Sabtu, 13 September 2014

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN LINK CITIZEN JOURNALISM SEBAGAI PROGRAM LITERASI MEDIA DI TELEVISI NASIONAL (Studi Kasus Kebijakan Citizen Journalism Di Metro TV dan Net TV) (Ahmad Toni)


Oleh:
Ahmad Toni:


JUDUL PENELITIAN

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN LINK CITIZEN JOURNALISM SEBAGAI PROGRAM LITERASI MEDIA DI TELEVISI NASIONAL (Studi Kasus Kebijakan Citizen Journalism Di Metro TV dan Net TV)


Abstraksi
Kehadiran media televisi yang terus berkembang pesat menempatkan sesak-informasi dalam realitas sosial dan budaya masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat urban perkotaan.  Keberadaan literasi media yang terus disuarakan oleh Komisi Penyiaran Indonesia dan sejumlah lembaga sosial masyarakat yang bergerak dalam bidang efek media mendorong kebijakan sejumlah media televisi, khususnya televisi nasional dalam memberikan ruang bagi warga negara yang bisa memberikan sumbangan informasi yang berbasis pada kebutuhan masyarakat. Hal ini terjadi karena media televisi hanya menyajikan informasi yang berbasis kepentingan lembaga media dan kepentingan pihak-pihak pendukung media, terutama pihak komoditas perdagangan atau iklan televisi. Salah satu kompetensi literasi media melalui implementasi kebijakan link citizen journalism ialah kemampuan khalayak mengevaluasi dan memproduksi informasi yang diterima dan diberikan oleh khalayak lain sebagai refleksi atas kemampuan khalayak dalam memahami kebutuhan diri akan informasi media massa. Penelitian ini bertujuan untuk menelusuri sejumlah alasan dan dasar pemikiran atas implementasi kebijakan media televisi dalam berbagai program citizen journalism sebagai kebijakan lembaga media dalam memberikan ruang literasi media bagi masyarakat Indonesia.
Kata Kunci: Literasi Media, Implementasi Kebijakan Media, Citizen Journalism, Televisi Nasional.



