Oleh:
Ahmad Toni:
JUDUL PENELITIAN
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
LINK CITIZEN JOURNALISM SEBAGAI PROGRAM LITERASI MEDIA DI TELEVISI NASIONAL
(Studi Kasus Kebijakan Citizen Journalism Di Metro TV dan Net TV)
Abstraksi
Kehadiran media televisi yang
terus berkembang pesat menempatkan sesak-informasi dalam realitas sosial dan
budaya masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat urban perkotaan. Keberadaan literasi media yang terus
disuarakan oleh Komisi Penyiaran Indonesia dan sejumlah lembaga sosial
masyarakat yang bergerak dalam bidang efek media mendorong kebijakan sejumlah
media televisi, khususnya televisi nasional dalam memberikan ruang bagi warga
negara yang bisa memberikan sumbangan informasi yang berbasis pada kebutuhan
masyarakat. Hal ini terjadi karena media televisi hanya menyajikan informasi
yang berbasis kepentingan lembaga media dan kepentingan pihak-pihak pendukung
media, terutama pihak komoditas perdagangan atau iklan televisi. Salah satu
kompetensi literasi media melalui implementasi kebijakan link citizen
journalism ialah kemampuan khalayak mengevaluasi dan memproduksi informasi yang
diterima dan diberikan oleh khalayak lain sebagai refleksi atas kemampuan
khalayak dalam memahami kebutuhan diri akan informasi media massa. Penelitian
ini bertujuan untuk menelusuri sejumlah alasan dan dasar pemikiran atas
implementasi kebijakan media televisi dalam berbagai program citizen journalism
sebagai kebijakan lembaga media dalam memberikan ruang literasi media bagi masyarakat
Indonesia.
Kata
Kunci: Literasi Media, Implementasi
Kebijakan Media, Citizen Journalism, Televisi Nasional.
1.
Hubungan langsung atau tidak langsung dengan
konsep Literasi atau Media Literasi
a.
Hubungan langsung (Konsep Literasi Media)
Permasalahan
tema penelitian di atas dengan konsep Literasi Media ialah bahwa: di tengah
persaingan bisnis content (isi) tayangan televisi yang berbasis dengan
persaingan eknomis penghasilan media yang dihasilkan dari pembagian kue iklan
sebagai kekuatan penghasilan lembaga media (televisi). Televisi mendewakan
iklan sebagai kekuatan materi yang bisa menghegemoni content tayangan, iklan
sebagai pihak yang mendominasi kekuatan media televisi menjadikan televisi
sebagai alat ekonomis, alat ideologi, alat penjajah budaya dan sejulah efek
negatif lain yang dihasilkanya. Sementara konsep literasi media sebagai mana
dinyatakan oleh Firestone (Lutvia, 2001: 2) “kemampuan mengakses, menganalisis,
mengevaluasi, dan mengkomunikasikan pesan dalam berbagai bentuk”. Selanjutnya
Potter (2001: 5) menyatakan bahwa “masyarakat bersifat heterogen dilihat dari
entitas, agama, infrastruktur, pendidikan, pengetahuan, latar belakang profesi,
geografis dan berbagai faktor. Varian kesenjangan dan perbedaan berbagai faktor
tersebut berdampak pada kemampuan konseumen media dalam mengakses informasi.
Keanekaragaman indkator juga mengakibatkan perbedaan cara pandang (sudut
pandang) masyarakat dalam memahami setiap content media”.
Potter
(2001: 7) juga menyatakan bahwa “literasi media juga memberikan penekanan
kepada setiap individu konsumen media di masyarakat melakukan kontrol terhadap
content media yang dimungkinkan dapat mempengaruhi budaya konsumen”. Definisi
literasi ialah “sebagai kemampuan untuk memahami, menganalisis, mengakses dan
memproduksi pesan komunikasi massa. Literasi media merupakan bentuk
pemberdayaan (empowerment) agar
konsumen bisa menggunakan media lebih cerdas, sehat dan aman. Sementara itu
khusus content media televisi sering dipahami mampu merefleksikan realitas
objek di masyarakat (Devito, 2008: 4). Artinya bahwa literasi media dalam media
televisi memberikan efek atau konstribusi efek yang ditimbulkan langsung dari
content yang diakses, ditonton, diterima oleh kahayak sebagai sebuah informasi
yang diterpa oleh media. Sementara konsep literasi memberikan ruang, perenungan
atau refleksi dari khalayak untuk dapat menyikapi content sebagai instrument
media dalam menggiring perilaku khalayak pada pola-pola konsumen media dalam
hidup bersosial di dalam sistem masyarakat.
