan dan sekaligus falsafah berbangsa Indonesia yang berlandaskan
kepada berbagai lingkup antropologi budaya yang beragam. Keragaman yang menjadi
nilai kekayaan yang tidak ternilai harganya, sebuah bentuk detail bahasa, adat,
sosial, dan suku-suku yang tersebar di nusantara.
Masyarakat Indonesia
dengan landasan pancasila dan bhineka tunggal ika-nya ialah manifestasi diri
dalam persatuan dan kesatuan negara, dengan cara masing-masing suku, ras dan
golongan yang berbeda untuk sebuah wujud nyata realitas kemerdekaan. Identitas
diri yang dimanifestasikan lewat perjuangan dengan segenap kekuatannya ialah suatu
subkultural yang dimiliki oleh semua elemen bangsa, subkultural yang masing-masing
terpisah dengan cara dan instrument yang berbeda pula, dan masing-masing
memproduksi hubungan-hubungan yang bersifat perjuangan. Perjuangan untuk
terbebas dari kekuatan asing untuk mewujudkan semangat nasionalisme bersatu
padu menegakan diri sebagai bangsa yang besar yang tidak bisa diintervensi oleh
negara lain dalam menentukan nahkoda kenegaraan dan berjuang mewujudkan
nilai-nilai kemanusiaan. Suku, ras dan agama merupakan elemen yang bukan
merupakan oposisi, tetapi merupakan keragaman bentuk nilai dan budaya yang
mampu memproduksi pluralisme dalam konsep-konsep perjuangan. Representasi
pluralism merupakan reflektif elemen bangsa dalam ranah berkehidupan sosial
yang matang, bermasyarakat yang majemuk dan bertujuan yang sama menghargai
kemerdekaan sebagai hak setiap orang dan setiap bangsa.
TNI, dalam masa
pembentukannya menjadi referensi sejarah multikulturalisme bangsa Indonesia
yang dibangun berdasarkan nilai-nilai keragaman, kehadiran tentara rakyat
Indonesia ditopang oleh kekuatan yang berbeda yang mampu bersatu, antara rakyat
jelata, priyayi, peranakan, islam, kriten, hindu, jawa, bali, Sulawesi, dan
lain sebagainya sebagai representasi kemajemukan bangsa ini. Konstruks negara
berdiri dengan TNI sebagai alat negara dalam rangka menegakkan kekuasaanya, TNI
sebagai aparatus negara berusaha untuk mendekatkan diri dengan berbagai
kelompok, golongan yang berjuang mempertahankan negara dengan cara yang
berbeda, ada sejumlah adegan dalam film yang mencoba untuk menggabungkan
beberapa perjuangan kelompok-kelompok masyarakat untuk mengusir penjajah dengan
cara dan jalannya sendiri.
Film trilogy Merah Putih
ialah sebuah konstruks identitas TNI dalam merepresentasikan sejarah
terbentuknya pertahanan negara yang dirintis oleh kekuatan sipil dan rakyat,
sebuah eksistensi diri sejarah dan makna-makna nasionalisme. Pertahanan dan
keamanan Indonesia menjadi sebuah terminology konsep diri TNI dalam mencari
format-format nasionalisme di era reformasi yang telah berubah. Adanya
serangkaian kasus bentrokan, dibeberapa daerah di Indonesia seperti Sampit,
Papua, Aceh, Mesuji, Ahmadiyah, Pemboman rumah Ibadah, perusakan masjid,
gereja, menjadi tamparan bagi pihak-pihak terkait, yakni negara. TNI sebagai
alat kekuasaan negara seharusnya menjadi pihak yang bertanggungjawab terhadap
persoalan tersebut, dibeberapa kasus, TNI dituding sebagai pihak yang hanya
membantengi pihak-pihak yang dekat dengan kekuasaan, sementara rakyat
diposisikan sebagai pihak lawan dan sekaligus musuh yang harus dilumpuhkan,
diberantas dan dimusnahkan.
Ambiguitas TNI dalam
mengkonstruk diri dalam misinya sebagai tentara yang manunggal dan sekaligus
sebagai pihak yang bengis, haus akan darah rakyat. Ada semacam perspektif TNI
yang mulai berpolitik terhadap persoalan oposisi golongan, kaum beruang yang
harus dilindungi berdasarkan undang-undang dan kaum yang lemah sebagai mitra
dan musuh yang harus diawasi, yakni rakyat. Sejarah TNI dibentuk ialah untuk
mempertahankan kemerdekaan akibat ambisius Belanda untuk keembali menjajah
Indonesia melalui kekerasan persenjataan. Sebagai bangsa yang bermartabat,
melalui BKR (Badan Keamanan Rakyat) yang selanjutnya menjadi Tentara Keamanan
Rakyat menjadi tulang punggung alat negara untuk memberikan keamanan dan
kenyamanan dari pihak-pihak musuh.