1.     Hubungan langsung atau tidak langsung dengan konsep Literasi atau Media Literasi
a.     Hubungan langsung (Konsep Literasi Media)
Permasalahan tema penelitian di atas dengan konsep Literasi Media ialah bahwa: di tengah persaingan bisnis content (isi) tayangan televisi yang berbasis dengan persaingan eknomis penghasilan media yang dihasilkan dari pembagian kue iklan sebagai kekuatan penghasilan lembaga media (televisi). Televisi mendewakan iklan sebagai kekuatan materi yang bisa menghegemoni content tayangan, iklan sebagai pihak yang mendominasi kekuatan media televisi menjadikan televisi sebagai alat ekonomis, alat ideologi, alat penjajah budaya dan sejulah efek negatif lain yang dihasilkanya. Sementara konsep literasi media sebagai mana dinyatakan oleh Firestone (Lutvia, 2001: 2) “kemampuan mengakses, menganalisis, mengevaluasi, dan mengkomunikasikan pesan dalam berbagai bentuk”. Selanjutnya Potter (2001: 5) menyatakan bahwa “masyarakat bersifat heterogen dilihat dari entitas, agama, infrastruktur, pendidikan, pengetahuan, latar belakang profesi, geografis dan berbagai faktor. Varian kesenjangan dan perbedaan berbagai faktor tersebut berdampak pada kemampuan konseumen media dalam mengakses informasi. Keanekaragaman indkator juga mengakibatkan perbedaan cara pandang (sudut pandang) masyarakat dalam memahami setiap content media”.
Potter (2001: 7) juga menyatakan bahwa “literasi media juga memberikan penekanan kepada setiap individu konsumen media di masyarakat melakukan kontrol terhadap content media yang dimungkinkan dapat mempengaruhi budaya konsumen”. Definisi literasi ialah “sebagai kemampuan untuk memahami, menganalisis, mengakses dan memproduksi pesan komunikasi massa. Literasi media merupakan bentuk pemberdayaan (empowerment) agar konsumen bisa menggunakan media lebih cerdas, sehat dan aman. Sementara itu khusus content media televisi sering dipahami mampu merefleksikan realitas objek di masyarakat (Devito, 2008: 4). Artinya bahwa literasi media dalam media televisi memberikan efek atau konstribusi efek yang ditimbulkan langsung dari content yang diakses, ditonton, diterima oleh kahayak sebagai sebuah informasi yang diterpa oleh media. Sementara konsep literasi memberikan ruang, perenungan atau refleksi dari khalayak untuk dapat menyikapi content sebagai instrument media dalam menggiring perilaku khalayak pada pola-pola konsumen media dalam hidup bersosial di dalam sistem masyarakat.
Konteks pemahaman media televisi tidak hanya dilihat dari informasi gratis yang diterima sebagai sebuah informasi (value free) namun sebagai sebuah kekuatan yang dapat menggiring persepsi, asumsi, pengetahuan, internasliasi pengetahuan dan juga tindakan manusia. Bahwa realitas informasi ialah konstruksi dari lembaga media (televisi) sebagai sebuah tindak kepentingan politik media atas konstruksi redaksional, konstruksi jurnalistik maupun konstruksi artistik, bahwa fakta, ide, gagasan dan sejumlah kepentingan yang bersifat ideologis dan bersifat politis dihadirkan, disajikan dan disiarkan dengan sejumlah kenepntingan di dalamnya. Bahwa content media televisi ialah diproduksi, diformulasikan oleh kekuatan pihak-pihak yang mendanainya, baik kapitalis media sebagai investor, maupun pihak commercial (iklan). Dari dasar pemikiran tersebut maka media menjadi sebuah refleksi ideologis, politis dan refleksi hegemoni yang merupakan instrument kaum kapitalis dalam menanamkan segala kekuatannya untuk menjajah budaya khalayak. Media selamanya tidak pernah memperhatikan makna bebas nilai (netralitas) namun media merupakan organisasi sosial dan sekaligus organisasi ekonomi yang menitik beratkan pada kompleksitas berbagai kepentingan. Media sebagai lembaga yang mempunyai makna dualitas dan sekaligus bersifat ambiguitas, media adalah kesadaran sosial dan kesadaran kaum kapitalis dalam menciptakan kesadaran palsu bagi khalayaknya.