Konteks
pemahaman media televisi tidak hanya dilihat dari informasi gratis yang
diterima sebagai sebuah informasi (value
free) namun sebagai sebuah kekuatan yang dapat menggiring persepsi, asumsi,
pengetahuan, internasliasi pengetahuan dan juga tindakan manusia. Bahwa
realitas informasi ialah konstruksi dari lembaga media (televisi) sebagai
sebuah tindak kepentingan politik media atas konstruksi redaksional, konstruksi
jurnalistik maupun konstruksi artistik, bahwa fakta, ide, gagasan dan sejumlah
kepentingan yang bersifat ideologis dan bersifat politis dihadirkan, disajikan
dan disiarkan dengan sejumlah kenepntingan di dalamnya. Bahwa content media
televisi ialah diproduksi, diformulasikan oleh kekuatan pihak-pihak yang
mendanainya, baik kapitalis media sebagai investor, maupun pihak commercial (iklan). Dari dasar pemikiran
tersebut maka media menjadi sebuah refleksi ideologis, politis dan refleksi
hegemoni yang merupakan instrument kaum kapitalis dalam menanamkan segala
kekuatannya untuk menjajah budaya khalayak. Media selamanya tidak pernah
memperhatikan makna bebas nilai (netralitas) namun media merupakan organisasi
sosial dan sekaligus organisasi ekonomi yang menitik beratkan pada kompleksitas
berbagai kepentingan. Media sebagai lembaga yang mempunyai makna dualitas dan
sekaligus bersifat ambiguitas, media adalah kesadaran sosial dan kesadaran kaum
kapitalis dalam menciptakan kesadaran palsu bagi khalayaknya.
Baran
(Turnomo, 2012: 6) menyatakan bahwa “literasi media ialah kecakapan yang
melekat dalam diri kita sebagai sesuatu yang terberi (given, taken for granted)”. Selanjutnya “televisi mempengaruhi
budaya kita dalam beragam cara. Salah satu efek dari televisi adalah mendorong
munculnya kekarasan dalam masyarakat. Dalam konsepsi dasar literasi media ialah
menekankan kasadaran yang dimiliki oleh khalayak bahkan setiap individu
khalayak televisi diwajibkan sebagai individu yang mampu mamahami, merenungkan,
menganalisis atau disebut dengan cakap. Cakap sebagai sebuah keberhasilan dalam
memhami dan melakukan tindakan terpuji dari efek content media televisi yang
bersifat negatif. Dikarenakan terpaan content dari media televisi diterima oleh
khalayak dengan sangat massif, dinamis dan tidak memberikan kelonggaran untuk
berpikir bagi individu yang mengkonsummsi media tersebut. membaca teks-teks
media atau content media merupakan bentuk kebiasaan bagi masyarakat
berteknologi tinggi saat ini, media diposisikan sebagai kebutuhan primer dari
masyarakat modern. Maka konsep literasi media harus ditanamkan kepada setiap
individu dalam memahami media sebagai kebutuhan yang harus ditempatkan pada
porsinya.
Link
citizen journalism di media televisi, yakni di Metro TV dan Net TV yang
ditayangkan di salah satu program acara news (jurnalistik) memberikan sedikit
pembelajaran tentang dan bagaimana khalayak menyikapi, memhami dan memproduksi
content media berdasarkan pada sudut pandang khalayak. Di metro TV, dalam
program acara Wideshot, citizen journalism adalah program uanggulan di salah satu segmen program
tersebut. kontribusi khalayak sebagai konsumen aktif dalam menentukan content
televisi didukung dengan kebijakan dari pihak redaksi atau produser program
acara televisi sebagai produser teks atau content media. Metro TV mencoba
memberikan ruang kreativitas, ruang pembelajaran, ruang sikap khalayak dalam
memilih, mengakses dan memproduksi informasi sendiri. Akan tetapi kondisi yang
demikian pula yang memberikan pengharapan upah atas informasi sebagai sebuah
tantangan dan sekaligus motivasi khalayak dalam memproduksi content media.