Maka pada Juni 1947 film
trilogy dimulai dengan narasi alur penceritaan untuk mengenang berdirinya TNI
sebagai manifestasi kekuasaan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat. Kemanggulangan
TNI dengan rakyat pun mulai muncul ketika keberdaan TNI mulai diusik oleh pihak
politik komunis, dalam kemanggunlangannya dengan rakyat, TNI pada tahun
1945-1949 menyatakan sebagai tahun perang rakyat semesta, dimana TNI dan Rakyat
mempertahankan kemerdekaan dari agresi militer dengan tujuan integritas wilayah
kesatuan republic Indonesia dan eksistensi NKRI sebagai kekuatan bersama. Film
trilogy merah putih merupakan identitas dan sekaligus pernyataan patriotik TNI
sebagai patner rakyat dalam mempertahankan kemerdekaan negara, dimana detail
identitas itu diwujudkan dalam bentuk-bentuk aksi dalam narasi ceritanya, TNI
dalam peranannya ialah sebagai penegak kedaulatan negara, mempertahankan
keutuhan wilayah NKRI, yang berdasarkan pada falsaafah kehidupan bangsa,
melindungi segenap bangsa Indonesia dari ancaman dan rongrongan dari bangsa
lain.
1.2.Eksistensi Nasionalisme Dan Makna Keluarga
Eksistensi
keluarga Djojohadikusumo ialah bentuk nyata representasi identitas keluarga
dalam ranah mempertahankan kemerdekaan republic ini. Gugurnya R.M. Subianto Djojohadikusmo (21-tahun)
dan Kadet R.M. Sujono Djojohadikusumo (16-tahun) merupakan bentuk gagalnya
negara memberikan penghormatan setinggi-tingginya kepada segenap pahlawan
bangsa, baik yang dihargai secara formalitas seremonial kenegaraan maupun bagi
pahlawan-pahlawan yang sampai saat ini belum dan tidak dikenang jasanya. Ada
semacam pembongkaran sejarah sebagai eksistensi nasionalisme, pembongkaran
sejarah yang mencoba mengkritik Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi, serta
mekanime negara yang terlalu berbelit-belit untuk mengakui jasa seseorang yang
telah memberikan segenap kehidupannya untuk bangsa.
Media
desa sebagai production house film
trilogy merah putih mencoba untuk menawarkan dua pernyataan lewat karya
monumental tersebut. Pertama,
pernyataan sebagai bentuk diferensial sejarah dalam perspektif imajinatif
semangat nasionalisme, sebuah historisitas bangsa yang mulai ditinggalkan oleh
generasi mudanya, film ini membuktikan diri sebagai sebuah kritik, sekaligus
tamparan bagi pemerintah, lembaga film dan semua elemen bangsa yang sudah melupakan
sejarah bangsanya sendiri. Kedua,
pernyatan sebagai bentuk eksitensi diri keluarga Djojohadikusumo sebagai bagian
dari sejarah perjuangan bangsa dan sejarah lahir, dan perjuangan tentara rakyat
Indonesia di awal berdirinya negara kesatuan ini. Terdapat semacam maksud
pembuktian diri keluarga Djojohadikusumo sebagai keluarga pahlawan, sebagai
keluarga patriotik, sebagai keluarga yang telah berjasa bagi negeri ini.
Pengakuan ini ialah bentuk identitas keluarga, bentuk citra, bentuk orientasi
diri dalam bermasyarakat dewasa ini, atau sebagai propaganda eksitensi keluarga
Djojohadikusumo dalam percaturan kekuasaan dan politik Indonesia dewasa ini,
bentuk propaganda media untuk melawan dan menjatuhkan lawan politiknya.
Persoalan
politik identitas yang diusung oleh keluarga Djojohadikusumo di tengah
perwujudan makna pahlawan yang ditekankan dan dibuat mekanisme bakunya oleh
departemen sosial, dimana mekanisme seseorang dinyatakan sebagai pahlawan ialah
dengan mekanisme politik undang-undang dan peraturan pemerintah yang tidak dan
kurang menyentuh relaitas makna pahlawan dan nasionalisme itu sendiri. Bentuk
pangajuan sesesorang oleh golongan menjadi pahlawan nasional, didukung oleh
mekanisme forum dan tulisan ilmiah, menjadi sebuah mekanisme kepahlawanan berada
pada ujung tinta para penguasa, bukan pengakuan dari realitasnya.