Baran (Turnomo, 2012: 6) menyatakan bahwa “literasi media ialah kecakapan yang melekat dalam diri kita sebagai sesuatu yang terberi (given, taken for granted)”. Selanjutnya “televisi mempengaruhi budaya kita dalam beragam cara. Salah satu efek dari televisi adalah mendorong munculnya kekarasan dalam masyarakat. Dalam konsepsi dasar literasi media ialah menekankan kasadaran yang dimiliki oleh khalayak bahkan setiap individu khalayak televisi diwajibkan sebagai individu yang mampu mamahami, merenungkan, menganalisis atau disebut dengan cakap. Cakap sebagai sebuah keberhasilan dalam memhami dan melakukan tindakan terpuji dari efek content media televisi yang bersifat negatif. Dikarenakan terpaan content dari media televisi diterima oleh khalayak dengan sangat massif, dinamis dan tidak memberikan kelonggaran untuk berpikir bagi individu yang mengkonsummsi media tersebut. membaca teks-teks media atau content media merupakan bentuk kebiasaan bagi masyarakat berteknologi tinggi saat ini, media diposisikan sebagai kebutuhan primer dari masyarakat modern. Maka konsep literasi media harus ditanamkan kepada setiap individu dalam memahami media sebagai kebutuhan yang harus ditempatkan pada porsinya.
Link citizen journalism di media televisi, yakni di Metro TV dan Net TV yang ditayangkan di salah satu program acara news (jurnalistik) memberikan sedikit pembelajaran tentang dan bagaimana khalayak menyikapi, memhami dan memproduksi content media berdasarkan pada sudut pandang khalayak. Di metro TV, dalam program acara Wideshot, citizen journalism  adalah program uanggulan di salah satu segmen program tersebut. kontribusi khalayak sebagai konsumen aktif dalam menentukan content televisi didukung dengan kebijakan dari pihak redaksi atau produser program acara televisi sebagai produser teks atau content media. Metro TV mencoba memberikan ruang kreativitas, ruang pembelajaran, ruang sikap khalayak dalam memilih, mengakses dan memproduksi informasi sendiri. Akan tetapi kondisi yang demikian pula yang memberikan pengharapan upah atas informasi sebagai sebuah tantangan dan sekaligus motivasi khalayak dalam memproduksi content media.
Sementara Net TV memberikan peluang kepada khalayak untuk dapat memproduksi content berita dengan pemahaman, kecerdasan dalam memproduksi teks media, kecakapan memproduksi inilah yang menjadi motivasi khalayak dalam memberikan informasi yang tentunya berdasarkan pada prinsip-prinsip jurnalistik. Bahwa content jurnalistik memerlukan validitas data-data hasil liputan, nara sumber serta mengedepankan faktualitas dan aktualitas dari informasi tersebut. artinya, kesempatan pembelajaran khalayak dalam memahami, mempelajari, menyikapi, mengakses dan tentunya memproduksi content informasi menjadi acuan dalam literasi media. Bahwa literasi media bukan hanya tanggung jawab lembaga pemerhati media, lembaga sosial masyarakat dan komisi-komisi yang dibentuk untuk menagnggulangi hal tersebut, tetapi media massa pun mempunyai tanggung jawab serta dorongan yang sama dalam membangun masyarakat cerdas dalam penggunanaan media dan content media.
Televisi yang menjadi produser content dan sekaligus pelaku bisnis harusnya memberikan pengetahuan tentang efek media dan konsekuensi sosial, ekonomi, psikologi, dan apapun dampak-dampak yang ditimbulkan oleh media baik yang positif maupun yang negatif. Media televisi dijadikan sebagai lembaga atau institusi sosial yang mampu memberikan kontribusi bagi pola-pola penegtahuan, pendidikan dan penegakan nilai-nilai sosial, hukum, budaya dan lain-lain. Kemampuan metro TV dan Net TV dalam memberikan link citizen journalism dalam rangka memperkuat paradigma khalayak memandang media sebagai kaum yang cerdas dalam menyikapi segala maca content media dengan sikap yang kritis dan solutif. Konsep literasi media yang berasar dari media ialah bahwa media sadar dengan diri dan kendudukannya dalam sistem sosial dalam rangka berbangsa dan bernegara. Media sebagai pelindung atas tindakan, perubahan dan reaksi-reaksi yang ditimbulkan oleh media itu sendiri.