Sementara
Net TV memberikan peluang kepada khalayak untuk dapat memproduksi content
berita dengan pemahaman, kecerdasan dalam memproduksi teks media, kecakapan
memproduksi inilah yang menjadi motivasi khalayak dalam memberikan informasi
yang tentunya berdasarkan pada prinsip-prinsip jurnalistik. Bahwa content
jurnalistik memerlukan validitas data-data hasil liputan, nara sumber serta
mengedepankan faktualitas dan aktualitas dari informasi tersebut. artinya,
kesempatan pembelajaran khalayak dalam memahami, mempelajari, menyikapi,
mengakses dan tentunya memproduksi content informasi menjadi acuan dalam
literasi media. Bahwa literasi media bukan hanya tanggung jawab lembaga
pemerhati media, lembaga sosial masyarakat dan komisi-komisi yang dibentuk
untuk menagnggulangi hal tersebut, tetapi media massa pun mempunyai tanggung
jawab serta dorongan yang sama dalam membangun masyarakat cerdas dalam
penggunanaan media dan content media.
Televisi
yang menjadi produser content dan sekaligus pelaku bisnis harusnya memberikan
pengetahuan tentang efek media dan konsekuensi sosial, ekonomi, psikologi, dan
apapun dampak-dampak yang ditimbulkan oleh media baik yang positif maupun yang
negatif. Media televisi dijadikan sebagai lembaga atau institusi sosial yang
mampu memberikan kontribusi bagi pola-pola penegtahuan, pendidikan dan
penegakan nilai-nilai sosial, hukum, budaya dan lain-lain. Kemampuan metro TV
dan Net TV dalam memberikan link citizen journalism dalam rangka memperkuat
paradigma khalayak memandang media sebagai kaum yang cerdas dalam menyikapi
segala maca content media dengan sikap yang kritis dan solutif. Konsep literasi
media yang berasar dari media ialah bahwa media sadar dengan diri dan
kendudukannya dalam sistem sosial dalam rangka berbangsa dan bernegara. Media sebagai
pelindung atas tindakan, perubahan dan reaksi-reaksi yang ditimbulkan oleh
media itu sendiri.
b.
Hubungan tidak langsung (Konsep Literasi Media)
Kebijakan
tentang literasi media berkaitan dengan regulasi media, bahwa regulasi media
yang saat ini duterapkan dalam dunia pertelevisian Indonesia ialah UU No.40
Tahun 1999 tentang Pers dan UU No.32 Tahun 2002 tentang penyiaran yang lebih
membahas media televisi dan radio. Kebijakan pemerintah dalam mengatur semua
unsur pers dan proses penyiaran tidak terlepas dari pertimbangan atas reaksi
atau dampak yang ditimbulkan oleh content media. Artinya pemerintah hendaknya
dalam menyusun dan merancang undang-undang tentang pertelevisiian mengedepankan
literasi media sebagai kekuatan elemen dalam produk regulasi tersebut.
Kepentingan pemerintah dalam mengatur konsep literasi media di masukan dalam
peraturan atau undang-undang ialah bagian dari peran pemerintah dalam
melindungi warga negaranya dari segala efek sosial, efek politik, budaya dan
sebagainya. Konspe perlindungan ini ialah bukti nyata tindakan pemerintah dalam
menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan yang berbasis pada kepentingan
masyarakat.
Regulasi
penyiaran yang menyatakan bahwa sasaran penyiaran dalam sistem penyiaran
didasarkan pada pasal 2 yang
mengatur siaran untuk kemanfataan bagi masyarakat dan juga mencerdaskan
kehidupan bangsa. Tafsir atas pasal 2 UU No. 32 tahun 2002 tersebut dimaknai
dangkal oleh lembaga penyiaran, sebagai konsekuensi bahwa informasi semuanya
akan mampu mencerdaskan bangsa. Kata cerdas dalam tatanan sosial masyarakat
Indonesia harusnya mengacu pada konsep literasi, dimana akses, pemahaman dan
pola kritis dikedepankan dalam rangka membangun masyarakat informasi yang
unggul. Sementara dalam pasal 11 dan pasal 12 UU penyiaran yang menyatakan
perlindungan public dan program layanan public sama sekali tidak menyentuh
persoalan literasi. Public dalam pasal tersebut dianggap sebagai objek yang
menerima, objek yang pasrah, dan objek yang bodoh terhadap content siaran.