Eskistensi
diri TNI dalam perspektif nasionalisme ialah: anggota TNI direkrut dari dan
berasal dari warga negara Indonesia, hal ini direpresentasikan dalam beberapa
adegan film yang digambarkan sebagai wujud nyata kebanggaan dan kebesaran
pemuda-pemuda bangsa di era kemerdekaan. Sebagai tentara pejuang, maka
perjuangan para pemuda bangsa yang tergabung dalam TNI pada jaman kemerdekaan
selayaknya ditempatkan pada posisi terhormat dalam percaturan sejarah bangsa,
termasuk pihak-pihak yang gugur dalam medan perang untuk dikenang jasa-jasanya.
Eskistensi ini muncul ketika dua keluarga Djojohadikusumo berada pada pihak
yang tersisikan oleh sistem politik dan identitas kebangsaan.
Dalam
terminologi kepentingan negara, TNI menjadi sumber utama kekuatan dalam
pertahanan dan keamanan, ras, suku, golongan, agama, daerah dan dinamikanya,
karena TNI ditopang oleh kekuatan-kekuatan tersebut dalam mewujudkan kekuatan
internalnya, TNI diwujudkan berdasarkan atas kepentingan-kepentingan ras, suku,
golongan dan agama yang mempunyai misi sama, yakni mempertahankan kemerdekaan
yang telah diraihnya, hal ini terwujudkan dalam kronologis alur pencerutaan
film trilogy merah putih. Kosnep tersebut ialah menilik pada persamaan hak
asasi yang menjadi cita-cita semua agama, semua golongan dan semua etnis
manapun di dunia ini.
H. KESIMPULAN
Komunikasi militer dalam
sistem sinema trilogy merah putih mewujudkan eksistensi sejarah dan makna
nasionalisme yang direpresentasikan sebagai identitas:
1.
Perjuangan dan keberhasilan TNI dalam mengusir
para penjajah dalam mempertahankan kemerdekaan pada saat Belanda melakukan
agresi militernya.
2.
Sinema dijadikan sebagai eksistensi sejarah
gugurnya pejuang yang berasal dari keluarga Dojohadikusumo di wilayah
Tangerang. Dimana negara tidak pernah memberikan apresiasi terhadap keduanya.
3.
TNI pada dasarnya dibentuk atas dasar pluralism
suku, ras, agama dan golongan yang menghuni bumi Indonesia.
4.
Pluralism dalam media adalah bentuk manifestasi
yang diproyeksikan sebagai bentuk kampanye kepada generasi muda untuk menhargai
dan memahami nilai nasionalisme.
I.
DAFTAR
PUSTAKA
Agger,
Ben, 2009, Teori Sosial Kritis, Kritik
Penerapan dan Implikasinya, Kreasi Wacana: Yogyakarta.
Bungin,
Burhan, Ed, 2001. Metodologi Penelitian
Kualitatif. Jakarta: PT Radja Grafindo Persada.
Effendy,
Heru, 2002. Mari Membuat Film, Panduan
Menjadi Produser. Yogyakarta: Jalasutera.
Eriyanto.
(2000). Analisis Framing: Konstruksi
Ideologi dan Politik Medi. Yogjakarta: LKis.
________
(2005). Analisis Wacana, Pengantar
Analisis Tek Media. Yogyakarta: LKis.
Graeme,
Burton. (2008). Media dan Budaya Populer.
Yogyakarta: Jalasutera.
Grosby,
Steven, 2009. Sejarah Nasionalisme, Asal
Usul Bangsa dan Tanah Air. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kriyantono,
Rachmat, 2008. Teknik Praktis Riset
Komunikasi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Kymlicka,
Will, 2011. Kewargaan Multikultural.
Jakarta: LP3ES
McQuail,
Denis. (2007). Mass Communication Theory,
An Introduction, 3rd Edition. London: Thousand Oaks-New Delhi:
Sage Publication.
Nugroho,
Heru, 2001. Produksi Film. Jakarta:
Grasindo.
KATALOG:
Katalog
Film Indonesia 2000-2006. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Republik
Indonesia.
Katalog
International Women Film Festival 2010. Goethe Haus, Kineforum, Komunitas
Salihara.
Katalog
Film Indonesia, 2009. Festival Film Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terima kasih. segera saya akan konfirmasi.