b.     Hubungan tidak langsung (Konsep Literasi Media)
Kebijakan tentang literasi media berkaitan dengan regulasi media, bahwa regulasi media yang saat ini duterapkan dalam dunia pertelevisian Indonesia ialah UU No.40 Tahun 1999 tentang Pers dan UU No.32 Tahun 2002 tentang penyiaran yang lebih membahas media televisi dan radio. Kebijakan pemerintah dalam mengatur semua unsur pers dan proses penyiaran tidak terlepas dari pertimbangan atas reaksi atau dampak yang ditimbulkan oleh content media. Artinya pemerintah hendaknya dalam menyusun dan merancang undang-undang tentang pertelevisiian mengedepankan literasi media sebagai kekuatan elemen dalam produk regulasi tersebut. Kepentingan pemerintah dalam mengatur konsep literasi media di masukan dalam peraturan atau undang-undang ialah bagian dari peran pemerintah dalam melindungi warga negaranya dari segala efek sosial, efek politik, budaya dan sebagainya. Konspe perlindungan ini ialah bukti nyata tindakan pemerintah dalam menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan yang berbasis pada kepentingan masyarakat.
Regulasi penyiaran yang menyatakan bahwa sasaran penyiaran dalam sistem penyiaran didasarkan pada pasal  2 yang mengatur siaran untuk kemanfataan bagi masyarakat dan juga mencerdaskan kehidupan bangsa. Tafsir atas pasal 2 UU No. 32 tahun 2002 tersebut dimaknai dangkal oleh lembaga penyiaran, sebagai konsekuensi bahwa informasi semuanya akan mampu mencerdaskan bangsa. Kata cerdas dalam tatanan sosial masyarakat Indonesia harusnya mengacu pada konsep literasi, dimana akses, pemahaman dan pola kritis dikedepankan dalam rangka membangun masyarakat informasi yang unggul. Sementara dalam pasal 11 dan pasal 12 UU penyiaran yang menyatakan perlindungan public dan program layanan public sama sekali tidak menyentuh persoalan literasi. Public dalam pasal tersebut dianggap sebagai objek yang menerima, objek yang pasrah, dan objek yang bodoh terhadap content siaran.
Selain regulasi yang dapat memberikan perlindungan akan bahaya dari content media, budaya juga menjadi filter dalam menangkal serbuan informasi. Budaya sangat fundamental dalam rangka memberikan sikap kritis, pemahaman dan pendidikan yang dapat mengarahkan khalayak menjadi cerdas bermedia. Dalam pandangan David Considine (Darmastuti, 2012: 60-61) menyatakan bahwa “masyarakat yang sudah mengalami media literasi atau masyarakat yang sudah melek media, adalah masyarakat yang memiliki kemampuan untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi, mengkomunikasikan informasi dalam berbagai format pesan yang disampaikan oleh media massa, baik itu cetak maupun elektronik”. Sementara Potter (2008: 19) “a set of perspectives that we actively use to expose ourselves to the media to interpret the meaning of the messages we encounter”. Artinya, sebuah perspektif dimana khalayak dapat secara aktif menunjukan kemampuan khalayak kepada media massa untuk dapat menginterpretasikan (memahami) makna-makna dari pesan yang kita dapati. Masyarakat melek media adalah masyarakat yang mempunyai kemampuan kritis untuk mengendalikan pesan, pada tataran ini khalayak mempunyai kendali atas content media, yang mampu menginterpretasikan pesan-pesan yang dikonstruksikan oleh media.
Douglas Kellner (2010: 3) “masyarakat sebetulnya dapat menolak pengaruh pesan yang dominan dari media dan penciptanya serta pemanfaat individu (pribadi) pada budaya. Media dapat difilter dengan menggunakan budaya yang dimiliki oleh masyarakat sebagai sumber pemberdayaan diri mereka dan menciptakan makna identitas dan bentuk kehidupan mereka sendiri”. Senada dengan Gerry Philipsen (Griffin, 2003: 420) “A socially construct and historically transmitted pattern of symbol, meaning, premises and rules”. Philipsen memandang bahwa budaya merupakan kekuatan dan dari sebuah konstruksi sosial dan tarnsimisi sejarah dalam bentuk simbol, makna, dasar pemikiran dan nilai dapat mampu membendung pengaruh negatif dari media.