Selain
regulasi yang dapat memberikan perlindungan akan bahaya dari content media,
budaya juga menjadi filter dalam menangkal serbuan informasi. Budaya sangat
fundamental dalam rangka memberikan sikap kritis, pemahaman dan pendidikan yang
dapat mengarahkan khalayak menjadi cerdas bermedia. Dalam pandangan David
Considine (Darmastuti, 2012: 60-61) menyatakan bahwa “masyarakat yang sudah
mengalami media literasi atau masyarakat yang sudah melek media, adalah
masyarakat yang memiliki kemampuan untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi,
mengkomunikasikan informasi dalam berbagai format pesan yang disampaikan oleh
media massa, baik itu cetak maupun elektronik”. Sementara Potter (2008: 19) “a set of perspectives that we actively use
to expose ourselves to the media to interpret the meaning of the messages we
encounter”. Artinya, sebuah perspektif dimana khalayak dapat secara aktif
menunjukan kemampuan khalayak kepada media massa untuk dapat
menginterpretasikan (memahami) makna-makna dari pesan yang kita dapati.
Masyarakat melek media adalah masyarakat yang mempunyai kemampuan kritis untuk
mengendalikan pesan, pada tataran ini khalayak mempunyai kendali atas content
media, yang mampu menginterpretasikan pesan-pesan yang dikonstruksikan oleh
media.
Douglas
Kellner (2010: 3) “masyarakat sebetulnya dapat menolak pengaruh pesan yang
dominan dari media dan penciptanya serta pemanfaat individu (pribadi) pada
budaya. Media dapat difilter dengan menggunakan budaya yang dimiliki oleh
masyarakat sebagai sumber pemberdayaan diri mereka dan menciptakan makna
identitas dan bentuk kehidupan mereka sendiri”. Senada dengan Gerry Philipsen
(Griffin, 2003: 420) “A socially
construct and historically transmitted pattern of symbol, meaning, premises and
rules”. Philipsen memandang bahwa budaya merupakan kekuatan dan dari sebuah
konstruksi sosial dan tarnsimisi sejarah dalam bentuk simbol, makna, dasar
pemikiran dan nilai dapat mampu membendung pengaruh negatif dari media.
2.
Kontribusi (Pemikiran) guna meningkatkan Media
Literasi di Indonesia.
Judul:
Kearifan
Lokal Budaya Sebagai Pemberdayaan Literasi Media
Budaya
menjadi landasan umat manusia diseluruh dunia guna menjalankan kehudupannya
baik secara sosial, ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya. Budaya menjadi
penting dalam tatanan dan sistem sosial. Begitu pun dengan budaya di Indonesia
yang beraneka-ragam dan menjadi kekayaan intelektual dan kekuatan yang besar
dalam menghadapi terpaan pengaruh-pengaruh media. Tentunya budaya dikelola
dengan semangat literasi dalam mewujudkan masyarakat melek media tetapi tetap
pada dasar nurani kehidupan dan sosialnya. Karena budaya menjadi dasar
seseorang (individu) dalam berpikir, bersikap, bertindak atau berperilaku, maka
budaya dalam konsep literasi media dipandang sebagai modal yang berasal dari
struktur sosial masyarakat dan budaya sebagai nilai pemberdayaan masyarakat.
Implentasi budaya sebagai nilai pemberdayaan ini tidak luput dari semangat akan
nilai-nilai yang sudah tertanan pada setiap individu, nilai yang sudah dirasa
dikarsakan oleh khalayak media. Artinya budaya bukan barang aneh, bukan suatu
pembaharuan, bukan suatu konvergensi tetapi budaya menjadi teman, sahabat dalam
mengembangkan diri dalam lingungan sosial yang telah dijalaninya.
Konsep
budaya dan konsep literasi terdapat kesamaan orientasi nilai atau tujuan.
Keduanya sama-sama memberikan rangsangan interpretasi pengalaman dan melahirkan
tingkah laku dalam kehidupan sosial. Persamaan ini menitik beratkan pada
penggugahan individu yang kritis melihat, merasakan keadaan yang diakibatkan
oleh pengaruh faktor lain yang datang dari luar dirinya. Raharjo (2005: 49-50)
menyatakan bahwa “budaya ialah dasar hidup bagi suatu masyarakat dalam
menjalani kehidupan sehari-hari dan juga menjadi identitas diri”. Artinya
budaya memberikan suatu dasar atau rujukan bagi menjawab pertanyaan yang sering
dilontarkan oleh banyak para ahli media dalam menyikapi pengaruh, efek media.
Budaya yang mengandung nilai-nilai, norma, aturan dan adat bisa dijadikan dasar
pijakan bagi masyarakat Indonesia yang bersifat heterogen. Konsep budaya yang
beragam tentunya dari masing-masing budaya dengan lokus terbatas hanya dapat
diterapkan sebagai modal pemberdayaan literasi media pada masyarakat sekitarnya
saja. Konsep dengan budaya lain pun hanya dapat diterapkan sebagai modal
pemberdayaan di wilayah atau lokus yang lain pula.
Manifestasi
kearifan lokal yang berbasi budaya dalam pemberdayaan literasi media ialah
ajaran-ajaran budaya yang tumbuh disekitar budaya itu berkembang dan dijalankan
oleh masyarakat. Ajaran tersebut sebagai filter, semacam pengurangan konsumsi
media yang tentunya masyarakat disibukan dengan berbagai kegiatan yang berbasis
budayanya. Tentunya kearifan lokal yang dimiliki dan diyakini oleh masyarakat
dijadikan sebagai modal untuk menginterpretasikan atau usaha kritis menyikapi
segala macam bentuk media. Nilai dan norma budaya lokal dapat digunakan sebagai
pedoman masyarakat atau khalayak dalam mengakses, menganalisis, mengevaluasi
akan kehadiran informasi yang secara massif dan dinamis dalam kognisi khalayak.
Darmastuti (2012: 66) menyatakan “pada tataran sistem makna dari budaya yang
dimiliki oleh masyarakat itu dapat digunakan untuk memahami diri mereka
sendiri”.
Semangat
lietrasi media dengan sistem empowerment keraifan lokal tentunya tidak melukai
perasaan khalayak, dikarenakan khalayak sadar akan dirinya sendiri sebagai
kekuatan dalam melawan arus informasi yang terus menerpa dirinya. Kekuatan
informasi yang terus dirasakan menyesakan pengetahuan manusia akan memberikan
efek jangka panjang yang akan menjadi persoalan psikologis dan sosiologis.
Banyak individu semakin tidak peduli dengan lingkungan sosial (a-sosial),
banyak individu yang trauma akan content media, banyak individu yang berbuat
asusila, banyak predator seksual yang memanfaatkan media sebagai medan geraknya,
banyak kejahatan-kejahatan yang diakibatkan dan dilakukan dengan penggunaan
media. Dari banyaknya peristiwa tersebut kearifan lokal adalah unsur yang
paling tepat untuk mengingatkan, atau menumbuhkembangkan pemikiran, perilaku
khalayak dalam memanfaatkan media sebagai bagian dari kehidupannya.
Perspektif
kearifan lokal dalam membendung arus informasi serta dasar filter dalam sistem
masyarakat negara berkembang seperti Indonesia justeru semakin unik dan tidak
dimiliki oleh negara-negara lain di dunia. Hal ini menjadi kajian yang menarik
banyak kalangan dan tentunya kearifan lokal budaya menjadi contoh akan
kehadiran solusi melek media yang berbasis pada kekuatan tradisi dan makna
khalayak itu sendiri. Makna yang ada pada dirinya diberdayakan sebagai kekuatan
untuk bisa mengkritisi dan menginterpretasikan media sebagaimana kebutuhan diri
mereka sendiri yang merdeka dalam menjadi bagian dari masyarakat Informasi
dunia.
Daftar
Pustaka
Baran,
Stanley J. 2011. Pengantar Komunikasi
Massa: Literasi Media dan Budaya, Jakarta: Salemba Humnika.
Devito,
Joseph A. 2008. Essentials of Human
Communication, Sixth Edition, Boston: Parson Education, Inc.
Darmastuti,
Rini. Fajar. 2012. Literasi Media: Konsep
dan Aplikasi. Yogyakarta: Buku Litera.
Griffin
EM. 2003. A Frist Look at Communications
Theory. New York: McGraw-Hill.
Kellner,
Douglas. 2010. Budaya Media: Cultural
Studies, Identitas dan Politik: Antara Modern dan Posmodern. (Terjemahan).
London and New York: Routledge.
Potter
W. James. 2001. Media Literacy, Second
Edition, Sage Publications, International Educational and professional
Publisher, Thousand Oak-London-New Delhi.
Jurnal:
Lutvia,
Jurnal Communication, Universitas Budi Luhur.
Referensi
lain:
UU
No. 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran
UU
No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terima kasih. segera saya akan konfirmasi.