2.     Kontribusi (Pemikiran) guna meningkatkan Media Literasi di Indonesia.  
Judul:
Kearifan Lokal Budaya Sebagai Pemberdayaan Literasi Media
Budaya menjadi landasan umat manusia diseluruh dunia guna menjalankan kehudupannya baik secara sosial, ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya. Budaya menjadi penting dalam tatanan dan sistem sosial. Begitu pun dengan budaya di Indonesia yang beraneka-ragam dan menjadi kekayaan intelektual dan kekuatan yang besar dalam menghadapi terpaan pengaruh-pengaruh media. Tentunya budaya dikelola dengan semangat literasi dalam mewujudkan masyarakat melek media tetapi tetap pada dasar nurani kehidupan dan sosialnya. Karena budaya menjadi dasar seseorang (individu) dalam berpikir, bersikap, bertindak atau berperilaku, maka budaya dalam konsep literasi media dipandang sebagai modal yang berasal dari struktur sosial masyarakat dan budaya sebagai nilai pemberdayaan masyarakat. Implentasi budaya sebagai nilai pemberdayaan ini tidak luput dari semangat akan nilai-nilai yang sudah tertanan pada setiap individu, nilai yang sudah dirasa dikarsakan oleh khalayak media. Artinya budaya bukan barang aneh, bukan suatu pembaharuan, bukan suatu konvergensi tetapi budaya menjadi teman, sahabat dalam mengembangkan diri dalam lingungan sosial yang telah dijalaninya.
Konsep budaya dan konsep literasi terdapat kesamaan orientasi nilai atau tujuan. Keduanya sama-sama memberikan rangsangan interpretasi pengalaman dan melahirkan tingkah laku dalam kehidupan sosial. Persamaan ini menitik beratkan pada penggugahan individu yang kritis melihat, merasakan keadaan yang diakibatkan oleh pengaruh faktor lain yang datang dari luar dirinya. Raharjo (2005: 49-50) menyatakan bahwa “budaya ialah dasar hidup bagi suatu masyarakat dalam menjalani kehidupan sehari-hari dan juga menjadi identitas diri”. Artinya budaya memberikan suatu dasar atau rujukan bagi menjawab pertanyaan yang sering dilontarkan oleh banyak para ahli media dalam menyikapi pengaruh, efek media. Budaya yang mengandung nilai-nilai, norma, aturan dan adat bisa dijadikan dasar pijakan bagi masyarakat Indonesia yang bersifat heterogen. Konsep budaya yang beragam tentunya dari masing-masing budaya dengan lokus terbatas hanya dapat diterapkan sebagai modal pemberdayaan literasi media pada masyarakat sekitarnya saja. Konsep dengan budaya lain pun hanya dapat diterapkan sebagai modal pemberdayaan di wilayah atau lokus yang lain pula.
Manifestasi kearifan lokal yang berbasi budaya dalam pemberdayaan literasi media ialah ajaran-ajaran budaya yang tumbuh disekitar budaya itu berkembang dan dijalankan oleh masyarakat. Ajaran tersebut sebagai filter, semacam pengurangan konsumsi media yang tentunya masyarakat disibukan dengan berbagai kegiatan yang berbasis budayanya. Tentunya kearifan lokal yang dimiliki dan diyakini oleh masyarakat dijadikan sebagai modal untuk menginterpretasikan atau usaha kritis menyikapi segala macam bentuk media. Nilai dan norma budaya lokal dapat digunakan sebagai pedoman masyarakat atau khalayak dalam mengakses, menganalisis, mengevaluasi akan kehadiran informasi yang secara massif dan dinamis dalam kognisi khalayak. Darmastuti (2012: 66) menyatakan “pada tataran sistem makna dari budaya yang dimiliki oleh masyarakat itu dapat digunakan untuk memahami diri mereka sendiri”.
Semangat lietrasi media dengan sistem empowerment keraifan lokal tentunya tidak melukai perasaan khalayak, dikarenakan khalayak sadar akan dirinya sendiri sebagai kekuatan dalam melawan arus informasi yang terus menerpa dirinya. Kekuatan informasi yang terus dirasakan menyesakan pengetahuan manusia akan memberikan efek jangka panjang yang akan menjadi persoalan psikologis dan sosiologis. Banyak individu semakin tidak peduli dengan lingkungan sosial (a-sosial), banyak individu yang trauma akan content media, banyak individu yang berbuat asusila, banyak predator seksual yang memanfaatkan media sebagai medan geraknya, banyak kejahatan-kejahatan yang diakibatkan dan dilakukan dengan penggunaan media. Dari banyaknya peristiwa tersebut kearifan lokal adalah unsur yang paling tepat untuk mengingatkan, atau menumbuhkembangkan pemikiran, perilaku khalayak dalam memanfaatkan media sebagai bagian dari kehidupannya.
Perspektif kearifan lokal dalam membendung arus informasi serta dasar filter dalam sistem masyarakat negara berkembang seperti Indonesia justeru semakin unik dan tidak dimiliki oleh negara-negara lain di dunia. Hal ini menjadi kajian yang menarik banyak kalangan dan tentunya kearifan lokal budaya menjadi contoh akan kehadiran solusi melek media yang berbasis pada kekuatan tradisi dan makna khalayak itu sendiri. Makna yang ada pada dirinya diberdayakan sebagai kekuatan untuk bisa mengkritisi dan menginterpretasikan media sebagaimana kebutuhan diri mereka sendiri yang merdeka dalam menjadi bagian dari masyarakat Informasi dunia.   


Daftar Pustaka
Baran, Stanley J. 2011. Pengantar Komunikasi Massa: Literasi Media dan Budaya, Jakarta: Salemba Humnika.
Devito, Joseph A. 2008. Essentials of Human Communication, Sixth Edition, Boston: Parson Education, Inc.
Darmastuti, Rini. Fajar. 2012. Literasi Media: Konsep dan Aplikasi. Yogyakarta: Buku Litera.
Griffin EM. 2003. A Frist Look at Communications Theory. New York: McGraw-Hill.
Kellner, Douglas. 2010. Budaya Media: Cultural Studies, Identitas dan Politik: Antara Modern dan Posmodern. (Terjemahan). London and New York: Routledge.
Potter W. James. 2001. Media Literacy, Second Edition, Sage Publications, International Educational and professional Publisher, Thousand Oak-London-New Delhi.

Jurnal:
Lutvia, Jurnal Communication, Universitas Budi Luhur.

Referensi lain:
UU No. 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran

UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terima kasih. segera saya akan konfirmasi.